Rabu, 13 Oktober 2021

hukum perayaan khitbah sebelum aqad

Hukum Syarak Perayaan Khitbah Sebelum Akad Nikah

Oleh: Syekh ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah MuslimahNews.com, 

Pertanyaan:

 Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Sebuah pertanyaan tentang fenomena yang lumrah di antara kami, yaitu tentang perayaan setelah apa yang dikenal dengan pembacaan Al-Fatihah atau khitbah; dan perempuan yang dikhitbah mengenakan pakaian dan dirias seperti pengantin, mengenakan cincin, menari, dan perkara lainnya, sebelum adanya pencatatan (buku nikah). Apakah ini boleh secara syar’i disebabkan bahwa itu merupakan sebuah pengumuman? Padahal dahulu, hijab tidak dilepas atau tidak tabarruj (berhias) di depan pengantin lelaki kecuali setelah pencatatan (akad nikah). Berilah manfaat kepada kami. Semoga Allah memberikan manfaat kepada Anda dan menambah kebaikan kepada Anda. [Manar Aljunaidi]
 
Jawaban:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu. Tidak halal bagi seorang perempuan untuk menampakkan auratnya di depan lelaki asing yang ingin memperistrinya, sampai berlangsung sempurna akad nikah di antara keduanya. Karena Allah Swt. berfirman, ﴿وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ﴾ “ … dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka.” (QS An-Nur [24]: 31). 
     Sebelum akad nikah, lelaki tersebut bukanlah seorang suami, sehingga si perempuan tidak boleh menampakkan auratnya di depannya. Jika akad nikah telah sempurna secara syarak, yaitu si lelaki sudah menjadi suami dari si perempuan, boleh bagi si perempuan untuk menampakkan auratnya kepada si lelaki. Sebab, dengan akad itu, si perempuan telah menjadi istrinya.

    Adapun sebelum akadnya sempurna, maka si lelaki belum menjadi suaminya, dan si perempuan tidak boleh menampakkan auratnya kepada si lelaki. Jadi, kebolehan untuk menampakkan aurat adalah konsekuensi hukum dari akad nikah. Pembacaan Al-Fatihah dan pengumuman khitbah tidaklah menggantikan akad nikah dan tidak mengakibatkan adanya konsekuensi hukum yang terkait akad nikah. Oleh karena itu, terkait yang ada di dalam pertanyaan bahwa perempuan yang dikhitbah menampakkan auratnya di depan pengkhitbah, dia berhias (tabarruj), bernyanyi (bersama lelaki itu atau di depannya) setelah pembacaan Al-Fatihah atau khitbah, dan sebelum terjadinya akad nikah (pencatatan buku nikah), ia menampakkan auratnya kepada pengkhitbah, berhias dan menari bersamanya, semua itu merupakan perkara yang diharamkan. Kami telah menjelaskan sebagian perkara terkait pernikahan dan akad nikah di dalam buku An-Nizham Al-Ijtimâ’iy . Saya kutipkan untuk Anda sebagian perkara yang berhubungan.
    Dan ketika terjadi kesepakatan antara seorang lelaki dan perempuan untuk menikah, keduanya harus melangsungkan akad nikah. Pernikahan itu tidak akan sempurna kecuali dengan akad yang syar’i. Pernikahan tidaklah menjadi sebuah pernikahan kecuali dengan akad syar’i yang sesuai berdasarkan hukum-hukum syariat, hingga memperbolehkan satu sama lain untuk saling mendapatkan kenikmatan (kelezatan). Sehingga, terjadi konsekuensi hukum-hukum yang menjadi konsekuensi pernikahan. Adapun sebelum akad (nikah) berlangsung, tidaklah terjadi sebuah pernikahan.

    Pernikahan terakadkan dengan ijab dan kabul yang syar’i. Terdapat empat syarat agar pernikahan tersebut terakadkan:
Kesatuan majelis ijab dan kabul;
Masing-masing pihak yang berakad mendengar ucapan yang lain dan memahaminya;
Kabul tidak menyelisihi ijab, baik menyelisihi seluruhnya ataupun sebagian;
Syarak telah memperbolehkan pernikahan bagi salah satu pihak dengan pihak lain, selama muslimah atau ahli kitab, dan lelaki itu muslim, bukan yang lain.
Sehingga, jika akad itu memenuhi keempat syarat ini, pernikahan itu terakadkan (terjadi). Namun, jika tidak memenuhi salah satu darinya, pernikahan itu tidak terakadkan dan batil sejak asasnya. Jika pernikahan itu terakadkan, harus memenuhi syarat sah sebuah pernikahan, yaitu ada tiga syarat:
1. Perempuan itu merupakan objek untuk akad nikah itu (yakni tidak menyatukan dua saudara perempuan, misalnya.);
2. Pernikahan itu tidak sah kecuali dengan adanya wali. Maka, seorang perempuan itu tidak berhak menikahkan dirinya sendiri dan tidak boleh menikahkan perempuan lainnya. Sebagaimana ia juga tidak berhak mewakilkan selain walinya dalam menikahkannya. Jika dia melakukan yang demikian, pernikahannya tidak sah;
3. Hadirnya dua orang saksi muslim yang balig, berakal, mendengar ucapan dua pihak yang berakad, dan memahami bahwa maksud dari ucapan yang dengannya terjadi ijab dan kabul itu adalah akad nikah.

     Jika seluruh syarat akad ini terpenuhi, akad nikah itu sah. Jika salah satu saja syarat tidak terpenuhi, pernikahan itu fasad. Akan tetapi, tidak disyaratkan di dalam akad nikah untuk tercatat atau untuk terdaftar berupa sebuah dokumen, melainkan semata telah berlangsung ijab dan kabul dari lelaki dan perempuan secara lisan atau tulisan, dan memenuhi semua persyaratan, maka akad nikah tersebut sah, baik tercatat atau tidak.
     
      Jadi, pernikahan itu sebagaimana dijelaskan di An-Nizhâm Al-Ijtimâ’iy, tidak terjadi kecuali dengan akad nikah yang sya’ri seperti yang telah dijelaskan di atas. Pengumuman khitbah tidaklah menggantikan kedudukan akad nikah dan tidak pula mengakibatkan konsekuensi hukum sebagaimana konsekuensi akad nikah, semisal kebolehan perempuan untuk menampakkan auratnya kepada orang yang berakad dengannya (akad nikah). Saya berharap perkara tersebut telah menjadi jelas, wallâhu a’lam wa ahkam.