Selasa, 30 November 2021

hukum kode unik

Hukum Kode Unik dalam Transfer

Oleh: K.H. M. Shiddiq Al Jawi

FIKIH – Kode unik pembayaran adalah nominal yang biasanya bernilai 3 digit yang ditambahkan pada 3 angka terakhir jumlah pembayaran. Kode unik menggunakan angka 1—999 (biasanya nilainya kurang dari Rp1.000).

Misalnya, total pembayaran sebesar Rp147.000, jika ditambahkan kode unik biasanya akan berubah menjadi Rp147.356. Biasanya kode unik pembayaran akan muncul ketika kita berbelanja atau melakukan transaksi pembayaran online yang menggunakan sistem konfirmasi pembayaran secara otomatis.

Kode unik biasanya terdapat dalam transaksi belanja online yang sifatnya komersial, seperti saat kita belanja di marketplace, seperti di Tokopedia, dan lain-lain. Namun kode unik juga terdapat dalam transaksi lainnya yang bersifat nonkomersial, misalnya transaksi donasi, transaksi sumbangan kematian, dan sebagainya. Misalnya, ada teman kita yang sakit dan memerlukan dana besar. Maka siapa saja yang akan membayar donasi untuk teman tersebut, diminta menyertakan kode unik oleh pihak penerima donasi (misal 021). Misal total donasi sebesar Rp2.000.000, jika ditambahkan kode unik, yang dibayarkan sebesar Rp2.000.021.

Fungsi Kode Unik

Kode unik setidaknya mempunyai 2 (dua) fungsi:

Pertama, kode unik berfungsi sebagai kode verifikasi, yakni berperan sebagai tanda pengenal pembayaran yang menjadi pembeda dengan pembayaran dari pihak lain. Dengan melakukan transfer sesuai dengan kode unik, proses verifikasi pembayaran akan lebih cepat, jika dibandingkan dengan pembayaran tanpa kode unik.

Kedua, selain itu, kode unik juga akan memastikan dana yang telah ditransfer tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak lain yang tak bertanggung jawab.

Hukum Kode Unik

Hukum kode unik dalam fikih Islam dapat diperinci menjadi 2 (dua) hukum syarak sebagai berikut:

Pertama, hukum kode unik adalah haram (tidak boleh), jika akad yang ada akad utang (dain). Misalnya, kode unik ketika pihak peminjam (debitur, al madin) mentransfer pembayaran pinjaman (qardh) kepada pihak kreditur (al da`in).

Keduahukum kode unik adalah mubah (boleh), jika akad yang ada bukan akad utang (dain). Misalnya, kode unik ketika  pihak donatur mentransfer donasi sosial (sumbangan untuk teman sakit, sumbangan dana kematian, dan sebagainya) kepada pihak lain.

Penjelasan Dalil

Pertama, hukum kode unik adalah haram (tidak boleh), jika akad yang ada akad utang (dain). Kode unik dihukumi riba karena merupakan tambahan yang disepakati (ziyadah masyruthah) dalam akad utang piutang (ad dain). Tambahan yang disepakati (ziyadah masyruthah) ini termasuk riba. Padahal telah terdapat dalil umum yang mengharamkan riba pada akad utang piutang (Lihat QS Al Baqarah : 275).

Berikut kutipan pendapat para ulama yang menetapkan bahwa tambahan yang disepakati (ziyadah masyruuthah) dalam akad utang piutang (ad dain), adalah riba yang diharamkan:

Pertama:

قال ابن تيمية : وقد اتفق العلماء على أن المقترض إذا اشترط زيادة على قرضه كان ذلك حرامًا 

Imam Ibnu Taimiyyah berkata, “Ulama telah sepakat bahwa pemberi pinjaman (qardh) jika mensyaratkan tambahan atas pinjamannya (qardh), maka tambahan itu haram.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, Juz 29, hlm. 334).

Kedua:

قال ابن قدامة كل قرض شرط فيه أن يزيده فهو حرام بغيرخلاف

Imam Ibnu Qudamah berkata, ”Setiap pinjaman (qardh) yang mensyaratkan adanya tambahan padanya, maka tambahan itu haram tanpa perbedaan pendapat.” (Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz 4, hlm. 360).

Ketiga:

قال الجصا ص: ولا خلاف أنه لو كان عليه ألف درهم حالة، فقال: أجلني أزيدك فيها مائة درهم، لايجوز…

Imam Al Jashshash berkata, Tidak ada perbedaan pendapat bahwa kalau seseorang punya kewajiban membayar 1.000 dirham secara kontan, lalu dia berkata, ’Berilah aku tangguh dan aku akan tambah 100 dirham,’ maka itu tidak boleh…” (Imam Al Jashshash, Ahkamul Qur`an, Juz 1, hlm. 467).

Keempat:

قال ابن عبد البر: أجمع العلماء من السلف والخلف على أن الربا الذي نزل بالقرآن تحريمه هو: أن يأخذ الدائن لتأخير دينه بعد حلوله عوضًا عينيًا أوعرضًا…

Imam Ibnu Abdul Barr berkata,”Telah sepakat para ulama dari generasi salaf dan khalaf, bahwa riba yang pengharamannya turun dalam AlQur`an adalah seorang pemberi utang mengambil kompensasi uang atau barang karena penundaan utangnya setelah jatuh tempo…“ (Ibnu Abdil Barr, Al Kafi, Juz 2, hlm. 633)

Kelima:

قال ابن المنذرأجمعوا على أن المسلف إذا شرط على المستسلف زيادة أو هدية فأسلف على ذلك، أن أخذ الزيادة على ذلك ربا

Imam Ibnul Mundzir berkata, ”Mereka (para ulama) sepakat bahwa pemberi pinjaman jika mensyaratkan kepada penerima pinjaman suatu tambahan atau hadiah, lalu dia memberikan pinjaman atas syarat itu, maka pengambilan tambahan atas pinjaman itu adalah riba.” (Ibnul Mundzir, Al Ijma‘, dikutip oleh Ibnu Qudamah, dalam kitab Al Mughni, Juz 6, hlm. 436).

Kesimpulannya, dari berbagai kutipan pendapat para ulama di atas, tambahan yang disyaratkan pada akad utang adalah riba yang jelas, atau sesuatu yang sangat mirip dengan riba yang telah diharamkan.

Maka dari itu, kode unik pada akad-akad utang (dain) adalah haram, karena merupakan tambahan yang telah dipersyaratkan (disepakati) pada akad utang, walaupun nominalnya kecil (biasanya kurang dari Rp1.000). Walaupun nominalnya kecil, tetapi riba tetaplah riba, tidak berarti kalau nominalnya kecil lalu kode unik itu hukumnya berubah menjadi halal.

Perhatikan kutipan dari Ibnu Abdill Barr sebagai berikut:

قال ابن عبد البر: و كل زيادة في سلف أو منفعة ينتفع بها المسلف فهي ربًا ولو كانت قبضة من علف، وذلك حرام إن كان بشرط

Imam Ibnu Abdul Barr berkata, ”Setiap tambahan dalam pinjaman atau manfaat yang dinikmati pemberi pinjaman, maka ia adalah riba, meski hanya segenggam pakan ternak. Itu haram jika disyaratkan.” (Ibnu Abdil Barr, Al Kafi, Juz 2, hlm. 359).

Penjelasan dalil kedua, hukum kode unik adalah mubah (boleh), jika akad yang ada bukan akad utang (dain). Dalilnya adalah dalil umum dari hadis Rasulullah saw. yang membolehkan ada berbagai syarat dan ketentuan (S&K), (disebut syarat ja’li), antara dua pihak, selama syarat itu tidak melanggar syariat. Termasuk syarat ini adalah menambahkan besarnya pembayaran dengan kode unik.

Sabda Rasulullah saw.,

والمسلمونَ على شروطِهم إلَّا شرطًا حرَّم حلالًا أو أحَلَّ حرامًا

“Dan kaum muslimin itu [bermuamalah] menurut syarat-syarat di antara mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau syarat yang menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi, no. 1352, Ibnu Majah, no. 2353, Abu Dawud, no. 3594, hadis sahih, lihat Nashiruddin Albani dalam Shahih At Tirmidzi dan Shahih Abu Dawud).

Adapun syarat bahwa kode unik yang dibolehkan itu akadnya bukan akad utang, dikarenakan adanya larangan memberikan tambahan yang disepakati (ziyadah masyruuthah) pada akad utang. Tambahan yang disepakati pada akad utang ini, dilarang karena merupakan riba. Lihat kembali kutipan pendapat para ulama yang mengharamkan tambahan yang disepakati dalam akad utang.

Kesimpulan Hukum Kode Unik

Hukum kode unik dalam fikih Islam dapat diperinci menjadi 2 (dua) hukum syarak sebagai berikut:

Pertama, hukum kode unik adalah haram (tidak boleh), jika akad yang ada akad utang (dain); Keduahukum kode unik adalah mubah (boleh), jika akad yang ada bukan akad utang (dain). 

Rabu, 24 November 2021

hukum jual beli di masjid

HUKUM BERJUAL BELI DI MASJID
 
Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi

 

Tanya :

Ustadz, afwan mau tanya, yang dimaksud larangan jual beli di masjid itu batasannya bagaimana ya? Apakah yang dilarang itu menggelar lapaknya, atau promosi saja dengan lisan sudah dilarang, atau sekedar serah terima barang sudah dilarang? (Dwi Condro Triono, Bantul)

 

Jawab :
 Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum berjual beli di masjid menjadi dua pendapat. Pertama, jumhur ulama berpendapat berjual beli di masjid hukumnya makruh. Akad jual belinya sah, selama memenuhi segala rukun dan syarat jual beli, tetapi disertai kemakruhan. Ini adalah pendapat ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i. Kedua, sebagian ulama, yaitu dari mazhab Hambali, berpendapat berjual beli di masjid hukumnya haram. Jadi akad jual belinya haram dan jual belinya dianggap tidak sah (batil). (Ibnu Habiirah, Ikhtilaaf Al A`immah Al ‘Ulamaa`, Juz I, hlm. 348; Al Buhuuti, Kasysyaaf Al Qinaa’ ‘an Matn Al Iqnaa’, Juz II, hlm. 366).

 

Perbedaan pendapat tersebut berasal dari perbedaan penafsiran hadis Rasulullah SAW yang melarang jual beli masjid, apakah larangan tersebut berarti haram ataukah sekedar makruh. Di antaranya adalah hadis dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Jika kamu melihat orang yang menjual atau membeli di masjid, maka katakanlah,’Semoga Allah tidak memberikan keuntungan pada perdagangan kamu.” (HRTirmidzi, nomor 1321).

 

Juga terdapat riwayat dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, yang berkata,”Rasulullah SAW telah melarang berjual beli di masjid,” (nahaa rasuulullaahi SAW ‘an al syiraa` wa al bai’ fil masjid). (HR Ahmad, Juz XI, hlm. 257; Abu Dawud, nomor 1079).

 

Berdasarkan hadis-hadis di atas, sebagian ulama menafsirkan bahwa larangan (nahi) dalam hadis di atas adalah larangan haram. Sedangkan sebagian ulama lainnya menafsirkan bahwa larangan dalam hadis di atas bukanlah larangan haram, melainkan larangan makruh.

 

Pendapat yang lebih kuat (rajih), adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa larangan berjual beli di masjid hukumnya adalah makruh, bukan haram. Mengapa? Karena larangan (nahi) yang terdapat dalam hadis-hadis tersebut tidaklah disertai dengan qariinah (petunjuk/indikasi) yang melarang dengan tegas (jaazim), yaitu haram. Misalnya, adanya ancaman siksa neraka atau ancaman mati jahiliyyah bagi siapa saja yang berjual beli di masjid. Yang ada hanyalah qariinah yang bersifat tidak tegas (ghairu jaazim), yaitu didoakan “tidak beruntung” bagi orang yang berjual beli di masjid. Padahal sudah dimaklumi bahwa mengalami kerugian dalam perdagangan itu bukanlah suatu dosa dalam Islam. Jadi, hukum berjual beli di masjid adalah makruh, bukan haram. Inilah pendapat yang menjadi pegangan umumnya ulama.

 

Syekh ‘Atha bin Khalil dalam kitabnya Taisiir Al Wushuul Ila Al Ushuul berkata bahwa jika ada suatu larangan (nahi) tetapi disertai dengan qariinah yang tidak tegas (ghairu jaazim), maka larangan itu menunjukkan hukum makruh. (‘Atha bin Khalil, Taysiir Wushuul Ila Al Ushuul, hlm. 19-28).

 

Adapun jawaban untuk pertanyaan di atas, apakah yang dilarang itu termasuk menggelar lapaknya atau promosinya?

Jawabnya; yang dilarang dalam arti makruh adalah melakukan akad jual belinya, termasuk segala sarana (wasilah) yang menuju pada terjadinya akad jual belinya, seperti pemasangan promosinya, atau penggelaran lapaknya, dsb sesuai kaidah fiqih: Al wasa`il tattabi’ al maqashid fi ahkamihaa. (Segala jalan/perantaraan itu hukumnya mengikuti hukum tujuan). (Muhammad Shidqi Al Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyah, Juz XII, hlm. 199). Kaidah ini menerangkan hukum untuk wasilah (jalan/perantaraan) sama dengan hukum untuk tujuan. Maka, menggelar lapak untuk berjual beli di masjid, hukumnya makruh, mengikuti tujuannya yaitu berakad jual beli di masjid yang hukumnya makruh. Wallahu a’lam.

Minggu, 21 November 2021

hukum mengembalikan emas dengan uanb

Fikih] Hukum Meminjam Emas, tetapi Mengembalikannya dalam Uang Rupiah
 4 November 2021

Oleh: K.H. M. Shiddiq al-Jawi

 
MuslimahNews.com, FIKIH – Tanya: Assalamualaikum Ustaz, saya Rohmat (Bogor). Punten mau tanya. Mengenai pinjam-meminjam dinar. Kala itu saya beli 1 dinar seharga Rp2,2 juta, kemudian teman saya pinjam dinar tersebut. Pertanyaan:

 
1. Apakah si peminjam harus mengembalikan dengan bentuk dinar lagi? (walaupun harga dinar sekarang sudah bukan Rp2,2 juta)

 
2. Apakah si peminjam boleh mengembalikan dengan uang tunai saja sebesar Rp2,2 juta? (Rohmat, Bogor).

Jawaban
Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullahi wa barakaatuhu.

 
Hukum asalnya adalah wajib secara syar’i mengembalikan pinjaman (qardh) berupa emas dengan emas yang semisal, baik semisal dalam jenisnya (yakni dikembalikan juga dalam bentuk emas) maupun semisal dalam kuantitasnya (yakni sama beratnya). Tidak boleh mengembalikan pinjaman emas dengan selain emas, misal mengembalikan dengan perak, atau mengembalikan pinjaman emas dengan emas yang berbeda beratnya.

 
Imam Taqiyuddin an-Nabhani berkata,

 
وَالْقَرْضُ يَقَعُ فِيْ كُلَّ شَيْءٍ، فَلاَ يَحِلُّ إِقْرَاضُ شَيْءٍ لِيُرَدَّ إِلَيْكَ أَقَلَّ أِوْ أَكْثَرَ، وَلاَ مِنْ نَوْعٍ آخَرَ أَصْلاً. لَكِنْ مِثْلُ مَا أَقْرَضْتَ فِيْ نَوْعِهِ وَمِقْدَارِهِ

 
“Qardh (pinjaman) itu dapat berlangsung pada segala sesuatu benda [baik harta ribawi maupun harta nonribawi], maka tidak halal meminjamkan suatu harta agar dikembalikan kepadamu dengan jumlah yang lebih sedikit atau yang lebih banyak, dan tidak boleh pula dikembalikan dengan jenis yang lain menurut hukum asalnya. Tetapi pengembalian itu wajib semisal dengan apa yang kamu pinjamkan, dalam jenisnya dan dalam jumlahnya (kuantitasnya).” (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 259, Bab “Ar Riba wa Al Sharf”).

 
Dalilnya adalah hadis bahwa Nabi saw. pernah meminjam (qardh) satu ekor unta dari seseorang, kemudian Nabi saw. mengembalikan pinjaman itu dalam bentuk unta juga, walaupun dengan unta yang lebih gemuk, namun jumlahnya tetap sama, yakni satu ekor unta juga, sesuai hadis riwayat Abu Rafi’ ra. sebagai berikut,

 
عَنْ أَبِي رَافِعٍ قَالَ أنَّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ اسْتَسْلَفَ مِن رَجُلٍ بَكْرًا، فَقَدِمَتْ عليه إبِلٌ مِن إبِلِ الصَّدَقَةِ، فأمَرَ أَبَا رَافِعٍ أَنْ يَقْضِيَ الرَّجُلَ بَكْرَهُ، فَرَجَعَ إلَيْهِ أَبُو رَافِعٍ، فَقالَ: لَمْ أَجِدْ فِيهَا إلَّا خِيَارًا رَبَاعِيًا، فَقالَ: أَعْطِهِ إيَّاهُ، إنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً

 
Dari Abu Rafi’ ra., dia berkata, ”Rasulullah saw. telah meminjam satu ekor unta muda dari seseorang. Lalu datanglah kepada Nabi saw. satu ekor unta dari unta zakat, lalu Rasulullah saw. memerintahkan kepada Abu Rafi’ agar mengembalikan pinjaman orang itu unta mudanya. Lalu Abu Rafi’ kembali kepada Rasulullah saw. dan berkata, ’Tidak aku dapati pada unta zakat itu, kecuali unta khiyaaran rabaa’iyyan (unta yang sudah berumur enam tahun masuk tahun ketujuh).” Lalu Rasulullah saw. bersabda, ‘Berikan saja unta itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik dalam membayar pinjamannya.’” (HR Muslim, Sahih Muslim, no. 1600; Sunan At Tirmidzi, no. 1318)

 
Berdasarkan hadis ini, jelaslah bahwa pengembalian qardh itu wajib memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:

 
(1) dikembalikan dengan barang yang sama jenisnya, yakni meminjam unta dikembalikan unta, dan;

 
(2) dikembalikan dalam jumlah yang sama, yaitu meminjam satu ekor dikembalikan satu ekor juga, bukan dua ekor atau lebih. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 259).

 
Akan tetapi, boleh menurut syarak mengembalikan pinjaman (qardh) berupa emas itu (dinar emas) dengan uang Rupiah, asalkan memenuhi 3 (tiga) syarat sebagai berikut:

 
Pertama, kesepakatan pengembalian dengan uang Rupiah itu dilakukan pada saat jatuh tempo pengembalian pinjaman, bukan pada saat akad utang piutang. Jadi jika kesepakatan pengembalian dengan uang Rupiah itu dilakukan pada saat akad pinjaman (qardh) terjadi, hukumnya tidak boleh (haram).

 
Kedua, pengembalian dengan uang itu menggunakan harga emas pada saat jatuh tempo, bukan harga emas pada saat terjadinya akad utang piutang. Jika harga yang dipakai adalah harga saat utang piutang, hukumnya tidak boleh (haram).

 
Ketiga, pengembalian dengan uang dilakukan secara kontan (cash), yaitu dengan pembayaran satu kali sekaligus lunas, tidak boleh diangsur.

 
Dalil untuk syarat pertama, adalah dalil yang melarang terjadinya riba, yaitu riba nasi’ah. Dalam hal ini riba nasi’ah yang dimaksud berbentuk tambahan waktu jika terjadi pertukaran antara harta ribawi yang terjadi secara tempo (tertunda), padahal yang wajib adalah kontan (yadan biyadin). Dijelaskan dalam situs islamqa.info:

 
ألأصل أن القرض يرد بمثله. فمن اقترض ذهبا، فعليه أن يرد ذهبا، ولا يجوز الاتفاق معه عند القرض، على أن يرد نقودا أو فضة؛ لأن ذلك من الصرف المؤجل، وهو ربا.

 
“Hukum asalnya bahwa qardh (pinjaman) itu wajib dikembalikan dengan yang semisal. Maka barang siapa yang meminjam emas, dia wajib mengembalikan dalam bentuk emas, tidak boleh ada kesepakatan pada saat akad qardh, untuk mengembalkan pinjaman itu dalam bentuk perak, karena yang demikian itu berarti dianggap termasuk sharaf [tukar menukar emas dengan perak] yang terjadi secara tertunda [tidak yadan biyadin, atau tidak kontan], dan ini adalah riba [nasi’ah].”

 
Adapun dalil untuk syarat kedua dan ketiga, adalah hadis dari Ibnu Umar ra. sebagai berikut,

 
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنه قَالَ: ” كُنْتُ أَبِيعُ الْإِبِلَ بِالدَّنَانِيرِ [أي مؤجلا] وَآخُذُ الدَّرَاهِمَ، وَأَبِيعُ بِالدَّرَاهِمِ وَآخُذُ الدَّنَانِيرَ، فسألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك فقال : لَا بَأْسَ أَنْ تَأْخُذَهَا بِسِعْرِ يَوْمِهَا مَا لَمْ تَفْتَرِقَا وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ

 
Dari Ibnu Umar ra., dia berkata, ”Dahulu saya menjual unta dengan dinar (yaitu dibayar tempo, tidak cash) namun saya mengambil [harganya] dengan dirham. Dulu saya juga menjual unta dengan dirham (secara tempo) namun saya mengambil harganya dengan dinar. Lalu saya bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai hal itu, maka Rasulullah saw. , ”Tidak apa-apa kamu mengambil harga unta dengan harga pada hari itu, selama kalian berdua [penjual dan pembeli] belum berpisah sementara di antara kalian berdua ada sesuatu [sisa pembayaran].” (HR Ahmad, no. 6239; Abu Dawud, no. 3354; An Nasa`i, no 4582; Tirmidzi, no 1242; dan Ibnu Majah, no. 2262).

 
Hadis ini menunjukkan:

 
Pertama, bolehnya seorang penjual yang punya piutang pada seorang pembeli, dalam jual beli utang (tempo), untuk mengambil piutang yang asalnya dalam bentuk dinar, tapi dia mengambilnya dalam bentuk dirham, asalkan menggunakan nilai tukar hari itu (hari jatuh tempo), bukan menggunakan nilai tukar saat jual beli di awal. Demikian pula sebaliknya, boleh penjual mengambil piutang yang asalnya dalam bentuk dirham, tetapi dia mengambilnya dalam bentuk dinar, asalkan menggunakan nilai tukar hari itu (hari jatuh tempo), bukan menggunakan nilai tukar saat jual beli di awal.

 
Hal ini ditunjukkan oleh sabda Rasulullah saw.,

 
لَا بَأْسَ أَنْ تَأْخُذَهَا بِسِعْرِ يَوْمِهَا

 
”Tidak apa-apa kamu mengambil harga unta dengan harga pada hari itu.”

 
Kedua, pada saat penjual dan pembeli berpisah, tidak ada tersisa sesuatu di antara mereka berdua, yaitu sisa pembayaran utang yang belum terbayarkan.

 
Hal ini ditunjukkan oleh sabda Rasulullah saw.,

 
مَا لَمْ تَفْتَرِقَا وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ

 
“Selama kalian berdua [penjual dan pembeli] belum berpisah sementara di antara kalian berdua ada sesuatu [sisa pembayaran].”

 
Berdasarkan seluruh uraian di atas, kami dapat menjawab dua pertanyaan dari penanya sebagai berikut.

 
Pertanyaan pertama, “Apakah si peminjam harus mengembalikan dgn bentuk dinar lagi? (walaupun harga dinar sekarang sudah bukan Rp2,2 juta)?”

 
Jawabannya: Peminjam wajib mengembalikan pinjaman emas 1 dinar tersebut, dengan emas 1 dinar juga, walaupun harga 1 dinar emas sudah bukan Rp2,2 juta lagi.

 
Pertanyaan kedua, “Apakah si peminjam boleh mengembalikan dengan uang tunai saja sebesar Rp2,2 juta?”

 
Jawabannya: peminjam tidak boleh mengembalikan dengan uang tunai saja sebesar Rp2,2 juta, karena nilai 1 dinar itu sudah berubah. Yang dibolehkan syarak adalah peminjam itu mengembalikan dengan uang tunai, namun menggunakan harga emas pada saat pembayaran (jatuh tempo), bukan menggunakan harga emas pada saat pinjam di awal itu (ketika 1 dinar senilai Rp2,2 juta).

 
Namun, pembayaran ini dibolehkan dengan dua syarat lagi:

 
Pertama, pembayaran pinjaman dengan uang itu tidak disepakati di awal pada saat akad dulu itu, namun baru disepakati ketika akan dilakukan pembayaran pinjaman.

 
Kedua, pembayaran pinjaman 1 dinar emas tersebut, jika dibayar dengan uang, wajib dilakukan sekali lunas, bukan diangsur. Wallahualam. [MNews/Rgl

hukum pegawai bank

Hukum Bekerja di Bank (sebagai Pegawai maupun Satpam)
 11 November 2021 bank, riba

Penulis: Ustaz M. Shiddiq Al Jawi MuslimahNews.com, FIKIH – Tanya Ustaz, saya bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa (keamanan) dan kebetulan saya ditugaskan di sebuah bank di Kaltim. Apa hukumnya, Ustaz? (Sugondo, Balikpapan).

Jawaban
Hukum seseorang yang bekerja di bank konvensional yang melakukan transaksi ribawi, menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani dapat diperinci menjadi dua hukum sebagai berikut: Pertama, jika pekerjaannya berkaitan dengan transaksi riba, baik terkait langsung maupun tidak langsung, maka pekerjaan itu hukumnya haram.

 Dengan kata lain, jika pekerjaan yang dilakukan merupakan bagian integral dari transaksi riba (juz’un min a’maal ar ribaa), baik pekerjaan itu sendiri dapat menghasilkan riba, maupun pekerjaan itu dapat menghasilkan riba hanya jika digabungkan dengan pekerjaan lainnya, maka pekerjaan itu hukumnya haram. (Taqiyuddin an-Nabhani. An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam. Hlm. 92). Contoh pekerjaan yang terkait langsung dengan transaksi riba adalah: 

(1) Bagian Teller, yaitu posisi pekerja di bank yang fungsinya adalah melayani nasabah bank dalam bertransaksi di bank, seperti membuka rekening, menerima tabungan (setoran), membayar tarikan tunai, dan sebagainya; 

(2) Bagian Analis Kredit, yaitu posisi pekerja di bank yang menganalisis penerima pinjaman, apakah penerima pinjaman itu bankabel (layak dipinjami bank) atau tidak.

(3) Bagian Account Officer (AO), yaitu posisi pekerja di bank yang melakukan analisis kelayakan pemberian kredit dan pemantauan terhadap kelancaran pembayaran kredit oleh debitur (nasabah).

 (4) Bagian Collector, yaitu posisi pekerja di bank yang bertugas menagih pinjaman atau kredit dari para nasabah. Adapun contoh pekerjaan yang tidak terkait langsung dengan transaksi riba, yakni yang akan menghasilkan riba hanya jika digabungkan dengan pekerjaan lain adalah pekerjaan sebagai pimpinan bank, akuntan bank, dan auditor bank (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 92). 

Contoh lainya adalah bagian marketing yang bertugas memasarkan produk perbankan dengan mencari nasabah; bagian back office yang bertugas melakukan pengecekan dan memastikan bahwa transaksi yang dilakukan oleh teller sudah sesuai dan sudah benar; serta bagian admin kredit yang bertugas membuat surat, menginventarisasi data nasabah, sampai merapikan data jaminan nasabah.

 Dalil keharaman pekerjaan yang berkaitan dengan transaksi riba di atas, baik berkaitan langsung maupun tidak langsung, adalah hadis dari Ibnu Mas’ud ra. bahwasanya Rasulullah saw. telah melaknat pemakan riba (yang memungut riba), pemberi riba (pembayar riba), pencatat riba, dan dua orang saksinya. (HR Muslim)

Kedua, jika pekerjaannya tidak berkaitan dengan transaksi riba, yakni tidak terkait langsung maupun tidak langsung, seperti satpam bank (security), pegawai cleaning service (tukang sapu dan lain-lain), dan office boy (pesuruh), hukumnya boleh. Mengapa? Ada dua alasan:

 (1) Sebab pekerjaan-pekerjaan itu adalah manfaat (jasa) yang mubah. Sebagai contoh, jasa keamanan adalah jasa yang mubah, yang sebenarnya dapat diberikan secara umum kepada lembaga apa pun seperti kampus, sekolah, masjid, dan sebagainya.

 (2) Sebab pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak dapat dihukumi dengan hadis Ibnu Mas’ud ra. yang mengharamkan pekerjaan yang berkaitan dengan transaksi riba seperti pencatat riba dan dua orang saksi riba. Karena pekerjaan-pekerjaan tersebut bukanlah bagian integral dari transaksi riba (juz’un min a’maal ar ribaa) yang bersifat khas. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 93). Berdasarkan  penjelasan di atas, bekerja sebagai satpam di bank konvensional adalah mubah (boleh).

 Hanya saja, satpam bank yang kami lihat saat ini sering difungsikan bukan untuk keamanan murni, tapi juga melayani nasabah, mirip halnya customer service. Jika demikian kondisinya, maka menjadi satpam bank adalah syubhat, yakni sebaiknya pekerjaan ini tidak dilakukan. Wallahualam. [MNews/Rgl]

https://www.muslimahnews.com/2021/11/11/hukum-bekerja-di-bank-sebagai-pegawai-maupun-satpam/

Selasa, 02 November 2021

Hukum batas busana muslimah bagian bawah

BATAS BUSANA MUSLIMAH BAGIAN BAWAH

Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi

Tanya :

Apa batasan “irkho`” yaitu mengulurkan busana wanita (jilbab) ketika keluar rumah? Banyak kasus akhwat ketika naik sepeda motor jilbabnya terangkat sehingga kakinya terlihat, apakah dia berdosa?

 

Jawab :

Busana muslimah yang wajib dikenakan dalam kehidupan umum seperti di jalan, masjid, pasar, sekolah, kampus, dll, ada dua bagian; yaitu busana atas (al libas al a’la) dan busana bawah (al libas al asfal). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 44-45).

 

Busana atas adalah khimar (kerudung), yang secara salah kaprah disebut “jilbab”. Dalil wajibnya khimar firman Allah SWT :

 

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

 

”Dan hendaklah mereka [wanita muslimah] menutupkan kain kerudung ke dadanya.” (QS An Nuur [24] : 31).

 

Adapun busana bawah, disebut jilbab, yaitu busana yang dipakai di atas baju rumah/semisal daster, yang longgar dan menutupi seluruh tubuh. (Al Mu’jam Al Wasith, 1/128). Dalil wajibnya jilbab firman Allah SWT :

 

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ

 

”Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (QS Al Ahzaab [33] : 59).

 

Batasan kerudung (khimar) adalah apa-apa yang menutupi seluruh kepala, seluruh leher, dan kerah baju hingga dada. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 44-45). Jadi tak boleh kerudung masih menampakkan telinga atau leher, dan tak boleh pula kerudung dimasukkan ke dalam kerah baju sehingga dada tidak tertutupi oleh kerudung. Ini jelas menyalahi firman Allah SWT yang menyebutkan kerudung wajib menutupi dada :

 

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

”Dan hendaklah mereka [wanita muslimah] menutupkan kain kerudung ke dadanya.” (QS An Nuur [24] : 31).

 

Adapun batasan jilbab (busana bawah) adalah sampai menutupi kedua kaki. Imam Taqiyuddin An Nabhani mengatakan bahwa syarat jilbab haruslah terulur sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki. Dalilnya adalah firman Allah SWT :

 

يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ

”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (QS Al Ahzaab [33] : 59).

 

Kata “yudniina” dalam ayat ini ditafsirkan “yurkhiina” yaitu mengulurkan jilbab sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki. Penafsiran ini diperkuat dengan sabda Rasulullah SAW :

 

من جرَّ ثوبهُ خيلاءَ لم ينظرْ اللهُ إليهِ يومَ القيامةِ فقالت أمُّ سلمةَ: فكيفَ يصنعُ النِّساءُ بذُيُولهنَّ؟ قال: يُرخينَ شبراً، فقالت: إذاً تنكشفُ أقدامُهُنَّ، قال: فيرخِينهُ ذراعاً لا يزدنَ عليهِ

”Barangsiapa mengulurkan bajunya [melampaui mata kaki] karena sombong, Allah tak akan melihatnya pada Hari Kiamat. Ummu Salamah bertanya,’Lalu apa yang harus diperbuat oleh para wanita dengan ujung-ujung baju mereka?’ Rasulullah SAW menjawab,’Ulurkan sejengkal [dari setengah betis].’ Kata Ummu Salamah lagi,’Kalau begitu kaki-kaki mereka akan tersingkap.’ Rasulullah SAW menjawab,’Mereka ulurkan sehasta, jangan menambah lagi.” (HR Tirmidzi, no 1785).

 

Jadi jilbab secara ringkas adalah busana yang longgar yang terulur sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki (al tsaub al waasi’ al murkhiy ila asfalin hatta al qadamaini). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 46-47).

 

Lalu bagaimana akhwat yang ketika naik sepeda motor jilbabnya terangkat sehingga kakinya terlihat? Menurut kami, hukumnya tidak apa-apa dan tidak berdosa selama akhwat itu memenuhi tiga syarat berikut; pertama, akhwat tersebut tidak bermaksud tabarruj, yaitu menampakkan perhiasan dan keindahan tubuh kepada laki-laki non mahram. Dalilnya adalah ayat yang melarang tabarruj (QS An Nuur [24] : 31 & 60).   

  

Kedua, akhwat tersebut sudah mengenakan jilbab yang memenuhi standar syar’i, yakni menutupi kedua kaki pada saat dia mengenakan jilbab dalam kondisi biasa (tak naik sepeda motor). Dalil syarat kedua ini adalah dalil jilbab itu sendiri yaitu QS Al Ahzaab : 59.

 

Ketiga, akhwat tersebut menutupi kakinya dengan kaos kaki dan sepatu. Sebab kedua kaki termasuk aurat. Dalil syarat ketiga ini adalah hadits-hadits yang menjelaskan batasan aurat perempuan, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan. Kedua kaki tidak dikecualikan jadi termasuk aurat. Sabda Rasulullah SAW :

 

إن الجارية إذا حاضت لم يصلُحْ أن يُرى منها إلا وجهُها ويداها إلى المِفْصلِ

”Sesungguhnya seorang wanita jika sudah haid, tidak layak dilihat daripadanya kecuali wajahnya dan dua tangannya hingga pergelangan tangan.” (HR Abu Dawud). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 44). Wallahu a’lam.

#yukngajiislamkaffah#

Rabu, 13 Oktober 2021

hukum perayaan khitbah sebelum aqad

Hukum Syarak Perayaan Khitbah Sebelum Akad Nikah

Oleh: Syekh ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah MuslimahNews.com, 

Pertanyaan:

 Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Sebuah pertanyaan tentang fenomena yang lumrah di antara kami, yaitu tentang perayaan setelah apa yang dikenal dengan pembacaan Al-Fatihah atau khitbah; dan perempuan yang dikhitbah mengenakan pakaian dan dirias seperti pengantin, mengenakan cincin, menari, dan perkara lainnya, sebelum adanya pencatatan (buku nikah). Apakah ini boleh secara syar’i disebabkan bahwa itu merupakan sebuah pengumuman? Padahal dahulu, hijab tidak dilepas atau tidak tabarruj (berhias) di depan pengantin lelaki kecuali setelah pencatatan (akad nikah). Berilah manfaat kepada kami. Semoga Allah memberikan manfaat kepada Anda dan menambah kebaikan kepada Anda. [Manar Aljunaidi]
 
Jawaban:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu. Tidak halal bagi seorang perempuan untuk menampakkan auratnya di depan lelaki asing yang ingin memperistrinya, sampai berlangsung sempurna akad nikah di antara keduanya. Karena Allah Swt. berfirman, ﴿وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ﴾ “ … dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka.” (QS An-Nur [24]: 31). 
     Sebelum akad nikah, lelaki tersebut bukanlah seorang suami, sehingga si perempuan tidak boleh menampakkan auratnya di depannya. Jika akad nikah telah sempurna secara syarak, yaitu si lelaki sudah menjadi suami dari si perempuan, boleh bagi si perempuan untuk menampakkan auratnya kepada si lelaki. Sebab, dengan akad itu, si perempuan telah menjadi istrinya.

    Adapun sebelum akadnya sempurna, maka si lelaki belum menjadi suaminya, dan si perempuan tidak boleh menampakkan auratnya kepada si lelaki. Jadi, kebolehan untuk menampakkan aurat adalah konsekuensi hukum dari akad nikah. Pembacaan Al-Fatihah dan pengumuman khitbah tidaklah menggantikan akad nikah dan tidak mengakibatkan adanya konsekuensi hukum yang terkait akad nikah. Oleh karena itu, terkait yang ada di dalam pertanyaan bahwa perempuan yang dikhitbah menampakkan auratnya di depan pengkhitbah, dia berhias (tabarruj), bernyanyi (bersama lelaki itu atau di depannya) setelah pembacaan Al-Fatihah atau khitbah, dan sebelum terjadinya akad nikah (pencatatan buku nikah), ia menampakkan auratnya kepada pengkhitbah, berhias dan menari bersamanya, semua itu merupakan perkara yang diharamkan. Kami telah menjelaskan sebagian perkara terkait pernikahan dan akad nikah di dalam buku An-Nizham Al-Ijtimâ’iy . Saya kutipkan untuk Anda sebagian perkara yang berhubungan.
    Dan ketika terjadi kesepakatan antara seorang lelaki dan perempuan untuk menikah, keduanya harus melangsungkan akad nikah. Pernikahan itu tidak akan sempurna kecuali dengan akad yang syar’i. Pernikahan tidaklah menjadi sebuah pernikahan kecuali dengan akad syar’i yang sesuai berdasarkan hukum-hukum syariat, hingga memperbolehkan satu sama lain untuk saling mendapatkan kenikmatan (kelezatan). Sehingga, terjadi konsekuensi hukum-hukum yang menjadi konsekuensi pernikahan. Adapun sebelum akad (nikah) berlangsung, tidaklah terjadi sebuah pernikahan.

    Pernikahan terakadkan dengan ijab dan kabul yang syar’i. Terdapat empat syarat agar pernikahan tersebut terakadkan:
Kesatuan majelis ijab dan kabul;
Masing-masing pihak yang berakad mendengar ucapan yang lain dan memahaminya;
Kabul tidak menyelisihi ijab, baik menyelisihi seluruhnya ataupun sebagian;
Syarak telah memperbolehkan pernikahan bagi salah satu pihak dengan pihak lain, selama muslimah atau ahli kitab, dan lelaki itu muslim, bukan yang lain.
Sehingga, jika akad itu memenuhi keempat syarat ini, pernikahan itu terakadkan (terjadi). Namun, jika tidak memenuhi salah satu darinya, pernikahan itu tidak terakadkan dan batil sejak asasnya. Jika pernikahan itu terakadkan, harus memenuhi syarat sah sebuah pernikahan, yaitu ada tiga syarat:
1. Perempuan itu merupakan objek untuk akad nikah itu (yakni tidak menyatukan dua saudara perempuan, misalnya.);
2. Pernikahan itu tidak sah kecuali dengan adanya wali. Maka, seorang perempuan itu tidak berhak menikahkan dirinya sendiri dan tidak boleh menikahkan perempuan lainnya. Sebagaimana ia juga tidak berhak mewakilkan selain walinya dalam menikahkannya. Jika dia melakukan yang demikian, pernikahannya tidak sah;
3. Hadirnya dua orang saksi muslim yang balig, berakal, mendengar ucapan dua pihak yang berakad, dan memahami bahwa maksud dari ucapan yang dengannya terjadi ijab dan kabul itu adalah akad nikah.

     Jika seluruh syarat akad ini terpenuhi, akad nikah itu sah. Jika salah satu saja syarat tidak terpenuhi, pernikahan itu fasad. Akan tetapi, tidak disyaratkan di dalam akad nikah untuk tercatat atau untuk terdaftar berupa sebuah dokumen, melainkan semata telah berlangsung ijab dan kabul dari lelaki dan perempuan secara lisan atau tulisan, dan memenuhi semua persyaratan, maka akad nikah tersebut sah, baik tercatat atau tidak.
     
      Jadi, pernikahan itu sebagaimana dijelaskan di An-Nizhâm Al-Ijtimâ’iy, tidak terjadi kecuali dengan akad nikah yang sya’ri seperti yang telah dijelaskan di atas. Pengumuman khitbah tidaklah menggantikan kedudukan akad nikah dan tidak pula mengakibatkan konsekuensi hukum sebagaimana konsekuensi akad nikah, semisal kebolehan perempuan untuk menampakkan auratnya kepada orang yang berakad dengannya (akad nikah). Saya berharap perkara tersebut telah menjadi jelas, wallâhu a’lam wa ahkam.

Rabu, 25 Agustus 2021

hukum membatalkan jual beli

HUKUM MEMBATALKAN JUAL BELI (AL IQOLAH)

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

Tanya :
Ustadz, mau tanya. Kalo saya beli barang. Sudah deal. Tinggal transfer dan barang dikirim. Itu siang hari. Ternyata pada malam hari, barang yang saya mau beli tersebut, ketemu. Sudah ada di rumah saya. Kalo beli lagi kan double2 jadinya. Mubazir. Nah apa hukumnya ya kalo saya batalkan pembelian tsb? Dosa ndak saya ya Ustadz? (Malayati Hasan, Bandung)

Jawab:
Jika sudah terjadi "deal" atau akad jual beli sesuai dengan rukun-rukun dan syarat-syarat syariah dalam jual beli, maka jual beli yang terjadi bersifat mengikat (laazim) secara hukum syariah. Maka dari itu, pembeli tidak berhak membatalkan jual beli tersebut secara sepihak. 

Akan tetapi, jika penjual kemudian ridho untuk membatalkan jual beli tersebut, sehingga pembeli dan penjual sama-sama ridho untuk membatalkan jual beli, maka pembatalan jual beli itu boleh hukumnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang menempatkan keridhoan penjual dan pembeli sebagai syarat kehalalan dalam tijaroh (perdagangan) : 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ 

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka (saling ridho) di antara kamu." (QS An Nisaa' : 29).

Pembatalan jual beli itu dalam fiqih Islam disebut dengan istilah "al iqolah" yang didefinisikan sebagai : 

 الإقالة : رفع العقد، وإلغاء حكمه وآثاره برضا طرفيه

"Iqolah adalah membatalkan akad atau menghapuskan akad serta segala konsekuensi hukumnya dengan kerelaan dari kedua belah pihak. (Imam Ibnu Qudamah, al Mughni, 6/201; Imam Al Kasani, Bada’i' as Shana’i' fi Tartib Al Syara'i', 5/308).

Al Iqolah hukumnya sunnah (mustahab) sesuai hadis dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi SAW telah bersabda :

مَنْ أَقَالَ مُسْلِمًا أَقَالَهُ اللَّهُ عَثْرَتَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Barang siapa yang menerima pembatalan akad jual beli dari seorang muslim, maka Allah akan mengampuni kesalahannya pada Hari Kiamat nanti."  (HR. Abu Dawud, no. 3460; Ibnu Majah, no. 2199; hadis shahih).

Berdasarkan penjelasan ini, boleh hukumnya dalam kasus yang ditanyakan di atas, pihak pembeli meminta pembatalan jual beli kepada penjual. Jika penjual menerima pembatalan ini, alhamdulillah. Namun jika penjual tidak menerima pembatalan, maka dia tidak berdosa dan pihak pembeli tetap wajib hukumnya mentransfer harga yang sudah disepakati. Wallahu a'lam.

Yogyakarta, 14 Agustus 2020

Selasa, 03 Agustus 2021

sholat istikharah



Oleh: Syekh al-‘Alim ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah


MuslimahNews.com, TANYA JAWAB — Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Saya ingin mengetahui esensi salat istikharah. Apakah orang yang beristikharah melihat sesuatu dalam mimpinya setelah melakukan istikharah? Saya berharap mendapat jawaban secepat mungkin dan semoga Allah memberi Anda balasan yang lebih baik.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam wa rahamatullah wa barakatuhu.

Nabi saw. telah menjelaskan salat istikharah dengan penjelasan yang memadai dan mencukupi dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan lainnya dari Jabir bin Abdullah ra., ia berkata, “Rasulullah saw. mengajari kami istikharah dalam segala perkara, sebagaimana beliau (saw.) mengajari kita surah-surat dari Al-Qur’an.

Beliau (saw.) bersabda,

«إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الفَرِيضَةِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ العَظِيمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلَّامُ الغُيُوبِ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي – أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ – فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي، ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي – أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ – فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاقْدُرْ لِي الخَيْرَ حَيْثُ كَانَ، ثُمَّ أَرْضِنِي» قَالَ: «وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ»

‘Jika salah seorang dari kalian berniat (bermaksud) dengan suatu perkara, maka hendaklah ia salat dua rakaat selain salat wajib. Kemudian hendaklah ia berdoa:

‘Ya Allah sungguh aku meminta kebaikan dengan ilmu-Mu dan aku meminta kemampuan dengan kekuatan-Mu. Dan aku memohon dari karunia-Mu yang agung. Sesungguhnya Engkau Maha menetapkan dan aku tidak menetapkan, Engkau Maha Mengetahui dan aku tidak mengetahui, dan Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib. Ya Allah jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik untukku di duniaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku —atau beliau bersabda, “(dalam) urusanku cepat atau lambatnya—maka tetapkanlah ia untukku dan mudahkan untukku kemudian berkahilah untukku di dalamnya. Dan jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini buruk untukku dalam duniaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku—atau beliau bersabda, “(dalam) urusanku cepat atau lambat—maka alihkan dia dariku dan palingkan aku darinya dan tetapkanlah untukku yang lebih baik, di mana saja, kemudian ridailah aku.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Dan hendaklah dia menyebutkan keperluannya.’

Selesai.

Jelas dari hadis ini [di atas tentang] tata cara salat istikharah. Jadi, siapa yang ingin beristikharah, ia melaksanakan salat dua rakaat sunah dengan niat istikharah, dan setelah selesai dari salat, ia berdoa dengan doa istikharah yang disebutkan di dalam hadis tersebut. Dengan ini ia mengakhiri salat istikharah atau doa istikharah.

Ini adalah tata cara salat istikharah. Akan tetapi, ada perkara lain berkaitan dengan salat istikharah, yaitu:

1) Jika seseorang berniat akan suatu perkara setelah ia mengkajinya dari seluruh sisinya dan menjadi rajih baginya untuk melakukan perkara itu dan ia ingin meniatkan dengannya, pada saat itu ia melaksanakan salat dua rakaat dan berdoa dengan doa istikharah dan ia melakukannya, menundukkan diri memohon kepada Allah Swt. agar memudahkan hal itu untuknya jika perkara itu baik dan agar Allah memalingkan perkara itu darinya jika buruk.

Artinya, ia tidak melaksanakan salat istikharah kecuali setelah mengkaji perkara tersebut dari segala sisinya dan ia lebih merajihkan untuk melakukannya. Ketika itu ia melaksanakan salat dan berdoa dengan doa istikharah dan melakukan perbuatan tersebut, dan ia tidak melaksanakan salat istikharah kecuali setelah mengkaji perkara dan tampak lebih rajih untuk melakukannya. Lihat hadis tersebut:

«إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الفَرِيضَةِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ…»

Jika salah seorang dari kalian berniat (bermaksud) dengan suatu perkara, maka hendaklah ia salat dua rakaat selain salat wajib. Kemudian hendaklah ia berdoa, ‘Ya Allah sungguh aku meminta kebaikan dengan ilmu-Mu…'” (HR al-Bukhari)

2) Tidak ada hadis sahih dari Nabi saw. bahwa beliau mengaitkan istikharah dengan mimpi yang dilihat dalam tidur sebagaimana saya ketahui, padahal begitu banyak beliau memberi arahan kepada orang-orang untuk melakukan salat istikharah. Beliau tidak mengaitkan hasilnya dengan mimpi.

Di dalam hadis Jabir, sabda Rasul saw.,

«فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي، ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ» وقوله: «فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاقْدُرْ لِي الخَيْرَ حَيْثُ كَانَ، ثُمَّ أَرْضِنِي»

“Maka tetapkan untukku dan mudahkan untukku, kemudian berkahilah untukku di dalamnya,” dan sabda beliau, “Maka palingkan perkara itu dariku dan palingkan aku darinya, dan tetapkan untukku yang lebih baik, di mana saja, kemudian ridailah aku.”

Keduanya menampakkan bahwa beliau saw. tidak mengaitkan istikharah dengan mimpi yang dilihat di dalam tidur. Akan tetapi, beliau menjadikan perkara itu berkaitan dengan pemberian kemudahan oleh Allah dan takdir-Nya. Yakni bahwa seseorang berusaha melakukan perkara tersebut yang ia beristikharah tentangnya.

Jika perkara itu baik, Allah menetapkannya untuknya dan memudahkannya, dan jika tidak, Allah memalingkan perkara itu darinya.

Jadi, istikharah adalah menjadikan perkara dan pilihan kepada Allah Swt. agar memilihkannya untuk orang yang beristikharah dan agar memudahkan perkara yang Allah ridai untuknya. Jika Allah tidak rida untuknya, agar Allah memalingkan perkara itu darinya.

3) Sabda Nabi saw. dalam hadis Jabir,

«فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاقْدُرْ لِي الخَيْرَ حَيْثُ كَانَ، ثُمَّ أَرْضِنِي»

“Maka palingkan perkara itu dariku dan palingkan aku darinya, dan tetapkan untukku yang lebih baik, di mana saja, kemudian ridailah aku.”

Darinya, sebagian orang memahami bahwa kelapangan dada menjadi pertanda pilihan Allah, dengan makna bahwa dada jika menjadi lapang, maka hendaklah seseorang itu melangsungkan perkara tersebut; jika menjadi sempit dan berpaling dari perkara tersebut, maka hendaklah ia berpaling darinya.

Sebab berpalingnya orang yang beristikharah darinya terjadi dengan berpalingnya hati dan menjadi merasa tertekan (sempit) hatinya.

Asy-Syaukani di dalam Nayl al-Authâr mengutip dari An-Nawawi yang mengatakan,

“Ia harus melakukan setelah istikharah apa yang lapang untuknya, ia tidak seharusnya bersandar pada kelapangan hatinya yang di dalamnya ada kecenderungan sebelum istikharah, akan tetapi bagi orang yang beristikharah harus meninggalkan pilihannya pada dasarnya, dan jika tidak maka ia tidak meminta pilihan kepada Allah akan tetapi meminta pilihan kepada hawanya (kecenderungannya). Kadang ia tidak benar dalam meminta pilihan dan dalam berlepas dari pengetahuan dan ketetapan dan mengukuhkan keduanya (pengetahuan dan ketetapan) kepada Allah. Jika ia benar dalam hal itu maka ia berlepas dari kekuatan, ketetapan dan pilihan dirinya sendiri.”

Selesai.

Akan tetapi, yang saya rajihkan bahwa pertanda ini tidak benar, sebab tidak ada nas yang menyatakannya. Hadis yang dijadikan sandaran oleh sebagian mereka dalam hal itu adalah hadis yang sanadnya wâhin jiddan (sangat rancu) seperti yang disebutkan oleh para penahkik (pelaku tahqiq).

Hadis itu adalah:

Ibnu as-Sunniy telah mengeluarkan di ’Amal al-Yawmi wa al-Laylati, ia berkata, “Telah memberitahukan kepada kami Abu al-‘Abbas bin Qutaibah al-‘Asqalani, telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin al-Himyari, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin al-‘Ala’ bin an-Nadhri bin Anas bin Malik, telah menceritakan kepada kami bapakku dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata (bahwa) Rasulullah saw. bersabda,

«يَا أَنَسُ، إِذَا هَمَمْتَ بِأَمْرٍ فَاسْتَخِرْ رَبَّكَ فِيهِ سَبْعَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ انْظُرْ إِلَى الَّذِي يَسْبِقُ إِلَى قَلْبِكَ، فَإِنَّ الْخَيْرَ فِيهِ»

“Ya Anas, jika engkau berniat dengan suatu perkara, maka beristikharahlah kepada Rabb-mu tentangnya sebanyak tujuh kali, kemudian lihatlah kepada yang lebih dahulu ke hatimu, sebab kebaikan itu ada di dalamnya.”

Ibnu Hajar mengatakan di dalam Fathu al-Bari, … dan an-Nawawi berkata di al-Adzkâr“Ia melakukan setelah istikharah apa yang dadanya lapang,” dan ia berdalil dengan hadis Anas dalam riwayat Ibnu as-Sunniy, “Jika engkau berniat dengan suatu perkara, maka beristikharahlah kepada Rabb-mu tentangnya sebanyak tujuh kali, kemudian lihatlah kepada yang lebih dahulu ke hatimu, sebab kebaikan itu ada di dalamnya.”

Dan ini, seandainya terbukti, niscaya itulah yang menjadi sandaran, akan tetapi sanadnya sangat rancu (wâhin jiddan).

Karena itu, tidak ada lagi kecuali apa yang kami sebutkan di poin pertama bahwa hadis yang mengatakan bahwa istikharah itu setelah berniat (bermaksud) dengan suatu perkara. Yakni setelah mengambil keputusan melakukan perbuatan tersebut berdasarkan kajian yang cukup dan lebih rajih sisi-sisi pelaksanaan atasnya.

Pemahaman ini dibuktikan oleh hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam Mustadrak-nya dari Abu Ayyub al-Anshari bahwa Rasulullah saw. bersabda,

«اكْتُمِ الْخطْبَةَ ثُمَّ تَوَضَّأْ فَأَحْسِنِ وُضُوءَكَ، ثُمَّ صَلِّ مَا كَتَبَ اللَّهُ تَعَالَى لَكَ، ثُمَّ احْمَدْ رَبَّكَ وَمَجِّدْهُ، ثُمَّ قُلِ: اللَّهُمَّ إِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ، فَإِنْ رَأَيْتَ لِيَ فِي فُلَانَةٍ، – يُسَمِّيهَا بِاسْمِهَا – خَيْرًا لِي فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَآخِرَتِي فَاقْدُرْهَا لِي، فَإِنْ كَانَ غَيْرُهَا خَيْرًا لِي فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَآخِرَتِي فَاقْدُرْهَا لِي»

“Sembunyikanlah khitbah, kemudian berwudulah dan perbagus wudumu. Kemudian salatlah (berdoalah minta) apa yang telah Allah tetapkan untukmu, kemudian pujilah Rabb-mu dan sanjunglah Dia, kemudian katakan, ‘Ya Allah, sesungguhnya engkau Maha Menetapkan dan aku tidak menetapkan, Engkau Maha Mengetahui dan aku tidak mengetahui, dan Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib, jika Engkau memandang untukku pada diri Fulanah—ia menyebutkan namanya—ada kebaikan untukku di dalam agamaku, duniaku dan akhiratku, maka tetapkan dia untukku, dan jika selain dia yang baik untukku di dalam agamaku, duniaku dan akhiratku, maka tetapkan ia untukku.'”

Jelas dari hadis ini bahwa orang yang beristikharah bertekad mengkhitbah seorang wanita tertentu namun ia tidak menampakkannya akan tetapi ia menyembunyikannya, kemudian ia beristikharah kepada Allah tentangnya dan menjadikan perkara tersebut di tangan Allah Swt. agar Allah Swt. menetapkan wanita itu untuknya jika di dalam wanita itu ada kebaikan, atau agar Allah menetapkan selain wanita itu untuknya jika kebaikan ada pada yang lain itu, dan Rasul saw. tidak mengaitkan hal itu dengan apa yang ia lihat di dalam mimpi atau kelapangan hati.

Ringkasnya yang saya rajihkan dalam masalah istikharah adalah:

Jika seseorang berniat (bermaksud) dengan suatu perkara setelah ia mengkajinya dari segala sisinya, dan tampak lebih rajih baginya untuk melakukannya, dan ia ingin meniatkan (bermaksud) dengannya, ketika itu hendaknya ia melaksanakan salat dua rakaat dan berdoa dengan doa istikharah dan melakukannya, dan ia menundukkan diri memohon kepada Allah Swt. agar memudahkan perkara itu untuknya jika perkara itu baik, atau memalingkannya dari dirinya jika buruk.

Artinya, dia tidak melaksanakan salat istikharah kecuali setelah mengkaji perkara tersebut dari segala sisinya dan lebih rajih untuk melakukannya, ketika itu ia menunaikan salat dan berdoa dengan doa istikharah dan mengedepankan untuk melakukan perbuatan itu.

Lihatlah hadis tersebut:

«إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الفَرِيضَةِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ…» رواه البخاري

“Jika salah seorang dari kalian berniat (bermaksud) dengan suatu perkara, hendaklah ia salat dua rakaat selain salat wajib. Kemudian hendaklah ia berdoa, “Ya Allah sungguh aku meminta kebaikan dengan ilmu-Mu…” (HR Bukhari)

Ini yang saya rajihkan dari hadis tersebut. Bukan seseorang itu melaksanakan salat istikharah dan menunggu untuk melihat di dalam mimpi atau menunggu untuk melihat kecenderungannya kepada perkara mana dari dua perkara itu. Sebab hadis mengatakan,

«إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ…»

“Jika salah seorang dari kalian berniat (bermaksud) dengan suatu perkara…”

Dan seperti yang saya sebutkan baru saja, ini yang saya rajihkan atas sebagian pendapat lainnya. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.

Rabu, 21 Juli 2021

hukum endor

Hukum Endorse

Oleh: K.H. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, M.Si.

MuslimahNews.com, FIKIH – [Fakta Endorse] Endorse dalam pengertian bahasa berasal dari Bahasa Inggris “endorsement”, yang berarti tindakan memberikan dukungan kepada seseorang atau suatu brand (merek).

Dalam pengertian istilah, endorse adalah promosi yang dilakukan produsen barang atau jasa kepada konsumen dengan menggunakan tokoh atau seleb (selebriti) terkenal yang memiliki banyak follower di medsos atau sedang hits (viral) karena suatu alasan.

Bentuk endorse ada dua, yaitu: Pertama, Paid Promote. Kedua, Paid Endorse.

Paid Promote atau biasa disingkat PP adalah promosi yang dilakukan oleh endorser (seleb/influencer) mengenai suatu produk/tempat/jasa dengan cara mem-posting materi di akun media sosialnya. Materinya sendiri sudah disiapkan oleh pihak endorsement (produsen), mulai dari foto hingga caption-nya, jadi si seleb hanya perlu mem-posting.

Sedangkan Paid Endorse atau disingkat PE adalah bentuk iklan yang foto produk dan caption-nya dipikirkan/dibuat sendiri oleh pihak endorser. Pihak endorsement akan mengirimkan barang, barang tersebut dipakai oleh si seleb, kemudian difoto dan di-like media sosial.

Karena effort-nya lebih banyak, maka harga untuk PE juga lebih mahal. Apalagi jika selebnya sangat terkenal atau sedang sering diberitakan. Durasi dari kedua postingan ini bisa bermacam-macam tergantung dari perjanjian kedua pihak, tapi umumnya mulai dari 2 jam sampai 24 jam.

Hukum Endorse
Hukum endorse pada dasarnya adalah boleh (mubah), karena untuk fakta endorse yang diterangkan di atas, dapat diterapkan hukum bolehnya ijarah, khususnya ijaratul ajiir, dalam syariat Islam, selama memenuhi segala rukun dan syaratnya.

Ijarah ajiir adalah akad untuk mendapat manfaat (jasa) antara peminta jasa (musta`jir) dengan pemberi jasa (ajiir) dengan memberikan imbalan. Dalam hal ini, pihak endorsement, yakni produsen, merupakan pihak musta`jir. Sedangkan pihak endorser, yaitu public figure adalah ajiir atau pemberi jasa.

Objek akad dalam ijaratul ajiir ini sebagai berikut:

Untuk Paid Promote, objek akadnya adalah manfaat atau jasa dari endorser untuk mem-posting iklan yang sudah dibuat oleh pihak musta`jir dalam akun-akun medsos yang dimiliki oleh pihak endorser.

Untuk Paid Endorse, objek akadnya adalah manfaat atau jasa dari endorser untuk membuat materi iklannya itu sendiri, lalu mem-posting-nya di akun-akun medsos yang dia miliki.

Hukum endorse pada dasarnya adalah boleh (mubah) dalam syariat, selama memenuhi segala rukun dan syarat dalam ijaratul ajiir. Di antara syarat-syarat yang terpenting adalah sebagai berikut:

Pertama barang atau jasa yang diendorse haruslah barang atau jasa yang dihalalkan syariat. Sebab syara’ telah mengharamkan memproduksi barang yang haram, seperti khamr, kuliner babi, bangkai, dan sebagainya. Syara’ juga telah mengharamkan berbagai jasa yang haram, seperti jasa perbankan, asuransi, pegadaian, leasing, dan sebagainya.

Maka dari itu, tindakan seorang endorser yang turut mem-posting iklan untuk barang dan jasa haram tersebut, termasuk perbuatan tolong menolong berbuat dosa (ta’awun ‘ala al itsmi), yang telah diharamkan Allah SWT,

ولا تعاونوا على الإثم والعدوان

“Janganlah kamu tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran.” (QS Al Ma`idah: 2)

Kedua, cara endorser dalam meng-endorse suatu produk, baik berupa perkataan atau perbuatan, tidak boleh melanggar syariat Islam, walau produknya halal. Misalnya, menggunakan kata-kata yang berlebihan (bluffing), atau memberikan testimoni yang bersifat bohong untuk suatu produk, dan sebagainya. Atau misalnya endorser mempromosikan suatu produk dengan tidak menutup auratnya (misal endorser wanita tidak memakai kerudung), dan sebagainya.

Ketiga, jika endorse berbentuk Paid Promote, harus diketahui dengan jelas (ma’luum) durasi mem-posting iklan oleh endorser di akun-akun medsosnya, misalnya iklan akan di-posting oleh endorser dalam durasi selama 24 jam di akunnya. Demikian juga jika endorse berbentuk Paid Endorse, harus diketahui dengan jelas (ma’luum) pula apa-apa saja bentuk jasa yang dilakukan seorang endorser. Misalnya: membuat caption, membuat video, dan sebagainya.

Keempat, imbalan yang diberikan kepada endorser jika berupa suatu barang, harus berupa barang yang dihalalkan secara syariat. Tidak boleh barangnya berupa suatu barang yang diharamkan, misalnya khamr, atau kosmetik dengan bahan yang haram, atau busana yang menampakkan aurat atau membentuk tubuh (bagi wanita), dan sebagainya.

Kelima, imbalan yang diberikan kepada endorser jika berupa uang, harus jelas berapa jumlahnya (ma’lum), yaitu suatu jumlah yang diketahui nominalnya dengan jelas, misalnya Rp10 juta Rupiah. Tidak boleh memberikan imbalan berupa uang yang jumlahnya tidak jelas, atau tidak disebutkan jumlahnya pada saat akad, karena dikhawatirkan dapat menimbulkan persengketaan. Jika tidak disebutkan saat akad, atau timbul persengketaan, jumlah imbalan mengikuti imbalan pada umumnya (ajrul mitsli).

Keenam, jika yang menjadi endorser-nya adalah seorang perempuan, haram hukumnya melakukan endorse yang memanfaatkan kecantikan atau keindahan tubuh, misalnya memeragakan busana wanita, walaupun busana muslimah, atau memeragakan kosmetik dengan merias wajahnya sendiri, walaupun dari bahan yang halal. Cara endorse yang memanfaatkan kecantikan atau keindahan tubuh endorser perempuan seperti itu hukumnya haram menurut syara’.

Dalil keharamannya adalah hadis Nabi Saw. dari Rafi’ bin Rifa’ah ra, yang melarang pekerjaan wanita yang sifatnya memanfaatkan tubuh dan kecantikan wanita:

جاءَ رافعُ بنُ رفاعةَ إلى مجلِسِ الأنصارِ فقالَ : لقد نَهانا نبيُّ اللهِ صلَّى اللهِ علَيهِ  وسلَمَ اليومَ, فَذَكَرَ أشياءَ ونَهَى عن كسبِ الأمةِ إلاَّ ما عمِلَت بيدِها , وقالَ  : هَكَذا بأصابعِهِ نَحوَ الخُبزِ والغزلِ والنَّفَشِ

Rafi’ bin Rifa’ah ra datang ke majelis kaum Anshar, dia berkata, ’Sungguh Nabi Saw. telah melarang pekerjaan seorang budak wanita kecuali pekerjaan yang dikerjakan oleh tangannya, misalnya membuat roti, menenun, dan mencari rumput. (HR Abu Dawud, no. 3426; Ahmad, Al Musnad, no. 19.020. Hadis ini dinilai hadis hasan oleh Al Albani, Shahih Abu Dawud, no. 3426)

Jadi, yang dibolehkan dari wanita adalah pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya kerja fisik (seperti tukang tenun, tukang roti, dsb), yang tidak mengeksploitasi kecantikan atau tubuh wanita.

Termasuk juga yang dibolehkan adalah pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya kerja intelektual (seperti mengajar, menjadi peneliti, dosen, guru) dan sebagainya, karena pekerjaan seperti ini hanya memanfaatkan aspek intelektualitas seorang wanita, bukan memanfaatkan aspek sensualitas atau daya tarik seksual atau kecantikan seorang wanita. Wallahu a’lam. [MNews/Rgl]

Jumat, 16 Juli 2021

cara penyembelihan

#Fikih 
Hukum Fikih Seputar Kurban
 

Penulis: K.H. Hafidz Abdurrahman

 FIKIH — Qurban (kurban) disebut udhhiyyah. Dalam fikih, “udhhiyyah” adalah hewan ternak yang disembelih pada Hari Nahr, dengan niat untuk mengerjakan kesunahan.

Udhhiyyah hukumnya sunah, sebagaimana sabda Nabi (saw.),

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ

“Jika kalian melihat hilal Dzulhijjah, dan salah seorang di antara kalian ingin menyembelih, maka hendaknya dia tidak memotong rambut dan kukunya.” [HR Muslim][1]

Sabda Nabi (saw.) yang menyatakan, “Wa arada ahadukum an yudhahhiya,” [salah seorang di antara kalian ingin menyembelih], mempunyai konotasi sunah, bukan wajib.

Pengurban
Kurban tidak ditetapkan kecuali terhadap orang yang memenuhi syarat:

Islam: kurban merupakan ibadah, dan ibadah tidak diberlakukan kecuali terhadap kaum muslim. Sedangkan nonmuslim tidak.
Mukim: kurban hanya berlaku untuk orang mukim, bukan musafir.
Kaya: kurban hanya berlaku bagi orang yang mempunyai nafkah untuk Hari Raya, dan dana untuk kurban, dan telah menyelesaikan kebutuhan dasarnya, seperti sandang, papan dan pangan. Bisa ditambahkan, kesehatan, pendidikan dan keamanan.
Tidak harus balig dan berakal: kurban boleh dilakukan oleh wali anak-anak kecil dan orang gila, karena kurban merupakan nafkah yang diberikan secara makruf, yang disyariatkan untuk harta.
Niat berkurban: karena niat bisa membedakan antara sembelihan yang merupakan tradisi, dengan kurban yang merupakan ibadah.
Kurban orang yang berutang: membayar utang harus didahulukan ketimbang berkurban, meski orang yang berutang tersebut tidak ditagih untuk membayar utangnya.
Kurban untuk orang yang sudah meninggal: kurban boleh diperuntukkan bagi orang yang sudah meninggal, dan insyaallah, bermanfaat bagi mayit.
Menyembelih dengan tangan sendiri: bagi orang yang berkurban lebih baik menyembelih kurban dengan tangannya sendiri, atau menyaksikan sembelihannya. Meski boleh juga digantikan oleh orang lain.
Hewan Kurban
Disyaratkan hewan yang dikurbankan harus:

Hewan ternak: hewan ternak [al-an’am] tersebut adalah unta [al-ibil], sapi [al-baqar], kerbau [al-jamus], kambing [al-ghanam], dan biri-biri [al-ma’iz].
Umur: disyaratkan untuk unta, sapi, dan kerbau harus tsaniyya. Untuk unta harus 5 tahun. Untuk sapi dan kerbau harus 2 tahun. Kambing [biri-biri/ma’iz] harus 1 tahun. Kambing domba [dha’n] disyaratkan harus jad’u. Usia jad’u adalah 6 bulan.
Jumlah kurban: satu domba atau biri-biri boleh untuk satu orang atau satu keluarga, misalnya seorang pria dan anak-anaknya. satu unta atau sapi untuk tujuh orang.
Selamat dari cacat yang berat: kurban adalah persembahan yang dipersembahkan kepada Allah Swt., harus layak dipersembahkan. Karena itu, kurban ini syaratnya harus selamat dari cacat yang berat. Cacat berat itu antara lain: buta, pincang; telinga, tangan, dan kaki terpotong; sakit dan kurus sekali. Ini berdasarkan riwayat al-Barra’ bin ‘Azib yang berkata, Rasulullah (saw.) berdiri di antara kami, lalu bersabd,
أَرْبَعٌ لاَ تَجُوْزُ فِي الأَضَاحِيْ: اَلْعَوْرَاءُ اَلْبَيِّنُ عَوْرُهَا، وَاْلمَرِيْضَةُ اَلْبَيِّنُ مَرَضُهَا، وَاْلعَرْجَاءُ اَلْبَيِّنُ ظَلْعُهَا، وَالْكَسِيْرَةُ الَّتِيْ لاَ تَنْقِي

“Ada empat macam hewan yang tidak sah dijadikan hewan kurban, “(1) yang (matanya) jelas-jelas buta (picek), (2) yang (fisiknya) jelas-jelas dalam keadaan sakit, (3) yang (kakinya) jelas-jelas pincang, dan (4) yang (badannya) kurus lagi tak berlemak.” (Hadis hasan sahih, riwayat At-Tirmidzi: 1417 dan Abu Dawud: 2420).[2]

Kurban juga harus dipilih dari hewan yang paling disukai. Karena apa yang paling disukai oleh seseorang, jika digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka itu lebih baik ketimbang yang lain. Meski keduanya nilainya sama.

Siapa saja yang membeli hewan kurban yang baik dan layak, lalu terbukti mempunyai cacat setelah dibeli, maka boleh diganti dengan yang lain, yang baik, juga boleh tetap dengan menyembelih yang cacat.

Waktu penyembelihan: penyembelihan hewan kurban dimulai setelah aalat Iduladha, dari tanggal 10 Dzulhijjah, hingga matahari tenggelam pada 13 Dzulhijjah.
Tempat penyembelihan: apa saja yang disembelih pada hari-hari Nahr, di tanah halal, selain tanah haram Makkah, disebut kurban [udhhiyyah]. Sedangkan apa yang disembelih pada hari-hari Nahr, di tanah haram Makkah, disebut Hadyu.
Penggantian kurban: jika membeli kambing dan diniatkan sebagai kurban, maka hewan kurban boleh diganti yang lain, jika:
hewan kurban tersebut cacat, maka boleh diganti dengan yang lain.
Jika ingin mengganti, diganti dengan yang lain, yang lebih baik, tanpa cacat.
Tidak boleh diganti dengan dirham [uang]. Jika itu dilakukan, maka statusnya sedekah biasa, bukan kurban. Menyembelih kurban lebih baik ketimbang menyedekahkan harga [dana]-nya. Karena, mengalirkan darah di hari Nahr, adalah ibadah.
Memanfaatkan daging kurban: disunahkan untuk daging kurban, sepertiga untuk disedekahkan, sepertiga untuk dimakan, dan sepertiga untuk dihadiahkan. Daging kurban yang dimakan boleh disimpan pada saat-saat lapang, tetapi pada saat sulit, terjadi kemiskinan, dan putus asa, makruh disimpan.
Tata Cara Menyembelih
Batasan menyembelih: menyembelih [dzabh] adalah memotong tenggorokan, dua urat leher [wadijain], yaitu dua urat yang mengalirkan darah ke otak.
Dampak sembelihan pada hewan: hewan bisa dibagi menjadi dua: (a) Hewan yang dagingnya bisa dimakan; (b) Hewan yang dagingnya tidak bisa dimakan.
Hewan yang bisa dimakan dagingnya: Hewan yang bisa dimakan dagingnya bisa dibagi menjadi dua: (a) Hewan yang mempunyai darah, dan mengalir; (b) Hewan yang tidak mempunyai darah, yang mengalir.
Hewan yang Mempunyai Darah yang Mengalir: Hewan jenis ini bisa dibagi lagi: (a) Hanya hidup di air; (b) Hidup di darat; (b) Hidup di dua alam [darat dan air], atau ampibi.
Hewan yang Hidup di Air: Hewan yang hanya bisa hidup di dalam air, contohnya seperti ikan, maka boleh dimakan tanpa disembelih. Ini berdasarkan sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallama:
هُوَ طَهُوْرُ مَاؤُهُ، اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ

“Itu adalah suci airnya, dan halal bangkai [mayit]-nya.” [HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan An-Nasa’i] [3]

Hewan yang hidup di darat: Jika hewan tersebut hidup di darat, atau hidup di air, tetapi keluar dari air, seperti anjing laut, maka tidak halal dimakan, kecuali dengan disembelih, dengan penyembelihan yang syar’i.
Hewan yang tidak mempunyai darah: mengenai hewan yang tidak mempunyai darah, seperti belalang, maka boleh dimakan, sekalipun tidak disembelih. Karena alasan kerusakannya ada pada darah. Karena itu, kalau hewan tersebut tidak mempunyai darah, maka hewan tersebut tidak mempunyai alasan kerusakan.
Hewan yang tidak boleh dimakan: hewan jenis ini ada dua: (a) Suci ketika hidup; (b) Najis ketika hidup. Adapun hewan yang suci selama hidupnya, adalah semua hewan, kecuali babi dan anjing. Maka, hewan yang suci [tapi tidak boleh dimakan] tersebut, jika disembelih, daging dan kulitnya suci, tetapi dagingnya tetap haram. Tidak halal dimakan. Jika mati, tanpa disembelih, maka najis, karena tidak disembelih. Karena penyembelihan ini menjadi alasan kerusakannya. Tetapi, jika hewan tersebut najis ketika hidup, maka tetap najis, baik disembelih maupun tidak.
Penyembelih: orang yang menyembelih hewan sembelihan ini disyaratkan harus: (a) Berakal; (b) Mumayiz;[4] (3) Muslim; (4) Ahli Kitab [Yahudi/Nasrani]. Karena itu, sembelihan orang gila tidak halal. Begitu juga sembelihan anak kecil yang belum mumayiz. Juga sembelihan orang Majusi atau musyrik lainnya. Karena Rasulullah (saw.) telah meneken perjanjian dengan Majusi Hajar:
صَالَحَ مَجُوْسَ هَجَرَ عَلَى أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُمُ الْجِزْيَةَ، غَيْرَ مُسْتَحِلِّ مُنَاكَحَةِ نِسَائِهِمْ، وَلاَ أَكْلَ ذَبَائِحِهِمْ

“Mengambil jizyah dari mereka, perempuan mereka tidak halal dinikahi, dan sembelihan mereka tidak halal dimakan.” [HR Abu Yusuf] [5]

Juga tidak halal sembelihan orang yang kekufurannya lebih kuat ketimbang Majusi, seperti orang Musyrik [Hindu, Buddha, Konghucu, dan lain-lain], orang Murtad dari Islam, meski dia murtad menjadi Yahudi atau Nasrani. Juga orang Ateis, yang tidak mengimani salah satu agama, juga orang yang diklaim muslim, tetapi sektenya divonis kafir, seperti Nushariyyah atau ‘Alawiyyah dari kalangane Syiah atau Ahmadiyyah.

Hewan yang disembelih: syarat hewan yang disembelih, meski halal dimakan, adalah hewan yang: (a) Tidak dinyatakan keharamannya untuk dimakan oleh syara’, seperti babi, anjing, atau hewan yang memiliki taring, atau burung yang memiliki cakar. (b) Hidup dengan kehidupan yang stabil, ketika disembelih. Kehidupan yang stabil bagi hewan adalah kehidupan yang memungkinkannya untuk melakukan gerakan. Adapun kehidupan yang tidak stabil adalah kehidupan saat disembelih. Kehidupan yang kehilangan dari gerakan bebas hewan tersebut. (c) Jika hewan yang disembelih itu bunting, kemudian dari perutnya keluar janin, maka janinnya boleh dimakan tanpa disembelih. Berdasarkan sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallama:
ذَكَاةُ الْجَنِيْنِ ذَكَاةُ أُمِّهِ

“Sembelihan untuk janin mengikuti sembelihan induknya.” [HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi] [6]

Hewan yang disembelih itu bukan hewan buruan tanah Haram. Karena hewan buruan yang ditangkap di tanah Haram, tidak boleh disembelih, dan tidak boleh dimakan.
Alat Sembelihan: Alat yang digunakan untuk menyembelih adalah alat yang bisa memotong. Makruh menyembelih dengan menggunakan gigi, kuku dan alat-alat sejenis lainnya, padahal ada alat yang bisa digunakan untuk memotong. Sebagaimana sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallama:
مَا أَنْهَرَ الدَّمَّ وَذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ فَكُلُوْا، لَيْسَ السِّنُّ وَالظَّفْرُ

“Apa yang bisa mengalirkan darah, dan ketika disembeli disebut nama Allah, maka makanlah. Tetapi, bukan gigi dan kuku.” [HR Bukhari] [7]

Membaca “Basmalah” Saat Menyembelih
Hukum Membaca “Basmalah”: Menyebut asma Allah SWT, dan tujuan menyembelih semata untuk Allah, hukumnya wajib. Karena itu, sembelihan tidak boleh dimakan, jika ditujukan kepada yang lain, selain Allah SWT. Dalam Alquran, Allah SWT berfirman:
﴿فَكُلُوْا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ، إِنْ كُنْتُمْ بِأَيَاتِهِ مُؤْمِنِيْنَ﴾

“Maka, makanlah apa yang ketika disembeli disebut nama Allah, jika kalian benar-benar mengimani ayat-ayat-Nya.” [Q.s. al-An’am: 118]

Jika Lupa Membaca “Basmalah”: Jika saat menyembelih lupa membaca “Basmalah”, tetapi sembelihan tersebut memang disembelih karena Allah, maka sembelihan tersebut tetap boleh dimakan, baik penyembelihnya Muslim, maupun Ahli Kitab [Nasrani atau Yahudi].
Jika Penyembelihnya Diam: Jika saat menyembelih, penyembelihnya diam, maka hukum sembelihannya tetap halal dimakan, baik penyembelihnya Muslim, maupun Ahli Kitab [Nasrani atau Yahudi]. Karena, dzann[dugaan] terhadap kaum Muslim, bahwa dia tidak menyembelih, kecuali semata karena Allah. Sementara Ahli Kitab, baginya membaca “Basmalah” tidak wajib dalam ajaran agamanya, karena sembelihannya halal dimakan. Ahli Kitab [Nasrani atau Yahudi], biasanya memang tidak menyebut asma Allah ketika menyembelih. Meski begitu, Allah tetap menghalalkan kita memakan sembelihannya, berdasarkan firman Allah SWT:
﴿وَطَعَامٌ الَّذِيْنَ أُوْتُوْا الكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ﴾

“Makanan orang-orang Ahli Kitab itu halal bagi kalian.” [Q.s. al-Maidah: 05]

Jika Selain Nama Allah yang Disebut:Jika dalam penyembelihan tersebut bukan nama Allah yang disebut, tetapi yang lain, maka sembelihan tersebut haram dimakan, sekalipun yang menyembelih adalah orang Islam, atau Ahli Kitab [Yahudi atau Nasrani].
Waktu Membaca “Basmalah”: Waktu membaca “Basmalah” yaitu saat menyembelih, atau tidak lama sebelum menyembelih. Jika membaca “Basmalah”-nya belakangan, atau antara penyembelihan dengan membaca “Basmalah” tersebut dipisah dengan waktu yang lama, misalnya, setelah membaca “Basmalah” kemudian tidur, lalu bangun, setelah itu baru menyembelih hewan sembelihannya, maka ini tidak termasuk membaca “Basmalah”.
Siapa yang Membaca Bacaan “Basmalah”?Bacaan “Basmalah” dibaca oleh penyembelihnya, karena itu tidak sah, jika yang membaca “Basmalah” orang lain, sementara penyembelihnya tidak membaca. Atau, bacaan “Basmalah”-nya direkam, kemudian rekaman tersebut diputar, sehingga bisa diulang-ulang, ketika penyembelih tersebut menyembelih hewan sembelihan, maka ini pun tidak bisa dihukumi membaca “Basmalah”. Karena yang membaca bukan penyembelihnya, tetapi rekaman.
Tata Cara Menyembelih
Proses penyembelihan tersebut berbeda-beda mengikuti kondisi hewan yang disembelih. Karena hewan tersebut adakalanya bisa disembelih secara syar’i, dan adakalanya tidak.

Hewan yang Bisa Disembelih: Hewan ini bisa berupa unta, atau yang lain. Jika yang disembelih tersebut adalah unta, maka kaki depan dan belakangnya sebelah kiri diikat, kemudian pangkal lehernya disembelih, dalam keadaan sambil berdiri menghadap kiblat. Tetapi, jika hewan tersebut bukan unta, maka ditidurkan miring, dimana lambung sebelah kiri di bawah, kemudian disembelih menghadap kiblat.
Bagian yang Harus Dipotong: Dalam menyembelih hewan sembelihan, ada 4 urat yang harus putus, saat penyembelihan. (a) Tenggorokan [hulqum]; (b) 2 urat leher [wadijain]; (c) kerongkongan [mari’]. Jika tiga dari empat urat ini terputus, maka sah.
Namun, ketika hewan tersebut disembelih dari tengkuk, hingga tulang lehernya terputus, lalu mati, tetapi empat uratnya justru belum terpotong, maka sembelihan seperti ini tidak boleh dimakan. Tetapi, ketika tulang lehernya terputus, seketika juga diikuti dengan terputusnya empat urat tadi, maka halal dimakan. Karena itu, makruh hukumnya menyembelih dari tengkuk, karena menyiksa hewan sembelihan.

Disunahkan Segera: Dalam penyembelihan, disunahkan untuk sesegera mungkin. Ini sebagaimana sabda Nabi saw:
إنَّ اللهَ كَتَبَ الإحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الذَّبْحَ، وَلْيَحُدَّ أَحَدُكُمْ شَفَرَتَهُ، وَلْيُرحِ ذَبِيْحَتَهُ

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat ihsan [sempurna dalam menunaikan kebaikan] dalam segala hal. Jika kalian membunuh [hewan buruan], maka berbuatlah baik terhadap buruanmu. Jika kalian membunuh, maka berbuat baiknya terhadap sembelihanmu. Hendaknya salah seorang di antara kalian mengasah [menajamkan] mata pisaunya, dan tidak menyakiti sembelihannya.” [HR Muslim] [8]

Disunahkan Menguliti Saat Sudah Tidak Bernyawa: Hewan yang sudah disembelih tidak boleh segera dikuliti, kecuali setelah benar-benar ruhnya sudah lepas dari jasadnya. Karena disunahkan menguliti setelah ruhnya lepas, begitu juga memotong-motong bagian tubuhnya yang lain.
Hewan yang Tidak Bisa Disembelih
Mengenai hewan yang tidak bisa disembelih, bukan karena haram disembelih, tetapi karena buas atau liar.

Misalnya, kerbau atau sapi liar, yang susah dijinakkan, sehingga tidak bisa disembelih sebagaimana kriteria penyembelihan yang telah dijelaskan di atas, baik karena tidak mungkin disembelih, atau mungkin karena terperosok di dalam sumur, dan sejenisnya, maka hewan seperti ini diperlakukan seperti hewan buruan.

Karena itu, sebagaimana status hewan buruan [shaid], boleh dibunuh dengan mengalirkan darah dari badannya, dari posisi mana pun. Tidak harus dari leher, atau empat urat yang biasa disembelih. Telah diriwayatkan dari Abu al-Asyra’ dari ayahnya, berkata,

قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَمَّا تَكُوْنُ الذَّكَاةُ فِي الْحَلْقِ وَاللَّبَّةِ؟ قَالَ: لَوْ طَعِنْتَ فِي فَخِذِهَا أَجْزَأَ عَنْكَ

“Aku bertanya, “Ya Rasulullah, bukanlah penyembelihan itu di tenggorokan dan leher? Baginda saw menjawab, “Kalau kamu menikamnya di pahanya [hingga mati], maka [tikaman] itu pun cukup bagimu.” [HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i] [9]

Khatimah
Ini ketentuan hukum fikih tentang kurban. Bagi yang ingin mendalaminya, termasuk perincian perbedaan di kalangan ulama di dalamnya, maka hendaknya merujuk kitab-kitab muktabar. Karena yang ditulis di sini hanyalah ringkasan secara umum dari pandangan mereka. [MNews]

Referensi:
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Jie, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 2000 M/1421 H, Juz I.

Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 1996 M/1426 H.

Muslim, Shahih Muslim, Dar al-Fikr, Beirut, tt.

Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Dar al-Fikr, Beirut, tt.

Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Dar al-Fikr, Beirut, tt.

An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’I, Dar al-Fikr, Beirut, tt.

Abu Yusuf, al-Kharaj, Dar al-Fikr, Beirut, tt.

[1] Lihat, Muslim, Shahih Muslim, al-Adhahi, Bab Nahyi Man Dakhala ‘alaihi Dzi al-Hijjah; Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Jie, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 2000 M/1421 H, Juz I/221.

[2] Lihat, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud; Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, al-Adhahi, Bab Ma Yukrahu min ad-Dhahaya; An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, al-Adhahi, Bab al-Arja’.

[3] Lihat, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Bab al-Wudhu’ bi Ma’ al-Bahr; Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Fi at-Thaharah Bab Ma’ al-Bahr Innahu Thahurun, An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, Bab al-Wudhu’ bi Ma’ al-Bahr

[4] Mumayiz adalah isim fa’il dari Mayyaza-Yumayyizu, yaitu anak yang mempunyai kemampuan untuk memilih dan memilah ber-bagai hal. Mumayyiz juga bisa didefinisikan sebagai anak yang telah mampu memahami seruan [khithab], memberikan jawaban, bisa memilah antara yang manfaat dan mudarat. Tidak ada batasan umur baku, tetapi bisa berbeda, antara orang satu dengan yang lain. Lihat, Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 1996 M/1426 H, hal. 429-430.

[5] Lihat, Abu Yusuf, al-Kharaj, hal. 129.

[6] Lihat, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, fi al-Adhahi Bab Dzakatu al-Janin; at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, fi al-Ath’imah, Bab Dzakatu al-Janin.

[7] Lihat, Abu Yusuf, al-Kharaj, hal. 129.

[8] Lihat, Muslim, Shahih Muslim, Bab al-Amr Bi Ihsan ad-Dzabh wa al-Qatl

[9] Lihat, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, fi Adhahi Bab Dzabitu al-Mutaraddiyah; at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Bab ad-Dzakatu fi al-Halaq wa al-Labbah; an-Nasa’I, Sunan an-Nasa’i, fi al-Mutaraddiyatu fi al-Bi’r al-Lati la yushalu ila Halqiha

Senin, 21 Juni 2021

shalat berjarak ketika corona


📕Fikih Tanya Jawab 
Kaidah Dharar dan Hubungannya dengan Wabah Corona dan Berjarak dalam Salat Jemaah?

 3 Juni 2021
 kaidah dharar, saf salat, salat berjemaah, shaf shalat, shalat berjamaah


Oleh: Syekh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 TANYA JAWAB — Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Saya belum mendapat jawaban atas pertanyaan pertama, dan saya mengajukan pertanyaan kedua yang memiliki prioritas:

Syaikhuna al-fadhil semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda. Saya mohon bantuan seputar kaidah adh-dharar dan adh-dhirâr. Menurut apa yang ada di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah bagian 3 (dan menurut pemahaman saya).

Apakah dharar itu berkaitan dengan sesuatu tanpa berkaitan dengan perbuatan? Jika tidak demikian, apakah benar menerapkan kaidah adh-dharar terhadap wabah Corona dan kebolehan berjarak dalam saf salat menurut hukum kemungkinan adanya dharar yaitu penularan?

Saya mohon sebagian perincian untuk istidlal.

Jawab:
Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu. Kami telah memperinci topik kaidah adh-dharar di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah bagian 3 halaman 471—475 dalam file word:

[Kaidah adh-dharar mencakup dua perkara: pertama, keberadaan sesuatu itu sendiri memudaratkan, dan tidak ada di dalam seruan asy-Syari’ apa yang menunjukkan tuntutan mengerjakannya atau tuntutan meninggalkannya, atau pilihan padanya.

Maka keberadaannya sebagai hal memudaratkan merupakan dalil atas pengharamannya. Sebab asy-Syâri’ telah mengharamkan adh-dharar.

Kaidah menyatakan bahwa “al-ashlu fî al-mudhâr at-tahrîm -hukum asal pada sesuatu yang memudaratkan adalah haram-“.

Adapun perkara kedua, yaitu asy-Syâri’ telah memudahkan sesuatu secara umum, tetapi pada salah satu individu dari individu-individu, hukum mubah itu ada dharar, maka keberadaan individu itu memudaratkan atau mengantarkan kepada dharar merupakan dalil atas pengharamannya.

Sebab asy-Syâri’ telah mengharamkan individu dan di antara individu-individu dimubahkan jika individu itu memudaratkan atau mengantarkan kepada dharar.

Adapun kaidahnya: “Kullu fardin min afrâdi al-mubâh idzâ kâna dhâran aw mu`addiyan ilâ dhararin, hurima dzâlika al-fardu wa zhalla al-amru mubâhan. (Setiap individu dari individu mubah jika memudaratkan atau mengantarkan kepada dharar, individu itu diharamkan sementara perkara tersebut tetap mubah.)”

Berkaitan dengan kaidah pertama, dalilnya adalah sabda Rasul saw.,

«لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ فِي الإِسْلاَمِ» أخرجه الطبراني

“Tidak boleh memudaratkan diri sendiri dan orang lain di dalam Islam.” (HR ath-Thabarani).

Abu Dawud telah mengeluarkan dari hadis Abu Shirmah Malik bin Qays al-Anshari, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,

«مَنْ ضَارَّ أَضَرَّ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ شَاقَّ شَاقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ»

“Siapa saja yang memudaratkan, niscaya Allah mudaratkan dia dan siapa yang menyulitkan, niscaya Allah sulitkan baginya”.

Dua hadis ini merupakan dalil bahwa asy–Syâri’ mengharamkan adh-dharar.

Adapun berkaitan dengan kaidah kedua, dalilnya adalah:

«قد كانَ رسولُ اللَّهِ ﷺ حينَ مَرَّ بالْحِجْرِ، نَـزَلَها، واستقى الناسُ من بِئْرِها، فلمّا راحوا قالَ رسولُ اللَّهِ ﷺ: لا تَشْرَبوا من مائها شيئاً، ولا تتوضئوا منه للصلاة، وما كانَ من عَجِينٍ عَجَنْتُمُوهُ فأعْلِفوهُ الإبِلَ، ولا تأكُلوا منه شيئاً، ولا يَخْرُجَنَّ أحدٌ منكُمُ الليلةَ إلاّ ومعه صاحبٌ له…» رواه ابن هشام في سيرته

“Rasulullah saw. ketika melalui al-Hijr, beliau berhenti di situ dan orang-orang hendak minum dari sumurnya. Ketika mereka istirahat, Rasulullah saw. bersabda, ‘Jangan kalian minum sedikit pun dari airnya, jangan kalian berwudu dengannya untuk salat, adonan yang sudah telanjur dibuat dengannya, maka berikan makan unta dan jangan kalian makan sedikit pun darinya, dan jangan seorang pun dari kalian keluar pada malam hari kecuali disertai temannya.'” (HR Ibnu Hisyam di dalam Sîrah-nya).

Di dalam kisah ini, dapat dilihat bagaimana Rasul saw. mengharamkan individu dari individu yang dibolehkan.

Minum air adalah mubah, tetapi Rasul saw. mengharamkan bagi mereka minum air dari sumur Hijr, dan beliau mengharamkan atas mereka berwudu dengannya.

Seseorang keluar di malam hari seorang diri adalah mubah, tetapi Rasul saw. mengharamkan bagi mereka pada malam itu untuk keluar kecuali bersama teman. Kemudian menjadi jelas bahwa, tidak lain beliau mengharamkan air itu karena terbukti untuk beliau bahwa di dalamnya ada dharar, dan beliau mengharamkan keluar seorang diri karena terbukti untuk beliau bahwa di dalam hal itu ada dharar.

Jadi adanya dharar belum mengharamkan apa yang dibolehkan syara’, melainkan adanya dharar dalam individunya mengharamkan individu itu, tetapi perkara tersebut tetap mubah, baik itu berupa perbuatan atau sesuatu.
Ini jika individu mubah itu memudaratkan. Adapun jika mengantarkan kepada dharar, maka dalilnya adalah apa yang diriwayatkan:

«أَنَّ رسولَ اللَّهِ ﷺ أقامَ بِتَبُوك بِضْعَ عَشْرَةَ ليلةً لَمْ يُجاوِزْها، ثـُمَّ انصرَفَ قافِلاً إلى المدينة، وكانَ في الطريق ماءٌ يَخْرُجُ من وَشَلٍ، ما يُروي الراكبَ والراكبين والثلاثة، بِوادٍ يُقالُ له وادي الْمُشَقَّقِ، فقالَ رسولُ اللَّهِ ﷺ: مَنْ سَبَقَنا إلى ذلكَ الوادي فلا يَسْتَقِيَنَّ منه شيئاً حتى نَأْتِيَهُ…» رواه ابن هشام في سيرته

“Rasulullah saw. berdiam di Tabuk belasan malam tidak melewatinya, kemudian kafilah kembali ke Madinah. Di jalan ada air yang keluar dari Wasyal yang tidak memuaskan minum seorang, dua atau tiga orang penunggang, di lembah yang disebut lembah al-Musyaqqaq. Maka Rasulullah saw bersabda: “siapa yang mendahului kami ke lembah itu maka jangan minum sedikit pun darinya sampai kami tiba di situ …” (HR Ibnu Hisyam di dalam Sîrah–nya).

Di dalam hadis ini, Rasul saw. mengharamkan minum air yang sedikit itu sebab itu mengantarkan kepada kehausannya pasukan.

Beliau bersabda ketika itu, “Siapa yang mendahului kami ke lembah itu maka jangan minum sedikit pun darinya sampai kami tiba di situ,” dan beliau melaknat orang-orang yang minum darinya.

Itu merupakan dalil bahwa beliau mengharamkan orang untuk minum darinya sampai beliau tiba di situ.

Minum dari air adalah mubah, dan minum dari air di lembah itu di dalamnya tidak ada dharar, tetapi minum darinya sebelum kedatangan Rasul saw. dan pembagian air itu di antara pasukan akan mengantarkan kepada pasukan itu tidak mendapatkannya, yakni mengantarkan kepada dharar.

Maka beliau mengharamkan minum dari air lembah itu sampai beliau tiba. Jadi, keberadaan sesuatu mengantarkan kepada dharar tidak mengharamkan apa yang dimubahkan oleh syara’.

Tidak lain keberadaan individu dari individunya mengantarkan kepada dharar maka diharamkan lah individu itu saja, tetapi perkara tersebut tetap mubah, baik itu perbuatan atau sesuatu.

Hadis-hadis ini ada di dalam dua kondisi : kondisi keberadaan sesuatu memudaratkan dan kondisi keberadaan sesuatu yang mengantarkan kepada dharar,.

Darinya diistinbath kaidah kedua, yaitu, “Kullu fardin min afrâdi al-mubâh idzâ kâna dhâran aw mu`addiyan ilâ dhararin, hurima dzâlika al-fardu wa zhalla al-amru mubâhan. (Setiap individu dari individu mubah jika memudaratkan atau mengantarkan kepada dharar, individu itu diharamkan sementara perkara tersebut tetap mubah)”, dan ini merupakan perkara kedua dari dua perkara kaidah dharar.] Selesai.

Dengan perenungan kaidah adh-dharar dengan dua sayapnya, menjadi jelas bahwa itu tidak berlaku terhadap apa yang Anda sebutkan tentang Corona dalam pertanyaan Anda dari sisi berjarak dalam saf, karena sebab-sebab berikut:

1- Adapun bagian pertama kaidah, maka itu mengharuskan di situ tidak ada nas untuk melakukan hal itu atau tidak melakukannya atau pilihan di dalamnya. Maka, jika di situ ada nas, bersandar kepada nas tanpa melampauinya ke pembahasan adh-dharar.

Ini tidak berlaku pada saling berjauhan dalam saf, sebab di situ ada nas seputar merapatkan saf, artinya di situ ada larangan saling berjauhan. Jadi bagian ini dari kaidah tersebut tidak berlaku atasnya dengan alasan adh-dharar.


2- Adapun bagian kedua dari kaidah tersebut, maka di situ wajib keberadaan perkara tersebut mubah kemudian datang larangan dari sebagiannya. Merapatkan di dalam saf, di situ ada nas-nas yang memerintahkannya atas wajib atau sunah, bukan mubah. Dengan begitu dia keluar dari penerapan kaidah tersebut.


3- Atas dasar itu, kaidah adh-dharar tidak berlaku di sini. Tidak lain dibahas tentang hukum syara’ berkaitan dengan salat di masjid dari sisi merapatkan saf. Maka menjadi jelas bahwa Rasul saw. mewajibkan salat Jumat dan memperbolehkan untuk orang yang sakit untuk tidak pergi salat Jumat atau jemaah jika dia sakit:

a- Adapun keberadaan salat Jumat fardu, karena Allah Swt. berfirman,

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴾

“Wahai orang-orang beriman! Apabila diseru untuk menunaikan salat Jumat, maka segeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS Al-Jumu’ah [62]: 9)

Di sini ada larangan dari sesuatu yang mubah (jual beli) dan pergi ke salat Jumat. Qarinah ini bersifat jazam bahwa salat Jumat adalah fardu.

b- Adapun orang yang sakit dikecualikan dari wajibnya pergi ke salat Jumat, itu karena apa yang telah dikeluarkan oleh al-Hakim dari Abu Musa dari Nabi saw., beliau bersabda,

«الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوكٌ، أَوْ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيضٌ»

“Salat Jumat merupakan hak wajib bagi setiap muslim di dalam jemaah kecuali empat: hamba sahaya, perempuan, anak-anak atau orang yang sakit.”

Al-Hakim berkata, “Ini merupakan hadis sahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim meski beliau berdua tidak mengeluarkannya.”

Demikian juga, An-Nasai telah mengeluarkan dari Ibnu Umar ra. dari Hafshah istri Nabi saw., Nabi saw. bersabda,

«رَوَاحُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ»

“Salat Jumat adalah wajib bagi setiap orang yang telah mimpi (balig)”.


4- Adapun merapatkan dalam saf, maka nas jelas dalam perintah dengannya. Imam Muslim telah mengeluarkan di dalam Shahîh-nya dari Jabir bin Samurah, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,

«أَلَا تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا؟» فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ، وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا؟ قَالَ: «يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الْأُوَلَ وَيَتَرَاصُّونَ فِي الصَّفِّ»

“Kenapa kalian tidak berbaris sebagaimana para Malaikat berbaris di hadapan Rabb-nya?” Maka kami katakan, “Ya Rasulullah, bagaimana para Malaikat berbaris di hadapan Rabb-nya?” Beliau bersabda, “Mereka melengkapi saf pertama dan merapatkan dalam saf.”

Imam Ahmad telah mengeluarkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda,

«أَقِيمُوا الصُّفُوفَ فَإِنَّمَا تَصُفُّونَ بِصُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا فِي أَيْدِي إِخْوَانِكُمْ وَلَا تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفّاً وَصَلَهُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَمَنْ قَطَعَ صَفّاً قَطَعَهُ اللَّهُ»

“Tegakkan saf, tidak lain kalian harus bersaf dengan safnya para Malaikat dan luruskan di antara pundak, isi yang kosong dan rapatkan di antara tangan kalian dan jangan biarkan celah untuk setan, dan siapa yang menyambungkan saf, maka Allah menyambungkan dia dan siapa yang memotong saf maka Allah memotong dia.”


5- Sebelumnya kami telah mengeluarkan sejumlah jawaban terperinci seputar topik ini. Saya mencukupkan untuk mengingatkan Anda hanya dengan dua Jawab-Soal seputar topik ini:

Pertama, pada 17 Syawal 1441 H/8 Juni 2020 M, dan saya kutipkan potongan yang ada di situ:

[… Kedua: Atas dasar itu, maka negara-negara di negeri kaum muslim, jika mengharuskan orang-orang yang menunaikan salat agar saling berjauhan (berjarak) satu di samping yang lain sejarak satu atau dua meter, baik apakah yang demikian itu di dalam salat Jumat atau salat jemaah karena khawatir penularan, khususnya tanpa ada gejala-gejala patologis, maka dengan itu dia telah melakukan dosa besar yang mana saling berjauhan ini merupakan bidah.

Demikian itu karena saling berjauhan (berjarak) dalam salat Jumat dan jemaah itu merupakan penyimpangan yang jelas terhadap tata cara saf dan merapatkan saf yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw. dengan dalil-dalil syar’i.

Ketiga: Tidak dikatakan bahwa penyakit yang menular adalah uzur yang memperbolehkan saling berjauhan di dalam salat jemaah. Tidak dikatakan demikian. Sebab, penyakit yang menular adalah uzur untuk tidak pergi ke masjid, bukan uzur untuk pergi dan saling berjauhan dari orang yang salat di sampingnya satu atau dua meter!

Penyakit menular terjadi pada masa Rasulullah saw. (Tha’un) dan tidak ada dari Rasul saw. bahwa orang yang terinfeksi Tha’un pergi ke tempat salat dan menjauh dari temannya sejarak dua meter. Tetapi, dia diberi uzur sehingga dia salat di rumahnya.


Ringkasan
Orang yang berkewajiban hendaknya menunaikan kewajiban Jumat. Sedangkan orang yang sakit, dia diberi uzur sehingga dia tidak pergi.

Jika sakitnya menular, maka tidak pergi untuk salat Jumat lebih ditegaskan. Dari sisi kehati-hatian dan pemeliharaan urusan, negara menempatkan satuan kesehatan di dekat masjid-masjid selama hari Jumat untuk mengatasi celah yang terjadi.

Adapun pertanyaan Anda tentang kaidah adh-dharar, apakah itu berkaitan dengan sesuatu atau perbuatan, maka kaidah itu berkaitan dengan kedua perkara tersebut sebagaimana yang kami sebutkan di dalam kutipan kami dari buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah bagian 3 “Kaidah adh-Dharar”. Kami telah menonjolkan kalimat “baik itu merupakan perbuatan atau sesuatu” di dalam teks yang kami kutipkan untuk menegaskan hal itu.

Saya berharap di dalam hal ini ada kecukupan, wallâh a’lam wa ahkam. 9 Syawal 1442 H/21 Mei 2021 M. 

Sumber: https://tsaqofah.id/kaedah-dharar-dan-hubungannya-dengan-wabah-coronda-dan-berjarak-dalam-shalat-jamaah/