Senin, 21 Juni 2021

shalat berjarak ketika corona


📕Fikih Tanya Jawab 
Kaidah Dharar dan Hubungannya dengan Wabah Corona dan Berjarak dalam Salat Jemaah?

 3 Juni 2021
 kaidah dharar, saf salat, salat berjemaah, shaf shalat, shalat berjamaah


Oleh: Syekh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 TANYA JAWAB — Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Saya belum mendapat jawaban atas pertanyaan pertama, dan saya mengajukan pertanyaan kedua yang memiliki prioritas:

Syaikhuna al-fadhil semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda. Saya mohon bantuan seputar kaidah adh-dharar dan adh-dhirâr. Menurut apa yang ada di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah bagian 3 (dan menurut pemahaman saya).

Apakah dharar itu berkaitan dengan sesuatu tanpa berkaitan dengan perbuatan? Jika tidak demikian, apakah benar menerapkan kaidah adh-dharar terhadap wabah Corona dan kebolehan berjarak dalam saf salat menurut hukum kemungkinan adanya dharar yaitu penularan?

Saya mohon sebagian perincian untuk istidlal.

Jawab:
Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu. Kami telah memperinci topik kaidah adh-dharar di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah bagian 3 halaman 471—475 dalam file word:

[Kaidah adh-dharar mencakup dua perkara: pertama, keberadaan sesuatu itu sendiri memudaratkan, dan tidak ada di dalam seruan asy-Syari’ apa yang menunjukkan tuntutan mengerjakannya atau tuntutan meninggalkannya, atau pilihan padanya.

Maka keberadaannya sebagai hal memudaratkan merupakan dalil atas pengharamannya. Sebab asy-Syâri’ telah mengharamkan adh-dharar.

Kaidah menyatakan bahwa “al-ashlu fî al-mudhâr at-tahrîm -hukum asal pada sesuatu yang memudaratkan adalah haram-“.

Adapun perkara kedua, yaitu asy-Syâri’ telah memudahkan sesuatu secara umum, tetapi pada salah satu individu dari individu-individu, hukum mubah itu ada dharar, maka keberadaan individu itu memudaratkan atau mengantarkan kepada dharar merupakan dalil atas pengharamannya.

Sebab asy-Syâri’ telah mengharamkan individu dan di antara individu-individu dimubahkan jika individu itu memudaratkan atau mengantarkan kepada dharar.

Adapun kaidahnya: “Kullu fardin min afrâdi al-mubâh idzâ kâna dhâran aw mu`addiyan ilâ dhararin, hurima dzâlika al-fardu wa zhalla al-amru mubâhan. (Setiap individu dari individu mubah jika memudaratkan atau mengantarkan kepada dharar, individu itu diharamkan sementara perkara tersebut tetap mubah.)”

Berkaitan dengan kaidah pertama, dalilnya adalah sabda Rasul saw.,

«لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ فِي الإِسْلاَمِ» أخرجه الطبراني

“Tidak boleh memudaratkan diri sendiri dan orang lain di dalam Islam.” (HR ath-Thabarani).

Abu Dawud telah mengeluarkan dari hadis Abu Shirmah Malik bin Qays al-Anshari, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,

«مَنْ ضَارَّ أَضَرَّ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ شَاقَّ شَاقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ»

“Siapa saja yang memudaratkan, niscaya Allah mudaratkan dia dan siapa yang menyulitkan, niscaya Allah sulitkan baginya”.

Dua hadis ini merupakan dalil bahwa asy–Syâri’ mengharamkan adh-dharar.

Adapun berkaitan dengan kaidah kedua, dalilnya adalah:

«قد كانَ رسولُ اللَّهِ ﷺ حينَ مَرَّ بالْحِجْرِ، نَـزَلَها، واستقى الناسُ من بِئْرِها، فلمّا راحوا قالَ رسولُ اللَّهِ ﷺ: لا تَشْرَبوا من مائها شيئاً، ولا تتوضئوا منه للصلاة، وما كانَ من عَجِينٍ عَجَنْتُمُوهُ فأعْلِفوهُ الإبِلَ، ولا تأكُلوا منه شيئاً، ولا يَخْرُجَنَّ أحدٌ منكُمُ الليلةَ إلاّ ومعه صاحبٌ له…» رواه ابن هشام في سيرته

“Rasulullah saw. ketika melalui al-Hijr, beliau berhenti di situ dan orang-orang hendak minum dari sumurnya. Ketika mereka istirahat, Rasulullah saw. bersabda, ‘Jangan kalian minum sedikit pun dari airnya, jangan kalian berwudu dengannya untuk salat, adonan yang sudah telanjur dibuat dengannya, maka berikan makan unta dan jangan kalian makan sedikit pun darinya, dan jangan seorang pun dari kalian keluar pada malam hari kecuali disertai temannya.'” (HR Ibnu Hisyam di dalam Sîrah-nya).

Di dalam kisah ini, dapat dilihat bagaimana Rasul saw. mengharamkan individu dari individu yang dibolehkan.

Minum air adalah mubah, tetapi Rasul saw. mengharamkan bagi mereka minum air dari sumur Hijr, dan beliau mengharamkan atas mereka berwudu dengannya.

Seseorang keluar di malam hari seorang diri adalah mubah, tetapi Rasul saw. mengharamkan bagi mereka pada malam itu untuk keluar kecuali bersama teman. Kemudian menjadi jelas bahwa, tidak lain beliau mengharamkan air itu karena terbukti untuk beliau bahwa di dalamnya ada dharar, dan beliau mengharamkan keluar seorang diri karena terbukti untuk beliau bahwa di dalam hal itu ada dharar.

Jadi adanya dharar belum mengharamkan apa yang dibolehkan syara’, melainkan adanya dharar dalam individunya mengharamkan individu itu, tetapi perkara tersebut tetap mubah, baik itu berupa perbuatan atau sesuatu.
Ini jika individu mubah itu memudaratkan. Adapun jika mengantarkan kepada dharar, maka dalilnya adalah apa yang diriwayatkan:

«أَنَّ رسولَ اللَّهِ ﷺ أقامَ بِتَبُوك بِضْعَ عَشْرَةَ ليلةً لَمْ يُجاوِزْها، ثـُمَّ انصرَفَ قافِلاً إلى المدينة، وكانَ في الطريق ماءٌ يَخْرُجُ من وَشَلٍ، ما يُروي الراكبَ والراكبين والثلاثة، بِوادٍ يُقالُ له وادي الْمُشَقَّقِ، فقالَ رسولُ اللَّهِ ﷺ: مَنْ سَبَقَنا إلى ذلكَ الوادي فلا يَسْتَقِيَنَّ منه شيئاً حتى نَأْتِيَهُ…» رواه ابن هشام في سيرته

“Rasulullah saw. berdiam di Tabuk belasan malam tidak melewatinya, kemudian kafilah kembali ke Madinah. Di jalan ada air yang keluar dari Wasyal yang tidak memuaskan minum seorang, dua atau tiga orang penunggang, di lembah yang disebut lembah al-Musyaqqaq. Maka Rasulullah saw bersabda: “siapa yang mendahului kami ke lembah itu maka jangan minum sedikit pun darinya sampai kami tiba di situ …” (HR Ibnu Hisyam di dalam Sîrah–nya).

Di dalam hadis ini, Rasul saw. mengharamkan minum air yang sedikit itu sebab itu mengantarkan kepada kehausannya pasukan.

Beliau bersabda ketika itu, “Siapa yang mendahului kami ke lembah itu maka jangan minum sedikit pun darinya sampai kami tiba di situ,” dan beliau melaknat orang-orang yang minum darinya.

Itu merupakan dalil bahwa beliau mengharamkan orang untuk minum darinya sampai beliau tiba di situ.

Minum dari air adalah mubah, dan minum dari air di lembah itu di dalamnya tidak ada dharar, tetapi minum darinya sebelum kedatangan Rasul saw. dan pembagian air itu di antara pasukan akan mengantarkan kepada pasukan itu tidak mendapatkannya, yakni mengantarkan kepada dharar.

Maka beliau mengharamkan minum dari air lembah itu sampai beliau tiba. Jadi, keberadaan sesuatu mengantarkan kepada dharar tidak mengharamkan apa yang dimubahkan oleh syara’.

Tidak lain keberadaan individu dari individunya mengantarkan kepada dharar maka diharamkan lah individu itu saja, tetapi perkara tersebut tetap mubah, baik itu perbuatan atau sesuatu.

Hadis-hadis ini ada di dalam dua kondisi : kondisi keberadaan sesuatu memudaratkan dan kondisi keberadaan sesuatu yang mengantarkan kepada dharar,.

Darinya diistinbath kaidah kedua, yaitu, “Kullu fardin min afrâdi al-mubâh idzâ kâna dhâran aw mu`addiyan ilâ dhararin, hurima dzâlika al-fardu wa zhalla al-amru mubâhan. (Setiap individu dari individu mubah jika memudaratkan atau mengantarkan kepada dharar, individu itu diharamkan sementara perkara tersebut tetap mubah)”, dan ini merupakan perkara kedua dari dua perkara kaidah dharar.] Selesai.

Dengan perenungan kaidah adh-dharar dengan dua sayapnya, menjadi jelas bahwa itu tidak berlaku terhadap apa yang Anda sebutkan tentang Corona dalam pertanyaan Anda dari sisi berjarak dalam saf, karena sebab-sebab berikut:

1- Adapun bagian pertama kaidah, maka itu mengharuskan di situ tidak ada nas untuk melakukan hal itu atau tidak melakukannya atau pilihan di dalamnya. Maka, jika di situ ada nas, bersandar kepada nas tanpa melampauinya ke pembahasan adh-dharar.

Ini tidak berlaku pada saling berjauhan dalam saf, sebab di situ ada nas seputar merapatkan saf, artinya di situ ada larangan saling berjauhan. Jadi bagian ini dari kaidah tersebut tidak berlaku atasnya dengan alasan adh-dharar.


2- Adapun bagian kedua dari kaidah tersebut, maka di situ wajib keberadaan perkara tersebut mubah kemudian datang larangan dari sebagiannya. Merapatkan di dalam saf, di situ ada nas-nas yang memerintahkannya atas wajib atau sunah, bukan mubah. Dengan begitu dia keluar dari penerapan kaidah tersebut.


3- Atas dasar itu, kaidah adh-dharar tidak berlaku di sini. Tidak lain dibahas tentang hukum syara’ berkaitan dengan salat di masjid dari sisi merapatkan saf. Maka menjadi jelas bahwa Rasul saw. mewajibkan salat Jumat dan memperbolehkan untuk orang yang sakit untuk tidak pergi salat Jumat atau jemaah jika dia sakit:

a- Adapun keberadaan salat Jumat fardu, karena Allah Swt. berfirman,

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴾

“Wahai orang-orang beriman! Apabila diseru untuk menunaikan salat Jumat, maka segeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS Al-Jumu’ah [62]: 9)

Di sini ada larangan dari sesuatu yang mubah (jual beli) dan pergi ke salat Jumat. Qarinah ini bersifat jazam bahwa salat Jumat adalah fardu.

b- Adapun orang yang sakit dikecualikan dari wajibnya pergi ke salat Jumat, itu karena apa yang telah dikeluarkan oleh al-Hakim dari Abu Musa dari Nabi saw., beliau bersabda,

«الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوكٌ، أَوْ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيضٌ»

“Salat Jumat merupakan hak wajib bagi setiap muslim di dalam jemaah kecuali empat: hamba sahaya, perempuan, anak-anak atau orang yang sakit.”

Al-Hakim berkata, “Ini merupakan hadis sahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim meski beliau berdua tidak mengeluarkannya.”

Demikian juga, An-Nasai telah mengeluarkan dari Ibnu Umar ra. dari Hafshah istri Nabi saw., Nabi saw. bersabda,

«رَوَاحُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ»

“Salat Jumat adalah wajib bagi setiap orang yang telah mimpi (balig)”.


4- Adapun merapatkan dalam saf, maka nas jelas dalam perintah dengannya. Imam Muslim telah mengeluarkan di dalam Shahîh-nya dari Jabir bin Samurah, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,

«أَلَا تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا؟» فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ، وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا؟ قَالَ: «يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الْأُوَلَ وَيَتَرَاصُّونَ فِي الصَّفِّ»

“Kenapa kalian tidak berbaris sebagaimana para Malaikat berbaris di hadapan Rabb-nya?” Maka kami katakan, “Ya Rasulullah, bagaimana para Malaikat berbaris di hadapan Rabb-nya?” Beliau bersabda, “Mereka melengkapi saf pertama dan merapatkan dalam saf.”

Imam Ahmad telah mengeluarkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda,

«أَقِيمُوا الصُّفُوفَ فَإِنَّمَا تَصُفُّونَ بِصُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا فِي أَيْدِي إِخْوَانِكُمْ وَلَا تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفّاً وَصَلَهُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَمَنْ قَطَعَ صَفّاً قَطَعَهُ اللَّهُ»

“Tegakkan saf, tidak lain kalian harus bersaf dengan safnya para Malaikat dan luruskan di antara pundak, isi yang kosong dan rapatkan di antara tangan kalian dan jangan biarkan celah untuk setan, dan siapa yang menyambungkan saf, maka Allah menyambungkan dia dan siapa yang memotong saf maka Allah memotong dia.”


5- Sebelumnya kami telah mengeluarkan sejumlah jawaban terperinci seputar topik ini. Saya mencukupkan untuk mengingatkan Anda hanya dengan dua Jawab-Soal seputar topik ini:

Pertama, pada 17 Syawal 1441 H/8 Juni 2020 M, dan saya kutipkan potongan yang ada di situ:

[… Kedua: Atas dasar itu, maka negara-negara di negeri kaum muslim, jika mengharuskan orang-orang yang menunaikan salat agar saling berjauhan (berjarak) satu di samping yang lain sejarak satu atau dua meter, baik apakah yang demikian itu di dalam salat Jumat atau salat jemaah karena khawatir penularan, khususnya tanpa ada gejala-gejala patologis, maka dengan itu dia telah melakukan dosa besar yang mana saling berjauhan ini merupakan bidah.

Demikian itu karena saling berjauhan (berjarak) dalam salat Jumat dan jemaah itu merupakan penyimpangan yang jelas terhadap tata cara saf dan merapatkan saf yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw. dengan dalil-dalil syar’i.

Ketiga: Tidak dikatakan bahwa penyakit yang menular adalah uzur yang memperbolehkan saling berjauhan di dalam salat jemaah. Tidak dikatakan demikian. Sebab, penyakit yang menular adalah uzur untuk tidak pergi ke masjid, bukan uzur untuk pergi dan saling berjauhan dari orang yang salat di sampingnya satu atau dua meter!

Penyakit menular terjadi pada masa Rasulullah saw. (Tha’un) dan tidak ada dari Rasul saw. bahwa orang yang terinfeksi Tha’un pergi ke tempat salat dan menjauh dari temannya sejarak dua meter. Tetapi, dia diberi uzur sehingga dia salat di rumahnya.


Ringkasan
Orang yang berkewajiban hendaknya menunaikan kewajiban Jumat. Sedangkan orang yang sakit, dia diberi uzur sehingga dia tidak pergi.

Jika sakitnya menular, maka tidak pergi untuk salat Jumat lebih ditegaskan. Dari sisi kehati-hatian dan pemeliharaan urusan, negara menempatkan satuan kesehatan di dekat masjid-masjid selama hari Jumat untuk mengatasi celah yang terjadi.

Adapun pertanyaan Anda tentang kaidah adh-dharar, apakah itu berkaitan dengan sesuatu atau perbuatan, maka kaidah itu berkaitan dengan kedua perkara tersebut sebagaimana yang kami sebutkan di dalam kutipan kami dari buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah bagian 3 “Kaidah adh-Dharar”. Kami telah menonjolkan kalimat “baik itu merupakan perbuatan atau sesuatu” di dalam teks yang kami kutipkan untuk menegaskan hal itu.

Saya berharap di dalam hal ini ada kecukupan, wallâh a’lam wa ahkam. 9 Syawal 1442 H/21 Mei 2021 M. 

Sumber: https://tsaqofah.id/kaedah-dharar-dan-hubungannya-dengan-wabah-coronda-dan-berjarak-dalam-shalat-jamaah/



Selasa, 01 Juni 2021

hukum daging laboratorium

HUKUM DAGING LABORATORIUM
Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

Tanya:
Assalamu'alaikum Yai. Nyuwun pangapunten Yai, al faqir ada pertanyaan berkenaan dengan mulai banyaknya daging buatan laboratorium (hasil dari kultur sel) yang tersedia di pasar (walaupun di Indonesia sepertinya belum beredar), yang dikembangbiakkan dari sel hidup yang diambil dari sapi/ayam/kambing.
Bagaimana hukum untuk mengkonsumsinya? (Fajar Kurniawan, Surabaya)

Jawab:

Wa 'alaikumus salam wr wb.
Hukum mengkonsumsi daging laboratorium adalah haram. Karena daging laboratorium tersebut termasuk bangkai (al maitah), yang jelas telah diharamkan dalam Islam (QS Al Maidah : 3; QS Al Baqarah : 173: QS Al An'aam : 145).

Daging laborarorium dihukumi bangkai (al maitah) karena sel asalnya diambil dari biopsi binatang yang masih hidup. Biopsi adalah pengambilan jaringan (sekumpulan sel) dari binatang hidup, seperti sapi atau ayam.

Padahal terdapat hadits yang menyatakan bahwa bagian tubuh yang diambil atau dipotong dari hewan yang hidup, maka statusnya adalah bangkai.

Sabda Rasulullah SAW : 

ما قُطِعَ منَ البَهيمةِ وَهيَ حيَّةٌ فَهوَ ميتَةٌ

"Apa-apa yang dipotong dari binatang padahal binatang itu masih hidup, maka potongan itu adalah bangkai." (HR Tirmidzi, no. 1480).

Dengan demikian, jelaslah bahwa daging laboratorium itu hukumnya haram dimakan, karena daging laboratorium tersebut dihukumi sebagai bangkai karena sel asalnya diambil dari binatang yang masih hidup.

Selesai dengan ringkas. Walhamdulillah.

Yogyakarta, 15 April 2021
M. Shiddiq Al Jawi

hukum rebonding

HUKUM REBONDING 

Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi

Rebonding adalah meluruskan rambut agar rambut jatuh lebih lurus dan lebih indah. Prosesnya dua tahap. Pertama, rambut diberi krim tahap pertama untuk membuka ikatan protein rambut. 

Kemudian rambut dicatok, yaitu diberi perlakuan seperti disetrika dengan alat pelurus rambut bersuhu tinggi. Kedua, rambut diberi krim tahap kedua untuk mempertahankan pelurusan rambut.

Proses rebonding melibatkan proses kimiawi yang mengubah struktur protein dalam rambut. Protein pembentuk rambut manusia disebut keratin, yang terdiri dari unsur sistin (cystine) yaitu senyawa asam amino yang memiliki unsur sulfida.

Jembatan disulfida -S-S- dari sistin inilah yang paling bertanggung jawab atas berbagai bentuk dari rambut kita. 

Rambut berbentuk lurus atau keriting dikarenakan keratin mengandung jembatan disulfida yang membuat molekul mempertahankan bentuk-bentuk tertentu.

Pada proses rebonding, pemberian krim tertentu bertujuan untuk membuka/memutus jembatan disulfida itu, sehingga bentuk rambut yang keriting menjadi lemas/lurus.

Proses rebonding menghasilkan perubahan permanen pada rambut yang terkena aplikasi. Namun rambut baru yang tumbuh dari akar rambut akan tetap mempunyai bentuk rambut yang asli. 

Jadi, rebonding bukan pelurusan rambut biasa yang hanya menggunakan perlakuan fisik, tapi juga menggunakan perlakuan kimiawi yang mengubah struktur protein dalam rambut secara permanen. Inilah fakta (manath) rebonding.

Menurut kami, rebonding hukumnya haram, karena termasuk dalam proses mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah) yang telah diharamkan oleh nash-nash syara’. 

Dalil keharamannya adalah keumuman firman Allah (artinya), “Dan aku (syaithan) akan menyuruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu mereka benar-benar mengubahnya”. (QS An-Nisaa` [4] : 119). Ayat ini menunjukkan haramnya mengubah ciptaan Allah, karena syaitan tidak menyuruh manusia kecuali kepada perbuatan dosa.

Mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah) didefinisikan sebagai proses mengubah sifat sesuatu sehingga seakan-akan ia menjadi sesuatu yang lain (tahawwul al-syai` ‘an shifatihi hatta yakuna ka`annahu syaiun akhar), atau dapat berarti menghilangkan sesuatu itu sendiri (al-izalah). (Hani bin Abdullah al-Jubair, Al-Dhawabit al-Syar’iyah li al-‘Amaliyat al-Tajmiliyyah, hlm.9).

Dari definisi tersebut, berarti rebonding termasuk dalam mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah), karena rebonding telah mengubah struktur protein dalam rambut secara permanen sehingga mengubah sifat atau bentuk rambut asli menjadi sifat atau bentuk rambut yang lain. Dengan demikian, rebonding hukumnya haram.

Selain dalil di atas, keharaman rebonding juga didasarkan pada dalil Qiyas. 

Dalam hadis Nabi SAW, diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA, dia berkata, “Allah melaknat wanita yang mentato dan yang minta ditato, yang mencabut bulu alis dan yang minta dicabutkan bulu alisnya, serta wanita yang merenggangkan giginya untuk kecantikan, mereka telah mengubah ciptaan Allah.” (HR Bukhari).

Hadis ini telah mengharamkan beberapa perbuatan yang disebut di dalam nash, yaitu mentato, minta ditato, mencabut atau minta dicabutkan bulu alis, dan merenggangkan gigi. 

Keharaman perbuatan-perbuatan itu sesungguhnya didasarkan pada suatu illat (alasan penetapan hukum), yaitu mencari kecantikan dengan mengubah ciptaan Allah (thalabul husni bi taghyir khalqillah) (Walid bin Rasyid Sa’idan, Al-Ifadah al-Syar’iyyah fi Ba’dh al-Masa`il al-Thibbiyyah, hlm. 62). 

Dengan demikian, rebonding hukumnya juga haram, karena dapat diqiyaskan dengan perbuatan-perbuatan haram tersebut, karena ada kesamaan illat, yaitu mencari kecantikan dengan mengubah ciptaan Allah.

Sebagian ulama telah menyimpulkan adanya illat dalam hadis tersebut, sehingga mereka mengambil kesimpulan umum dengan jalan Qiyas, yaitu mengharamkan segala perbuatan yang memenuhi dua unsur illat hukum, yaitu mengubah ciptaan Allah dan mencari kecantikan. 

Abu Ja’far Ath-Thabari berkata,”Dalam hadis ini terdapat dalil bahwa wanita tidak boleh mengubah sesuatu dari apa saja yang Allah telah menciptakannya atas sifat pada sesuatu itu dengan menambah atau mengurangi, untuk mencari kecantikan, baik untuk suami maupun untuk selain suami.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, 10/156; Ibnu Hajar, Fathul Bari, 17/41; Tuhfatul Ahwadzi, 7/91).

Adapun meluruskan atau mengeriting rambut tanpa perlakuan kimiawi yang mengubah struktur protein rambut secara permanen, yakni hanya menggunakan perlakuan fisik, seperti menggunakan rol plastik dan yang semisalnya, hukumnya boleh. 

Sebab tidak termasuk mengubah ciptaan Allah, tapi termasuk tazayyun (berhias) yang dibolehkan bahkan dianjurkan syara’, dengan syarat tidak boleh ditampakkan kepada yang bukan mahram. Wallahu a’lam.

http://fissilmi-kaffah.com/index/tanyajawab_view/5#
_------------_----------------_-----------_