Selasa, 30 Juni 2020

hukum membunuh nyamuk dengan raket listrik

HUKUM MEMBUNUH NYAMUK DENGAN RAKET LISTRIK

Oleh: Ust Shidiq Al-Jawi

SOAL :

Bagaimanakah hukum Shinyoku ? Shinyoku adalah merek suatu alat pembunuh nyamuk dengan aliran listrik (setrum). Alat ini bentuknya sepeti raket bukutangkis, tapi senarnya berupa kawat yang dialiri aliran listrik dari baterai. Jika nyamuk melintasi senar tersebut, ia akan kesetrum dan terbakar. (Multazim, Yogya)

JAWAB :           

Hukum menggunakan alat tersebut adalah haram, sebab syariat Islam mengharamkan penggunaan api untuk membunuh atau menyiksa binatang. Termasuk di dalam kategori api adalah segala sarana yang mempunyai khasiat membakar seperti api, misalnya listrik.  Dalilnya adalah hadits-hadits yang mengharamkan kita membakar binatang dengan api (al-harq bi al-nar). Di antaranya hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud RA, bahwa beberapa sahabat dan Nabi SAW suatu saat dalam rombongan perjalanan. Kata Ibnu Mas’ud, Nabi SAW melihat ada sarang semut yang kami bakar. Lalu Nabi SAW bertanya,”Siapa yang membakar sarang ini?” Kami menjawab,”Kami.” Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya siapa pun tidak pantas menyiksa dengan api, kecuali tuhannya api itu sendiri.” (HR. Abu Dawud, dengan isnad hasan. Lihat Imam Nawawi, Riyadhus Shahlihin, Terjemahan Muslich Shabir, Jilid II, hal. 467, Semarang : CV Toha Putra, 1981).

Syaikh Abdurrahman Al-Maliki dalam kitabnya Nizham Al-‘Uqubat  hal. 157 (Beirut : Darul Ummah, 1990) mengomentari hadits-hadits dalam topik tersebut dengan mengatakan,”Semua hadits di atas dengan jelas menunjukkan haramnya menyiksa dengan cara membakar dengan api. Termasuk juga apa saja yang masuk dalam kategori api, yaitu segala sesuatu yang mempunyai khasiat membakar, misalnya listrik.”

Dengan demikian jelaslah, bahwa haram hukumnya menggunakan alat pembunuh serangga dengan listrik seperti Shinyoku, berdasarkan dalil hadits di atas. Perlu kami tambahkan, bahwa Syaikh Abdurrahman Al-Maliki sebenarnya berbicara masalah teknik menjatuhkan hukuman mati dalam sistem pidana Islam. Jadi, sebenarnya yang beliau maksudkan adalah haram hukumnya menjatuhkan hukuman mati kepada manusia dengan cara dibakar dengan api. Atau dengan suatu sarana yang sifatnya membakar seperti api, misalkan kursi listrik. Tetapi hadits-hadits yang ada sebenarnya bersifat umum, yaitu mencakup manusia dan binatang. Bukan hanya manusia. Kaidah ushul menetapkan :

Al-‘aam yabqaa ‘ala umumihi maa lam yarid dalil at-takhshish (“Lafazh umum tetap dalam keumumannya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.”)

Berdasarkan penjelasan di atas, keharaman yang terdapat dalam hadits mencakup juga penggunaan listrik untuk membunuh binatang dalam bentuk atau cara lain. Misalnya, memasang kawat beraliran listrik di sekeliling kebun atau kolam, dengan maksud untuk melumpuhkan/membunuh hama yang merugikan, misalnya babi hutan dan sebagainya. Atau menggunakan listrik untuk berburu ikan di sungai dengan menggunakan strum dari aki. Termasuk juga pistol yang dapat melontarkan tenaga listrik dalam voltase tertentu sehingga sasaran (orang) akan kesetrum dan pingsan. Semua ini adalah haram karena termasuk dalam penggunaan listrik yang sifatnya seperti api.
 
Selain menggunakan, memperdagangkan alat-alat seperti Shinyoku dan semisalnya, juga diharamkan oleh syara’. Ini berdasarkan kaidah syariat Islam : Kullu maa hurrimaa ‘ala al-‘ibaad fabay’uhu haraam  (Segala sesuatu yang diharamkan atas hamba, maka memperjualbelikannya adalah haram juga) (Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz II, hal. 248). Wallahu a’lam. 

Yogyakarta, 27 September 2004

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

Minggu, 28 Juni 2020

hukum membeli emas custom

TERNYATA HARAM 😞.. ASTAGHFIRULLOH..beginilah ktika hidup tdk diatur Syariat ISLAM byk ketdak tahuan

*Hukum Memesan Cicin Nikah Dari Emas Secara Custom*

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

Tanya :

Ustadz, bagaimana hukumnya kalau ada yang memesan cincin nikah dari emas, bukankah harus disesuaikan dengan bentuk dan ukuran costumer? Bagaimanakah solusinya? (Yuyun, Yogyakarta)

Jawab :

Haram hukumnya memesan cincin nikah dari emas secara custom, yaitu sesuai request dari pembeli. Sebab pada pemesanan tersebut, yang hakikatnya akad jual beli emas, tidak terjadi serah terima (taqâbudh) emas secara segera di majelis akad. Karena penjual dipastikan memerlukan waktu untuk membuat cincin emas sesuai pesanan pembeli sehingga terjadi penundaan penyerahan cincin emas tersebut dari majelis akad.

Padahal, terjadinya serah terima (taqâbudh) di majelis akad merupakan syarat bagi sahnya jual beli emas, yaitu terjadi pembayaran oleh pihak pembeli dan penyerahan emas oleh pihak penjual di majelis akad. Jika salah satunya tidak diserahkan di majelis akad, baik uang pembayarannya maupun fisik emasnya, atau kedua-duanya tidak diserahterimakan di majelis akad, jual beli emas itu tidak sah dan hukumnya haram.

Dalil wajibnya serah terima (taqâbudh) emas dan uang pembayarannya di majelis akad, adalah sabda Rasulullah SAW :

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

"Emas ditukarkan (dijual) dengan emas, perak ditukarkan dengan perak, gandum ditukarkan dengan gandum, jewawut (asy sya’îr) ditukarkan dengan jewawut, kurma ditukarkan dengan kurma, garam ditukarkan dengan garam, harus sama takarannya/timbangannya (mitslan bi-mitslin sawâ`n bi-sawâ`in), dan harus dilakukan secara kontan di majelis akad (yadan biyadin). Maka apabila yang ditukarkan itu berbeda jenis-jenisnya, maka juallah sesuka kamu, asalkan tetap dilakukan secara kontan di majelis akad (yadan biyadin)." (HR Muslim, no. 1587).

Hadis di atas menunjukkan bahwa jual beli emas disyaratkan wajib dilakukan secara yadan biyadin, yaitu terjadi serah terima (taqâbudh) di majelis akad, baik ketika emas itu dijualbelikan dengan sesama emas, ataupun ketika emas dijualbelikan dengan barang-barang ribawi lainnya selain emas (seperti perak). Dan emas yang dimaksudkan dalam hadis ini dan hadis-hadis lain yang semisalnya, adalah emas secara umum, termasuk di dalamnya emas perhiasan (al hullî), tidak terbatas pada emas dalam arti alat tukar (dinâr) saja.

Imam Syaukani mengatakan,”Sabda Rasulullah SAW yang berbunyi al dzahab bi al dzahab [emas ditukarkan/dijual dengan emas] mencakup semua jenis emas, baik itu emas cetakan (madhrûb) maupun emas berukir (manqûsy, engraved), emas yang kualitasnya baik maupun yang kualitasnya buruk, emas yang utuh (shahîh) maupun yang terputus/terpotong (maksûr), emas yang berbentuk perhiasan (hulli) maupun emas yang berbentuk bijih emas (tibr), emas murni maupun emas campuran…” (Imam Syaukani, Nailul Authâr, Beirut : Dâr Ibn Hazm, 2000, hlm. 1059).

Maka dari itu, haram hukumnya memesan cincin nikah dari emas secara custom, yaitu sesuai request (permintaan) dari pihak pembeli, karena dalam akad jual belinya tidak terjadi serah terima (taqâbudh) emas secara kontan di majelis akad.

Pemesanan emas secara custom ini menurut para fuqoha Hanafiyah disebut jual beli istishnâ’, yaitu jual beli pesan yang mensyaratkan pembuatan oleh penjual; atau disebut jual beli salam, yaitu jual beli pesan menurut jumhur fuqoha (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) yang menganggap jual beli istishnâ’ sama saja dengan jual beli salam (pesan). Namun apakah digolongkan jual beli istishnâ atau jual beli salam (pesan), jika yang dijual belikan emas, hukumnya haram menurut empat mazhab tersebut, karena tidak terjadi taqâbudh emas di majelis akad.

Solusinya, pembeli terlebih dulu membeli bahan mentah emas dari penjual secara kontan di majelis akad. Setelah itu, pembeli menyerahkan bahan mentah emas kepada penjual dengan akad ijârah, untuk dibuatkan cincin nikah sesuai pesanan pembeli. Wallâhu a’lam.

Rabu, 24 Juni 2020

perbedaan hudud, jinayat dll. hukum mencolok mata

/ Harga Sebuah Mata dalam Syariat Islam /

Oleh: Wardah Abeedah

#Fikih

Di sebagian kalangan thullabul ilmi, nama Qadli Syuraih tentunya sudah tak asing. Salah satu tabi’in yang menjadi qadli (hakim) di masa kekhalifahan Amiirul mukminin Umar bin Khaththab hingga khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu ini, terkenal dengan kisahnya yang memenangkan lelaki Yahudi di atas khalifah Ali dalam kasus persengketaan perisai, atau dalam riwayat lain, persengketaan baju besi. Nama Qadli Syuraih mewangi hingga kini. Namanya selalu disebut setiap ulama mencontohkan keadilan hukum dalam sistem Islam, atau dalam catatan emas sejarah khilafah Islam. Sang Qadli adil ini bahkan pernah memenjarakan anaknya sendiri yang menjamin seorang fakir yang berhutang namun tak sanggup membayar hutang tersebut.

Figur Qadli Syuraih nampaknya langka di negeri berbentuk republik sekuler. Beberapa hari yang lalu, tagar #GaSengaja heboh di jagat twitter. Tagar ini menjadi trending setelah diputuskannya vonis 1 tahun penjara pada pelaku penyiraman air keras pada Novel Baswedan. Banyak tokoh nasional mengecam vonis tersebut. Mereka menyebut hal ini bukti menjadi bukti bobroknya hukum dan mahalnya keadilan di negeri yang sudah 70 tahun lebih menerapkan demokrasi ini.

Di antara yang meringankan hukuman pelaku adalah pengakuan tak sengaja, padahal begitu banyak fakta yang bisa dipergunakan untuk mengingkarinya. Pengabdian pelaku selama 10 tahun di institusi kepolisian juga turut meringankan hukuman tersebut. Meski pelaku orang yang faham hukum, korban adalah penyidik dari institusi yang melawan korupsi -sebuah kriminalitas besar yang masih menjadi PR besar di Indonesia-, apalagi akibat perbuatan pelaku adalah cacatnya wajah dan mata, namun hal ini sama sekali tak menjadi pertimbangan hakim untuk memutuskan hukuman yang membuat jera.

Ya, nampaknya keadilan memang begitu langka di negara manapun demokrasi tegak. Baru saja heboh kasus kematian George Floyd oleh polisi yang memantik protes besar ketidakadilan dan perilaku rasis polisi AS selama ini, di Indonesia kembali ketidakadilan hukum menghebohkan seantero negeri.

===

Islam Mewujudkan Keadilan

Berbeda halnya dengan penetapan hukum dan sistem peradilan dalam demokrasi. Hukum Islam digali dari Al-Qur'an, as-Sunnah dan apa yang ditunjukkan keduanya dari ijma’ dan qiyas. Sumbernya adalah wahyu, metode penggaliannya juga tasyri’i melalui ijtihad syar’i.

Dalam hal uqubat atau sistem sanksi, sanksi dibagi menjadi empat macam; yaitu hudud, jinayat, ta’zir, dan mukhalafat. Hudud adalah sanksi – sanksi atas kemaksiatan yang telah ditetapkan kadarnya (dan menjadi) hak Allah. Ta’zir adalah sanksi bagi kemaksiatan yang di dalamnya tidak ada had dan kafarat. Adapun mukhalafat adalah uqubat yang dijatuhkan oleh penguasa kepada orang yang menentang perintah penguasa (baik khalifah atau lainnya seperti wali, muawwin/wazir, dll) yang memang berwenang memberi perintah. Sedangkan jinayat adalah pelanggaran terhadap badan yang didalamnya mewajibkan qishash atau harta (diyat). Juga bermakna sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap tindak penganiayaan.

Pencideraan terhadap mata, sebagaimana kasus Novel Baswedan termasuk dalam jinayat yang mewajibkan pembayaran diyat dengan kadar sesuai ketentuan syariah bagi korban. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ,

Dari Abu Bakar bin Muhammad bin “Amril bin Hazm dan’ bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah ﷺ telah menulis surat kepada penduduk Yaman. Di dalam surat tersebut di tulis, “Barangsiapa terbukti membunuh seorang wanita mukmin, maka ia dikenai qawad (qishash), kecuali dimaafkan oleh wali pihak yang terbunuh. Diyat dalam jiwa 100 ekor unta, Pada hidung yang terpotong dikenakan diyat, pada lidah ada diyat, pada dua bibir ada diyat, pada dua buah pelir dikenakan diyat, pada penis dikenai diyat, pada tulang punggung dikenakan diyat, pada pada dua biji mata ada diyat pada satu kaki 1/2 diyat, pada ma’mumah ( luka yang sampai selaput batok kepala) 1/3 diyat, pada jaifah (luka yang dalam) 1/3 diyat, pada munaqqilah (luka sampai ke tulang dan mematahkannya) 15 ekor unta, pada setiap jari kaki dan tangan 10 ekor unta, pada gigi 5 ekor unta, pada muwadldlihah (luka yang sampai ke tulang hingga kelihatan) 5 ekor unta, dan seorang Iaki-laki harus dibunuh karena membunuh seorang perempuan, dan bagi pemilik emas, 1000 dinar. (HR an-Nasa’iy)

Atas dasar hadis di atas, sanksi atas penyerangan anggota badan adalah diyat, atau irsiy, bukan yang lain. Begitu pula sanksi bagi pencideraan organ mata. 

===

Dalam hadis lain yang diriwayatkan Imam Malik dalm Muwattha’nya, Rasulullah ﷺ juga bersabda,

وفي العين الواحدة خمسون من الإبل

“Pada satu biji mata, diyatnya 50 ekor unta”

Jika hilangnya penglihatan telah terbukti, dan ahli mata menyatakan penglihatannya tidak ada harapan pulih seperti semula, maka pelaku wajib dikenai separuh diyat, yakni membayar 50 unta bagi korban.

Inilah salah satu hikmah syariah terkait uqubat dalam Islam. Penerapan syariah bertujuan untuk menjaga nyawa hifdzun nafs, termasuk menjaga organ tubuh manusia. Syariah mengatur sempurna penjagaan dan pemeliharaan nyawa, juga kesehatan tubuh. Mengharamkan puasa wishal dan hal lain yang dapat memudaratkan tubuh. Begitu pula mengharamkan mendatangkan mudarat bagi tubuh orang lain.

===

Selain itu, sistem peradilan dalam Islam diatur sempurna hingga terwujud keadilan sebagaimana tercatat dalam tinta emas sejarah, ketika khilafah rasyidah yang pertama tegak berabad lalu. Sistem itu tegak tanpa memandang muslim atau kafir dzimmiy yang menjadi warga negara khilafah. Pun tanpa melihat ras, suku, dan lainnya. Bahkan masyhur bagaimana Kanjeng Nabiﷺ berikrar, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, maka pasti aku potong tangannya. Sabda ini menjadi sebuah prinsip bagi pemimpin dan qadli berikutnya dalam menegakkan keadilan ketika menerapkan sistem peradilan/sanksi dalam Islam. Allahu a’lam.

===
Sumber:
https://suaramubalighah.com/2020/06/16/harga-sebuah-mata-dalam-islam/

—————————————