Selasa, 01 Februari 2022

hukum tata cara rujuk

Tatacara Rujuk

Oleh : Ust M Shiddiq Al Jawi

Ustadz, bagaimana cara suami rujuk kepada istri? Haruskah akad nikah ulang atau cukup suami bilang, ‘Saya mau rujuk lagi sama kamu’? — Dian, Cibubur

Jawaban :

Rujuk menurut istilah syar’i adalah kembali pada pernikahan setelah terjadi talak tak ba`in dengan tatacara tertentu. ( Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, 2/108). Talak tak ba`in ( thalaq ghair ba`in ), atau talak raj’i, adalah talak yang masih dibolehkan rujuk, yaitu jatuhnya talak satu atau talak dua dan masih dalam masa iddah. Jika suami rujuk kepada istrinya dalam masa iddah, tak perlu akad ulang dan mahar baru. ( Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, hal. 154 ).

Adapun  jika  masa  iddah  sudah  habis  dan  tak dilakukan rujuk, talaknya menjadi talak ba`in. Ada dua macam  talak  ba`in.  Pertama,  talak  ba`in  sughra,  yaitu jatuhnya talak satu atau talak dua dan tak dilakukan rujuk dalam masa iddah. Dalam kondisi ini, jika suami ingin kembali kepada istrinya, wajib akad ulang dengan mahar baru.

Kedua, talak ba`in kubra, yaitu jatuhnya talak tiga. Dalam kondisi ini, jika suami ingin kembali kepada istrinya, wajib terwujud lima perkara berikut pada wanita tersebut; (1) menjalani masa iddahnya, (2) menikah dengan laki-laki lain ( suami kedua ), (3) pernah digauli suami keduanya, (4) ditalak suami keduanya dengan talak ba`in, atau suami keduanya wafat, dan (5) telah habis masa iddahnya. Jika lima perkara ini terwujud, suami pertama berhak kembali kepada bekas istrinya dengan akad ulang dan mahar baru. (Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah Al-Fuqaha`, 24 & 169; Taqiyuddin  Al-Husaini,  ibid.,  2/109;  Taqiyuddin  An-Nabhani, ibid., hal. 155; M. Mutawalli al-Shabbagh, Al-Idhah fi Ahkam An-Nikah, hal. 259).

Masa iddah adalah masa menunggu bagi wanita yang ditalak atau yang suaminya wafat untuk mengetahui kebersihan rahimnya. (Rawwas Qal’ahjie, ibid., hal. 233). Masa iddah ada empat macam; Pertama, untuk wanita yang  masih  haid,  lamanya  adalah  tiga  quru`  ( QS  Al-Baqarah: 228 ). Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, tiga quru` artinya tiga kali haid (seperti pendapat ulama mazhab  Hambali  dan  Hanafi),  bukan  tiga  kali  suci ( pendapat  ulama  mazhab  Maliki,  Syafi’i,  dan  Ja’fari ). ( Taqiyuddin An-Nabhani, ibid., hal. 161).  Kedua, wanita yang sedang hamil, masa iddahnya sampai ia melahirkan. ( QS Ath-Thalaq : 4 ). Ketiga, wanita yang sudah tak haid lagi (menopause), atau anak perempuan yang belum haid, masa iddahnya tiga bulan ( QS Ath-Thalaq : 4 ). Keempat, wanita yang ditinggal mati suaminya, masa iddahnya 4 bulan 10 hari. ( QS Al-Baqarah : 234 ). ( Shalih Fauzan Al-Fauzan, Tanbihat ‘Ala Ahkam Tukhtashshu bi Al-Mu`minat`, hal. 67-68 ).

Tatacara rujuk menurut pendapat yang rajih bagi kami, adalah hanya sah dengan ucapan (bil-kalam), tak sah dengan jima’ ( bil-fi’li ). Imam Syafi’i berkata, ”Adalah jelas bahwa  rujuk  hanya  dengan  ucapan,  bukan  dengan perbuatan seperti jima’ dan yang lainnya.” (Imam Syafi’i, Al-Umm, 5/1950).  Rujuk  dengan  ucapan,  misalnya  suami berkata  kepada  istrinya,”Saya  rujuk  lagi  kepadamu.” ( Taqiyuddin Al-Husaini, ibid., 2/108 ).

Disyaratkan ada dua orang saksi laki-laki, sehingga tak sah rujuk tanpa dua saksi yang mempersaksikan rujuk. ( Taqiyuddin An-Nabhani, ibid., hal. 115 ). Dalilnya firman Allah SWT ( artinya ),”Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (TQS Ath-Thalaq: 2). Ayat ini menunjukkan wajibnya dua saksi dalam rujuk. Ini salah satu  pendapat  mazhab  Syafi’i.  ( Imam  Syairazi,  Al-Muhadzdzab, 2/103; Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, 2/68 ).

Kesimpulannya, selama masih dalam masa iddah, suami berhak merujuk istrinya tanpa akad nikah ulang dan mahar baru. Caranya hanya dengan ucapan dan wajib dipersaksikan dengan dua orang saksi laki-laki yang adil.  Wallahu a’lam ■

hukum puasa rajab

HUKUM PUASA RAJAB
KH Hafidz Abdurrahman

Rajab termasuk bulan suci (al-Asyhur al-Hurum), selain Muharram, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, Nabi saw. bersabda: 

صُمْ أَشْهُرَ الْحُرُم

“Puasalah pada bulan-bulan Haram.” [Hr. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, no. 1741]

Karena Rajab merupakan salah satu bulan suci (al-Asyhur al-Hurum), maka puasa di bulan ini hukumnya sunah (mandub), sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits Ibn Majah di atas. 

Mengenai sebagian ulama’ yang menyatakan larangan puasa di bulan Rajab, baik yang mengatakan makruh ataupun haram, maka status hadits yang digunakan oleh mereka adalah hadits-hadits yang lemah. Sebagai contoh, dari Ibn ‘Abbas ra. berkata: 

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِ رَجَب

“Rasulullah saw. telah melarang puasa Rajab.” [Hr. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, no. 1743]. 

Di dalam isnad (jalur periwayatannya) terdapat Dawud bin ‘Atha’ yang disepakati kedhaifannya. Begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh Kharasyah bin al-Hurr yang mengatakan: 

رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَضْرِبُ أَكِفَّ الرِّجاَلِ فِي صَوْمِ رَجَب، حَتَّى يَضَعُوْهَا فِي الطَّعَامِ، وَيَقُوْلُ: رَجَب مَا رَجَب؟ إِنَّمَا رَجَبُ شَهْرٌ كَانَ يُعَظِّمُهُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ، فَلَمَّا جَاءَ الإسْلاَمُ تُرِكَ

“Aku melihat ‘Umar bin al-Khatthab memukul telapak orang-orang karena puasa Rajab, hingga mereka meletakkannya ke makanan. ‘Umar berkata, “Rajab, ada apa dengan Rajab?” Rajab itu adalah bulan yang diagungkan oleh orang Jahiliyah. Ketika Islam datang, maka ia telah ditinggalkan.” [Hr. at-Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath, no. 7632]

Ibn Hajar al-Haitsami berkomentar, “Di dalamnya terdapat al-Hasan bin Jabalah. Aku tidak tahu ada orang yang menyebutnya.” Jadi, statusnya jelas majhul (tidak dikenal). 

Begitu juga hadits yang menjelaskan tentang Nabi saw. berpuasa sebulan penuh, di luar Ramadhan, kecuali bulan Rajab dan Sya’ban [Hr. at-Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath, no. 9418]

Al-Haitsami berkomentar, “Di dalamnya ada Yusuf bin ‘Athiyyah as-Shaffar. Dia orang yang daif.” Dan banyak yang lain. Semuanya lemah, atau menipu, dan tidak bisa digunakan sebagai hujah. 

Karena itu, hukum puasa Rajab tetap sunah (mandub) berdasarkan dalil umum tentang kesunahan puasa di bulan-bulan suci (asyhur hurum). Mengenai berapa hari yang disunahkan, apakah di awal, di tengah, di akhir, atau sebagian kecil, setengah atau sebagian besar bulan Rajab? Tidak ada ketentuan nashnya. Karena itu, kapan saja puasa di dalamnya hukumnya sunah. 

Mengenai niat, niat bagian dari rukun dalam puasa, baik sunah maupun wajib. Karena ini merupakan ibadah. Dasarnya adalah hadits Nabi saw:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ 

“Amal perbuatan [ibadah] bergantung pada niatnya.” [Hr. Bukhari]

Meski dalam pelaksanaannya bisa berbeda. Niat untuk puasa wajib, wajib dinyatakan di malam hari, atau sebelum terbit fajar. Sedangkan niat puasa sunah, boleh dinyatakan hingga pertengahan hari, jika mulai malam hingga fajar belum dinyatakan. Meski ada juga ulama’ yang menyatakan, bahwa niatnya juga bisa dinyatakan meski hari telah melewati waktu zawal (matahari tergelincir), tengah hari. 

Adapun satu niat puasa untuk dua puasa, misalnya puasa Ramadhan sekaligus niat puasa sunah Senin dan Kamis, misalnya, karena kebetulan harinya hari Senin atau Kamis, maka niat seperti ini tidak sah. Begitu juga, niat puasa sunah Rajab sekaligus Senin atau Kamis, juga sama. Karena niat dalam ibadah adalah rukun, dan rukun tersebut berlaku untuk satu ibadah, tidak lebih. Puasa sunah Rajab adalah satu ibadah, sedangkan puasa Senin dan Kamis juga satu ibadah. Jika satu niat untuk dua ibadah, maka niatnya tidak sah. 

Jadi, tetap niat wajib dinyatakan untuk satu ibadah. Puasa Rajab, Senin, Kamis atau yang lain. Masing-masing satu niat. 

Wallahu a’lam.