Rabu, 27 Juni 2018

Zakat dan Penerima zakat

/ Makna Zakat /
.
Oleh: Ust. Muhammad Rivaldy Abdullah
.
#MuslimahNewsID -- Asal katanya,
.
زَكَا الشَّيْءُ يَزْكُو، أَيْ زَادَ وَ نَمَا
.
"Zaka As Syai-u Yazku, berarti bertambah dan tumbuh"
.
Kemudian digunakan dalam mustholah syar'i, sebagai :
.
قدر مخصوص من بعض أنواع المال، يجب صرفه لأصناف معينة من الناس، عند توفر شروط معينة.
.
“Ukuran tertentu dari sebagian jenis harta, yang wajib dikeluarkan/dibelanjakan bagi golongan-golongan tertentu dari kelompok masyarakat, (dan ini dilakukan) tatkala telah memenuhi syarat pemenuhannya”. (Al Fiqh Al Manhaji, 1/270-271)
.
.
/ Sejarah Pensyari'atannya /
.
Zakat di syari'atkan di Tahun Kedua Hijrah, berdekatan dengan disyari'atkannya shaum Ramadhan. (Tafsir Ibn Katsir, 3/238)
.
.
/ Hukum dan Dalil Pensyari'atan Zakat /
.
Zakat itu Fardhu 'Ain. Dan termasuk kedalam perkara ma'lum min ad-din bid dharurah(perkara agama yang kewajibannya sudah tak disangsikan kembali).
.
Dalil wajibnya Zakat ialah firman Allaah Subhanahu wa Ta'ala :
.
أقيموا الصلاة، وآتوا الزكاة
.
“Tegakkan Sholat, dan Tunaikanlah Zakat”. (QS. Al Baqarah[2] : 43)
.
Dan perintah zakat ini terdapat pula pada 32 tempat di dalam ayat-ayat AlQur'an.
.
Sedangkan dalil dari As-Sunnah, hadits Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam :
.
بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا إله إلا الله و أن محمدا رسول الله، وإقام الصلاة، و إيتاء الزكاة، و الحج، و صوم رمضان.
.
“Islam dibangun diatas lima asas : (1) Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allaah dan bahwa Muhammad adalah Utusan Allaah; (2) Menegakkan Sholat; (3) Menunaikan Zakat; (4) Haji; (5) dan Shaum Ramadhan”. (HR. Bukhari No. 8; Muslim No. 16)
.
Penjelasan tentang Zakat, dibagi dalam dua bahasan (Zakat Fithri-Zakat Maal). Yang dibahas pertama kali adalah seputar Zakat Fithri.
.
.
/ Zakat Fithri /
.
أي الزكاة التي تجب بالفطر من رمضان. وهي واجبة على كل فرد من المسلمين، صغير أو كبير، ذكر أو أنثى، حر أو عبد
.
تجب على الحر المسلم، المالك لمقدار صاع، يزيد عن قوته وقوت عياله، يوما وليلة. وتجب عليه، عن نفسه، وعمن تلزمه نفقته، كزوجته، وأبنائه، وخدمه الذين يتولى أمورهم، ويقوم بالانفاق عليهم.
.
Yaitu zakat yang diwajibkan karena berbuka dari Ramadhan (maksudnya: berakhirnya Ramadhan). Dia wajib bagi setiap pribadi umat Islam, anak-anak atau dewasa, laki-laki atau perempuan, merdeka atau budak.
.
Wajib bagi setiap muslim yang merdeka, yang memiliki kelebihan satu sha’ makanan bagi dirinya dan keluarganya satu hari satu malam. Zakat itu wajib,  bagi dirinya, bagi orang yang menjadi tanggungannya, seperti istri dan anak-anaknya, pembantu yang melayani urusan mereka, dan itu merupakan nafkah bagi mereka. (Sayyid Sabiq, Fiqhus-Sunnah, 1/412-413)
.
Karena itu, bayi dalam kandungan tidak wajib dibayarkan zakatnya, berdasar hadits : “diwajibkan zakat fithri pada bulan Ramadhan... atas setiap orang merdeka atau budak, laki laki atau perempuan dari kaum muslimin”. (Muttafaq 'Alayh).
.
Dan bayi yang belum lahir tidak terkategori “laki-laki/perempuan”.
.
Berbeda dengan bayi yang wafat. Jika bayi tersebut wafat setelah terbenamnya matahari di hari terakhir Ramadhan(tanggal 29/30), maka wajib dikeluarkan zakat atasnya karena ia tergolong “orang yang hidup di bulan Ramadhan”. (Al Fiqh Al Manhaji, 1/230)
.
.
/ Dengan Apa mengeluarkan Zakat Fithrah? /
.
Satu sha' (atau setara 4 mud/2,4 kg) dari bahan makanan pokok. Hal tersebut berdasar hadits riwayat Abu Sa'id, ia berkata:
.
كُنَّا نُخْرِجُ فِيْ عَهْدِ رَسُول اللّٰه يَوْمَ الفِطْرِ صَاعًا من طَعَامٍ..
.
“Kami mengeluarkan Zakat pada masa Rasulullaah di hari fithri(hari 'ied, sebelum sholat) dengan ukuran satu sha' dari makanan”. (HR. Bukhari No. 1439)
.
Karena itulah, mayoritas Ulama tidak men sahkan zakat fithri dengan uang, akan tetapi zakat fithri mesti ditunaikan dengan makanan pokok. Dalam hal ini di Indonesia umumnya dengan beras.
.
.

/ Siapakah Penerima Zakat? /
Oleh : Ust. Muhammad Rivaldy Abdullah

Orang yang berhak menerima Zakat ialah 8 ashnaf(golongan) yang disebutkan dalam AlQur'an.

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ  حَكِيْم

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan  Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At Taubah : 60)

Meski yang diutamakan adalah orang miskin, dengan dalil :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

Dari Ibnu Abbas, berkata : Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam mewajibkan zakat fitri, untuk mensucikan orang yang berpuasa dari hal-hal yang sia-sia,  perbuatan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. (HR. Abu Dawud No. 1609, Ibnu Majah No. 1827)

Menurut Syaikh Ahmad Mamduh(Dosen Fiqh Universitas Al Azhar), kadar pembagian zakat disesuaikan dengan kebutuhan. Jika yang mendesak adalah fakir, maka itu yang diutamakan dan boleh
diberi porsentase lebih dari harta zakat yang terkumpul.

Bahkan sebagian Ulama Hanafi membolehkan zakatf untuk satu bagian saja dalam suatu wilayah, dengan maksud agar pemenuhan kebutuhannya tertunaikan secara tuntas dan ia lebih berdaya. Contoh : Ada si miskin dan ada si punya hutang. Zakat di suatu wilayah boleh diserahkan seluruhnya untuk si punya hutang yang kemudian diberi modal agar ia berdaya, dan zakat untuk si miskin ditangguhkan. Namun yang shahih adalah ke delapan pos tersebut seluruhnya mendapat bagian, dengan prioritas sesuai urutan dalam ayat.

8 Ashnaf itu antara lain :

(1). Fakir. Inilah yang utama dan pertama kali disebutkan dibanding golongan yang lain. Mereka yang dikatakan fakir, ibarat seseorang  butuh dengan 10 kg, dan yang ia punya hanya 2 kg bahkan tidak sekilo pun ia punya.

(2). Miskin : Memiliki penghasilan, namun tidak mencukupi kebutuhannya. Ibarat, dia butuh 10 kg, yang ia dapat hanya 7 kg.

(3). Amil Zakat : adalah petugas yang ditugasi oleh Imam/Khalifah. Sebetulnya hari ini tidak ada yang disebut sebagai 'amil karena posisi khalifah sendiri tidak ada di tengah kaum muslimin.

(4). Mu'allaf : Orang yang baru masuk islam, dan keislamannya masih lemah.

(5). Riqab : Budak. Dan hal ini telah hilang di tengah kaum muslimin

(6). Gharimin : Orang yang berhutang sebab hutang yang halal, yang ia tidak dapat memenuhinya hutangnya.

(7). Fi Sabilillaah : Mereka yang berperang di jalan Allaah, dimana saat mereka berperang ini dalam kondisi tidak diberikan santunan oleh Baitul Mal(Kas Negara Islam)

(8). Ibnussabil : Musafir yang ingin kembali ke negaranya, dimana ia kehilangan biaya untuk itu.

——————————

Hukum Upah pekerja

/ Cara Mengupah Pekerja /

#MuslimahNewsID -- Harta yang menjadi kompensasi ijarah [upah] disyaratkan harus jelas, bisa dilihat, atau dibayangkan, karena bersifat deskriptif, sehingga ketidakjelasan (kemajhulan)-nya hilang. Alasannya, karena Nabi saw bersabda, “Siapa saja yang mempekerjakan seorang pekerja maka hendaklah ia memberitahukan upahnya.”

Upah boleh dalam bentuk uang, boleh juga dalam bentuk barang, atau jasa. Dengan syarat, semuanya harus jelas dan deskriptif.  Jika upah yang diberikan tidak jelas (majhûl), maka akad ijarah-nya tidak sah.  Jika seorang dipekerjakan untuk memanen padi, dengan upah sebagian dari hasil panennya, maka upah seperti ini tidak sah, karena tidak jelas.

Berbeda, jika pekerja itu dipekerjakan untuk memanen dengan upah 1 kwintal, atau 1 kilogram, maka ijarah ini sah.  Mempekerjakan seorang dengan upah makanan dan pakaian, atau diberi upah, plus makan dan pakaian.

Upah itu harus tetap, dan disepakati sebelum pekerjaannya dimulai.  Makruh mempekerjakan pekerja sebelum dipastikan upahnya.  Jika ijarah itu dilakukan terhadap pekerjaan, maka pekerja itu mendapatkan upah dengan akad ijarah-nya.  Tetapi, upah itu tidak wajib diserahkan, kecuali setelah pekerjaannya selesai.

Dalam kondisi seperti ini, upah wajib diserahkan sesegera mungkin. Ini berdasarkan sabda Nabi SAW, “Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum kering keringatnya.” Namun,  jika sebelumnya disyaratkan pembayaran tersebut ditunda, maka upah itu boleh diberikan sampai jatuh temponya.  Jika disyaratkan upah itu akan diberikan secara berangsur, harian, bulanan atau yang lain, maka bisa dibayar sesuai dengan kesepakatan keduanya.

Dalam konteks ini, majikan tidak disyaratkan secara riil harus sudah mendapatkan manfaat, tetapi dia mungkin mengambil manfaat yang dimaksud, sudah cukup untuk menetapkan bahwa upah sudah menjadi kewajibannya. 

Andai saja, seseorang mempekerjakan pekerja untuk membantunya di rumahnya, sementara pekerja itu sudah datang ke rumahnya dan memosisikan dirinya di bawah tasharruf [titah] majikannya, maka pekerja itu berhak atas upahnya, dengan selesainya jam kerja yang menjadi kewajibannya.

Meskipun akad ijarah itu disepakati terhadap manfaat, dan manfaat itu belum dia rasakan secara riil, karena boleh jadi sesampainya di rumah sang majikan, ternyata jasanya tidak dimanfaatkan. Maka, dalam kasus seperti ini bukan salah pekerja [buruh] tersebut, tetapi kesalahan terletak pada majikannya. Sikapnya mengabaikan atau tidak menggunakan jasa buruh [pekerja] tersebut tidak bisa menjadi alasan, dia tidak membayar upahnya. Ini kalau pekerja [buruh] tersebut merupakan ajir khas, yang hanya bekerja untuk seorang majikan.

Tetapi, berbeda dengan ajîr musytarak atau ajîr umum, yang bekerja pada banyak orang. Pekerja itu tidak terbebas dari pekerjaannya, dan berhak mendapatkan upahnya, sampai dia menyerahkan barang dikerjakannya dari majikan tersebut kepadanya.  Pekerja itu tidak berhak atas upah hingga ia menyerahkan barang itu setelah selesai dikerjakan.

Tetapi, jika pekerjaan itu dilakukan rumah milik sang majikan, misalnya majikan itu menghadirkan pekerja ke rumahnya untuk menjahit di situ, atau mewarnai pakaian di situ, dan bebas dari pekerjaan dan berhak atas upah, begitu dia melakukan pekerjaannya.  Karena barang itu ada di tangan majikannya, sehingga diserahkan untuk dikerjakan seketika dan langsung. []

===
Sumber: Tabloid Mediaumat edisi 198

—————————————
Follow akun FB, IG, Telegram, dan Twitter
@MuslimahNewsID

Grup WA: http://bit.ly/JoinWAMuslimahNewsID
—————————————
Berkarya untuk Umat
—————————————

Hukum batasan arisan

HUKUM-HUKUM ARISAN

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

Arisan dalam bahasa Arab disebut jam'iyyah al muwazhzhafiin_ atau _al qardh al ta'aawuni.

Arisan hukumnya boleh karena termasuk dalam akad qardh (pinjaman) yang hukumnya boleh. Namun jika melanggar hukum syara' tentang qardh (pinjaman), arisan hukumnya tidak boleh atau haram.

Hukum-hukum Arisan dalam Syariah Islam antara lain sbb,

(1) jumlah uang yang diperoleh pemenang arisan wajib sama dgn akumulasi iuran yang dibayarkan oleh seorang peserta arisan. Selisih kurang atau lebih adalah riba.

(2) jika dalam arisan yg dikumpulkan adalah uang, maka pemenang arisan hanya boleh menerima uang yang sama jenisnya dan yang sama jumlahnya.

(3) jika dalam arisan yg dikumpulkan adalah barang, (misal beras, gula, dll) maka pemenang arisan hanya boleh menerima barang yang sama jenisnya dan yang sama berat/takarannya.

(4)  tidak boleh arisan yg mengumpulkan uang, tapi pemenangnya mendapat barang. Demikian pula sebaliknya, tidak boleh arisan yg  mengumpulkan barang, tapi pemenangnya mendapat uang.

(5) dalam hal pemenang arisan menginginkan mendapat barang dari arisan uang, hukumnya boleh jika memenuhi 2 (dua) syarat;

Pertama, pemenang arisan diberi opsi (pilihan), yaitu boleh mengambil uang dan boleh pula mengambil barang.
Kedua, pemenang arisan yg memilih opsi mengambil barang, harus melakukan akad jual beli yg terpisah dg akad arisan di awal.

(6) biaya operasional atau konsumsi tidak boleh diambil atau dipotong dari uang arisan.
(7) biaya operasional atau konsumsi harus dipisah dari uang arisan.

(8) tidak boleh ada lelang dalam arisan. Karena lelang pasti akan menimbulkan riba, yaitu tambahan dari jumlah arisan yg sdh dibayar oleh pemenang lelang. Wallahu a'lam

Selasa, 26 Juni 2018

Penyalahgunaan kaidah tuk pemilu

*PENYALAHGUNAAN QAIDAH FIQH UNTUK MENGIKUTI PEMILU*

Oleh: KH. M Shiddiq Al Jawie

Biasanya, menjelang Pemilu akan berseliweran di pelbagai media berbagai justifikasi agar umat Islam terlibat dalam Pemilu. Sebagiannya menggunakan kaidah-kaidah fikih (al-qawa’id al-fiqhiyyah). Misalnya kaidah adh-dharurah tubih al-mahzhurat, yang berarti kondisi darurat membolehkan hal-hal yang diharamkan. Maksudnya, keikutsertaan umat dalam Pemilu dalam sistem demokrasi sekarang, diakui hukum asalnya haram. Pasalnya, Pemilu Legislatif berarti memilih wakil rakyat yang di parlemen akan melegislasi hukum kufur, bukan hukum syariah Islam.

Namun kemudian, ada pertimbangan, Pemilu dalam sistem demokrasi saat ini adalah darurat sehingga akhirnya dibolehkan. Alasannya, kalau tidak memilih (alias golput) akan menimbulkan kemadaratan yang lebih besar, yaitu dominasi orang kafir atau pihak yang tidak menghendaki umat Islam kuat. Sebaliknya, dengan memilih, kemadaratannya lebih kecil. Menurut mereka, ini sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi: Yukhtaru ahwanus-syarrayn(dipilih kemadaratan yang paling ringan dari dua kemadaratan yang ada).

*Kaidah Fikih dan Rambu-rambunya

Kaidah fikih dalam kitab-kitab ushul fikih disebut dengan beragam istilah, namun maksudnya secara garis besar sama. Kadang disebut al-qawa’id al fiqhiyyah, atau al-qawa’id asy-syar’iyyah, atau al-qawa’id al kulliyah. Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, kaidah fikih adalah :
اَلْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ الْكُلِّيُّ الْمُنْطَبِقُ عَلىَ جُزْئِيَّاتِهِ
Hukum syar’i yang bersifat menyeluruh (kulli) yang berlaku untuk bagian-bagiannya (juz’iyat) (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/444).

Definisi tersebut menjelaskan bahwa kaidah fikih mempunyai dua sifat utama. Pertama: kaidah fikih sebenarnya adalah hukum syar’i, yang di-istinbath dari dalil-dalil syar’i. Artinya, kaidah fikih sebenarnya bukan dalil syar’i (sumber hukum), melainkan hukum syar’i itu sendiri. Kedua: kaidah fikih merupakan hukum kulli, yakni hukum yang berlaku untuk banyak kasus (juz’iyyat), bukan berlaku untuk satu kasus saja (Taqiyuddin An-Nabhani, Izalah al-Atribah ‘anil Judzur, hlm. 1-2).

Misalkan kaidah fikih yang berbunyi: Ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu. (Apa yang tak dapat dijangkau semuanya, tidak ditinggalkan semuanya). Kaidah ini di-istinbath dari sejumlah dalil syar’i yang mewajibkan kaum Muslim untuk melaksanakan suatu taklif syariah semaksimal mungkin, di antaranya sabda Rasulullah saw.:
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perkara maka lakukan itu sekuat kemampuan kalian (HR Bukhari dan Muslim). (Lihat Iman Abdul Majid Al Hadi, Qa’idah Al-Maysur La Yasquthu bi al-Ma’sur, hlm. 77).

Kaidah ini tak hanya dapat diberlakukan pada satu kasus, tetapi banyak kasus. Misalnya, jika seseorang punya utang Rp 10 juta, tetapi hanya mampu membayar Rp 5 juta, maka tak boleh dia tak membayar utang sama sekali. Dia wajib membayar walau hanya Rp 5 juta.

Contoh lain, jika seorang murid/mahasiswa harus menguasai 10 bab ilmu untuk ujian, sedangkan dia hanya mampu menguasai 7 bab saja, maka dia wajib menguasai yang 7 bab itu. Tidak boleh dia menyerah dan tidak menguasai satu bab pun. Demikian seterusnya.

Meskipun kaidah fikih bukan dalil syar’i (sumber hukum), ia dapat diamalkan seperti halnya dalil syar’I; maksudnya, dapat menjadi dasar bagi penetapan hukum-hukum syariah baru. Hanya saja hukum-hukum syariah baru ini bukan hukum syariah yang sama sekali baru, seperti halnya hukum hasil ijtihad, melainkan sekadar cabang hukum dari hukum pokok yang sudah ada (yaitu kaidah fikih itu sendiri).

Jadi pengamalan kaidah fikih hakikatnya adalah mencabangkan hukum syariah, yang diistilahkan at-tafrii’ ‘ala al hukm asy-syar’i oleh Imam Taqiyuddin an-Nabhani (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/443).

Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, pengamalan kaidah fikih ada rambunya, yaitu disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan nash-nash syariah dalam al-Quran dan as-Sunnah. Jika pengamalan suatu kaidah fikih bertentangan dengan nash-nash syariah maka yang diamalkan adalah nas syariah, sedangkan kaidah fikihnya wajib diabaikan, yakni tidak boleh diamalkan. Hal itu karena pengamalan kaidah fikih kedudukannya sederajat dengan pengamalan Qiyas. Jika Qiyas bertentangan dengan nash al-Quran dan as-Sunnah, yang wajib diamalkan adalah nas al-Quran dan as-Sunnah, sedangkan Qiyasnya dikalahkan dan tidak boleh diamalkan (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/449).

*Penyalahgunaan Kaidah Darurat

Tidak dibenarkan menggunakan kaidah darurat untuk menjustifikasi keikutsertaan dalam Pemilu Legislatif.

Alasannya ada dua.
Pertama: pengamalan kaidah darurat tersebut tidak sah karena bertentangan dengan nas-nas syariah yang mengharamkan fungsi legislasi dalam sistem demokrasi saat ini. Pemilu Legislatif dimaksudkan untuk memilih anggota parlemen yang tugas utamanya adalah melakukan legislasi. Legislasi di parlemen haram karena legislasi ini hakikatnya adalah memberikan hak tasyri’(penetapan hukum) kepada selain Allah, sesuai prinsip kedaulatan rakyat dalam demokrasi.

Padahal dalam Islam hak tasyri’ hanyalah milik Allah saja, bukan yang lain (M. Ahmad Mufti, At-Tasyri’ wa Sann al-Qawanin fi ad-Dawlah al-Islamiyyah, hlm. 6 & 38).
Nas-nas syariah dengan tegas membatasi hak tasyri’ sebagai hak milik Allah SWT saja (QS al-An’am [6] : 57). Karena itu wajar jika orang yang membuat hukum sendiri tanpa merujuk pada wahyu Allah disebut sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah, karena dia telah menandingi hak Allah sebagai Pembuat Hukum (Al Musyarri’) (Lihat: QS at-Taubah [9] : 31).

Dengan demikian, jelas penggunaan kaidah darurat untuk menjustifikasi keterlibatan umat dalam Pemilu adalah batil. Pasalnya, kaidah darurat merupakan bagian kaidah fikih yang syarat penerapannya tidak boleh bertentangan dengan nas-nas syariah dalam al-Quran dan as-Sunnah.

Kedua: karena kondisi daruratnya sendiri tidak ada sehingga tidak sah mengamalkan kaidahadh-dharurah tubih al—mahzhurat (kondisi darurat membolehkan hal-hal yang diharamkan) untuk menjustifikasi keterlibatan umat dalam pemilu. Darurat menurut Imam Suyuthi adalah sampainya seseorang pada suatu batas yang jika dia tidak melakukan yang dilarang, maka dia akan mati atau mendekati mati (misal kehilangan anggota tubuh seperti tangan, kaki, dsb).

Contohnya boleh makan bangkai atau minum khamer bagi orang yang kalau tidak segera makan/minum dia akan terancam mati (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nazha’ir, hlm. 84-85). Definisi darurat Imam Suyuthi itu semakna dengan definisi darurat menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, yaitu keterpaksaan yang sangat (al-idhthirar al-mulji’) yang dikhawatirkan akan dapat menimbulkan kematian (Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/483). Jadi definisi darurat itu terbatas pada kondisi yang mengancam jiwa.

Inilah definisi darurat yang disepakati ulama empat mazhab, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali (Wahbah Zuhaili, Mawsu’ah al-Fiqh al-Islami, X/427).

Dengan demikian, jika kondisi yang ada tidak sampai mengancam jiwa, misalnya sekadar kehilangan kesempatan menjadi presiden, anggota DPR, atau anggota kabinet, jelas bukan kondisi darurat. Kondisi darurat dalam arti terancamnya jiwa sama sekali tidak terwujud ketika umat Islam tidak memilih dalam Pemilu. Apakah kalau umat Islam tidak memilih dalam Pemilu lantas terancam jiwanya? Tidak, bukan?

Persoalannya, para masyasyikh muta’akh-khirin (ulama kontemporer) ternyata cenderung melonggarkan definisi darurat. Darurat didefinisikan secara luas bukan hanya kondisi yang mengancam jiwa, tetapi juga mengancam hal-hal selain jiwa, seperti harta, akal, dan sebagainya (Wahbah Zuhaili, Mawsu’ah al-Fiqh al-Islami, 10/428-429).

Jadi seorang pegawai yang terancam dipecat oleh atasannya dapat dikategorikan dalam kondisi darurat, karena terancam hartanya (tak lagi gajian). Jika definisi darurat yang longgar seperti ini yang dipakai, memang logis kalau Pemilu dianggap darurat. Mungkin mereka menganggap dominasi kaum liberal/sekular dalam parlemen adalah kondisi darurat jika umat tidak memilih. Dengan tak memilih, umat akan terancam, meski bukan terancam nyawanya, tetapi mungkin terancam kepentingannya.

Padahal definisi darurat yang longgar itu tak dapat diterima. Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani definisi itu justru tidak sesuai dengan nash al-Quran yang menjadi sumber atau dasar definisi darurat. Misalnya, QS al-Baqarah ayat 173 jelas membatasi kondisi darurat hanya pada kondisi yang mengancam jiwa, bukan mengancam hal-hal lain di luar keselamatan jiwa (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/483).

*Penyalahgunaan Kaidah Akhaffu Dhararayn

Kaidah Akhaffu Dhararayn artinya adalah seorang Muslim boleh memilih bahaya (dharar) yang paling ringan dari dua bahaya yang ada. Kaidah ini pengertiannya sama dengan kaidahYukhtaru ahwanus-syarrayn yang telah dijelaskan di atas (M. Shidqi al-Burnu, Mawsu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, XII/349).

Kaidah ini biasanya digunakan untuk menyikapi adanya dua bahaya yang diasumsikan akan menimpa umat dalam konteks Pemilu.

Pertama: bahaya kecil ketika umat Islam terlibat dalam demokrasi. Kedua: bahaya besar ketika umat Islam tidak terlibat dalam demokrasi, yaitu akan adanya dominasi orang kafir di parlemen atau kabinet, yang dapat mengancam kepentingan atau aspirasi umat Islam.
Penggunaan kaidah Akhaffu Dhararayn ini untuk membolehkan umat ikut Pemilu juga tidak dapat dibenarkan, karena beberapa alasan. Pertama: pengamalan kaidah tersebut secarasyar’i tidak sah karena tidak memenuhi syaratnya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan nash-nash al-Quran dan as-Sunnah. Sudah dijelaskan bahwa banyak nas-nas yang mengharamkan fungsi legislasi dalam sistem demokrasi saat ini.

Kedua: pengguna kaidah tersebut terjebak pada logika jumlah orang (individu), seraya melupakan aspek sistem yang ada. Diasumsikan kalau di parlemen mayoritasnya Muslim, akan baik dan tak berbahaya. Sebaliknya, kalau mayoritasnya non-Muslim akan tidak baik dan berbahaya. Padahal jumlah Muslim atau non-Muslim tidak ada efeknya secara signifikan dalam sistem demokrasi. Pasalnya, dalam sistem demokrasi, UU yang dihasilkan adalah UU kufur, tidak peduli apakah pendukung UU itu mayoritasnya Muslim atau non-Muslim. Bahkan kalaupun UU yang akan dilegislasikan adalah syariah Islam dari segi substansi hukumnya, seperti UU Perkawinan, Zakat, atau Wakaf, tetap saja prosedur legislasinya batil, yaitu tunduk pada suara mayoritas (Muhammad Syakir Syarif, Al-Musyarakah fi al-Barlaman, hlm. 91).

Ketiga: pengguna kaidah tersebut lupa terhadap fakta konkret, bahwa banyak bahaya yang menimpa umat Islam justru ketika anggota parlemen mayoritasnya Muslim. Sebagai contoh, UU Migas yang disahkan oleh DPR tahun 2001 yang mayoritasnya Muslim. UU Migas ini telah menjadi dasar Perpres (Peraturan Presiden) untuk menetapkan kenaikan BBM yang berkali-kali terjadi. Padahal kenaikan BBM telah terbukti melonjakkan berbagai harga barang dan jasa dan sudah terbukti menaikkan jumlah orang miskin di Indonesia.

*Penyalahgunaan Kaidah Ma La Yudraku Kulluhu La Yutraku Kulluhu

Kaidah ini berarti apa yang tak dapat diraih semua, jangan ditinggalkan semua. Maksudnya, umat Islam harus ikut Pemilu walaupun tidak bisa mayoritas (meraih semua kursi), jangan sampai tidak ikut memilih sama sekali.

Penggunaan kaidah ini juga tak dapat dibenarkan karena dua alasan.

Pertama: kaidah ini tidak sah untuk diterapkan karena tidak memenuhi syarat penerapannya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan nas-nas syariah dalam al-Quran dan as-Sunnah. Padahal banyak nas-nas syariah yang telah mengharamkan fungsi legislasi dalam parlemen saat ini.

Kedua: kaidah tersebut hanya boleh diterapkan pada perbuatan-perbuatan yang halal, tidak boleh diterapkan untuk perbuatan yang haram, seperti legislasi di parlemen saat ini. Hal ini dapat diketahui dari dalil hadis yang mendasari kaidah ini, yaitu sabda Nabi saw., “Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perkara maka lakukan itu sekuat kemampuan kalian.”(HR al-Bukhari dan Muslim). Dari hadis ini dapat diketahui bahwa tidak mungkin Nabi saw. memerintahkan kecuali yang halal menurut syariah.

Karena itu, tidak boleh menerapkan kaidah tersebut untuk perbuatan yang haram.
Misalnya, kalau tidak bisa k orupsi 1 miliar, korupsi 500 juta saja. Demikian pula tidak boleh menerapkan kaidah tersebut untuk menjustifikasi keikutsertaan dalam Pemilu Legislatif. Pasalnya, Pemilu ini akan mengantarkan para wakil rakyat untuk melakukan perbuatan yang haram, yaitu melegislasi UU kufur.
WalLahu a’lam

Minggu, 10 Juni 2018

Fiqih lebaran

Seputar Fiqih Lebaran

Oleh : M. Shifdiq Al-Jawi

Banyak di antara umat Islam yang menganggap Idul Fitri sekadar makan-makan, hura-hura. Padahal banyak persoalan hukum terkait Idul Fitri atau lebaran ini. Maka, seharusnya sebagai seorang Muslim mengetahui persoalan fiqih seputar masalah tersebut.

Fiqih Lebaran di sini maksudnya adalah sejumlah hukum syara’ yang terkait dengan hari raya Idul Fitri, baik sebelum, pada saat, maupun sesudah shalat Idul Fitri. Berikut ini di antara hukum-hukum syara’ tersebut :

(1). Diwajibkan secara fardhu kifayah untuk melakukan rukyatul hilal bulan Syawal pada saat maghrib malam ke-30 bulan Ramadhan. Hal ini karena menurut ulama empat mazhab rukyatul hilal inilah yang merupakan sebab syar’i bagi pelaksanaan shalat Idul Fitri, termasuk hukum-hukum lain yang terkait, seperti zakat fitrah dan takbiran pada malam Idul Fitri. Sabda Rasulullah SAW,”Berpuasalah kamu karena melihat hilal [Ramadhan], dan berbukalah kamu (beridul fitrilah) karena melihat hilal [Syawwal]…” (HR Bukharino 1810; Muslim no 1080).

(2).Diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah pada malam Idul Fitri bagi yang mempunyai kelebihan makanan pada malam itu, meski dibolehkan menyegerakan mengeluarkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan. Zakat fitrah berupa makanan pokok dengan takaran satu sha’ (sekitar 2,5 kg), bukan berupa uang. Demikian menurut jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. (AlMudawwanah alKubra, 1/392; AlMajmu’, 6/112; AlMughni, 7/295).

Zakat fitrah dibagikan kepada siapa? Ada dua pendapat; pertama, kepada seluruh mustahiq zakat dari delapan golongan. Ini pendapat jumhur ulama empat mazhab. Kedua, khusus kepada kaum miskin saja. Ini pendapat sebagian ulama, seperti Ibnul Qayyim. Yang rajih, pendapat jumhur. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/387).

(3).Disunnahkan takbiran sejak malam Idul Fitri, baik di rumah atau di jalan menuju lapangan/masjid, hingga keluarnya imam untuk mengimami shalat Idul Fitri. Dalam lafal takbir ini dibolehkan bertakbir dua kali “allahu akbar allahu akbar dst” dan boleh juga tiga kali “allahu akbar allahu akbar allahu akbar dst”. (Imam Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyyah, hlm. 237). Dalil bertakbir dua kali adalah atsar dari Ibnu Mas’ud ra, dia bertakbir, ”Allahu akbar allahu akbar, laa ilaaha illallahu wallaahu akbar, allahu akbar wa lillahil hamd.” (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 2/168).

Namun dari Ibnu Mas’ud ra juga, bahwa beliau bertakbir sebanyak tiga kali(Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 2/165). Kedua sanad hadits tersebut sama-sama shahih, sebagaimana penjelasan Syeikh Nashiruddin Al Albani dalam kitabnya Irwa`ul Ghalil juz 3 hlm. 125. Jadi berlebihan kiranya kalau ada yang membid’ahkan lafal takbir sebanyak tiga kali. Imam Shan’ani berkata,”Terdapat tatacara takbir yang bermacam-macam dari para imam. Ini menunjukkan adanya kelonggaran (tawassu’ah) dalam urusan ini.” (Subulus Salam, 3/247).

(4). Disunnahkan mandi pada pagi hari sebelum shalat Idul Fitri, juga makan sebelum keluar rumah, dan berjalan menuju lapangan tempat shalat (mushala). Dari Sa’id bin Musayyab, dia berkata, ”Sunnah Idul Fitri ada tiga; yaitu berjalan menuju lapangan tempat shalat (mushala), makan sebelum keluar rumah, dan mandi.” Kata Syeikh Nashiruddin Al Albani dalamIrwa`ul Ghalil, 3/104, “Sanad riwayat tersebut shahih.” (Sa’id Al Qahthani, Shalatul ‘Iedain, hlm. 12).

(5). Disunnahkan memakai wewangian dan bersiwak, sebagaimana perkataan Ibnu Abbas mengenai adab shalat Jumat,”Jika ada wewangian, maka gunakanlah wewangian dan juga bersiwaklah.” (HR Ibnu Majah, 1/326). Kata Imam Ibnu Qudamah, “Jika ini disyariatkan untuk shalat Jumat, maka untuk shalat Ied tentu lebih utama.” (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 3/257).

(6). Disunnahkan memakai pakaian terbaik pada Idul Fitri. Imam Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan bahwa Imam Ibnu Abi Dunya dan Imam Baihaqi telah meriwayatkan dengan sanad sahih bahwa Ibnu Umar ra memakai pakaiannya yang terbaik pada hari Idul Fitri dan Idul Adha. (Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, 2/439).

(7). Disunnahkan pergi ke lapangan tempat shalat (mushala) melalui satu jalan dan pulang melalui jalan lain. Karena demikianlah apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. (HR Bukhari no 986).

(8).Disunnahkan secara sunnah mu`akkadah untuk shalat Idul Fitri. Inilah pendapat madzhab Syafi’i yang menurut kami paling kuat mengenai hukum shalat Idul Fitri/Adha di antara tiga pendapat ulama yang ada; pertama, hukumnya fardhu kifayah. Ini pendapat Imam Ahmad. Kedua, hukumnya fardhu ‘ain. Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan satu versi riwayat dari pendapat Imam Ahmad. Ketiga, hukumnya sunnah, tidak wajib. Ini pendapat Imam Malik dan mayoritas para shahabat Imam Syafi’i. (Sa’id Al Qahthani, Shalatul ‘Iedain, hlm. 7).

(9). Disunnahkan shalat Idul Fitri di lapangan (mushala), namun boleh juga mengerjakannya di masjid meski yang lebih afdhal adalah di lapangan. Hal ini karena Rasulullah SAW melakukan shalat Idul Fitri dan Idul Adha di mushala, yakni tempat lapang yang jaraknya seribu hasta dari pintu masjid Nabawi di Madinah. (HR Bukhari no 956, Muslim no 889, dari Abu Said Al Khudri ra).

(10). Tidak disyariatkan shalat apa pun sebelum dan sesudah shalat Idul Fitri. Dalilnya, hadits Ibnu Abbas ra bahwa Nabi SAW keluar pada Idul Fitri dan melakukan shalat Idul Fitri dua rakaat dan beliau tidak melakukan shalat sebelum dan sesudahnya. Nabi SAW saat itu bersama Bilal.” (HR Bukhari no 989; Muslim no 884).

(11) Tidak disyariatkan adzan dan juga iqamah dalam shalat Idul Fitri/Adha. Dalilnya hadits dari Jabir bin Samurah ra, dia berkata.”Saya pernah shalat Idul Fitri dan Idul Adha bersama Nabi SAW tak hanya sekali atau dua kali, dan shalat tersebut tanpa adzan dan juga tanpa iqamah.” (HR Muslim, no 887).

(12). Disyariatkan khutbah setelah selesainya shalat Idul Fitri. Para ulama berbeda pendapat apakah khutbahnya itu dua kali khutbah seperti khutbah Jumat ataukah hanya sekali khutbah. Fuqaha empat mazhab sepakat khutbah Ied itu dua khutbah seperti khutbah Jumat. Bahkan Imam Ibnu Qudamah dan Ibnu Hazm menegaskan dalam masalah ini sesungguhnya para fuqaha tak berbeda pendapat. (Abdurrahman Jazairi, Al Fiqh ‘Ala Al Mazahib Al Arba’ah, 1/238).

Namun sebagian fuqaha berpendapat khutbah Ied hanya satu khutbah, bukan dua khutbah. Inilah pendapat Imam Syaukani, Imam Shan’ani, dan lain-lain. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 695; Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/679). Pendapat yang rajih, khutbah Ied dilaksanakan dua kali, bukan satu kali. (Mahmud ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shalah, 2/177).

(13) Dibolehkan mengucapkan selamat (tahni`ah) setelah shalat Ied, dengan ucapan,”Taqabbalallahu minnaa wa minka/minkum.” (semoga Allah menerima amal kami dan amal Anda). (Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, 2/446). Memulai mengucapkan selamat adalah boleh, namun menjawabnya wajib. (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ul Fatawa, 24/253).

Wallahu a’lam.

Minggu, 03 Juni 2018

Melaksanakan al quran

Buletin Kaffah No. 043, 16 Ramadhan 1439 H-01 Juni 2018

JANGAN BERPALING DARI AL-QURAN

Bulan Ramadhan sering juga dikatakan sebagai Bulan al-Quran (syahr al-Quran). Empat belas abad silam, pada bulan Ramadhan, kitab suci al-Quran diturunkan pada Malam al-Qadar. Pada bulan Ramadhan pula, salah satu amal yang dianjurkan untuk dilakukan adalah tilawah al-Quran. Salah satu keutamaan tilawah al-Quran disabdkan oleh Nabi saw. saw.:

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي شَافِعًا لأَصْحَابِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Bacalah oleh kalian al-Quran, sungguh al-Quran itu akan datang pada Hari Kiamat menjadi syafaat bagi pembacanya (HR Muslim).

Fitnah Terhadap al-Quran

Kaum Orientalis sering menyerang kesucian al-Quran. Mereka melontarkan dua tudingan. Pertama, meragukan kesucian al-Quran sebagai kalamullah. Mereka menuduh al-Quran sekadar rekayasa perkataan bangsa Arab, termasuk Muhammad saw. Kedua, menyangsikan kelayakan al-Quran sebagai petunjuk dan aturan hidup yang kompatibel (cocok) dengan zaman.

Tudingan pertama telah dibantah oleh al-Quran sendiri. Di dalam al-Quran terdapat sejumlah ayat yang menantang umat manusia—bangsa Arab maupun ajam (non Arab)—untuk membuat yang serupa dengan al-Quran. Tantangan ini tidak saja berlaku ketika al-Quran turun, tetapi juga hingga Hari Kiamat (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 23). Namun demikian, bangsa Arab kala itu tidak sanggup menjawab tantangan Allah SWT ini. Padahal saat ayat ini turun bangsa Arab berada dalam puncak kemahiran bahasa dan karya sastranya.

Al-Quran juga bukan karangan Rasulullah saw. sebagaimana tudingan sebagian kaum orientalis dan para pengikutnya. Pasalnya, gaya bahasa al-Quran memiliki kekhasan yang sama sekali berbeda dengan gaya bahasa Nabi saw. Bangsa Arab di Makkah pun semuanya tahu bahwa Rasulullah saw. bukanlah orang yang punya kemampuan menyusun syair.

Lebih dari itu Allah SWT menegaskan:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Tidakkah mereka merenungkan al-Quran? Andai al-Quran itu bukan berasal dari sisi Allah, tentu mereka akan menemukan di dalamnya pertentangan yang banyak (TQS an-Nisa [4]: 82).

Lalu terkait tudingan  kedua, kaum orientalis dan pengikutnya menuding bahwa hukum-hukum yang terkandung dalam al-Quran hanya berisi muatan lokal, bersifat temporal daan kondisional. Contohnya adalah hukum-hukum tentang pembagian waris, poligami, jihad, potong tangan, qishash, jilbab, dll.

Sayang, tudingan ini kemudian diamini oleh sebagian umat Muslim, khususnya murid-murid kaum orientalis. Mereka kemudian menggunakan sejumlah kaidah untuk membenarkan teori guru-guru mereka semisal kaidah, “La yunkaru taghayyur al-ahkam bi thaghayyur al-makan wa az-zaman (Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan tempat dan zaman)”, “Al-Adat muhakkamah (Adat adalah hukum)”, atau “Al-Umuru bi maqashidihaâ (Setiap perkara bergantung pada tujuannya)”, dll. Dengan kaidah-kaidah itu lalu mereka dengan semena-mena mengubah hukum-hukum al-Quran. Mereka, misalnya, menyatakan jilbab adalah budaya/adat bangsa Arab sehingga tidak cocok di luar Arab; hukum waris yang menyebutkan wanita hanya mendapat separuh bagian harus diubah karena tak sesuai dengan kondisi kekinian saat banyak perempuan sudah bekerja; bunga pinjaman bukanlah riba asalkan diniatkan sebagai tanda terima kasih dan nilainya tidak berlipat-lipat; dll. Mereka pun menolak Islam sebagai agama yang menata kehidupan sosial, masyarakat politik dan kenegaraan. Mereka beralasan, sistem demokrasi sudah mencakup nilai-nilai keislaman sehingga tak perlu syariah Islam itu diformalisasikan. Bahkan di antara mereka ada yang menghalalkan perempuan dan orang kafir menjadi pemimpin negara.

Sungguh interpretasi-interpretasi kacau semacam itu bertentangan dengan nash-nash al-Quran dan makna-maknanya. Al-Quran memang datang dalam garis-garis besar. Para ulama bertugas merinci berbagai persoalan-persoalan cabang dari kandungan ayat-ayat al-Quran setiap kali datang persoalan baru. Inilah yang dinamakan ijtihad. Namun demikian, ijtihad ini harus sesuai tuntunan syariah, yakni tidak menjadikan maslahat atau manfaat sebagai penentu hukum. Artinya, umat harus tetap menjadikan ayat-ayat al-Quran sebagai hakim atas beragam persoalan, bukan sebaliknya; menjadikan persoalan sebagai hakim lalu mengubah kandungan ayat al-Quran. Misalnya saat umat menghadapi sistem ekonomi kapitalis ribawi, maka umat harus berusaha menghilangkan akad-akad muamalah ribawi, bukan mencari dalil untuk membenarkan praktik ekonomi ribawi dengan menakwilkan ayat-ayat al-Quran sesuka hati. Ketika hari ini miras dan perzinaan merajalela, umat wajib berusaha menghilangkan keduanya—karena hukumnya adalah haram—bukan malah merekayasa penjualan miras dengan batasan umur dan tempat khusus, juga melokalisasi pelacuran. Saat al-Quran mengharamkan umat memilih pemimpin kafir maka harus dicari dan dipilih pemimpin Muslim yang amanah dan punya skill leadership, bukan malah memfatwakan boleh memilih orang kafir sebagai pemimpin asalkan bertanggung jawab.

Andaikan adat setempat boleh membatalkan hukum al-Quran atau al-Quran bisa ditafsirkan sesuai kondisi, niscaya Rasulullah saw.  tidak akan mengharamkan khamr, perjudian, perzinaan, riba dan berbagai budaya masyarakat jahiliah pada masa itu. Faktanya, Rasulullah saw. justru mengubah berbagai budaya jahiliah tersebut dengan hukum-hukum yang dibawa dalam al-Quran. Hal ini diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin dan para khalifah setelah mereka. Mereka tidak pernah berkompromi dalam mengamalkan hukum-hukum yang terkandung dalam al-Quran. Pada saat turun ayat al-Quran yang mengharamkan menikah dengan wanita musyrik, misalnya, para sahabat menceraikan istri-istri mereka yang tak mau diajak beriman. Bahkan Umar bin Khaththab ra. menceraikan dua orang istrinya sekaligus.

Perilaku menakwilkan ayat al-Quran sesukanya telah diingatkan dengan keras oleh Allah SWT (Lihat: QS an-Nahl [16]: 116). Rasulullah saw. pun telah mengingatkan dengan keras siapa saja yang menafsirkan al-Quran dengan akal (tanpa ilmu):

مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ ، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Siapa saja yang berkata tentang al-Quran tanpa ilmu maka siapkanlah tempat duduknya di neraka (HR Ibnu Jarir, at-Tirmidzi dan an-Nasai).

Dalam riwayat lain dinyatakan:

مَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ
Siapa saja yang berkata tentang al-Quran sebatas dengan akalnya, lalu kebetulan benar, maka ia tetap salah (HR at-Tirmidzi).

Jangan Berpaling dari al-Quran

Berdasarkan paparan singkat di atas, tentu sikap seorang Muslim yang mengimani al-Quran adalah menerima al-Quran seutuhnya; mengimani seluruh surat, seluruh ayat dan seluruh isinya. Ia tak akan berpaling dari Kitabullah yang agung ini, sebagian apalagi seluruhnya. Mengingkari sebagian isi al-Quran sama saja dengan mengingkari seluruh kandungan al-Quran. Mengingkari satu ayat al-Quran saja telah cukup menjerumuskan seseorang dalam kekafiran (Lihat: QS an-Nisa [4]: 150-151). Jangankan mengingkari al-Quran, meragukan kebenarannya saja sudah diancam akan dimasukkan neraka dan mendapatkan azab (QS Hud [11]: 17; al-Hajj [22]: 55). Siapa saja yang berpaling dari al-Quran akan memikul dosa besar pada Hari Kiamat dan kekal memikul beban yang amat buruk tersebut (QS Thaha [20]: 100-101).

Sayang, saat ini, akibat dahsyatnya gempuran pemikiran Barat dan kebodohan umat dalam titik terendah, tidak sedikit yang bersikap diskriminatif terhadap al-Quran. Mereka bisa menerima tanpa reserve hukum-hukum ibadah atau akhlak. Anehnya, mereka tetap menolak hukum-hukum al-Quran tentang kekuasaan, pemerintahan, ekonomi, pidana, atau hubungan internasional.

Contoh, terhadap ayat-ayat al-Quran yang sama-sama menggunakan kata kutiba yang bermakna furidha (diwajibkan atau difardhukan) sikap yang muncul berbeda. Ayat Kutiba alaykum al-shiyam (diwajibkan atas kalian berpuasa) dalam QS al-Baqarah [2] ayat 183 diterima dan dilaksanakan. Sebaliknya, terhadap ayat Kutiba alaykum al-qishash (diwajibkan atas kalian hukum qishash) dalam QS al-Baqarah [2] ayat 178, atau Kutiba alaykum al-qital (diwajibkan atas kalian berperang) dalam QS al-Baqarah [2] ayat 216, muncul sikap keberatan, penolakan bahkan penentangan dengan beragam dalih; apalagi ketika diserukan untuk diterapkan secara praktis. Sikap diskriminatif ini berujung pada pengabaian sebagian ayat al-Quran.

Penerapan al-Quran Membutuhkan Negara

Al-Quran berisi sistem kehidupan yang wajib diterapkan secara kaffah. Di dalamnya terdapat hukum yang mengatur seluruh segi dan dimensi kehidupan (QS an-Nahl [16]: 89). Hanya saja, ada sebagian hukum itu yang hanya bisa dilakukan oleh negara semisal hukum-hukum yang berkaitan dengan pemerintahan dan kekuasaan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik luar negeri; termasuk pula hukum-hukum yang mengatur pemberian sanksi terhadap pelaku pelanggaran hukum syariah. Hukum-hukum seperti itu tidak boleh dikerjakan oleh individu dan hanya sah dilakukan oleh khalifah atau yang diberi wewenang oleh khalifah.

Berdasarkan fakta ini, keberadaan negara merupakan sesuatu yang dharuri (sangat penting). Tanpa ada sebuah negara, mustahil semua ayat al-Quran dapat diterapkan. Tanpa Khilafah Islamiyah, banyak sekali ayat al-Quran yang terabaikan. Padahal menelantarkan ayat al-Quran—walaupun sebagian—termasuk tindakan mengabaikan al-Quran yang diharamkan. []

Hikmah:

Allah SWT berfirman:

وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا وَلَّى مُسْتَكْبِرًا كَأَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Jika dibacakan kepada dia ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya; seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya. Karena itulah beri dia kabar gembira dengan azab yang pedih (TQS Luqman [31]: 7).