Rabu, 25 Agustus 2021

hukum membatalkan jual beli

HUKUM MEMBATALKAN JUAL BELI (AL IQOLAH)

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

Tanya :
Ustadz, mau tanya. Kalo saya beli barang. Sudah deal. Tinggal transfer dan barang dikirim. Itu siang hari. Ternyata pada malam hari, barang yang saya mau beli tersebut, ketemu. Sudah ada di rumah saya. Kalo beli lagi kan double2 jadinya. Mubazir. Nah apa hukumnya ya kalo saya batalkan pembelian tsb? Dosa ndak saya ya Ustadz? (Malayati Hasan, Bandung)

Jawab:
Jika sudah terjadi "deal" atau akad jual beli sesuai dengan rukun-rukun dan syarat-syarat syariah dalam jual beli, maka jual beli yang terjadi bersifat mengikat (laazim) secara hukum syariah. Maka dari itu, pembeli tidak berhak membatalkan jual beli tersebut secara sepihak. 

Akan tetapi, jika penjual kemudian ridho untuk membatalkan jual beli tersebut, sehingga pembeli dan penjual sama-sama ridho untuk membatalkan jual beli, maka pembatalan jual beli itu boleh hukumnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang menempatkan keridhoan penjual dan pembeli sebagai syarat kehalalan dalam tijaroh (perdagangan) : 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ 

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka (saling ridho) di antara kamu." (QS An Nisaa' : 29).

Pembatalan jual beli itu dalam fiqih Islam disebut dengan istilah "al iqolah" yang didefinisikan sebagai : 

 الإقالة : رفع العقد، وإلغاء حكمه وآثاره برضا طرفيه

"Iqolah adalah membatalkan akad atau menghapuskan akad serta segala konsekuensi hukumnya dengan kerelaan dari kedua belah pihak. (Imam Ibnu Qudamah, al Mughni, 6/201; Imam Al Kasani, Bada’i' as Shana’i' fi Tartib Al Syara'i', 5/308).

Al Iqolah hukumnya sunnah (mustahab) sesuai hadis dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi SAW telah bersabda :

مَنْ أَقَالَ مُسْلِمًا أَقَالَهُ اللَّهُ عَثْرَتَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Barang siapa yang menerima pembatalan akad jual beli dari seorang muslim, maka Allah akan mengampuni kesalahannya pada Hari Kiamat nanti."  (HR. Abu Dawud, no. 3460; Ibnu Majah, no. 2199; hadis shahih).

Berdasarkan penjelasan ini, boleh hukumnya dalam kasus yang ditanyakan di atas, pihak pembeli meminta pembatalan jual beli kepada penjual. Jika penjual menerima pembatalan ini, alhamdulillah. Namun jika penjual tidak menerima pembatalan, maka dia tidak berdosa dan pihak pembeli tetap wajib hukumnya mentransfer harga yang sudah disepakati. Wallahu a'lam.

Yogyakarta, 14 Agustus 2020

Selasa, 03 Agustus 2021

sholat istikharah



Oleh: Syekh al-‘Alim ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah


MuslimahNews.com, TANYA JAWAB — Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Saya ingin mengetahui esensi salat istikharah. Apakah orang yang beristikharah melihat sesuatu dalam mimpinya setelah melakukan istikharah? Saya berharap mendapat jawaban secepat mungkin dan semoga Allah memberi Anda balasan yang lebih baik.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam wa rahamatullah wa barakatuhu.

Nabi saw. telah menjelaskan salat istikharah dengan penjelasan yang memadai dan mencukupi dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan lainnya dari Jabir bin Abdullah ra., ia berkata, “Rasulullah saw. mengajari kami istikharah dalam segala perkara, sebagaimana beliau (saw.) mengajari kita surah-surat dari Al-Qur’an.

Beliau (saw.) bersabda,

«إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الفَرِيضَةِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ العَظِيمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلَّامُ الغُيُوبِ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي – أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ – فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي، ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي – أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ – فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاقْدُرْ لِي الخَيْرَ حَيْثُ كَانَ، ثُمَّ أَرْضِنِي» قَالَ: «وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ»

‘Jika salah seorang dari kalian berniat (bermaksud) dengan suatu perkara, maka hendaklah ia salat dua rakaat selain salat wajib. Kemudian hendaklah ia berdoa:

‘Ya Allah sungguh aku meminta kebaikan dengan ilmu-Mu dan aku meminta kemampuan dengan kekuatan-Mu. Dan aku memohon dari karunia-Mu yang agung. Sesungguhnya Engkau Maha menetapkan dan aku tidak menetapkan, Engkau Maha Mengetahui dan aku tidak mengetahui, dan Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib. Ya Allah jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik untukku di duniaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku —atau beliau bersabda, “(dalam) urusanku cepat atau lambatnya—maka tetapkanlah ia untukku dan mudahkan untukku kemudian berkahilah untukku di dalamnya. Dan jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini buruk untukku dalam duniaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku—atau beliau bersabda, “(dalam) urusanku cepat atau lambat—maka alihkan dia dariku dan palingkan aku darinya dan tetapkanlah untukku yang lebih baik, di mana saja, kemudian ridailah aku.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Dan hendaklah dia menyebutkan keperluannya.’

Selesai.

Jelas dari hadis ini [di atas tentang] tata cara salat istikharah. Jadi, siapa yang ingin beristikharah, ia melaksanakan salat dua rakaat sunah dengan niat istikharah, dan setelah selesai dari salat, ia berdoa dengan doa istikharah yang disebutkan di dalam hadis tersebut. Dengan ini ia mengakhiri salat istikharah atau doa istikharah.

Ini adalah tata cara salat istikharah. Akan tetapi, ada perkara lain berkaitan dengan salat istikharah, yaitu:

1) Jika seseorang berniat akan suatu perkara setelah ia mengkajinya dari seluruh sisinya dan menjadi rajih baginya untuk melakukan perkara itu dan ia ingin meniatkan dengannya, pada saat itu ia melaksanakan salat dua rakaat dan berdoa dengan doa istikharah dan ia melakukannya, menundukkan diri memohon kepada Allah Swt. agar memudahkan hal itu untuknya jika perkara itu baik dan agar Allah memalingkan perkara itu darinya jika buruk.

Artinya, ia tidak melaksanakan salat istikharah kecuali setelah mengkaji perkara tersebut dari segala sisinya dan ia lebih merajihkan untuk melakukannya. Ketika itu ia melaksanakan salat dan berdoa dengan doa istikharah dan melakukan perbuatan tersebut, dan ia tidak melaksanakan salat istikharah kecuali setelah mengkaji perkara dan tampak lebih rajih untuk melakukannya. Lihat hadis tersebut:

«إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الفَرِيضَةِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ…»

Jika salah seorang dari kalian berniat (bermaksud) dengan suatu perkara, maka hendaklah ia salat dua rakaat selain salat wajib. Kemudian hendaklah ia berdoa, ‘Ya Allah sungguh aku meminta kebaikan dengan ilmu-Mu…'” (HR al-Bukhari)

2) Tidak ada hadis sahih dari Nabi saw. bahwa beliau mengaitkan istikharah dengan mimpi yang dilihat dalam tidur sebagaimana saya ketahui, padahal begitu banyak beliau memberi arahan kepada orang-orang untuk melakukan salat istikharah. Beliau tidak mengaitkan hasilnya dengan mimpi.

Di dalam hadis Jabir, sabda Rasul saw.,

«فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي، ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ» وقوله: «فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاقْدُرْ لِي الخَيْرَ حَيْثُ كَانَ، ثُمَّ أَرْضِنِي»

“Maka tetapkan untukku dan mudahkan untukku, kemudian berkahilah untukku di dalamnya,” dan sabda beliau, “Maka palingkan perkara itu dariku dan palingkan aku darinya, dan tetapkan untukku yang lebih baik, di mana saja, kemudian ridailah aku.”

Keduanya menampakkan bahwa beliau saw. tidak mengaitkan istikharah dengan mimpi yang dilihat di dalam tidur. Akan tetapi, beliau menjadikan perkara itu berkaitan dengan pemberian kemudahan oleh Allah dan takdir-Nya. Yakni bahwa seseorang berusaha melakukan perkara tersebut yang ia beristikharah tentangnya.

Jika perkara itu baik, Allah menetapkannya untuknya dan memudahkannya, dan jika tidak, Allah memalingkan perkara itu darinya.

Jadi, istikharah adalah menjadikan perkara dan pilihan kepada Allah Swt. agar memilihkannya untuk orang yang beristikharah dan agar memudahkan perkara yang Allah ridai untuknya. Jika Allah tidak rida untuknya, agar Allah memalingkan perkara itu darinya.

3) Sabda Nabi saw. dalam hadis Jabir,

«فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاقْدُرْ لِي الخَيْرَ حَيْثُ كَانَ، ثُمَّ أَرْضِنِي»

“Maka palingkan perkara itu dariku dan palingkan aku darinya, dan tetapkan untukku yang lebih baik, di mana saja, kemudian ridailah aku.”

Darinya, sebagian orang memahami bahwa kelapangan dada menjadi pertanda pilihan Allah, dengan makna bahwa dada jika menjadi lapang, maka hendaklah seseorang itu melangsungkan perkara tersebut; jika menjadi sempit dan berpaling dari perkara tersebut, maka hendaklah ia berpaling darinya.

Sebab berpalingnya orang yang beristikharah darinya terjadi dengan berpalingnya hati dan menjadi merasa tertekan (sempit) hatinya.

Asy-Syaukani di dalam Nayl al-Authâr mengutip dari An-Nawawi yang mengatakan,

“Ia harus melakukan setelah istikharah apa yang lapang untuknya, ia tidak seharusnya bersandar pada kelapangan hatinya yang di dalamnya ada kecenderungan sebelum istikharah, akan tetapi bagi orang yang beristikharah harus meninggalkan pilihannya pada dasarnya, dan jika tidak maka ia tidak meminta pilihan kepada Allah akan tetapi meminta pilihan kepada hawanya (kecenderungannya). Kadang ia tidak benar dalam meminta pilihan dan dalam berlepas dari pengetahuan dan ketetapan dan mengukuhkan keduanya (pengetahuan dan ketetapan) kepada Allah. Jika ia benar dalam hal itu maka ia berlepas dari kekuatan, ketetapan dan pilihan dirinya sendiri.”

Selesai.

Akan tetapi, yang saya rajihkan bahwa pertanda ini tidak benar, sebab tidak ada nas yang menyatakannya. Hadis yang dijadikan sandaran oleh sebagian mereka dalam hal itu adalah hadis yang sanadnya wâhin jiddan (sangat rancu) seperti yang disebutkan oleh para penahkik (pelaku tahqiq).

Hadis itu adalah:

Ibnu as-Sunniy telah mengeluarkan di ’Amal al-Yawmi wa al-Laylati, ia berkata, “Telah memberitahukan kepada kami Abu al-‘Abbas bin Qutaibah al-‘Asqalani, telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin al-Himyari, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin al-‘Ala’ bin an-Nadhri bin Anas bin Malik, telah menceritakan kepada kami bapakku dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata (bahwa) Rasulullah saw. bersabda,

«يَا أَنَسُ، إِذَا هَمَمْتَ بِأَمْرٍ فَاسْتَخِرْ رَبَّكَ فِيهِ سَبْعَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ انْظُرْ إِلَى الَّذِي يَسْبِقُ إِلَى قَلْبِكَ، فَإِنَّ الْخَيْرَ فِيهِ»

“Ya Anas, jika engkau berniat dengan suatu perkara, maka beristikharahlah kepada Rabb-mu tentangnya sebanyak tujuh kali, kemudian lihatlah kepada yang lebih dahulu ke hatimu, sebab kebaikan itu ada di dalamnya.”

Ibnu Hajar mengatakan di dalam Fathu al-Bari, … dan an-Nawawi berkata di al-Adzkâr“Ia melakukan setelah istikharah apa yang dadanya lapang,” dan ia berdalil dengan hadis Anas dalam riwayat Ibnu as-Sunniy, “Jika engkau berniat dengan suatu perkara, maka beristikharahlah kepada Rabb-mu tentangnya sebanyak tujuh kali, kemudian lihatlah kepada yang lebih dahulu ke hatimu, sebab kebaikan itu ada di dalamnya.”

Dan ini, seandainya terbukti, niscaya itulah yang menjadi sandaran, akan tetapi sanadnya sangat rancu (wâhin jiddan).

Karena itu, tidak ada lagi kecuali apa yang kami sebutkan di poin pertama bahwa hadis yang mengatakan bahwa istikharah itu setelah berniat (bermaksud) dengan suatu perkara. Yakni setelah mengambil keputusan melakukan perbuatan tersebut berdasarkan kajian yang cukup dan lebih rajih sisi-sisi pelaksanaan atasnya.

Pemahaman ini dibuktikan oleh hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam Mustadrak-nya dari Abu Ayyub al-Anshari bahwa Rasulullah saw. bersabda,

«اكْتُمِ الْخطْبَةَ ثُمَّ تَوَضَّأْ فَأَحْسِنِ وُضُوءَكَ، ثُمَّ صَلِّ مَا كَتَبَ اللَّهُ تَعَالَى لَكَ، ثُمَّ احْمَدْ رَبَّكَ وَمَجِّدْهُ، ثُمَّ قُلِ: اللَّهُمَّ إِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ، فَإِنْ رَأَيْتَ لِيَ فِي فُلَانَةٍ، – يُسَمِّيهَا بِاسْمِهَا – خَيْرًا لِي فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَآخِرَتِي فَاقْدُرْهَا لِي، فَإِنْ كَانَ غَيْرُهَا خَيْرًا لِي فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَآخِرَتِي فَاقْدُرْهَا لِي»

“Sembunyikanlah khitbah, kemudian berwudulah dan perbagus wudumu. Kemudian salatlah (berdoalah minta) apa yang telah Allah tetapkan untukmu, kemudian pujilah Rabb-mu dan sanjunglah Dia, kemudian katakan, ‘Ya Allah, sesungguhnya engkau Maha Menetapkan dan aku tidak menetapkan, Engkau Maha Mengetahui dan aku tidak mengetahui, dan Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib, jika Engkau memandang untukku pada diri Fulanah—ia menyebutkan namanya—ada kebaikan untukku di dalam agamaku, duniaku dan akhiratku, maka tetapkan dia untukku, dan jika selain dia yang baik untukku di dalam agamaku, duniaku dan akhiratku, maka tetapkan ia untukku.'”

Jelas dari hadis ini bahwa orang yang beristikharah bertekad mengkhitbah seorang wanita tertentu namun ia tidak menampakkannya akan tetapi ia menyembunyikannya, kemudian ia beristikharah kepada Allah tentangnya dan menjadikan perkara tersebut di tangan Allah Swt. agar Allah Swt. menetapkan wanita itu untuknya jika di dalam wanita itu ada kebaikan, atau agar Allah menetapkan selain wanita itu untuknya jika kebaikan ada pada yang lain itu, dan Rasul saw. tidak mengaitkan hal itu dengan apa yang ia lihat di dalam mimpi atau kelapangan hati.

Ringkasnya yang saya rajihkan dalam masalah istikharah adalah:

Jika seseorang berniat (bermaksud) dengan suatu perkara setelah ia mengkajinya dari segala sisinya, dan tampak lebih rajih baginya untuk melakukannya, dan ia ingin meniatkan (bermaksud) dengannya, ketika itu hendaknya ia melaksanakan salat dua rakaat dan berdoa dengan doa istikharah dan melakukannya, dan ia menundukkan diri memohon kepada Allah Swt. agar memudahkan perkara itu untuknya jika perkara itu baik, atau memalingkannya dari dirinya jika buruk.

Artinya, dia tidak melaksanakan salat istikharah kecuali setelah mengkaji perkara tersebut dari segala sisinya dan lebih rajih untuk melakukannya, ketika itu ia menunaikan salat dan berdoa dengan doa istikharah dan mengedepankan untuk melakukan perbuatan itu.

Lihatlah hadis tersebut:

«إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الفَرِيضَةِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ…» رواه البخاري

“Jika salah seorang dari kalian berniat (bermaksud) dengan suatu perkara, hendaklah ia salat dua rakaat selain salat wajib. Kemudian hendaklah ia berdoa, “Ya Allah sungguh aku meminta kebaikan dengan ilmu-Mu…” (HR Bukhari)

Ini yang saya rajihkan dari hadis tersebut. Bukan seseorang itu melaksanakan salat istikharah dan menunggu untuk melihat di dalam mimpi atau menunggu untuk melihat kecenderungannya kepada perkara mana dari dua perkara itu. Sebab hadis mengatakan,

«إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ…»

“Jika salah seorang dari kalian berniat (bermaksud) dengan suatu perkara…”

Dan seperti yang saya sebutkan baru saja, ini yang saya rajihkan atas sebagian pendapat lainnya. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.