Selasa, 03 Oktober 2023

Hukum membeli barang sitaan

#Fiqih

/ Hukum Membeli Barang Sitaan Bank /

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Tanya :

Ustadz, apa hukumnya membeli barang sitaan bank? (M. Hatta Syahrir, Makassar)

Jawab :

Haram hukumnya membeli barang sitaan bank, yaitu agunan utang dari debitur yang gagal bayar (default), dengan 3 (tiga) alasan berikut ini :

Pertama, karena bank tidak berhak menyita agunan utang milik debitur yang gagal bayar. Dalam Islam, jika debitur mengalami gagal bayar, maka yang dilakukan bukanlah bank menyita agunan utang, melainkan debitur menjual agunan itu untuk melunasi utang, baik debitur itu kemudian menjual agunan itu kepada kreditur, ataupun menjualnya kepada pihak lain selain kreditur.

Jadi, penyitaan agunan utang oleh bank itu tidak sah menurut hukum Islam, karena agunan utang itu sebenarnya masih hak miliknya pihak debitur, walaupun debitur itu mengalami gagal bayar. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW :

لَا يَغْلَقُ الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِي رَهَنَهُ ، لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ

“Tidaklah suatu barang gadai (agunan utang) menjadi hilang bagi pemiliknya bila ia tidak menebusnya pada waktunya. Setiap kenaikan nilainya menjadi miliknya dan segala kerugian menjadi tanggungannya.” )HR. Ad-Daraquthni, 3/33; Al-Hakim, 2/51; dari Sa’id bin Al-Musayyab).

Hadits tersebut menjelaskan bahwa ketika pihak debitur gagal bayar, atau dengan kata lain, ketika debitur tidak mampu menebus barang yang digadaikannya, maka barang gadai (agunan utang) itu tidaklah otomatis menjadi hak miliknya pihak kreditur, tetapi masih tetap menjadi hak miliknya debitur. Inilah hukum Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, yang telah menghapuskan tradisi muamalah Jahiliyyah yang menetapkan kalau debitur gagal bayar, maka barang gadai otomatis menjadi miliknya kreditur. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 2/339).

Kedua, karena barang itu sebenarnya bukan milik bank, melainkan masih hak milik debitur yang gagal bayar tersebut. Oleh karenanya, jika bank menyita agunan utang tersebut, lalu bank menjual agunan itu melalui suatu pelelangan, berarti bank telah menjual barang yang bukan miliknya. Padahal Islam telah tegas melarang untuk menjual apa-apa yang bukan milik penjual, sesuai sabda Rasulullah SAW yang bermakna umum berikut ini :

لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

"Janganlah kamu menjual apa-apa yang tidak ada di sisimu.” (Arab : lā tabi’ mā laysa ‘indaka) (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Salah satu pengertian dari “apa-apa yang tidak ada di sisimu” (مَا لَيْسَ عِنْدَكَ) adalah “apa-apa yang bukan milikmu,” ( مَا لَيْسَ فِيْ مِلْكِكَ), misalnya barang itu milik tetanggamu, atau milik temanmu, atau barang itu milik debiturmu yang gagal bayar, dsb. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, 2/390).

Ketiga, karena agunan utang (rahn) di bank ini merupakan muamalah cabang, yang lahir dari muamalah pokok, yaitu utang piutang yang bersifat ribawi. Maka dari itu, muamalah cabang berupa agunan utang di bank ini hukumnya haram, karena muamalah pokoknya sudah haram. Kaidah fiqih menegaskan :

إِذَا سَقَطَ الْأَصْلُ سَقَطَ الْفَرْعُ

“Jika masalah pokok telah gugur, maka gugur pula masalah cabangnya.” (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, 1/271; Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 5/58).

Kesimpulannya, berdasarkan tiga alasan di atas, membeli barang sitaan bank haram hukumnya dalam Syariah Islam. Wallāhu a'lam.

Sumber : fissilmi-kaffah[dot]com 

Follow @puanriaubersyariah 
Follow @puanriaubersyariah 
Follow @puanriaubersyariah

hukum suami memukul istri

Hukum Suami Memukul Istri dalam Islam

(Oleh: K.H. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si., M.Si.)

Tanya:
Ustaz, mohon dijelaskan hukum syara’ seputar suami memukul istri. (Abdullah, bumi Allah).

Jawab:
Tak ada perbedaan pendapat di kalangan seluruh fukaha (ahli fikih), bahwa boleh (ja’iz) hukumnya suami memukul istrinya jika terdapat padanya tanda-tanda nusyuz (ketidaktaatan) dari istri kepada suami.Contoh ketidaktaatan istri, misalnya keluar rumah tanpa ijin suami, tak mau melayani suami padahal tak punya uzur (misal haid atau sakit), atau tak amanah menjaga harta suami, dan sebagainya.

Semua fukaha sepakat suami boleh memukul istri dalam Islam, tanpa khilafiyah (perbedaan pendapat)(Lihat : Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, 4/487; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/59; Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 10/15; Imam Al Kasani, Badai’us Shanai’, 3/613; Imam Nawawi, Al Majmu’, 16/445; Ibnu Qudamah, Al Mughni, 35/15; Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, 5/261).

Dalil Syar’i

Dalil kebolehannya adalah firman Allah SWT,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS An Nisaa` [4] : 34)

Tiga Tahap Mendidik Istri
Ayat ini menunjukkan suami berhak mendidik istrinya yang menampakkan gejala nusyuz dalam 3 (tiga) tahapan secara tertib sebagai berikut:

Pertama, menasehati istri dengan lembut, agar kembali taat kepada suami, sebab menaati suami adalah wajib atas istri (lihat QS Al Baqarah [2] : 228).

Kedua, memisahkan diri dari istri di tempat tidurnya, yakni tak menggauli dan tak tidur bersama istri, namun tak boleh mendiamkan istri. Langkah kedua ini ditempuh jika tahap pertama tak berhasil.

Ketiga, memukul istri. Langkah ini dilakukan jika tahap kedua tak berhasil (Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 5/51; M. Ahmad Abdul Ghani, Al ‘Adalah fi An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 67).

Namun, meski Islam membolehkan suami memukul istrinya, Islam menetapkan pukulan itu bukan pukulan yang keras, melainkan pukulan yang ringan, yang disebut Nabi Saw. sebagai pukulan yang tidak meninggalkan bekas (dharban ghaira mubarrih).

Kriteria Pukulan Syar’i
Imam Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan ayat tersebut dengan berkata, ”Pukulan di sini wajib berupa pukulan ringan (dharban khafifan), yaitu pukulan yang tak menimbulkan bekas (dharban ghaira mubarrih).

Ini sebagaimana penafsiran Rasulullah Saw. terhadap ayat tersebut ketika pada Haji Wada’ beliau berkhotbah, “Jika mereka (istri-istri) melakukan perbuatan itu (nusyuz), maka pukullah mereka dengan pukulan yang tak menimbulkan bekas (dharban ghaira mubarrih).” (HR Muslim, dari Jabir bin Abdullah RA). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm.153)

Para ulama banyak menguraikan bagaimana ukuran pukulan ringan tersebut. Pukulan itu tak boleh menimbulkan luka, tak boleh sampai mematahkan tulang atau sampai merusak/mengubah daging tubuh (misal sampai memar/tersayat). (Ibnu Hazm, Al Muhalla, 5/261).

Pukulan itu bukan pukulan yang menyakitkan, juga harus dilakukan pada anggota tubuh yang aman, misal bahu, bukan pada anggota tubuh yang rawan atau membahayakan, misalnya perut.

Jika menggunakan alat pun tak boleh alat yang besar seperti cambuk/tongkat, tapi cukup dengan siwak (semacam sikat gigi) atau yang semisalnya. (Imam Nawawi Al Bantani Al Jawi, Syarah Uqudul Lujain, hlm. 5; Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 5/55-56, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/329). Islam juga menjelaskan haram hukumnya suami memukul/menampar wajah istrinya.

Keharaman menampar istri, sesuai dengan larangan dalam hadis Mu’awiyah Al Qusyairi ra, ”Bahwa Nabi Saw. pernah ditanya seorang laki-laki, ’Apa hak seorang istri atas suaminya?’ Nabi Saw. menjawab, ’Kamu beri dia makan jika kamu makan, kamu beri dia pakaian jika kamu berpakaian, jangan kamu pukul wajahnya, jangan kamu jelek-jelekkan dia, jangan kamu menjauhkan diri darinya kecuali masih di dalam rumah.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah). (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/310).

Suami Terbaik Tak Memukul
Bahkan meski memukul istri itu boleh, namun yang lebih utama adalah memaafkan, yaitu tak memukul istri.  Imam Syafi’i meriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda,

لن يدرب خيلركم

”Orang-orang terbaik di antara kamu, tak akan pernah memukul istrinya.” (Imam Syafi’i, Al Umm, 5/1871). 

Wallahu a’lam. 

( K.H. M. Shiddiq Al Jawi )

ketentuan memiliki asisten rumah tangga

Ketentuan jika Memiliki Pembantu


Oleh: Ustaz Yuana Ryan Tresna (Mudir Ma’had Darul Hadits Khadimus Sunnah Bandung)

MuslimahNews.com, FIKIH – Memiliki pembantu, baik pembantu laki-laki maupun perempuan adalah boleh. Hukum terkait dengan pembantu di rumah sebenarnya adalah turunan dari bahasan nafkah. Suami wajib memberikan nafkah kepada keluarganya, termasuk menyediakan pembantu untuk meringankan pekerjaan rumah istrinya sesuai kemampuan.

Kaidahnya:

يتعاون الزوجان في القيام بأعمال البيت تعاوناً تاماً، وعلى الزوج أن يقوم بجميع الأعمال التي يقام بها خارج البيت، وعلى الزوجة أن تقوم بجميع الأعمال التي يقام بها داخل البيت حسب استطاعتها. وعليه أن يحضر لها خداماً بالقدر الذي يكفي لقضاء الحاجات التي لا تستطيع القيام بها.

Adapun hukum lainnya yang melingkupi perkara ini adalah hukum terkait hukum menjaga pandangan, menutup aurat, khalwat, ikhtilath, dan ijarah.

Pelajaran dari Kisah Nabi Yusuf ‘alaihis salam
Kitab “Adab al-Islam fi Nizham al-Usrah” karya Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki Bab “Pembantu Laki-laki di Rumah-rumah” menarik untuk disimak. Kitab ini adalah salah satu muqarrar di Ma’had Khadimus Sunnah Bandung Program Khusus Ummahat. Mulai Angkatan ke-2, kitab ini termasuk yang harus selesai dikaji.

Beliau menegaskan termasuk perkara yang terlarang, fitnah, dan bahaya yang besar jika mempekerjakan pembantu laki-laki dewasa di rumah, ketika di rumahnya hanya ada istrinya.

Beliau mengambil pelajaran dari kisah Nabi Yusuf ‘alaihis salam yang mendapat godaan dari seorang perempuan bangsawan. Kisah-kisah Nabi dan Rasul terdahulu, mengandung banyak pelajaran (ibrah) berharga. Beliau lebih menyoroti pembantu laki-laki, karena lazimnya istri di rumah dan suami keluar rumah mencari nafkah dan menjalankan aktivitas publik.

Fakta hari ini lebih beragam lagi. Ada beberapa keluarga yang istri bekerja di luar rumah, sementara suami lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Jika fakta ini beliau indra, tentu beliau membuat judul terlarangnya pembantu perempuan dewasa yang banyak berinteraksi dengan suami di rumah.

Berikut adalah ketentuan terkait dengan pembantu rumah:
Jika suami bekerja di luar rumah dan istri tinggal di rumah, maka terlarang mempekerjakan pembantu laki-laki dewasa. Karena akan menimbulkan bahaya dalam pergaulan.
Jika istri bekerja di luar rumah dan suami lebih banyak tinggal di rumah, maka terlarang mempekerjakan pembantu perempuan dewasa. Karena akan menimbulkan bahaya dalam pergaulan.
Jika poin 1 dan 2 sudah diperhatikan, ada ketentuan lain yang penting yaitu terkait dengan tidak boleh ber-khalwat dengan pembantunya. Yakni majikan perempuan dengan pembantu laki-laki atau majikan laki-laki dengan pembantu perempuan.
Para pembantu harus menutup aurat dengan sempurna saat berinteraksi dengan majikannya.
Majikan harus menjaga pandangan terhadap pembantunya.
Semoga Allah karuniakan kebaikan kepada seluruh penghuni rumah kita.