/ Inilah Bendera & Panji Rasulullah ﷺ: Al-Liwâ’ & Al-Râyah /
Oleh: Irfan Abu Naveed al-Atsari, M.Pd.I
#MuslimahNewsID -- Bendera dan panji, menempati posisi yang agung sebagai simbol suatu negara, begitu pula bagi Rasulullah ﷺ, sebagai pemimpin Negara Islam pertama di Madinah al-Munawwarah. Hal itu dibuktikan dalil-dalil al-sunnah dan atsar, dirinci penjelasan para ulama mu’tabar, mengulas bendera dan panji yang dijuluki al-liwâ’ dan al-râyah, berikut karakteristik, kedudukan dan fungsinya yang istimewa.
Di sisi lain, saat ini kaum Muslim dihadapkan pada upaya mungkar, stigmatisasi negatif dan kriminalisasi panji al-liwâ’ dan al-râyah dan para pengembannya, bagaimana mendudukkan al-liwâ’ dan al-râyah sebagaimana Rasulullah ﷺ dan para sahabat bersikap?
===
Pengertian dan Karakteristik Al-Liwâ’ & Al-Râyah
Al-liwâ’ dan al-râyah merupakan nama untuk bendera dan panji Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-. Secara bahasa, keduanya berkonotasi al-’alam (bendera).
Namun secara syar’i, al-liwâ’ (jamak: al-alwiyah) dinamakan pula al-râyah al-’azhîmah (panji agung), dikenal sebagai bendera negara atau simbol kedudukan pemimpin, yang tidak dipegang kecuali oleh pemimpin tertinggi peperangan atau komandan brigade pasukan (amîr al-jaisy) yakni Khalifah itu sendiri, atau orang yang menerima mandat dari Khalifah, sebagai simbol kedudukan komandan pasukan. Ia memiliki karakteristik berwarna putih, dengan khath berwarna hitam “lâ ilâha illaLlâh Muhammad RasûluLlâh”, berjumlah satu.
Sedangkan al-râyah (jamak: al-râyât), ia adalah panji (al-’alam) berwarna hitam, dengan khath berwarna putih “lâ ilâha illaLlâh Muhammad RasûluLlâh”, dinamakan pula al-’uqâb. al-râyah berukuran lebih kecil daripada al-liwâ’, dan digunakan sebagai panji jihad para pemimpin detasemen pasukan (satuan-satuan pasukan (katâ’ib)), tersebar sesuai dengan jumlah pemimpin detasemen dalam pasukan, sehingga berjumlah lebih dari satu.
===
Dalil-Dalil Al-Liwâ’ dan Al-Râyah
Banyak dalil-dalil al-sunnah dan atsar yang menjelaskan tentang al-liwâ’ dan al-râyah, diantaranya dari Ibn Abbas radhiyaLlâhu ’anhu:
«كَانَ لِوَاءُ -صلى الله عليه وسلم- أَبْيَضَ، وَرَايَتُهُ سَوْدَاءَ»
“Bendera (liwâ’) Rasulullah ﷺ berwarna putih, dan panjinya (râyah) berwarna hitam.” (HR. Al-Hakim, al-Baghawi, al-Tirmidzi. Lafal al-Hakim)
Dari Jabir bin Abdullah radhiyaLlâhu ’anhu:
«أَنَّ النبي -صلى الله عليه وسلم- كَانَ لِوَاؤُهُ يَوْمَ دَخَلَ مَكَّةَ أَبْيَضَ»
“Bahwa Nabi ﷺ liwa’-nya pada hari penaklukkan Kota Mekkah berwarna putih.” (HR. Ibn Majah, Al-Hakim, Ibn Hibban. Lafal al-Hakim)
Dari Yunus bin Ubaid mawla’ Muhammad bin al-Qasim, ia berkata: Muhammad bin al-Qasim mengutusku kepada al-Bara’ bin ‘Azib, aku bertanya tentang râyah Rasulullah ﷺ seperti apa? Al-Bara’ bin ‘Azib menjawab:
«كَانَتْ سَوْدَاءَ مُرَبَّعَةً مِنْ نَمِرَةٍ»
”(Al-Râyah) ia berwarna hitam, berbentuk persegi panjang terbuat dari kain wol.” (HR. Al-Tirmidzi, al-Baghawi, al-Nasa’i)
Dari al-Hasan radhiyaLlâhu ’anhu, ia berkata:
«كَانَتْ رَايَةُ النَّبِيِّ -صلى الله عليه وسلم- سَوْدَاءَ تُسَمَّى الْعُقَابَ»
“Râyah Nabi ﷺ berwarna hitam disebut al-‘Uqab.” (HR. Ibn Abi Syaibah)
Dalil-dalil di atas secara sharîh menisbatkan bendera dan panji dengan karakteristiknya yang istimewa kepada Rasulullah ﷺ. Maka tidak mengherankan jika para ulama hadis bahkan menuliskan satu subbab khusus berkenaan dengan al-liwâ’ dan al-râyah, diantaranya:
Al-Bukhari dalam Shahih-nya menuliskan subbab (مَا قِيْلَ فِي لِوَاء النَّبِي صلى الله عليه و سلم), Ibn Majah dalam Sunan-nya menuliskan subbab (باب الرَّايَات والأَلْوِيَّة), Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya menuliskan subbab (مَا جَاءَ فِيْ الرَّايَات), Ibn Hibban dalam Shahih-nya menuliskan subbab (ذِكْرُ وَصْفِ لِوَاءِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ دُخُولِهِ مَكَّةَ يَوْمَ الْفَتْحِ) dan lainnya, yang cukup menunjukkan keberadaan bendera dan panji istimewa Rasulullah ﷺ.
===
Kedudukan dan Fungsi Al-Liwâ’ Al-Râyah
Berdasarkan dalil-dalil al-sunnah dan atsar, tak dapat dipungkiri bahwa al-liwâ dan al-râyah, merupakan simbol kenegaraan Rasulullah ﷺ, hal itu ditandai dengan praktik Rasulullah ﷺ sebagai kepala negara sekaligus komandan pasukan perang, yang menjadikan al-liwâ’ ditangannya semisal ketika Fathu Mekkah, atau diserahkan kepada orang yang ditunjuknya secara resmi untuk memimpin pasukan perang, di antara dalilnya adalah sabda Rasulullah ﷺ ketika Perang Khaibar:
«لأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ، يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ»
”Sungguh aku akan memberikan al-râyah kepada seseorang, ditaklukkan (benteng) melalui kedua tangannya, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya)
Ketika bendera al-liwâ’ diserahkan Khalifah kepada pemimpin pasukan perang, maka ia menjadi simbol pemegang komando peperangan, sekaligus pemersatu para komandan detasemen pemegang al-râyah dan para pasukan itu sendiri.
Ibn Bathal menjelaskan bahwa hadis di atas menunjukkan bahwa tidak ada yang berhak memegang bendera dan panji ini (dalam jihad) kecuali orang yang ditunjuk oleh al-Imam (Khalifah) saja, tidak diemban seseorang pun kecuali dengan adanya mandat kekuasaan (kewenangan dan kedudukan Khalifah-pen.).
Ibn Bathal pun menukil penuturan al-Muhallab bahwa dalam hadis al-Zubair radhiyaLlâhu ’anhu, terdapat petunjuk bahwa al-râyah tidak diserahkan kecuali dengan izin al-Imam (Khalifah); karena ia merupakan simbol kekuasaan Khalifah, dan kedudukannya. Maka tidak boleh ada penyerahan mandat bendera dan panji ini kecuali berdasarkan perintah Khalifah. Semua penjelasan tersebut, secara spesifik dirinci oleh Ibn Bathal dalam satu bab khusus (مَا قِيلَ فِى لِوَاء النَّبِىِّ (صلى الله عليه وسلم)
Hadis ini merupakan nas yang menunjukkan mandat resmi tersebut. Ibn Hajar al-’Asqalani (w. 852 H) pun mencontohkan, bahwa Qais bin Sa’ad –radhiyaLlâhu ’anhu- adalah salah seorang yang pernah menerima mandat memegang bendera Nabi ﷺ, dan hal itu tidak dilakukan kecuali berdasarkan perintah Nabi ﷺ.
Sebagaimana Ali bin Abi Thalib radhiyaLlâhu ’anhu dan Sa’ad bin Ubadah radhiyaLlâhu ’anhu yang juga pernah menerima mandat al-râyah dari Rasulullah ﷺ.
Adanya mandat resmi dalam mengemban al-liwâ’ dan al-râyah ini, menunjukkan bahwa ia adalah simbol negara, sehingga memperjelas kedudukan Rasulullah ﷺ sebagai pemimpin suatu negara, yakni Negara Islam (al-Dawlah al-Islâmiyyah).
Hal ini semakin menguatkan bukti otentik, historis dan yuridis, adanya konsep negara dalam Islam, sekaligus meruntuhkan khurafat bahwa Rasulullah ﷺ bukan kepala negara dan tidak mengatur urusan kenegaraan. Namun bukan sembarang negara, melainkan negara yang berasaskan tauhid (akidah Islam), sebagaimana termaktub pada al-liwâ’ dan al-râyah, yang menunjukkan filosofi asas negara yang dibangun Rasulullah ﷺ.
Negara wajib berasaskan akidah Islam, kaum Muslim tidak boleh mengadopsi selain akidah Islam sebagai asasnya. Konsekuensinya, wajib menjadikan hukum Allah dan Rasul-Nya sebagai hukum positif yang diterapkan negara, bukan hukum jahiliyyah (lihat: QS. Al-Mâ’idah [5]: 50) yang mengundang malapetaka (lihat: QS. Thâhâ [20]: 124).
Penisbatan al-liwâ’ dan al-râyah dalam hadis dan atsar sebagai bendera dan panji Rasulullah ﷺ pun memperjelas kedudukannya sebagai syi’ar Islam. Terlebih kalimat tauhid yang menjadi ciri khas keduanya, merupakan kalimat pemisah antara iman dan kekufuran, kalimat yang menyatukan kaum Muslim dalam ikatan yang hakiki, ikatan akidah Islam.
Maka jelas bahwa keduanya termasuk syi’ar Islam yang wajib diagungkan dan dijunjung tinggi, menggantikan syi’ar-syi’ar jahiliyyah yang menceraiberaikan kaum Muslim dalam sekat-sekat imperialistik. Mengagungkan dan menjunjung tinggi syi’ar Islam, sesungguhnya bagian dari apa yang Allah firmankan:
ذلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ {٣٢}
”Demikianlah (perintah Allah) dan siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan qalbu.” (QS. Al-Hajj [22]: 32)
Yakni sikap yang lahir dari ketakwaan kepada Allah, Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1316 H) pun menjelaskan bahwa di antara sifat terpuji yang melekat pada orang yang bertakwa adalah mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, yakni syi’ar-syi’ar Din-Nya.[20] Sifat takwa ini, ditunjukkan oleh sikap para sahabat, dari Anas bin Malik radhiyaLlâhu ’anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيْبَ، ثُمَّ أَخَذَ جَعْفَرٌ فَأُصِيْبَ، ثُمَّ أَخَذَ اِبْنُ رَوَاحَةٍ فَأُصِيْبَ»
“Zaid mengambil al-Râyah lalu ia gugur, kemudian Ja’far mengambil (al-Râyah) lalu ia gugur, kemudian Ibn Rawahah mengambil (al-Râyah) lalu ia gugur.” (HR. Al-Bukhari & Ahmad)
===
Kriminalisasi Al-Liwâ’ dan Al-Râyah
Salah satu ancaman yang wajib diwaspadai kaum Muslim saat ini, adalah stigmatisasi negatif terhadap panji al-râyah sebagai bendera teroris (irhâbiyyah), dan adanya upaya kriminalisasi terhadap para pengembannya. Misalnya kasus panji al-râyah yang dijadikan barang bukti terorisme bom bekasi (news.detik.com,15/12/2016).
Padahal tidak ada relevansi sama sekali antara tindak kejahatan terorisme yang dikecam Islam, dan panji al-râyah sebagai syi’ar Islam yang justru dijadikan barang bukti tindak kejahatan.
Upaya stigmatisasi dan kriminalisasi terhadap simbol dan ajaran Islam, hakikatnya bagian dari penyesatan opini, yang menjadi bagian dari visi misi Iblis dan sekutunya yang benar-benar berjanji akan menghiasi perbuatan buruk manusia, dan menyesatkan mereka semua dari kebenaran (QS. Al-Hijr [15]: 39).
Dalam sirah, kejahatan ini telah dipraktikkan kaum Kuffar yang menstigma negatif wahyu Allah sebagai sihir dan dongeng-dongeng orang terdahulu, dan Rasul-Nya sebagai orang yang hilang akal, dukun, dan penyair. Itu semua dilakukan demi menghalang-halangi manusia dari jalan Allah.
Kebatilan tersebut, kini tampil dalam kemasan baru, menstigma negatif simbol dan ajaran Islam sebagai simbol terorisme dan ajaran radikalisme. Termasuk dari apa yang Allah peringatkan:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ {٦}
“Dan di antara manusia (ada) orang yang menggunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu, dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Luqmân [31]: 6)
Frase lahw al-hadis, mencakup perkara-perkara kebatilan yang disuarakan, dituliskan untuk menyesatkan manusia, menyimpangkan mereka dari jalan Allah (Islam).
Al-Hafizh Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H) menuturkan, “Cakupannya (lahw al-hadis) segala hal berupa ucapan yang menyimpangkan (manusia) dari jalan Allah, berupa hal-hal yang Allah dan Rasul-Nya larang untuk mendengarkannya, karena Allah mengungkapkan keumuman dalam firman-Nya: (lahw al-hadis), dan Dia tidak mengkhususkannya. Oleh karena itu, ia tetap dalam keumumannya hingga ada dalil yang mengkhususkannya.”
Kebatilan tersebut merupakan syubhat dan khurafat yang wajib diwaspadai, dihadapi dan diluruskan. Karena dalam Islam, stigmatisasi negatif dan kriminalisasi terhadap simbol dan ajaran Islam merupakan kemungkaran, sehingga termasuk tindak kriminal yang wajib dicegah dan dikenai sanksi hukuman.
Kondisi dan bahayanya, sebagaimana peringatan al-’Allamah Taqiyuddin al-Nabhani, “Imperialisme tak sekedar menggunakan tsaqafah ini, bahkan meracuni kaum Muslim dengan beragam pemikiran dan pandangan di bidang politik dan falsafah, yang merusak paradigma kaum Muslim yang lurus. Dengannya rusak suasana Islami yang ada, serta mengacaukan pemikiran kaum Muslim dalam segala aspek kehidupan. Dengan semua itu, hilanglah benteng pertahanan kaum Muslim...”
Tuduhan keji atas bendera dan panji tauhid ini, bisa jadi menggambarkan apa yang Allah firmankan:
قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ {١١٨}
“Sungguh telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.” (QS. Âli Imrân [3]: 118)
Dalam Islam, stigmatisasi negatif dan kriminalisasi terhadap simbol Islam merupakan kemungkaran, sehingga termasuk tindakan kriminal yang wajib dicegah dan dikenai sanksi hukuman.
===
Peringatan Atas Bahaya Kejahilan & Prasangka Buruk
Penolakan terhadap al-liwâ’ dan al-râyah, bisa terjadi karena ketidakpahaman terhadap hakikat keduanya dalam Islam, namun mengedepankan kecurigaan dan prasangka buruk, ini tergambar dalam ungkapan Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H):
النَّاسُ أَعدَاء مَا جَهِلُوْا
“Manusia (terkadang-pen.) menjadi musuh atas apa-apa yang tidak mereka ketahui.”
Hal ini tercela, karena penolakan yang didasari oleh ketidaktahuan, pasti dilatarbelakangi oleh prasangka buruk, dan prasangka buruk itu tercela sebagaimana firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ {١٢}
“Wahai orang-orang yang beriman jauhilah oleh kalian sebagian besar dari prasangka, karena sebagian darinya merupakan perbuatan dosa.” (QS. Al-Hujurât [49]: 12)
Ayat ini menyeru orang-orang yang beriman, dengan perintah menggunakan kata ijtanib yang lebih mendalam dan kuat maknanya daripada kata utruk, yang maknanya adalah “jauhilah”, artinya ayat yang agung ini mengandung larangan atas prasangka buruk.
Dan kalimat (إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ) yang menyifati prasangka buruk sebagai perbuatan dosa, menjadi indikasi tegas atas larangan dalam ayat ini, sehingga larangan dalam ayat ini merupakan tuntutan tegas untuk meninggalkan prasangka buruk, yang menunjukkan bahwa hukumnya haram.
Imam al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H) ketika menjelaskan kata ijtanibû menegaskan bahwa ia merupakan ungkapan tentang perkara yang harus mereka tinggalkan, dan maknanya lebih kuat (ablagh) daripada kata utruk (tinggalkanlah) (وَذلِكَ أَبْلَغ مِنْ قَوْلِهِمْ: اُتْرُكُوْهُ) Karena kata ijtanib tak sekedar perintah untuk meninggalkan melainkan perintah untuk meninggalkan dan menjauhinya (meninggalkan sejauh-jauhnya).
Dan Allah ‘Azza wa Jalla menggunakan kata ijtanib dalam ayat yang agung di atas untuk melarang prasangka buruk, maka sudah seharusnya kita menjauhinya.
Kesalahpahaman terhadap al-liwâ’ dan al-râyah, bisa juga lahir karena tersebarnya syubhat, dan tidak mau ber-tabayyun (cek ulang, mengkaji faktanya), mengedepankan kepercayaan terhadap syubhat dan khurafat yang tersebar. Maka dalam kasus ini, Allah Ta’âlâ memperingatkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ{٦}
”Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu seseorang yang fasik membawa berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurât [49]: 6)
Ayat ini menyeru orang-orang beriman untuk melakukan konfirmasi terhadap kebenaran suatu informasi, yang datang dari orang yang fasik, yang tidak bisa dipercaya.
Karena makna tabayyun itu mendekati makna tatsabbut (mencari kebenaran), yakni tidak tergesa-gesa hingga benar-benar mengetahui, sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Farra (w. 207 H), atau dalam penjelasan al-Hafizh Ibn Jarir al-Thabari yakni tidak tergesa-gesa hingga mengetahui kebenarannya, dan tidak tergesa-gesa menerima berita tersebut.
Atau sebagaimana disebutkan Imam Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani (w. 489 H) yakni meninggalkan ketergesa-gesaan, merenungkan dan menyikapinya dengan hati-hati dalam urusan tersebut. Karena ketergesaan bisa jadi timbul dari kebodohan dan kebingungan, dari Ibn Wahb, ia mengatakan telah mendengar Imam Malik radhiyaLlâhu ’anhu berkata:
الْعَجَلَةُ فِي الْفَتْوَى نَوْعٌ مِنَ الْجَهْلِ وَالْخُرْقِ
”Ketergesa-gesaan dalam berfatwa merupakan jenis kebodohan dan keraguan.”
Maka menjadi tugas para ulama dan da’i yang paham, memahamkan masyarakat awam terhadap hakikat al-liwâ’ dan al-râyah ini, agar mereka tidak bersikap kecuali sebagaimana sikap Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya.
Tugas ini menjadi semakin menantang, di zaman ketika tersebarnya syubhat di tengah-tengah masyarakat, dan syi’ar Islam digantikan oleh syi’ar-syi’ar ’ashabiyyah jâhiliyyah. Hal itu karena peringatan, bermanfaat bagi orang-orang yang masih memiliki akal sehat dan keimanan:
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ {١٨}
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya, mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Al-Zumar [39]: 18)
Inilah sifat mereka yang dipuji Allah dengan istilah, ulul albâb, dan peringatan bermanfaat bagi mereka yang beriman:
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ {٥٥}
“Dan berilah peringatan, karena peringatan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Dzâriyât [51]: 55)
===
Teladan Rasulullah ﷺ & Para Sahabat
Lalu bagaimana sikap Rasulullah ﷺ dan para sahabat terhadap al-liwâ’ dan al-râyah?
Hal itu terjawab dengan menilik sikap Rasulullah ﷺ dan para sahabat yang memberikan keteladanan dalam mengemban keduanya, menjadikannya sebagai tugas kenegaraan yang sangat mulia, yang tidak diemban kecuali oleh orang yang mulia.
Hal itu sebagaimana penyifatan Rasulullah ﷺ kepada pemegang panji al-râyah ketika Perang Khaibar:
«لأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ، يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ»
”Sungguh aku akan memberikan al-râyah kepada seseorang yang, ditaklukkan (benteng) melalui kedua tangannya, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya)
Kalimat (يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ، يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ), merupakan sifat mulia dari lelaki (رَجُلاً) yang disebutkan oleh Rasulullah ﷺ dalam hadis. Hal ini sesuai kaidah:
الجُمَلُ بَعْدَ النَّكِرَاتِ صِفَاتٌ
”Kalimat-kalimat setelah kata-kata benda nakirah itu sifat-sifatnya.”
Rasulullah ﷺ pun mengawali informasi penting dalam hadis tersebut dengan lâm al-tawkîd dan nûn al-tawkîd al-tsaqîlah, keduanya termasuk bentuk tawkid (penegasan). Dalam tinjauan disiplin ilmu balaghah, ia dinamakan al-khabar al-inkâri, atau meminjam istilah Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, yakni al-ta’kîd al-inkâri.
Apa faidahnya? Keberadaan kata-kata penegasan seperti ini, berfungsi menegaskan kebenaran informasi di dalamnya, menafikan segala bentuk pengingkaran atau keraguan terhadap kebenarannya.
Lantas, siapa lelaki yang dimaksud Rasulullah ﷺ? Dalam perincian hadisnya, Rasulullah ﷺ akhirnya menyerahkan panji tauhid ini kepada ’Ali bin Abi Thalib radhiyaLlâhu ’anhu.
Bagaimana sikap para sahabat? Digambarkan bahwa mereka mengharapkan kemuliaan tersebut, yang juga menunjukkan agungnya kedudukan al-liwâ’ dan al-râyah dalam Islam. Ibn Bathal (w. 449 H) bahkan menegaskan bahwa mandat resmi dalam serah terima al-liwâ’ dan al-râyah termasuk sunnah Rasulullah ﷺ yang sudah semestinya diteladani oleh kaum Muslim, Ibn Bathal menuturkan:
(لَأُعْطِيَّنَّ الرَايَةَ) فَعَرَّفَهَا بِالأَلِفِ وَاللامِ يَدُلُّ أَنَّهَا كَانَتْ مِنْ سُنَّتِهِ -صلى الله عليه وسلم- فِيْ حُرُوْبِهِ فَيَنْبَغِيْ أَنْ يُسَارَ بِسِيْرَتِهِ فِيْ ذلِكَ.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Sungguh aku akan menyerahkan al-râyah”, Rasulullah ﷺ mengungkapkan kata al-râyah dalam bentuk ma’rifat (dengan alif lâm, yakni sudah dikenal secara spesifik) menunjukkan bahwa ia merupakan sunnah Rasulullah ﷺ dalam berbagai peperangannya, maka sudah seharusnya hal tersebut diikuti (oleh kaum Muslim).
Maka setiap syubhat dan khurafat, mencakup stigmatisasi negatif dan kriminalisasi atas al-liwâ’ dan al-râyah, hakikatnya merupakan makar terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Ia merupakan kemungkaran yang harus diwaspadai kaum Muslim, wajib disingkap dan diluruskan, sehingga kaum Muslim tidak memandang al-liwâ’ dan al-râyah kecuali dengan pandangan Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya, dan tergerak untuk mengibarkannya kembali, dengan berjuang menegakkan kehidupan Islam, dalam naungan al-Khilâfah ’alâ Minhâj al-Nubuwwah yang berdiri di atas asas tauhid, dan kita sebagaimana sya’ir:
نَبْنِي كَمَا كَانَتْ أَوَائِلُنَا * تَبْنِي، وَنَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلُوْا
“Kami membangun sebagaimana generasi pendahulu kami membangun”
“Dan kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.”
===
Sumber: http://www.irfanabunaveed.net/2017/02/inilah-bendera-panji-rasulullah-saw-al_27.html
—————————————
Silakan share dan follow
FB, IG, Telegram, dan Twitter
@MuslimahNewsID
Grup WA:
http://bit.ly/JoinWAMuslimahNewsID
—————————————
Berkarya untuk Umat
—————————————
*DIANTARA RIWAYAT MAQBUL HADITS AL-RAYAH DAN AL-LIWA' (PENJELASAN BAGI YANG MASIH RAGU)*
_Oleh: Yuana Ryan Tresna_
_Pengasuh Majlis-Ma’had Darul Hadits Khadimus Sunnah Bandung_
*Terdapat pada Banyak Hadits Shahih*
Bahwa terdapat banyak hadits shahih atau minimal hasan yang menyebutkan bahwa al-Rayah (panji) Rasul berwarna hitam dan al-Liwa (bendera)nya berwarna putih.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ، يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
Sungguh aku akan memberikan al-Rayah kepada seseorang yang, ditaklukkan (benteng) melalui kedua tangannya, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Liwa’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwarna putih dan Al-Rayah beliau berwarna hitam. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu menuturkan,
كَانَتْ رَايَةُ رَسُوْلِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ
Al-Rayah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwarna hitam dan al-Liwa’ beliau berwarna putih (HR. Al-Tirmidzi, Al-Baihaqi, Al-Thabarani dan Abu Ya’la).
Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu juga menuturkan,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- دَخَلَ مَكَّةَ يَوْمَ الْفَتْحِ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki Makkah pada hari Fathu Makkah dan al-Liwa’ beliau berwarna putih (HR. Al-Tirmidzi, Al-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).
Selain riwayat Al-Bukhari dan Muslim, hadits di atas diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi, Al-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, Al-Thabarani, Ibnu Abi Syaibah, dan Abu Ya’la. Hadits ini shahih. Secara jelas dikatakan bahwa warna al-Rayah adalah hitam dan al-Liwa adalah putih. Hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak kitab hadits, dimana semuanya berujung pada rawi shahabat Jabir dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu.
Para ulama sudah membahas hal ini ketika mereka semua menjelaskan hadits-hadits diatas dalam kitab syarah dan takhrijnya. Sebut saja seperti Kanz al-Ummal, Majma’ al-Zawa’id, Fath al-Bari, Tuhfah al-Ahwadzi, Umdah al-Qari, Faidh al-Qadir, dll. Belum lagi dalam kitab sirah dan maghazi yang diantaranya memiliki sanad kuat.
*Riwayat Dha’if*
Memang ada beberapa hadits yang berbicara al-Rayah dan al-Liwa dengan status hadits yang dipersoalkan oleh para ulama, seperti hadits riwayat Ahmad berikut ini,
عَنِ الْحَارِثِ بْنِ حَسَّانَ الْبَكْرِىِّ قَالَ قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى الْمِنْبَرِ وَبِلاَلٌ قَائِمٌ بَيْنَ يَدَيْهِ مُتَقَلِّدٌ السَّيْفَ بَيْنَ يَدَىْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَإِذَا رَايَاتٌ سُودٌ وَسَأَلْتُ مَا هَذِهِ الرَّايَاتُ فَقَالُوا عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ قَدِمَ مِنْ غَزَاةٍ
Dalam hal ini Syaikh Syu’aib al-Arnauth dalam ta’liqnya memberikan catatan sebagai berikut,
إسناده ضعيف لانقطاعه عاصم بن أبي النجود لم يدرك الحارث بن حسان بينهما أبو وائل شقيق بن سلمة
Demikian juga dengan hadits riwayat Imam Al-Thabarani berikut,
عن ابن عباس قال : « كانت راية رسول الله صلى الله عليه وسلم سوداء ولواؤه أبيض ، مكتوب عليه : لا إله إلا الله محمد رسول الله
Di sana ada rawi bernama أحمد بن محمد بن الحجاج بن رشدين بن سعد بن مفلح بن هلال yang disebut sebagai tertuduh dusta متهم بالوضع.
*Lafazh 'La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah'*
Berikutnya adalah tentang lafazh. Apakah hadits مكتوب عليه : لا إله إلا الله محمد رسول الله semuanya dha’if? Kita harus kaji dari semua jalur periwayatan, sebagai berikut:
(1) hadits riwayat Al-Thabarani dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu statusnya dha’if karena ada rawi yang bernama أحمد بن محمد بن الحجاج بن رشدين tertuduh dusta (متهم بالوضع);
(2) hadits riwayat Abu Syaikh al-Ashbahaniy dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu statusnya dha’if karena ada rawi yang bernama Muhammad bin Abi Humaid statusnya munkar oleh Al-Bukhari, tidak tsiqah menurut Al-Nasa’i, dan tidak ditulis haditsnya menurut Ibnu Ma’in:
(3) hadits riwayat Abu Syaikh al-Ashbahaniy dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu diperselisihkan, dan saya -atas dasar pengetahuan yang sedikit ini- memilih pendapat yang mengatakan shahih.
Jadi dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Abu Syaikh al-Ashbahaniy dalam Akhlaq al-Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dari Ibnu Abbas statusnya shahih. Jalur Ibnu Abbas ini, semua rawinya dapat diterima, sebagai berikut:
- أحمد بن زنجوية بن مسى : قال الخطيب كان ثقة وقال الذهبي كان موثقا معروفا
- محمد بن أبي السري العسقلاني : قال ابن معين ثقة وقال الذهبي ثقة
- عباس بن طالب البصري : قال ابن عدي صدوق وذكره ابن حبان في “الثقات” وقال ابن حجر بصري صدوق
- حيان بن عبيد الله بن حيان : قال أبو حاتم صدوق وذكره ابن حبان في “الثقات” وقال أبو بكر البزار ليس به باس
- أبو مجلز لاحق بن حميد: تابعي ثقة
Dari semua rawi tersebut yang diperdebatkan adalah Hayyan bin Ubaidillah. Sebagian mengatakan dha’if karena tafarrud (seperti pendapat Ibnu Ady), tetapi Ibnu Hibban menempatkan dalam “al-Tsiqqat’, Abu Hatim mengatakan shaduq, Abu Bakar al-Bazar mengatakan masyhur. Tafarrudnya Hayyan bin Ubaidillah tidak memadharatkan hadits karena keadaannya tsiqah atau shaduq (lihat Muqaddimah Ibn Shalah). Demikian juga ikhtilath nama antara Hayyan bin Ubaidillah (حيان) dan Haban bin Yassar (حبان) sudah dijelaskan oleh para ulama, semisal dalam Tarikh al-Kabir, Tahdzib al-kamal, al-Kamil fi al-Dhu’afa, Mizan al-I’tidal, dll. Penjelasan terkait dengan tafarrud dan ikhtilath Hayyan bin Ubaidillah bisa dijelaskan dalam tulisan khusus. Kesimpulannya, hadits dari Abu Syaikh dari jalur Ibnu Abbas maqbul.
Dengan demikian jelaslah bahwa pada al-Rayah dan al-Liwa’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertulis kalimat tauhid La ilaha illallah Muhammad Rasulullah, sebagaimana hadits penuturuan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu,
كَانَتْ رَايَةُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم سَوْدَاءَ وَلِوَاءُهُ أَبْيَضَ مَكْتُوْبٌ فِيْهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ
Al-Rayah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwarna hitam dan al-Liwa’ beliau berwarna putih; tertulis di situ la ilaha illa Allah Muhammad RasululLah (HR. Abu Syaikh al-Ashbahani dalam Akhlaq an-Nabiy shallallahu ‘alaihi wa sallam).
*Warna*
Terkait warna, hadits-hadits shahih menyebutkan bahwa warna al-Rayah adalah hitam dan al-Liwa’nya adalah putih. Adapun hadits-hadits yang menyebutkan warna lain seperti kuning dan merah, memang ada, tetapi kualitasnya dha’if dan ada yang sifatnya sementara.
Hadits riwayat Abu Dawud, yang juga diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ibnu Adi, menyebutkan bahwa al-Rayah Nabi adalah kuning.
حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ حَدَّثَنَا سَلْمُ بْنُ قُتَيْبَةَ الشَّعِيرِىُّ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ سِمَاكٍ عَنْ رَجُلٍ مِنْ قَوْمِهِ عَنْ آخَرَ مِنْهُمْ قَالَ رَأَيْتُ رَايَةَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَفْرَاءَ.
Menurut shahib al-Badr al-Munir, dalam isnadnya majhul.
Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Thabarani dan Abu Nu’aim al-Ashbahani,
عن جدته مزيدة العصرية ، « أن رسول الله صلى الله عليه وسلم عقد رايات الأنصار وجعلهن صفراء »
Hadits ini dha’if karena ada rawi bernama Hudu bin Abdullah bin Sa’d yang dinyatakan tidak tsiqah oleh Ibnu Hibban dan nyaris tidak dikenal menurut al-Dzahabi.
Demikian juga hadits dalam riwayat Al-Thabarani menyebutkan bahwa warna al-Rayah Nabi adalah merah,
“أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم عَقَدَ رَايَةً لِبَنِي سُلَيْمٍ حَمْرَاءَ”.
Hadits ini dha’if karena ada rawi yang tidak dikenal menurut al-Haitsami dan Ibnu Hajar.
Terakhir, hadits riwayat Imam Ibnu Hibban, Ahmad, dan Abu Ya’la yang juga menyebutkan al-Rayah berwarna merah dan statusnya shahih, kasusnya sementara di awal-awal urusan ini ketika di masa jahiliyah juga awalnya menggunakan al-Rayah warna hitam,
وكان أمام هوازن رجل ضخم ، على جمل أحمر ، في يده راية سوداء ، إذا أدرك طعن بها ، وإذا فاته شيء بين يديه ، دفعها من خلفه ، فرصد له علي بن أبي طالب رضوان الله عليه ، ورجل من الأنصار كلاهما يريده
*Bentuk*
Bentuk Al-Rayah dan Al-Liwa’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu persegi empat. Al-Barra’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu menuturkan,
أَنَّ رَايَة رَسُول اللَّه صلى الله عليه وسلم كَانَتْ سَوْدَاء مُرَبَّعَة مِنْ نَمِرَة
Al-Rayah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwarna hitam, persegi empat, terbuat dari kain wol Namirah (HR. Al-Tirmidzi, Al-Nasa’i dan Al-Baghawi).
*Fungsi dan Kegunaan*
Apakah fungsinya hanya untuk perang? Memang awalnya begitu,al-Rayah adalah panji-panji perang, dan al-Liwa simbol kepemimpinan umum. Hal ini bertolak dari fakta bahwa al-Liwa dan al-Rayah itu selalu dibawa oleh komandan perang di jaman Rasulullah dan para Khulafa Rasyidin. Misalnya pada saat Perang Khaibar. Demikian juga, al-Rayah dan al-Liwa sebagai pemersatu umat Islam. Imam Abdul Hayy Al-Kattani menjelaskan rahasia (sirr) tertentu yang ada di balik suatu bendera, yaitu jika suatu kaum berhimpun di bawah satu bendera, artinya bendera itu menjadi tanda persamaan pendapat kaum tersebut (ijtima’i kalimatihim) dan juga tanda persatuan hati mereka (ittihadi qulubihim).
*Tulisan dan Khat*
Terkait tulisan dan khat, dan ukuran itu hanyalah perkara teknis, yang dalam sejarahnya hal tersebut tidak diatur secara rinci. Tentu saja tidak bijak kalau persoalan teknis ini dijadikan argumetasi untuk menggugurkan syariat terkait al-Rayah dan al-Liwa’. Itu juga yang terjadi pada khat penulisan al-Qur’an. Ketidak-pastian khat tidak boleh menjadi dasar penolakan pada al-Qur’an.
Seperti halnya ketika ada dalil umum yang tidak dijelaskan wasilahnya, maka berarti wasilah tersebut mubah. Jadi ini bukan isu utama. Saya kira persoalannya sederhana, tidak malah menjadi rumit pada perkara yang memang mubah. Yang paling penting itu bahwa al-Rayah (hitam) dan al-Liwa (putih) dengan tulisan لا إله إلا الله محمد رسول الله adalah perkara yang masyru’.
*Penamaan*
Adapun penamaan al-Rayah dengan sebutan al-uqab, terdapat beberapa hadits sebagai berikut:
Hadits riwayat Al-Baihaqi,
عن عائشة ، قالت : « كان لواء رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم الفتح أبيض ورايته سوداء ، قطعة مرط مرجل ، وكانت الراية تسمى العقاب
Hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah,
عن الحسن قال كانت راية النبي صلى الله عليه و سلم سوداء تسمى العقاب
Hadits riwayat Ibnu Adiy,
عن أبي هريرة كانت راية رسول الله صلى الله عليه و سلم سوداء تسمى العقاب
Dan masih banyak hadits lainnya. Dari semua hadits tersebut derajatnya dha’if karena berbagai sebab (mudallas, matruk, tidak tsiqah, majhul, dll). Terlalu panjang kalau dijabarkan disini. Meski demikian, nama al-uqab sangat masyhur di kalangan para ahli sirah/sejarah, maghazi, fiqih, dan hadits untuk menyebut bendera Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagian pihak rupanya hanya kritik dalil (hadits) panji dan bendera Rasulullah, tetapi tidak menggugat dalil bendera negara bangsa yang tidak punya dalil sedikitpun, walau hanya atsar yang dha’if. Maka bersikap adil-lah.
*Harus Diagungkan*
Lafazh “لا إله إلا الله محمد رسول الله” merupakan ‘alamah atau ciri khusus dalam Islam. Ciri keagungan Islam kalau bukan kalimat tauhid, lantas apa lagi? Karena misi Islam dalam dakwah dan jihad adalah dalam rangka meninggikan kalimat Allah Azza Wa Jalla. Sebagai simbol tauhid (aqidah Islam) al-rayah dan al-liwa merupakan syi’ar pemersatu. Bendera fanatismelah yang merupakan propaganda pemecah-belah. Bendera bukan tanda ketauhudin seseorang, tetapi syi’ar akan keagungan kalimat tauhid.
Lafazh itu adalah harga bagi surga. Suatu saat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mendengar muadzin mengucapkan ’Asyhadu alla ilaha illallah’. Lalu beliau mengatakan pada muadzin tadi,
خَرَجْتَ مِنَ النَّارِ
Engkau terbebas dari neraka. (HR. Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ
Barangsiapa yang akhir perkataannya sebelum meninggal dunia adalah ‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga. (HR. Abu Daud)
Lafazh tersebut juga merupakan dzikir yang paling utama. Hal ini sebagaimana terdapat pada hadits yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam (hadits marfu’),
أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
Dzikir yang paling utama adalah bacaan ’laa ilaha illallah’. (HR. Al-Tirmidzi)
Kalimat tauhid adalah yang menyatukan bangsa dan warna kulit, menjadikan umat Islam kuat, dan pengingkaran pada penghambaan selain pada Allah, hanya berhukum pada aturan Allah dan mengingkari aturan selain dari padaNya.
*Pembakaran*
Pembakaran bendera tauhid (al-Rayah) akhir-akhir ini merupakan tindakan pelecehan yang tidak dapat dibenarkan. Keliru juga jika diqiyaskan dengan pembakaran al-Qur’an pada masa Utsman. Konteks pembakaran mushaf di masa pemerintahan Khalifah 'Utsman radhiyallahu ‘anhu adalah: (1) Standarisasi mushaf, sehingga teks yang dipakai hanya teks yang diproduksi pemerintah, yang tentunya standar dalam masalah jumlah halaman, baris, bentuk kata. Adapun isinya tetap sama; dan (2) Standarisasi mushaf dilakukan oleh pemegang otoritas syari'at, yakni di antara Khulafa Rasyidin, yang wajib ditaati. Apa yang diputuskannya masuk dalam bagian syari'at Islam. Sehingga kalau diqiyaskan dengan pembakaran bendera tauhid oleh salah satu oknum ormas tertentu adalah salah kaprah (qiyas ma’al fariq).
Demikian juga terlalu dipaksakan jika diqiyaskan dengan hukum pembakaran al-Qur’an agar tidak tercecer dan terhinakan. Jika mushaf atau lembaran bertuliskan al-Qur'an itu sudah tidak terpakai, dan dikhawatirkan terhinakan jika masih dalam bentuknya, maka dianjurkan ia dibakar, sebagai penghormatan terhadap al-Qur'an dan menjauhkannya dari penghinaan. Sebaliknya, jika mushaf atau lembaran al-Qur'an itu masih terpakai, kemudian dibakar karena kebencian terhadapnya atau kebencian terhadap muslim yang menggunakannya, ini jelas haram.
*Catatan Akhir: Melepaskan Bendera Fanatisme*
Kebalikan dari panji agung Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah panji fanatisme. Rasul bersabda,
مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ ثُمَّ مَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً وَمَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِلْعَصَبَةِ وَيُقَاتِلُ لِلْعَصَبَةِ فَلَيْسَ مِنْ أُمَّتِى وَمَنْ خَرَجَ مِنْ أُمَّتِى عَلَى أُمَّتِى يَضْرِبُ بَرَّهَا وَفَاجِرَهَا لاَ يَتَحَاشَ مِنْ مُؤْمِنِهَا وَلاَ يَفِى بِذِى عَهْدِهَا فَلَيْسَ مِنِّي
Siapa yang keluar dari ketaatan dan memecah-belah jamaah (umat Islam), lalu mati, dia mati dalam keadaan mati jahiliah. Siapa yang terbunuh di bawah panji buta, dia marah untuk kelompok dan berperang untuk kelompok, dia bukan bagian dari umatku. Siapa saja yang keluar dari umatku untuk memerangi umatku, memerangi orang baik dan jahatnya, serta tidak takut akibat perbuatannya atas orang Mukminnya dan tidak memenuhi perjanjiannya, dia bukanlah bagian dari golonganku.” (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Nasa’i).
Dalam redaksi lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ وَخَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ فَمَاتَ فَمِيتَتُهُ جَاهِلِيَّةٌ وَمَنْ خَرَجَ عَلَى أُمَّتِى بِسَيْفِهِ يَضْرِبُ بَرَّهَا وَفَاجِرَهَا لاَ يُحَاشِى مُؤْمِناً لإِيمَانِهِ وَلاَ يَفِى لِذِى عَهْدٍ بِعَهْدِهِ فَلَيْسَ مِنْ أُمَّتِى وَمَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِلْعَصَبِيَّةِ أَوْ يُقَاتِلُ لِلْعَصَبِيَّةِ أَوْ يَدْعُو إِلَى الْعَصَبِيَّةِ فَقِتْلَتُهُ جَاهِلِيَّةٌ
Siapa saja yang memecah-belah jamaah dan keluar dari ketaatan, lalu mati, maka dia mati jahiliah. Siapa saja yang keluar menyerang umatku dengan pedangnya, ia memerangi orang baik dan orang jahatnya, tidak takut akibat perbuatannya menimpa orang Mukmin karena keimanannya dan tidak memenuhi perjanjiannya, dia bukan bagian dari umatku. Siapa saja yang terbunuh di bawah panji buta, dia marah karena ‘ashabiyah, atau berperang untuk ‘ashabiyah atau menyerukan ‘ashabiyah, maka dia mati jahiliah (HR. Ahmad).
Imam al-Al-Baihaqi mengeluarkan hadits ini dalam Syu’ab al-Iman dari Abu Hurairah dengan redaksi,
… وَمَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِيَّةٍ يَغْضَبُ لِلْعَصَبِيَّةِ، وَيَنْصُرُ لِلْعَصَبِيَّةِ، وَيَدْعُوْ لِلْعَصَبِيَّةِ فَقِتْلَتُهُ جَاهِلِيَّةٌ
…Siapa saja yang terbunuh di bawah panji buta, dia marah karena ‘ashabiyah, menolong karena ‘ashabiyah dan menyerukan ‘ashabiyah, maka dia mati jahiliah.
Maknanya adalah haram menyeru, membela dan berperang demi ‘ashabiyah. Hadits di atas, meski redaksinya berita, karena disertai celaan, maknanya adalah larangan. Qarinah yang ada menunjukkan ketegasan larangan itu, yaitu qarinah “falaysa min ummati” atau “faqitlatuhu jahiliyyah” atau disebut sebagai al-Rayah ‘ummiyah.
Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim menyatakan, “Al-Rayah ‘ummiyyah adalah perkara buta yang tidak jelas arahnya. Begitulah yang dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal dan jumhur ulama.” Mula Ali al-Qari di dalam Mirqah al-Mafatih mengatakan, “Di dalam kamus al-‘ummiyyah artinya kesombongan (al-kibru) dan kesesatan (al-dhalal).”
...
[Selasa, 23 Oktober 2018, sebuah tulisan lama saya (Tanggapan terhadap Nadirsyah Hosen awal 2017 lalu) yang didaur ulang]