Selasa, 30 November 2021

hukum kode unik

Hukum Kode Unik dalam Transfer

Oleh: K.H. M. Shiddiq Al Jawi

FIKIH – Kode unik pembayaran adalah nominal yang biasanya bernilai 3 digit yang ditambahkan pada 3 angka terakhir jumlah pembayaran. Kode unik menggunakan angka 1—999 (biasanya nilainya kurang dari Rp1.000).

Misalnya, total pembayaran sebesar Rp147.000, jika ditambahkan kode unik biasanya akan berubah menjadi Rp147.356. Biasanya kode unik pembayaran akan muncul ketika kita berbelanja atau melakukan transaksi pembayaran online yang menggunakan sistem konfirmasi pembayaran secara otomatis.

Kode unik biasanya terdapat dalam transaksi belanja online yang sifatnya komersial, seperti saat kita belanja di marketplace, seperti di Tokopedia, dan lain-lain. Namun kode unik juga terdapat dalam transaksi lainnya yang bersifat nonkomersial, misalnya transaksi donasi, transaksi sumbangan kematian, dan sebagainya. Misalnya, ada teman kita yang sakit dan memerlukan dana besar. Maka siapa saja yang akan membayar donasi untuk teman tersebut, diminta menyertakan kode unik oleh pihak penerima donasi (misal 021). Misal total donasi sebesar Rp2.000.000, jika ditambahkan kode unik, yang dibayarkan sebesar Rp2.000.021.

Fungsi Kode Unik

Kode unik setidaknya mempunyai 2 (dua) fungsi:

Pertama, kode unik berfungsi sebagai kode verifikasi, yakni berperan sebagai tanda pengenal pembayaran yang menjadi pembeda dengan pembayaran dari pihak lain. Dengan melakukan transfer sesuai dengan kode unik, proses verifikasi pembayaran akan lebih cepat, jika dibandingkan dengan pembayaran tanpa kode unik.

Kedua, selain itu, kode unik juga akan memastikan dana yang telah ditransfer tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak lain yang tak bertanggung jawab.

Hukum Kode Unik

Hukum kode unik dalam fikih Islam dapat diperinci menjadi 2 (dua) hukum syarak sebagai berikut:

Pertama, hukum kode unik adalah haram (tidak boleh), jika akad yang ada akad utang (dain). Misalnya, kode unik ketika pihak peminjam (debitur, al madin) mentransfer pembayaran pinjaman (qardh) kepada pihak kreditur (al da`in).

Keduahukum kode unik adalah mubah (boleh), jika akad yang ada bukan akad utang (dain). Misalnya, kode unik ketika  pihak donatur mentransfer donasi sosial (sumbangan untuk teman sakit, sumbangan dana kematian, dan sebagainya) kepada pihak lain.

Penjelasan Dalil

Pertama, hukum kode unik adalah haram (tidak boleh), jika akad yang ada akad utang (dain). Kode unik dihukumi riba karena merupakan tambahan yang disepakati (ziyadah masyruthah) dalam akad utang piutang (ad dain). Tambahan yang disepakati (ziyadah masyruthah) ini termasuk riba. Padahal telah terdapat dalil umum yang mengharamkan riba pada akad utang piutang (Lihat QS Al Baqarah : 275).

Berikut kutipan pendapat para ulama yang menetapkan bahwa tambahan yang disepakati (ziyadah masyruuthah) dalam akad utang piutang (ad dain), adalah riba yang diharamkan:

Pertama:

قال ابن تيمية : وقد اتفق العلماء على أن المقترض إذا اشترط زيادة على قرضه كان ذلك حرامًا 

Imam Ibnu Taimiyyah berkata, “Ulama telah sepakat bahwa pemberi pinjaman (qardh) jika mensyaratkan tambahan atas pinjamannya (qardh), maka tambahan itu haram.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, Juz 29, hlm. 334).

Kedua:

قال ابن قدامة كل قرض شرط فيه أن يزيده فهو حرام بغيرخلاف

Imam Ibnu Qudamah berkata, ”Setiap pinjaman (qardh) yang mensyaratkan adanya tambahan padanya, maka tambahan itu haram tanpa perbedaan pendapat.” (Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz 4, hlm. 360).

Ketiga:

قال الجصا ص: ولا خلاف أنه لو كان عليه ألف درهم حالة، فقال: أجلني أزيدك فيها مائة درهم، لايجوز…

Imam Al Jashshash berkata, Tidak ada perbedaan pendapat bahwa kalau seseorang punya kewajiban membayar 1.000 dirham secara kontan, lalu dia berkata, ’Berilah aku tangguh dan aku akan tambah 100 dirham,’ maka itu tidak boleh…” (Imam Al Jashshash, Ahkamul Qur`an, Juz 1, hlm. 467).

Keempat:

قال ابن عبد البر: أجمع العلماء من السلف والخلف على أن الربا الذي نزل بالقرآن تحريمه هو: أن يأخذ الدائن لتأخير دينه بعد حلوله عوضًا عينيًا أوعرضًا…

Imam Ibnu Abdul Barr berkata,”Telah sepakat para ulama dari generasi salaf dan khalaf, bahwa riba yang pengharamannya turun dalam AlQur`an adalah seorang pemberi utang mengambil kompensasi uang atau barang karena penundaan utangnya setelah jatuh tempo…“ (Ibnu Abdil Barr, Al Kafi, Juz 2, hlm. 633)

Kelima:

قال ابن المنذرأجمعوا على أن المسلف إذا شرط على المستسلف زيادة أو هدية فأسلف على ذلك، أن أخذ الزيادة على ذلك ربا

Imam Ibnul Mundzir berkata, ”Mereka (para ulama) sepakat bahwa pemberi pinjaman jika mensyaratkan kepada penerima pinjaman suatu tambahan atau hadiah, lalu dia memberikan pinjaman atas syarat itu, maka pengambilan tambahan atas pinjaman itu adalah riba.” (Ibnul Mundzir, Al Ijma‘, dikutip oleh Ibnu Qudamah, dalam kitab Al Mughni, Juz 6, hlm. 436).

Kesimpulannya, dari berbagai kutipan pendapat para ulama di atas, tambahan yang disyaratkan pada akad utang adalah riba yang jelas, atau sesuatu yang sangat mirip dengan riba yang telah diharamkan.

Maka dari itu, kode unik pada akad-akad utang (dain) adalah haram, karena merupakan tambahan yang telah dipersyaratkan (disepakati) pada akad utang, walaupun nominalnya kecil (biasanya kurang dari Rp1.000). Walaupun nominalnya kecil, tetapi riba tetaplah riba, tidak berarti kalau nominalnya kecil lalu kode unik itu hukumnya berubah menjadi halal.

Perhatikan kutipan dari Ibnu Abdill Barr sebagai berikut:

قال ابن عبد البر: و كل زيادة في سلف أو منفعة ينتفع بها المسلف فهي ربًا ولو كانت قبضة من علف، وذلك حرام إن كان بشرط

Imam Ibnu Abdul Barr berkata, ”Setiap tambahan dalam pinjaman atau manfaat yang dinikmati pemberi pinjaman, maka ia adalah riba, meski hanya segenggam pakan ternak. Itu haram jika disyaratkan.” (Ibnu Abdil Barr, Al Kafi, Juz 2, hlm. 359).

Penjelasan dalil kedua, hukum kode unik adalah mubah (boleh), jika akad yang ada bukan akad utang (dain). Dalilnya adalah dalil umum dari hadis Rasulullah saw. yang membolehkan ada berbagai syarat dan ketentuan (S&K), (disebut syarat ja’li), antara dua pihak, selama syarat itu tidak melanggar syariat. Termasuk syarat ini adalah menambahkan besarnya pembayaran dengan kode unik.

Sabda Rasulullah saw.,

والمسلمونَ على شروطِهم إلَّا شرطًا حرَّم حلالًا أو أحَلَّ حرامًا

“Dan kaum muslimin itu [bermuamalah] menurut syarat-syarat di antara mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau syarat yang menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi, no. 1352, Ibnu Majah, no. 2353, Abu Dawud, no. 3594, hadis sahih, lihat Nashiruddin Albani dalam Shahih At Tirmidzi dan Shahih Abu Dawud).

Adapun syarat bahwa kode unik yang dibolehkan itu akadnya bukan akad utang, dikarenakan adanya larangan memberikan tambahan yang disepakati (ziyadah masyruuthah) pada akad utang. Tambahan yang disepakati pada akad utang ini, dilarang karena merupakan riba. Lihat kembali kutipan pendapat para ulama yang mengharamkan tambahan yang disepakati dalam akad utang.

Kesimpulan Hukum Kode Unik

Hukum kode unik dalam fikih Islam dapat diperinci menjadi 2 (dua) hukum syarak sebagai berikut:

Pertama, hukum kode unik adalah haram (tidak boleh), jika akad yang ada akad utang (dain); Keduahukum kode unik adalah mubah (boleh), jika akad yang ada bukan akad utang (dain). 

Rabu, 24 November 2021

hukum jual beli di masjid

HUKUM BERJUAL BELI DI MASJID
 
Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi

 

Tanya :

Ustadz, afwan mau tanya, yang dimaksud larangan jual beli di masjid itu batasannya bagaimana ya? Apakah yang dilarang itu menggelar lapaknya, atau promosi saja dengan lisan sudah dilarang, atau sekedar serah terima barang sudah dilarang? (Dwi Condro Triono, Bantul)

 

Jawab :
 Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum berjual beli di masjid menjadi dua pendapat. Pertama, jumhur ulama berpendapat berjual beli di masjid hukumnya makruh. Akad jual belinya sah, selama memenuhi segala rukun dan syarat jual beli, tetapi disertai kemakruhan. Ini adalah pendapat ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i. Kedua, sebagian ulama, yaitu dari mazhab Hambali, berpendapat berjual beli di masjid hukumnya haram. Jadi akad jual belinya haram dan jual belinya dianggap tidak sah (batil). (Ibnu Habiirah, Ikhtilaaf Al A`immah Al ‘Ulamaa`, Juz I, hlm. 348; Al Buhuuti, Kasysyaaf Al Qinaa’ ‘an Matn Al Iqnaa’, Juz II, hlm. 366).

 

Perbedaan pendapat tersebut berasal dari perbedaan penafsiran hadis Rasulullah SAW yang melarang jual beli masjid, apakah larangan tersebut berarti haram ataukah sekedar makruh. Di antaranya adalah hadis dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Jika kamu melihat orang yang menjual atau membeli di masjid, maka katakanlah,’Semoga Allah tidak memberikan keuntungan pada perdagangan kamu.” (HRTirmidzi, nomor 1321).

 

Juga terdapat riwayat dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, yang berkata,”Rasulullah SAW telah melarang berjual beli di masjid,” (nahaa rasuulullaahi SAW ‘an al syiraa` wa al bai’ fil masjid). (HR Ahmad, Juz XI, hlm. 257; Abu Dawud, nomor 1079).

 

Berdasarkan hadis-hadis di atas, sebagian ulama menafsirkan bahwa larangan (nahi) dalam hadis di atas adalah larangan haram. Sedangkan sebagian ulama lainnya menafsirkan bahwa larangan dalam hadis di atas bukanlah larangan haram, melainkan larangan makruh.

 

Pendapat yang lebih kuat (rajih), adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa larangan berjual beli di masjid hukumnya adalah makruh, bukan haram. Mengapa? Karena larangan (nahi) yang terdapat dalam hadis-hadis tersebut tidaklah disertai dengan qariinah (petunjuk/indikasi) yang melarang dengan tegas (jaazim), yaitu haram. Misalnya, adanya ancaman siksa neraka atau ancaman mati jahiliyyah bagi siapa saja yang berjual beli di masjid. Yang ada hanyalah qariinah yang bersifat tidak tegas (ghairu jaazim), yaitu didoakan “tidak beruntung” bagi orang yang berjual beli di masjid. Padahal sudah dimaklumi bahwa mengalami kerugian dalam perdagangan itu bukanlah suatu dosa dalam Islam. Jadi, hukum berjual beli di masjid adalah makruh, bukan haram. Inilah pendapat yang menjadi pegangan umumnya ulama.

 

Syekh ‘Atha bin Khalil dalam kitabnya Taisiir Al Wushuul Ila Al Ushuul berkata bahwa jika ada suatu larangan (nahi) tetapi disertai dengan qariinah yang tidak tegas (ghairu jaazim), maka larangan itu menunjukkan hukum makruh. (‘Atha bin Khalil, Taysiir Wushuul Ila Al Ushuul, hlm. 19-28).

 

Adapun jawaban untuk pertanyaan di atas, apakah yang dilarang itu termasuk menggelar lapaknya atau promosinya?

Jawabnya; yang dilarang dalam arti makruh adalah melakukan akad jual belinya, termasuk segala sarana (wasilah) yang menuju pada terjadinya akad jual belinya, seperti pemasangan promosinya, atau penggelaran lapaknya, dsb sesuai kaidah fiqih: Al wasa`il tattabi’ al maqashid fi ahkamihaa. (Segala jalan/perantaraan itu hukumnya mengikuti hukum tujuan). (Muhammad Shidqi Al Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyah, Juz XII, hlm. 199). Kaidah ini menerangkan hukum untuk wasilah (jalan/perantaraan) sama dengan hukum untuk tujuan. Maka, menggelar lapak untuk berjual beli di masjid, hukumnya makruh, mengikuti tujuannya yaitu berakad jual beli di masjid yang hukumnya makruh. Wallahu a’lam.

Minggu, 21 November 2021

hukum mengembalikan emas dengan uanb

Fikih] Hukum Meminjam Emas, tetapi Mengembalikannya dalam Uang Rupiah
 4 November 2021

Oleh: K.H. M. Shiddiq al-Jawi

 
MuslimahNews.com, FIKIH – Tanya: Assalamualaikum Ustaz, saya Rohmat (Bogor). Punten mau tanya. Mengenai pinjam-meminjam dinar. Kala itu saya beli 1 dinar seharga Rp2,2 juta, kemudian teman saya pinjam dinar tersebut. Pertanyaan:

 
1. Apakah si peminjam harus mengembalikan dengan bentuk dinar lagi? (walaupun harga dinar sekarang sudah bukan Rp2,2 juta)

 
2. Apakah si peminjam boleh mengembalikan dengan uang tunai saja sebesar Rp2,2 juta? (Rohmat, Bogor).

Jawaban
Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullahi wa barakaatuhu.

 
Hukum asalnya adalah wajib secara syar’i mengembalikan pinjaman (qardh) berupa emas dengan emas yang semisal, baik semisal dalam jenisnya (yakni dikembalikan juga dalam bentuk emas) maupun semisal dalam kuantitasnya (yakni sama beratnya). Tidak boleh mengembalikan pinjaman emas dengan selain emas, misal mengembalikan dengan perak, atau mengembalikan pinjaman emas dengan emas yang berbeda beratnya.

 
Imam Taqiyuddin an-Nabhani berkata,

 
وَالْقَرْضُ يَقَعُ فِيْ كُلَّ شَيْءٍ، فَلاَ يَحِلُّ إِقْرَاضُ شَيْءٍ لِيُرَدَّ إِلَيْكَ أَقَلَّ أِوْ أَكْثَرَ، وَلاَ مِنْ نَوْعٍ آخَرَ أَصْلاً. لَكِنْ مِثْلُ مَا أَقْرَضْتَ فِيْ نَوْعِهِ وَمِقْدَارِهِ

 
“Qardh (pinjaman) itu dapat berlangsung pada segala sesuatu benda [baik harta ribawi maupun harta nonribawi], maka tidak halal meminjamkan suatu harta agar dikembalikan kepadamu dengan jumlah yang lebih sedikit atau yang lebih banyak, dan tidak boleh pula dikembalikan dengan jenis yang lain menurut hukum asalnya. Tetapi pengembalian itu wajib semisal dengan apa yang kamu pinjamkan, dalam jenisnya dan dalam jumlahnya (kuantitasnya).” (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 259, Bab “Ar Riba wa Al Sharf”).

 
Dalilnya adalah hadis bahwa Nabi saw. pernah meminjam (qardh) satu ekor unta dari seseorang, kemudian Nabi saw. mengembalikan pinjaman itu dalam bentuk unta juga, walaupun dengan unta yang lebih gemuk, namun jumlahnya tetap sama, yakni satu ekor unta juga, sesuai hadis riwayat Abu Rafi’ ra. sebagai berikut,

 
عَنْ أَبِي رَافِعٍ قَالَ أنَّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ اسْتَسْلَفَ مِن رَجُلٍ بَكْرًا، فَقَدِمَتْ عليه إبِلٌ مِن إبِلِ الصَّدَقَةِ، فأمَرَ أَبَا رَافِعٍ أَنْ يَقْضِيَ الرَّجُلَ بَكْرَهُ، فَرَجَعَ إلَيْهِ أَبُو رَافِعٍ، فَقالَ: لَمْ أَجِدْ فِيهَا إلَّا خِيَارًا رَبَاعِيًا، فَقالَ: أَعْطِهِ إيَّاهُ، إنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً

 
Dari Abu Rafi’ ra., dia berkata, ”Rasulullah saw. telah meminjam satu ekor unta muda dari seseorang. Lalu datanglah kepada Nabi saw. satu ekor unta dari unta zakat, lalu Rasulullah saw. memerintahkan kepada Abu Rafi’ agar mengembalikan pinjaman orang itu unta mudanya. Lalu Abu Rafi’ kembali kepada Rasulullah saw. dan berkata, ’Tidak aku dapati pada unta zakat itu, kecuali unta khiyaaran rabaa’iyyan (unta yang sudah berumur enam tahun masuk tahun ketujuh).” Lalu Rasulullah saw. bersabda, ‘Berikan saja unta itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik dalam membayar pinjamannya.’” (HR Muslim, Sahih Muslim, no. 1600; Sunan At Tirmidzi, no. 1318)

 
Berdasarkan hadis ini, jelaslah bahwa pengembalian qardh itu wajib memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:

 
(1) dikembalikan dengan barang yang sama jenisnya, yakni meminjam unta dikembalikan unta, dan;

 
(2) dikembalikan dalam jumlah yang sama, yaitu meminjam satu ekor dikembalikan satu ekor juga, bukan dua ekor atau lebih. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 259).

 
Akan tetapi, boleh menurut syarak mengembalikan pinjaman (qardh) berupa emas itu (dinar emas) dengan uang Rupiah, asalkan memenuhi 3 (tiga) syarat sebagai berikut:

 
Pertama, kesepakatan pengembalian dengan uang Rupiah itu dilakukan pada saat jatuh tempo pengembalian pinjaman, bukan pada saat akad utang piutang. Jadi jika kesepakatan pengembalian dengan uang Rupiah itu dilakukan pada saat akad pinjaman (qardh) terjadi, hukumnya tidak boleh (haram).

 
Kedua, pengembalian dengan uang itu menggunakan harga emas pada saat jatuh tempo, bukan harga emas pada saat terjadinya akad utang piutang. Jika harga yang dipakai adalah harga saat utang piutang, hukumnya tidak boleh (haram).

 
Ketiga, pengembalian dengan uang dilakukan secara kontan (cash), yaitu dengan pembayaran satu kali sekaligus lunas, tidak boleh diangsur.

 
Dalil untuk syarat pertama, adalah dalil yang melarang terjadinya riba, yaitu riba nasi’ah. Dalam hal ini riba nasi’ah yang dimaksud berbentuk tambahan waktu jika terjadi pertukaran antara harta ribawi yang terjadi secara tempo (tertunda), padahal yang wajib adalah kontan (yadan biyadin). Dijelaskan dalam situs islamqa.info:

 
ألأصل أن القرض يرد بمثله. فمن اقترض ذهبا، فعليه أن يرد ذهبا، ولا يجوز الاتفاق معه عند القرض، على أن يرد نقودا أو فضة؛ لأن ذلك من الصرف المؤجل، وهو ربا.

 
“Hukum asalnya bahwa qardh (pinjaman) itu wajib dikembalikan dengan yang semisal. Maka barang siapa yang meminjam emas, dia wajib mengembalikan dalam bentuk emas, tidak boleh ada kesepakatan pada saat akad qardh, untuk mengembalkan pinjaman itu dalam bentuk perak, karena yang demikian itu berarti dianggap termasuk sharaf [tukar menukar emas dengan perak] yang terjadi secara tertunda [tidak yadan biyadin, atau tidak kontan], dan ini adalah riba [nasi’ah].”

 
Adapun dalil untuk syarat kedua dan ketiga, adalah hadis dari Ibnu Umar ra. sebagai berikut,

 
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنه قَالَ: ” كُنْتُ أَبِيعُ الْإِبِلَ بِالدَّنَانِيرِ [أي مؤجلا] وَآخُذُ الدَّرَاهِمَ، وَأَبِيعُ بِالدَّرَاهِمِ وَآخُذُ الدَّنَانِيرَ، فسألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك فقال : لَا بَأْسَ أَنْ تَأْخُذَهَا بِسِعْرِ يَوْمِهَا مَا لَمْ تَفْتَرِقَا وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ

 
Dari Ibnu Umar ra., dia berkata, ”Dahulu saya menjual unta dengan dinar (yaitu dibayar tempo, tidak cash) namun saya mengambil [harganya] dengan dirham. Dulu saya juga menjual unta dengan dirham (secara tempo) namun saya mengambil harganya dengan dinar. Lalu saya bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai hal itu, maka Rasulullah saw. , ”Tidak apa-apa kamu mengambil harga unta dengan harga pada hari itu, selama kalian berdua [penjual dan pembeli] belum berpisah sementara di antara kalian berdua ada sesuatu [sisa pembayaran].” (HR Ahmad, no. 6239; Abu Dawud, no. 3354; An Nasa`i, no 4582; Tirmidzi, no 1242; dan Ibnu Majah, no. 2262).

 
Hadis ini menunjukkan:

 
Pertama, bolehnya seorang penjual yang punya piutang pada seorang pembeli, dalam jual beli utang (tempo), untuk mengambil piutang yang asalnya dalam bentuk dinar, tapi dia mengambilnya dalam bentuk dirham, asalkan menggunakan nilai tukar hari itu (hari jatuh tempo), bukan menggunakan nilai tukar saat jual beli di awal. Demikian pula sebaliknya, boleh penjual mengambil piutang yang asalnya dalam bentuk dirham, tetapi dia mengambilnya dalam bentuk dinar, asalkan menggunakan nilai tukar hari itu (hari jatuh tempo), bukan menggunakan nilai tukar saat jual beli di awal.

 
Hal ini ditunjukkan oleh sabda Rasulullah saw.,

 
لَا بَأْسَ أَنْ تَأْخُذَهَا بِسِعْرِ يَوْمِهَا

 
”Tidak apa-apa kamu mengambil harga unta dengan harga pada hari itu.”

 
Kedua, pada saat penjual dan pembeli berpisah, tidak ada tersisa sesuatu di antara mereka berdua, yaitu sisa pembayaran utang yang belum terbayarkan.

 
Hal ini ditunjukkan oleh sabda Rasulullah saw.,

 
مَا لَمْ تَفْتَرِقَا وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ

 
“Selama kalian berdua [penjual dan pembeli] belum berpisah sementara di antara kalian berdua ada sesuatu [sisa pembayaran].”

 
Berdasarkan seluruh uraian di atas, kami dapat menjawab dua pertanyaan dari penanya sebagai berikut.

 
Pertanyaan pertama, “Apakah si peminjam harus mengembalikan dgn bentuk dinar lagi? (walaupun harga dinar sekarang sudah bukan Rp2,2 juta)?”

 
Jawabannya: Peminjam wajib mengembalikan pinjaman emas 1 dinar tersebut, dengan emas 1 dinar juga, walaupun harga 1 dinar emas sudah bukan Rp2,2 juta lagi.

 
Pertanyaan kedua, “Apakah si peminjam boleh mengembalikan dengan uang tunai saja sebesar Rp2,2 juta?”

 
Jawabannya: peminjam tidak boleh mengembalikan dengan uang tunai saja sebesar Rp2,2 juta, karena nilai 1 dinar itu sudah berubah. Yang dibolehkan syarak adalah peminjam itu mengembalikan dengan uang tunai, namun menggunakan harga emas pada saat pembayaran (jatuh tempo), bukan menggunakan harga emas pada saat pinjam di awal itu (ketika 1 dinar senilai Rp2,2 juta).

 
Namun, pembayaran ini dibolehkan dengan dua syarat lagi:

 
Pertama, pembayaran pinjaman dengan uang itu tidak disepakati di awal pada saat akad dulu itu, namun baru disepakati ketika akan dilakukan pembayaran pinjaman.

 
Kedua, pembayaran pinjaman 1 dinar emas tersebut, jika dibayar dengan uang, wajib dilakukan sekali lunas, bukan diangsur. Wallahualam. [MNews/Rgl

hukum pegawai bank

Hukum Bekerja di Bank (sebagai Pegawai maupun Satpam)
 11 November 2021 bank, riba

Penulis: Ustaz M. Shiddiq Al Jawi MuslimahNews.com, FIKIH – Tanya Ustaz, saya bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa (keamanan) dan kebetulan saya ditugaskan di sebuah bank di Kaltim. Apa hukumnya, Ustaz? (Sugondo, Balikpapan).

Jawaban
Hukum seseorang yang bekerja di bank konvensional yang melakukan transaksi ribawi, menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani dapat diperinci menjadi dua hukum sebagai berikut: Pertama, jika pekerjaannya berkaitan dengan transaksi riba, baik terkait langsung maupun tidak langsung, maka pekerjaan itu hukumnya haram.

 Dengan kata lain, jika pekerjaan yang dilakukan merupakan bagian integral dari transaksi riba (juz’un min a’maal ar ribaa), baik pekerjaan itu sendiri dapat menghasilkan riba, maupun pekerjaan itu dapat menghasilkan riba hanya jika digabungkan dengan pekerjaan lainnya, maka pekerjaan itu hukumnya haram. (Taqiyuddin an-Nabhani. An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam. Hlm. 92). Contoh pekerjaan yang terkait langsung dengan transaksi riba adalah: 

(1) Bagian Teller, yaitu posisi pekerja di bank yang fungsinya adalah melayani nasabah bank dalam bertransaksi di bank, seperti membuka rekening, menerima tabungan (setoran), membayar tarikan tunai, dan sebagainya; 

(2) Bagian Analis Kredit, yaitu posisi pekerja di bank yang menganalisis penerima pinjaman, apakah penerima pinjaman itu bankabel (layak dipinjami bank) atau tidak.

(3) Bagian Account Officer (AO), yaitu posisi pekerja di bank yang melakukan analisis kelayakan pemberian kredit dan pemantauan terhadap kelancaran pembayaran kredit oleh debitur (nasabah).

 (4) Bagian Collector, yaitu posisi pekerja di bank yang bertugas menagih pinjaman atau kredit dari para nasabah. Adapun contoh pekerjaan yang tidak terkait langsung dengan transaksi riba, yakni yang akan menghasilkan riba hanya jika digabungkan dengan pekerjaan lain adalah pekerjaan sebagai pimpinan bank, akuntan bank, dan auditor bank (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 92). 

Contoh lainya adalah bagian marketing yang bertugas memasarkan produk perbankan dengan mencari nasabah; bagian back office yang bertugas melakukan pengecekan dan memastikan bahwa transaksi yang dilakukan oleh teller sudah sesuai dan sudah benar; serta bagian admin kredit yang bertugas membuat surat, menginventarisasi data nasabah, sampai merapikan data jaminan nasabah.

 Dalil keharaman pekerjaan yang berkaitan dengan transaksi riba di atas, baik berkaitan langsung maupun tidak langsung, adalah hadis dari Ibnu Mas’ud ra. bahwasanya Rasulullah saw. telah melaknat pemakan riba (yang memungut riba), pemberi riba (pembayar riba), pencatat riba, dan dua orang saksinya. (HR Muslim)

Kedua, jika pekerjaannya tidak berkaitan dengan transaksi riba, yakni tidak terkait langsung maupun tidak langsung, seperti satpam bank (security), pegawai cleaning service (tukang sapu dan lain-lain), dan office boy (pesuruh), hukumnya boleh. Mengapa? Ada dua alasan:

 (1) Sebab pekerjaan-pekerjaan itu adalah manfaat (jasa) yang mubah. Sebagai contoh, jasa keamanan adalah jasa yang mubah, yang sebenarnya dapat diberikan secara umum kepada lembaga apa pun seperti kampus, sekolah, masjid, dan sebagainya.

 (2) Sebab pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak dapat dihukumi dengan hadis Ibnu Mas’ud ra. yang mengharamkan pekerjaan yang berkaitan dengan transaksi riba seperti pencatat riba dan dua orang saksi riba. Karena pekerjaan-pekerjaan tersebut bukanlah bagian integral dari transaksi riba (juz’un min a’maal ar ribaa) yang bersifat khas. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 93). Berdasarkan  penjelasan di atas, bekerja sebagai satpam di bank konvensional adalah mubah (boleh).

 Hanya saja, satpam bank yang kami lihat saat ini sering difungsikan bukan untuk keamanan murni, tapi juga melayani nasabah, mirip halnya customer service. Jika demikian kondisinya, maka menjadi satpam bank adalah syubhat, yakni sebaiknya pekerjaan ini tidak dilakukan. Wallahualam. [MNews/Rgl]

https://www.muslimahnews.com/2021/11/11/hukum-bekerja-di-bank-sebagai-pegawai-maupun-satpam/

Selasa, 02 November 2021

Hukum batas busana muslimah bagian bawah

BATAS BUSANA MUSLIMAH BAGIAN BAWAH

Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi

Tanya :

Apa batasan “irkho`” yaitu mengulurkan busana wanita (jilbab) ketika keluar rumah? Banyak kasus akhwat ketika naik sepeda motor jilbabnya terangkat sehingga kakinya terlihat, apakah dia berdosa?

 

Jawab :

Busana muslimah yang wajib dikenakan dalam kehidupan umum seperti di jalan, masjid, pasar, sekolah, kampus, dll, ada dua bagian; yaitu busana atas (al libas al a’la) dan busana bawah (al libas al asfal). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 44-45).

 

Busana atas adalah khimar (kerudung), yang secara salah kaprah disebut “jilbab”. Dalil wajibnya khimar firman Allah SWT :

 

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

 

”Dan hendaklah mereka [wanita muslimah] menutupkan kain kerudung ke dadanya.” (QS An Nuur [24] : 31).

 

Adapun busana bawah, disebut jilbab, yaitu busana yang dipakai di atas baju rumah/semisal daster, yang longgar dan menutupi seluruh tubuh. (Al Mu’jam Al Wasith, 1/128). Dalil wajibnya jilbab firman Allah SWT :

 

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ

 

”Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (QS Al Ahzaab [33] : 59).

 

Batasan kerudung (khimar) adalah apa-apa yang menutupi seluruh kepala, seluruh leher, dan kerah baju hingga dada. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 44-45). Jadi tak boleh kerudung masih menampakkan telinga atau leher, dan tak boleh pula kerudung dimasukkan ke dalam kerah baju sehingga dada tidak tertutupi oleh kerudung. Ini jelas menyalahi firman Allah SWT yang menyebutkan kerudung wajib menutupi dada :

 

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

”Dan hendaklah mereka [wanita muslimah] menutupkan kain kerudung ke dadanya.” (QS An Nuur [24] : 31).

 

Adapun batasan jilbab (busana bawah) adalah sampai menutupi kedua kaki. Imam Taqiyuddin An Nabhani mengatakan bahwa syarat jilbab haruslah terulur sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki. Dalilnya adalah firman Allah SWT :

 

يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ

”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (QS Al Ahzaab [33] : 59).

 

Kata “yudniina” dalam ayat ini ditafsirkan “yurkhiina” yaitu mengulurkan jilbab sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki. Penafsiran ini diperkuat dengan sabda Rasulullah SAW :

 

من جرَّ ثوبهُ خيلاءَ لم ينظرْ اللهُ إليهِ يومَ القيامةِ فقالت أمُّ سلمةَ: فكيفَ يصنعُ النِّساءُ بذُيُولهنَّ؟ قال: يُرخينَ شبراً، فقالت: إذاً تنكشفُ أقدامُهُنَّ، قال: فيرخِينهُ ذراعاً لا يزدنَ عليهِ

”Barangsiapa mengulurkan bajunya [melampaui mata kaki] karena sombong, Allah tak akan melihatnya pada Hari Kiamat. Ummu Salamah bertanya,’Lalu apa yang harus diperbuat oleh para wanita dengan ujung-ujung baju mereka?’ Rasulullah SAW menjawab,’Ulurkan sejengkal [dari setengah betis].’ Kata Ummu Salamah lagi,’Kalau begitu kaki-kaki mereka akan tersingkap.’ Rasulullah SAW menjawab,’Mereka ulurkan sehasta, jangan menambah lagi.” (HR Tirmidzi, no 1785).

 

Jadi jilbab secara ringkas adalah busana yang longgar yang terulur sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki (al tsaub al waasi’ al murkhiy ila asfalin hatta al qadamaini). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 46-47).

 

Lalu bagaimana akhwat yang ketika naik sepeda motor jilbabnya terangkat sehingga kakinya terlihat? Menurut kami, hukumnya tidak apa-apa dan tidak berdosa selama akhwat itu memenuhi tiga syarat berikut; pertama, akhwat tersebut tidak bermaksud tabarruj, yaitu menampakkan perhiasan dan keindahan tubuh kepada laki-laki non mahram. Dalilnya adalah ayat yang melarang tabarruj (QS An Nuur [24] : 31 & 60).   

  

Kedua, akhwat tersebut sudah mengenakan jilbab yang memenuhi standar syar’i, yakni menutupi kedua kaki pada saat dia mengenakan jilbab dalam kondisi biasa (tak naik sepeda motor). Dalil syarat kedua ini adalah dalil jilbab itu sendiri yaitu QS Al Ahzaab : 59.

 

Ketiga, akhwat tersebut menutupi kakinya dengan kaos kaki dan sepatu. Sebab kedua kaki termasuk aurat. Dalil syarat ketiga ini adalah hadits-hadits yang menjelaskan batasan aurat perempuan, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan. Kedua kaki tidak dikecualikan jadi termasuk aurat. Sabda Rasulullah SAW :

 

إن الجارية إذا حاضت لم يصلُحْ أن يُرى منها إلا وجهُها ويداها إلى المِفْصلِ

”Sesungguhnya seorang wanita jika sudah haid, tidak layak dilihat daripadanya kecuali wajahnya dan dua tangannya hingga pergelangan tangan.” (HR Abu Dawud). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 44). Wallahu a’lam.

#yukngajiislamkaffah#