Selasa, 21 Juli 2020

hukum seputar Qurban

*Awal Dzulhijjah, Waktu Utama Beramal Shalih* 

 Di antaranya dengan banyak dzikir, bertakbir, dan termasuk pula berpuasa.

*Bismillahirrohmanirrohim*

_ 1 Dzulhijjah = 22 Juli  2020
_ 2 Dzulhijjah = 23 Juli 2020
_ 3 Dzulhijjah = 24  Juli 2020
_ 4 Dzulhijjah = 25  Juli 2020
_ 5 Dzulhijjah = 26 Juli  2020
_ 6 Dzulhijjah = 27  Juli 2020
_ 7 Dzulhijjah = 28 Juli 2020
_ 8 Dzulhijjah = 29 Juli 2020
_ 9 Dzulhijjah = 30 Juli 2020

_*HARAM PUASA :*_

_ *10 Dzulhijjah = 31 Juli 2020*
_ *11 Dzulhijjah = 1 Agustus 2020*
_ *12 Dzulhijjah = 2 Agustus 2020*
_ *13 Dzulhijjah = 3 Agustus 2020*

*NB :
_*Tanggal 22 Juli hingga 30 Juli 2020 disunahkan puasa dan perbanyak amal shaleh kerena pahalanya akan dilipat gandakan*_

_~ *Puasa Tarwiyah 8 Dzulhijah = 29 Juli 2020*_
_~*Puasa Arafah 9 Dzulhijah = 30 Juli 2020*_

_~ *Aidul Adha 10 Dzulhijjah = 31 Juli 2020*_

~  _*Tanggal  1/2/3/Agustus 2020 adalah hari TASRIK = HARAM PUASA*_

Di antara yang menunjukkan keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah adalah hadits Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».

“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)

Puasa di Awal Dzulhijjah
Adapun dalil yang menunjukkan istimewanya puasa di awal Dzulhijjah karena dilakukan pula oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana diceritakan dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya, …” (HR. Abu Daud no. 2437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. (Latho-if Al Ma’arif, hal. 459)
 
Di antara yang menunjukkan keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah adalah hadits Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».

“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)

مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya, …” (HR. Abu Daud no. 2437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. (Latho-if Al Ma’arif, hal. 459)

Wallahu a'lam bisshowab

 

Jumat, 10 Juli 2020

hukum asal perbuatan

/ Hukum Asal Perbuatan Manusia /

Oleh: Syekh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

#Fikih
#MuslimahNewsID -- Pendapat bahwa hukum asal dalam muamalah adalah halal dan boleh (al-ashlu fî al-mu’âmalât al-hillu wa al-ibâhah) merupakan pendapat yang di dalamnya ada masalah. Penisbatannya kepada jumhur mazhab yang empat memerlukan pendalaman dan pengkajian.

Kaidah ini banyak digunakan oleh orang-orang saat ini. Namun, di dalam buku-buku dahulu secara relatif tidak kita temukan adanya kaidah ini. Ibnu Nujaim al-Hanafi (padahal dikatakan bahwa kalangan Hanafiyah banyak menggunakan kaidah ini) menyebutkan dua kaidah saja. 

Pertama: Al-Ashlu fî al-asyyâ‘i al-ibâhah mâ lam yarid at-tahrîm (Hukum asal sesuatu (benda) adalah mubah selama tidak dinyatakan pengharamannya). Kedua: Al-Ashlu fî al-abdhâ’ at-tahrîm (Hukum asal perkawinan/persetubuhan adalah haram).

Jika al-abdhâ’ (perkawinan/persetubuhan) di dalamnya Asy-Syâri’ Yang Mahamulia berhati-hati sehingga membuat pengharaman sebagai hukum asal dalam rangka menjaga keturunan, tidakkah yang demikian selevel dalam harta dan al-mu’âmalah al-mâliyah (transaksi finansial)? Atau minimalnya tidak dikatakan bahwa hukum asal di dalamnya adalah halal? Karena itu harus dilakukan kajian atas masalah-masalah muamalah berdasarkan standar-standarnya yang umum untuk memberikan status hukumnya. Asy-Syâri’, sebagaimana menjaga keturunan, juga menjaga harta.

Karena itu tentu berbahaya jika setiap muamalah kontemporer dianggap sebagai halal dengan mengamalkan kaidah: al-ashlu fî al-mu’âmalât al-hillu (hukum asal dalam muamalah adalah halal) tanpa mengkaji realita masalah dan karakter dalil-dalilnya.

Pertanyaannya: Sejauh mana kesahihan kaidah ini? Apakah para fukaha benar menyatakan kaidah tersebut?

===

Jawab:

Menurut kami, ada kaidah-kaidah pada sebagian mujtahid yang marjuh (lemah). Di antaranya kaidah yang Anda sebutkan: “al-ashlu fî al-mu’âmalât al-hillu (hukum asal dalam muamalah adalah halal)”. Adapun yang mu’tamad (kokoh) menurut kami dan mutabannat karena kekuatan dalil-dalilnya adalah kiadah: 

Pertama, al-ashlu fî al-asyyâ` al-ibâhah mâ lam yarid dalîlu at-tahrîm (hukum asal sesuatu adalah mubah selama tidak ada dalil pengharamannya). 

Kedua, al-ashlu fî al-af’âl at-taqayyudu bi al-hukmi asy-syar’iy (hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syariat).

===

Kami telah menyinggung sejumlah kaidah lainnya dan kami jelaskan bahwa itu tidak rajah (kuat). Berikut penjelasannya:

Pertama: Dinyatakan di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah (Jilid III) pada bab “Lâ Hukma qabla Wurûd asy-Syar’i (Tidak Ada Hukum Sebelum Ada Pernyataan Syariat):

Atas dasar ini, tidak bisa dikatakan bahwa hukum asal benda maupun perbuatan adalah haram, dengan argumentasi, bahwa mengelola milik Allah tanpa izin-Nya adalah haram sebagai bentuk analog dengan makhluk. Pasalnya, ayat tersebut secara sharîh (jelas) menyatakan bahwa sesungguhnya Allah tidak akan mengazab manusia sampai Dia mengutus seorang rasul. 

Artinya, Allah tidak akan menyiksa manusia hingga Dia menjelaskan hukum. Lebih dari itu, makhluk itu sering menimbulkan kemudaratan, sedangkan Allah subhanahu wa ta'ala Mahasuci dari segala kemanfaatan dan kemadaratan.

Demikian pula, tidak bisa dikatakan bahwa hukum asal perbuatan dan benda itu adalah mubah, dengan argumentasi, bahwa suatu pemanfaatan yang bebas dari tanda-tanda yang merusak dan memadaratkan bagi Pemilik (Allah) adalah dibolehkan. Tidak bisa dikatakan demikian. 

Alasannya, karena pengertian (mafhûm) ayat tersebut adalah, bahwa manusia itu sesungguhnya terikat dengan apa saja yang dibawa oleh Rasul karena Allah akan mengazab manusia atas pelanggarannya terhadap apa saja yang dibawa oleh Rasul tersebut. Karena itu hukum asalnya adalah mengikuti Rasul dan terikat dengan hukum-hukum dari risalah beliau, bukan mubah atau tidak terikat (dengan risalah tersebut). Lagi pula keumuman ayat-ayat hukum menunjuk pada kewajiban untuk kembali pada syariat dan terikat dengan syariat. 

===

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

وَمَا ٱخۡتَلَفۡتُمۡ فِيهِ مِن شَيۡءٖ فَحُكۡمُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِۚ ١٠

Tentang apapun kalian berselisih maka putusannya harus dikembalikan kepada Allah (QS asy-Syura [42]: 10).

Allah subhanahu wa ta'ala juga berfirman:

فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ ٥٩

Jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (as-Sunnah) (QS an-Nisa’ [4]: 59).

Allah subhanahu wa ta'ala pun berfirman:

وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ ٨٩

Kami menurunkan kepada kamu al-Kitab (al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu (QS an-Nahl [16]: 89).

===

Selain itu Rasulullah ﷺ pernah bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni:

كُلُّ أَمْرٍ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Setiap perkara yang bukan termasuk ke dalam urusan kami (tidak kami perintahkan) adalah tertolak (HR ad-Daruquthni).

Semua nas di atas menunjukkan bahwa hukum asalnya adalah mengikuti syariah dan terikat dengan syariat. Lagi pula, karena pengambilan manfaat yang terlepas dari tanda yang merusak dan memadaratkan bagi Pemilik (Allah) itu bukanlah argumentasi atas kebolehan. 

===

Demikian pula, tidak bisa dikatakan bahwa hukum asal benda itu adalah tawaqquf dan tidak ada hukum. Pasalnya, tawaqquf berarti mengabaikan amal/perbuatan sekaligus mengabaikan hukum syariat. Ini tentu tidak boleh. Pasalnya, sesungguhnya yang telah ditetapkan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, ketika tidak ada pengetahuan, adalah bertanya tentang hukum, bukan tawaqquf dan tidak ada hukum. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

فَسْئَلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ٤٣

Karena itu bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak tahu (QS an-Nahl [16]: 43).

Rasulullah ﷺ juga pernah bersabda dalam hadis tentang tayamum, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:

أَلاَ سَأَلُواْ، إِذْ لَمْ يَعْلَمُوْا فَإِنَّمَا شِفَاءُ اْلعِيِّ السُّؤَالُ

Mengapa kalian tidak bertanya jika kalian memang tidak tahu? Sesungguhnya obat orang yang tidak tahu adalah bertanya (HR Abu Dawud).

Semua ini menunjukkan bahwa hukum asalnya bukanlah tawaqquf dan tidak ada hukum.

===

Atas dasar ini, setelah pengutusan Rasulullah ﷺ maka hukum adalah bagi syariat. Lebih jelas lagi, tidak ada hukum sebelum datangnya syariat. Dengan demikian hukum bergantung pada syariat atau bergantung pada adanya dalil syariat atas suatu masalah. Karena itu hukum tidak ditetapkan kecuali dari dalil, sebagaimana hukum tidak ditetapkan kecuali setelah adanya syariat. Dengan demikian hukum asalnya adalah hendaknya membahas hukum dalam syariat, yakni hendaknya membahas dalil syariat bagi suatu hukum syariat. 

Dengan begitu kesimpulan ini semakin menguatkan kaidah syariah:

اَلأَصْلُ فِى أَفْعَالِ اْلإِنْسَانِ التَّقَيُّدُ بَحُكْمِ الله

Pada dasarnya perbuatan manusia itu terikat dengan hukum Allah.

Dengan demikian seorang Muslim tidak boleh melakukan suatu perbuatan kecuali setelah mengetahui hukum Allah atas perbuatan tersebut, yang bersumber dari seruan Pembuat syariat.

Sementara itu, pemberlakuan hukum mubah merupakan salah satu hukum syariat sehingga harus ada dalil dari syariat yang menunjukkan kemubahannya. 

Penjelasan ini berkaitan dengan amal perbuatan manusia. Adapun berkaitan dengan benda—sementara benda itu sebetulnya selalu terkait dengan perbuatan—pada dasarnya hukumnya mubah (boleh) selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Artinya, hukum asal benda itu adalah mubah, bukan haram, kecuali ada dalil syariat yang mengharamkannya. Alasannya, karena nas-nas syariat memang telah membolehkan segala sesuatu. Nas-nas ini datang dalam bentuk umum, mencakup segala sesuatu. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

أَلَمۡ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ ٦٥

Tidakkah kalian melihat bahwa Allah telah menundukkan bagi kalian apa saja yang ada di bumi (QS al- Hajj [22]: 65).

Pengertian “Allah menundukkan bagi manusia apa saja yang ada di bumi” adalah bahwa Allah memubahkan (membolehkan) semua hal yang ada di muka bumi ini. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

يَٰأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ حَلَٰلٗا طَيِّبٗا

Hai sekalian manusia, makanlah oleh kalian yang halal dan baik dari apa saja yang terdapat di bumi (QS al-Baqarah [2]: 168).

۞يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمۡ عِندَ كُلِّ مَسۡجِدٖ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ ٣١

Hai anak Adam, pakailah pakaian kalian yang indah setiap kali memasuki masjid, serta makan dan minumlah kalian (QS al-A‘raf [7]: 31).

هُوَ ٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ ذَلُولٗا فَٱمۡشُواْ فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُواْ مِن رِّزۡقِهِۦۖ ١٥

Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kalian. Karena itu berjalanlah kalian di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya (QS al-Mulk [67]: 15).

===

Demikianlah, semua ayat yang ada, yang memubahkan (membolehkan) segala benda itu, datang dalam bentuk umum. Keumuman ayat-ayat tersebut menunjukkan pada kebolehan segala benda. Artinya, kebolehan segala benda itu datang melalui seruan Pembuat syariat yang bersifat umum. 

Dengan demikian dalil tentang kebolehan segala benda adalah nas-nas syariat yang memang datang dengan membolehkan segala sesuatu. Ketika ada suatu benda yang diharamkan maka harus ada nas yang mengkhususkan (takhshîsh) dalil umum tersebut, yang menunjukkan adanya pengecualian benda ini dari kebolehan yang bersifat umum.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa hukum asal benda itu adalah mubah. Karena itu kita mendapati bahwa syariah, ketika mengharamkan benda, sesungguhnya telah menegaskan benda tersebut sebagai pengecualian dari keumuman nas. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحۡمُ ٱلۡخِنزِيرِ ٣

Diharamkan atas kalian bangkai, darah, dan daging babi (QS al-Maidah [5]: 3).

===

Rasulullah ﷺ juga pernah bersabda:

حُرِّمَتِ الخَمْرَةُ لِعَيْنِهَا

Khamr itu diharamkan karena zatnya.

Kitab Al-Mabsûth menyebutkan hadis di atas dari Ibnu Abbas. Dengan demikian pengharaman sejumlah benda oleh syariat merupakan pengecualian dari keumuman nas, yakni merupakan pengecualian dari hukum asalnya, sementara hukum asal segala benda adalah mubah.

Dari situ menjadi jelas bahwa kaidah-kaidah tersebut, baik yang Anda isyaratkan, yakni “al-ashlu fî al-mu’âmalât al-hillu (hukum asal dalam muamalah adalah halal/boleh),” ataupun yang kami isyaratkan di atas, adalah kaidah-kaidah yang marjuh (lemah) menurut kami.

Pendapat yang tepat (ra’yu ash-shawâb) berkaitan dengan perbuatan dan benda adalah seperti apa yang telah kami sebutkan, yakni: al-ashlu fî al-af’âl at-taqayyudu bi al-hukmi asy-syar’iy (hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syariat) dan al-ashlu fî al-asyyâ‘ al-ibâhah mâ lam yarid dalîlu at-tahrîm (hukum asal sesuatu adalah mubah selama tidak ada dalil pengharamannya).

===
Sumber:
https://www.facebook.com/MuslimahNewsID/photos/a.820025648175252/1587580318086444/?type=3

—————————————
Silakan share dan follow
Web: http://muslimahnews.com
FB, IG, Telegram
@MuslimahNewsID
Twitter:
http://twitter.com/m_newsid
Grup WA:
http://bit.ly/GrupMuslimahNewsID
—————————————
Berkarya untuk Umat
—————————————

Sabtu, 04 Juli 2020

hukum jastip

*HUKUM JASTIP (JASA TITIP)*

*OLEH : KH. M. SHIDDIQ AL JAWI*

*Tanya :* 
Ayah, apa hukumnya jastip (jasa titip)? (Atina Fahma Rosyada, Jogjakarta) 

*Jawab :*
Jastip adalah jasa yang dilakukan pemberi jasa titip (disebut “jastiper”) untuk menawarkan suatu barang yang dijual di destinasi tertentu baik di dalam negeri maupun di luar negeri, via media sosial, kemudian customer memesan barang itu dengan harga yang telah disepakati. 

Contoh, ketika seseorang berlibur di Yogyakarta, dia masuk ke toko yang menjual blangkon, kemudian memfoto blangkon-blangkon yang dijual dan menguploadnya di akun sosial media miliknya, seperti Instragram, disertai keterangan harganya. Jastiper kadangkala menetapkan harga baru kepada customer, yaitu harga yang sudah termasuk ongkos kirim dan upah untuk jasa titip. Bisa juga jastiper menyampaikan harga asli apa adanya di toko, kemudian meminta tambahan uang tertentu sebagai upah jasa titipnya. Besarnya uang jasa berkisar 5-10% dari harga toko untuk barang dalam negeri, atau hingga  20% dari harga toko untuk barang luar negeri. 
    
Dari penelurusan fakta, diketahui ada 2 (dua) macam cara pembayaran oleh customer. 
Pertama, jastip dengan talangan, yaitu jastiper menggunakan uangnya sendiri lebih dulu untuk belanja barang. Jadi, customer tidak mentransfer uang lebih dulu kepada jastiper.

Kedua, jastip tanpa talangan, yaitu jastiper menunggu transfer lebih dulu dari customer, sehingga jastiper berbelanja menggunakan uang customer. 

Hukum syara’ untuk jastip ada rincian (tafshil) sbb ; 
*Pertama,* haram hukumnya jastip dengan talangan. 

Alasannya, karena telah terjadi penggabungan akad talangan/pinjaman (qardh) dengan akad ijarah (jasa titip) yang telah diharamkan oleh syara’. Akad qardh terjadi karena jastiper memberi talangan lebih dulu, yaitu membeli barang dengan uang jastip sendiri. Sedang akad ijarah (jasa titip) terjadi ketika pemberi jasa membelikan barang pesanan customer dengan mendapat upah. 

Padahal syara’ telah mengharamkan penggabungan akad qardh (pinjaman) dengan akad tijarah (komersial), seperti akad jual beli, ijarah, dan semisalnya. Dalilnya sabda Nabi SAW :

لا يَحل سَلَفٌ وبيعٌ 

”Tidak halal menggabungkan salaf (qardh) dengan jual beli (laa yahillu salafun wa bai’un)…” (HR. Tirmidzi, no. 1252, hadis shahih). 

Yang dimaksud “salaf” dalam hadis itu adalah qardh. (Imam Syaukani, _Nailul Authar,_ hlm. 1052; _Imam Shan’ani,_ Subulus Salam, Juz III, hlm. 13; Imam Al Mubarakfuri, _Tuhfatul Ahwadzi Syarah Al Jami’ At Tirmidzi,_ Juz IV, hlm. 432). 

Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan :

فجماع معنى الحديث: أن لا يجمع بين معاوضة وتبرع

"Makna umum dari hadis ini, bahwa tidak boleh menggabungkan akad mu’awadhah (komersial) dengan akad tabarru’ (sosial).” (Ibnu Taimiyyah, _Maj’mu’ al Fatawa,_ Juz ke-29, hlm. 22; _Al Qawaa’id An Nuraaniyyah,_ hlm. 284). 

Jadi, yang haram tidak hanya penggabungan qardh dengan jual beli saja, tetapi lebih umum, yaitu mencakup penggabungan akad tabarru’ (sosial), seperti akad qardh, dengan akad tijarah (komersial), seperti jual beli, ijarah, syirkah, dan sebagainya. 

*Kedua,* boleh hukumnya jastip tanpa talangan, yaitu jastip dengan transfer uang lebih dulu dari customer kepada jastiper. 

Alasan kebolehannya, karena jastip ini dapat mengamalkan hukum bolehnya akad *wakalah bil ujrah* atau bolehnya akad *samsarah* 

Jadi selama jastip mengamalkan segala rukun dan syarat dalam akad wakalah bil ujrah atau akad samsarah, hukumnya boleh. 

Wakalah bil ujrah adalah akad mewakilkan urusan kepada orang lain dengan memberikan upah kepadanya. 

Sedang akad samsarah adalah akad menjadi perantara (broker) antara penjual dan pembeli. 

Perbedaan di antara keduanya, dalam akad wakalah bil ujrah, jastiper wajib menyampaikan harga asli toko apa adanya. Jastiper tidak boleh melakukan mark up harga itu secara berbeda dengan harga toko. Sedang dalam akad samsarah, jastiper boleh melakukan mark up harga yang berbeda dengan harga toko, sebagai upah baginya, asalkan sudah disepakati dengan customer. Wallahu a’lam. 

*Yogyakarta, 9 Januari 2020*

*KH. M. Shiddiq Al Jawi*

hukum giveaway

*HUKUM GIVEAWAY*


*OLEH : KH. M. SHIDDIQ AL JAWI*
*Tanya :*
Ustadz, mohon dijelaskan hokum giveaway yang marak di dunia maya atau di sosmed? (Mas Panji, Jogja)
*Jawab :*


Giveaway adalah hadiah tertentu yang dijanjikan oleh pemberi giveaway kepada para peserta giveaway jika mereka dapat memenuhi syarat-syarat tertentu, misalnya memberi like, comment, share, atau berlangganan (subscribe) e-mail, diminta men-tag beberapa orang temannya. 


Pemberi giveaway umumnya pebisnis online, misalnya pemilik toko online, namun bisa juga artis, media influencer, tokoh masyarakat, dan sebagainya


Pemberi giveaway memilih pemenang dengan dua cara; pertama, undian (sweeptakes), yang benar-benar bergantung pada faktor keberuntungan bagi peserta. Kedua, lomba (contest), yang melibatkan usaha atau keahlian dari peserta dan penilaiannya berdasarkan kriteria-kriteria tertentu.   


Hadiah yang diberikan oleh pemberi giveaway bentuknya bermacam-macam. Mulai dari HP, set alat makan, set alat kecantikan, baju, buku, voucher makanan di resto ternama, voucher belanja, hingga jalan-jalan. Hadiah tersebut kadang merupakan produk dari pemberi giveaway itu sendiri, atau bisa juga merupakan produk atau jasa endorsement dari pihak lain yang menggunakan jasa pemberi giveaway (misal seorang artis) untuk mempromosikan produknya.


Contoh giveaway, di Twitter seseorang men-tweet sebagai berikut,”Gaesss…, dikarenakan aku baru ganti hape, IP [Iphone] yang ini mau aku GA [giveaway] aja ni. Caranya gampang, kalian cuma retweet, trus like, kalo mau follow juga oke…Ditunggu yaa pengumumannya tanggal 21 September 2019.” Demikian sekilas fakta (manath) giveaway. Bagaimanakah hukum giveaway ini menurut syariah?


Hukum asal giveaway menurut syariah adalah boleh (mubah), karena untuk kasus giveaway ini dapat diamalkan hukum ju’alah (sayembara), yaitu janji memberi imbalan yang diketahui untuk suatu pekerjaan yang diketahui, atau pekerjaan yang tidak diketahui yang sulit/berat dilakukan (iltizaamu ‘iwadhin ma’luumin ‘alaa ‘amalin ma’luumin aw majhuulin ya’suru ‘amaluhu). 


Contoh ju’alah, seseorang mengumumkan,“Barangsiapa yang dapat mengembalikan budakku yang lari, maka dia akan mendapat imbalan sekian.” (Imam Syarbaini Al Khathib, Mughni Muhtaj, Juz II, hlm. 429).
 
Hukum ju’alah itu boleh menurut jumhur ulama, yaitu ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, Juz XV, hlm. 208).


Maka dari itu, selama memenuhi segala rukun dan syarat yang ditetapkan oleh para fuqoha dalam ju’alah, maka giveaway hukumnya boleh.


Setidak-tidaknya terdapat 4 (empat) syarat untuk mencegah penyimpangan syariah dalam giveaway; 


*Pertama,* jika pemberi giveaway seorang pebisnis online, disyaratkan bisnisnya adalah bisnis yang halal menurut syariah. Dalil syarat ini QS Al Maa`idah [5] : 2 yang telah melarang tolong menolong dalam dosa (ta’aawun ‘ala al itsmi).


Maka haram hukumnya giveaway oleh pihak pemilik bisnis yang haram, misalnya perbankan/asuransi konvensional, atau pengusaha busana (fashion) yang menjual busana yang mengeksploitasi tubuh wanita, atau pebisnis kuliner yang haram (babi, dsb). 


*Kedua,* syarat-syarat yang diminta pemberi giveaway, harus berupa syarat yang dibolehkan syariah. Misalnya memberi like, komentar, atau share, atau tag yang dibolehkan syariah. Dalil syarat ini, sabda Rasulullah SAW,”Setiap syarat yang tidak sesuai Kitabullah, maka dia adalah batil, meski ada seratus syarat.” (HR Bukhari, no. 2584). 


*Ketiga,* hadiah yang dijanjikan wajib berupa suatu barang atau uang atau fasilitas yang halal menurut syariah. Haram hadiahnya berupa sesuatu yang haram, misal benda najis, seperti khamr, anjing, babi, atau bangkai. (Dubyan bin Muhammad Ad Dubyan, Al Mu’amalat Al Maliyyah Ashalah wa Mu’asharah, Juz X [Bab Al Ju’alah], hlm. 85-86).


*Keempat,* hadiah yang dijanjikan wajib diketahui dengan jelas (ma’lum), misal 1 eksemplar buku dengan judul tertentu. Imam Ghazali mengatakan,”Syarat hadiah ju’alah adalah harta yang diketahui dengan jelas (maalan ma’luuman), jika hadiahnya majhul (tidak jelas), maka akadnya fasad.” (Imam Ghazali, Al Wasith, IV/212). Wallahu a’lam. 


*Yogyakarta, 02 Maret 2020*


*M. Shiddiq Al Jawi*

Jumat, 03 Juli 2020

berdalil dengan as sunah

/ Berdalil dengan As-Sunnah /

Oleh: Yahya Abdurrahman

#Fikih
#MuslimahNewsID -- As-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau pengakuan Rasul ﷺ As-Sunnah itu wajib diikuti seperti halnya Al-Qur'an. Hanya saja, harus terbukti bahwa Rasul ﷺ memang mengucapkan, melakukan atau mengakui sesuatu yang layak dikategorikan sebagai as-Sunnah. Jika sudah terbukti maka absah ber-istidlâl dengan as-Sunnah atas hukum syariah maupun akidah. Dengan itu pula as-Sunnah itu menjadi hujjah bahwa yang ditetapkan dengan as-Sunnah itu merupakan hukum syariah atau bagian dari akidah.

Hanya saja, penetapan as-Sunnah (tsubût as-Sunnah) itu kadang merupakan tsubût (penetapan) yang qath’i, yakni hadis mutawatir. Adakalanya, tsubût-nya merupakan tsubût yang zhanni, yakni khabar ahad. Khabar/hadis ahad tidak memenuhi syarat-syarat khabar mutawatir. Ini mencakup khabar masyhûr, ‘azîz dan gharîb. Khabar masyhûr atau mustafîdh tetap merupakan khabar ahad. Khabar masyhûr itu dalam istidlâl tidak naik dari derajat khabar ahad dan tidak mencapai derajat mutawatir. Selama dalam riwayat hadis itu ada ahad pada tingkat manapun, baik sahabat, tâbi’în maupun tâbi’ at-tâbi’în, tetap merupakan ahad.

Jadi as-Sunnah dari sisi tsubût-nya ada yang qath’i, yaitu khabar mutawatir, dan ada yang zhanni, yaitu khabar ahad.

===

Adapun dari sisi dilâlah (makna)-nya, as-Sunnah atau nas secara umum, juga terbagi dua. Ada yang maknanya qath’i, yaitu yang hanya memiliki satu makna atau satu pemahaman saja. Nas yang maknanya qath’i ini tidak memungkinkan adanya ikhtilaf pendapat di dalamnya. Ada juga yang maknanya bersifat zhanni, yaitu yang mengandung lebih dari satu makna atau lebih dari satu pemahaman. Di sini dimungkinkan adanya ikhtilaf pendapat.

Oleh karena itu, nas-nas syariah, termasuk as-Sunnah, bisa dibagi ke dalam empat klasifikasi. Imam ‘Alauddin Abdul Aziz Ahmad al-Bukhari al-Hanafi (w. 730 H) di dalam Kasyfu al-Asrâr ‘an Ushûl Fakhri al-Islâm al-Bazdawî (I/84) dan Imam Muhammad Amin Ibnu Abidin (w. 1252 H) di dalam Raddu al-Mukhtâr Syarh ad-Durru al-Mukhtâr (I/64) menyatakan bahwa dalil-dalil sam’iyyah itu ada empat klasifikasi. 

Pertama: Qath’iy ats-tsubût qath’iy ad-dilâlah. Contoh: Nas-nas Al-Qur'an yang muhkamât dan as-Sunnah mutawatirah yang mafhûm-nya qath’i.

Kedua: Qath’iy ats-tsubût zhanniy ad-dilâlah. Contoh: Ayat-ayat yang bisa ditakwilkan.

Ketiga: Zhanniy ast-stubût qath’iy ad-dilâlah. Contoh: Khabar ahad yang mafhûm-nya qath’i.

Keempat: Zhanniy ats-tsubût zhanniy ad-dilâlah. Contoh: Khabar ahad yang mafhûm-nya zhanni.

Alhasil, nas yang bersifat qath’i hanya kategori pertama, yakni nas yang qath’iy atstsubût qath’iy ad-dilâlah. Itulah ayat-ayat Al-Qur'an atau hadis mutawatir yang maknanya atau dilâlah-nya qath’i. Adapun tiga kategori lainnya—baik yang qath’iy ats-tsubût zhanniy ad-dilâlah, zhanniy ats-tsubût qath’iy ad-dilâlah maupun zhanniy ats-tsubût zhanniy ad-dilâlah—merupakan nas yang bersifat zhanni.

===

Iman kepada Rasul ﷺ mewajibkan setiap Muslim untuk menaati dan mengikuti beliau, sekaligus ber-istidlâl dengan as-Sunnah atas Islam baik dalam perkara akidah maupun hukum syariah. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٧

Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepada kalian, terimalah. Apa saja yang beliau larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sungguh Allah amat keras hukuman-Nya (QS al-Hasyr [59]: 7).

Hanya saja, ber-istidlâl dengan as-Sunnah itu berbeda-beda kondisinya, bergantung pada perkara yang menjadi obyek istidlâl itu. Jika obyek istidlâl itu cukup dengan ghalabatu azh-zhann (dugaan kuat), maka hadis yang berdasarkan ghalabatu azh-zhann dinyatakan oleh Rasul ﷺ bisa dijadikan dalil. Dalam hal ini, ber-istidlâl dengan hadis yang diyakini/dipastikan bahwa hadis itu dinyatakan oleh Rasul ﷺ tentu lebih utama lagi.

Adapun jika terkait perkara yang di dalamnya wajib ada kepastian dan keyakinan, maka wajib pula ber-istidlâl dengan hadis yang diyakini/dipastikan bahwa hadis itu dinyatakan oleh Rasul ﷺ. Dalam hal ini tidak cukup dan tidak boleh ber-istidlâl dengan hadis yang hanya didasarkan pada ghalabatu azh-zhann bahwa hadis itu dinyatakan oleh Rasul ﷺ. Alasannya, zhann (dugaan) tidak layak menjadi dalil untuk keyakinan (al-yaqîn). Karena itu perkara yang di dalamnya menuntut adanya keyakinan dan kepastian (al-jazm) hanya bisa didasarkan pada al-yaqîn (meyakinkan) dan al-jazm (pasti).

Akidah atau iman adalah perkara yang di dalamnya menuntut adanya keyakinan (al-yaqîn) dan kepastian (al-jazm). Karena itu ber-istidlâl dengan as-Sunnah dalam perkara akidah atau iman ini hanya boleh dengan khabar mutawatir, tidak boleh dengan khabar ahad. Masalah ini akan dibahas lebih rinci dalam artikel berikutnya.

Adapun hukum syariah cukup didasarkan pada dalil yang berdasarkan ghalabatu azh-zhann merupakan hukum Allah subhanahu wa ta'ala yang wajib diikuti. Karena itu dalil atas hukum syariah boleh bersifat zhanni, baik dari sisi tsubût ataupun dilâlah-nya, atau dari sisi keduanya sekaligus. Dalam hal ini tentu dalil yang bersifat qath’i lebih utama digunakan.

===

Khabar ahad, jika statusnya sahih atau hasan, bisa dijadikan sebagai hujjah atau dalil atas hukum syariah yang wajib diamalkan baik dalam perkara ibadah, muamalat ataupun ‘uqûbat. Ber-istidlâl dengan khabar ahad dalam masalah hukum syariah adalah kebenaran (al-haqq) dan merupakan perkara yang sudah terbukti. 

Hal itu telah disepakati oleh seluruh sahabat ridhwanulLâh ‘alayhim, yakni telah menjadi bagian dari Ijmak Sahabat. Dalilnya, syariah mengakui kesaksian dalam pembuktian dakwaan, dan itu merupakan khabar ahad. 

Telah terbukti berdasarkan nas Al-Qur'an bahwa Al-Qur'an telah mengakui: kesaksiaan dua orang saksi laki-laki atau seorang saksi laki-laki dan seorang perempuan dalam masalah harta (QS al-Baqarah [2]: 282); kesaksian empat orang saksi laki-laki dalam perkara zina (QS an-Nisa’ [4]: 15); dan kesaksian dua orang saksi laki-laki dalam masalah hudûd dan qishâsh. Rasul ﷺ pun telah memutuskan hukum berdasarkan kesaksian seorang saksi beserta sumpah pemilik hak. Beliau telah menerima kesaksian seorang perempuan dalam masalah persusuan (ar-radhâ’). Semua ini merupakan khabar ahad. Para sahabat seluruhnya berjalan di atas yang demikian, dan tidak diriwayatkan seorang pun yang menyalahi.

===

Al-Qadhâ’ adalah pengharusan apa yang diputuskan dengan jalan tarjîh (menguatkan) sisi kejujuran atas sisi kebohongan selama syubhat yang membuat khabar itu dicurigai bohong telah hilang dan tidak terbukti. Pengharusan ini tidak lain adalah mengamalkan khabar ahad.

Karena itu, begitu pula mengamalkan khabar ahad yang diriwayatkan dari Rasul ﷺ dengan tarjîh (menguatkan) sisi kejujuran. Tentu selama perawi adalah seorang yang adil, tsiqah dan dhâbith; selama ia telah bertemu dengan orang yang meriwayatkan; juga selama tidak ada syubhat yang membuat kecurigaan khabar itu bohong dan syubhat itu tidak terbukti ada.

Jadi penerimaan khabar ahad dan ber-istidlâl dengan khabar ahad atas hukum syariah adalah semisal dengan penerimaan kesaksian dan hukum/keputusan berdasar kesaksian itu atas perkara yang diputuskan. Atas dasar itu, khabar ahad menjadi hujjah atas hukum syariah berdasarkan dalil Al-Qur'an dan as-Sunnah dan apa yang ditunjukkan oleh as-Sunnah. Apalagi Rasul ﷺ telah bersabda:

نَضَّرَ اللَّهُ عَبْدًا سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا ثُمَّ بَلَّغَهَا عَنِّي فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ غَيْرِ فَقِيهٍ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ

Allah telah menjadikan elok seorang hamba yang mendengar ucapanku, lalu dia pahami dan kemudian dia sampaikan. Betapa banyak pembawa fikih (pemahaman) bukanlah orang fakih dan betapa banyak pembawa fikih (pemahaman) yang membawa fikih (pemahaman) kepada orang yang lebih fakih/paham dari dirinya (HR Ibnu Majah, Ahmad dan asy-Syafii).

Kata ‘abd[an] itu mencakup seseorang atau banyak orang. Jadi Rasul ﷺ memuji seseorang dan beberapa orang (ahad) dalam menukilkan hadis beliau. Rasul ﷺ pun telah memerintahkan untuk menghapal, mengamal-kan dan menyampaikan atau menukilkan ucapan beliau. Karena itu fardhu bagi orang yang mendengar ucapan beliau, baik seorang atau banyak orang, untuk menunaikannya. Penunaian dan penukilan kepada orang lain itu tidak ada pengaruh kecuali jika ucapannya diterima. Jadi seruan Rasul ﷺ untuk menukilkan ucapan beliau itu merupakan seruan untuk menerima ucapan beliau tersebut. Tentu selama orang yang menukilkan itu dibenarkan (dipercayai) bahwa itu merupakan ucapan Rasul ﷺ. Artinya, selama orang yang menukilkan itu tsiqah, terpercaya, bertakwa, dhâbith, mengetahui apa yang dibawa dan diserukan. Dengan begitu hilang kecurigaan bohong atas dirinya dan dikuatkan pada dirinya sisi kejujuran.

Ini menunjukkan bahwa khabar ahad merupakan hujjah berdasarkan as-Sunnah secara sharih dan berdasarkan apa yang ditunjukkan oleh as-Sunnah.

Dengan demikian, berdasarkan dalil Al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat, absah ber-istidlâl dengan khabar ahad atas hukum syariah. Apalagi ber-istidlâl dengan khabar mutawatir. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. 

===
Sumber:
https://al-waie.id/takrifat/berdalil-dengan-as-sunnah/

—————————————
Silakan share dan follow
Web: http://muslimahnews.com
FB, IG, Telegram
@MuslimahNewsID
Twitter:
http://twitter.com/m_newsid
Grup WA:
http://bit.ly/GrupMuslimahNewsID
—————————————
Berkarya untuk Umat
—————————————

Kamis, 02 Juli 2020

qurban

 Hukum Fiqih Seputar Qurban

Pengantar: Sebentar lagi kaum Muslim akan merayakan Hari Raya Idul Adha 1439 H. Ibadah qurban menjadi rangkaian perayaan Idul Adha tersebut. Meski sering dilakukan tiap tahun, ada baiknya umat Islam mengetahui fiqih seputar qurban ini. Bagaimana rinciannya? Fokus kali ini menyajikannya.

Membayar hutang harus didahulukan ketimbang berqurban, meski orang yang berutang tersebut tidak ditagih untuk membayar utangnya.

“Qurban” disebut “Udhhiyyah”. Dalam fiqih, “Udhhiyyah” adalah hewan ternak yang disembelih pada Hari Nahr, dengan niat untuk mengerjakan kesunahan.

“Udhhiyyah” hukumnya sunah, sebagaimana sabda Nabi SAW: “Jika kalian melihat hilal Dzulhijjah, dan salah seorang di antara kalian ingin menyembelih, maka hendaknya dia tidak memotong rambut dan kukunya.” (HR Muslim)

Sabda Nabi SAW, yang menyatakan, “Wa Arada Ahadukum an Yudhahhiya” [salah seorang di antara kalian ingin menyembelih], mempunyai konotasi sunah, bukan wajib.

Pekurban
Qurban tidak ditetapkan, kecuali terhadap orang yang memenuhi syarat:
1)    Islam: karena qurban merupakan ibadah, dan ibadah tidak diberlakukan, kecuali terhadap kaum Muslim. Sedangkan non-Muslim tidak.
2)    Mukim: qurban hanya berlaku untuk orang mukim, bukan musafir.
3)    Kaya: qurban hanya berlaku bagi orang yang mempunyai nafkah untuk Hari Raya, dan dana untuk qurban, dan telah menyelesaikan kebutuhan dasarnya, seperti sandang, papan dan pangan. Bisa ditambahkan, kesehatan, pendidikan dan keamanan.
4)    Tidak harus baligh dan berakal: qurban boleh dilakukan oleh wali anak-anak kecil dan orang gila, karena qurban merupakan nafkah yang diberikan secara makruf, yang disyariatkan untuk harta.
5)    Niat berkurban: Karena niat bisa membedakan antara sembelihan yang merupakan tradisi, dengan qurban yang merupakan ibadah.
6)    Qurban orang yang berhutang: membayar hutang harus didahulukan ketimbang berqurban, meski orang yang berutang tersebut tidak ditagih untuk membayar utangnya.
7)    Qurban untuk orang yang sudah meninggal: Qurban boleh diperuntukkan bagi orang yang sudah meninggal, dan insya Allah, bermanfaat bagi mayit.
8)    Menyembelih dengan tangan sendiri: bagi orang yang berkurban lebih baik menyembelih qurban dengan tangannya sendiri, atau menyaksikan sembelihannya. Meski boleh juga digantikan oleh orang lain.

Hewan Qurban

Disyaratkan hewan yang dikurbankan harus:
1)    Hewan ternak: Hewan ternak [al-an’am] tersebut adalah unta [al-ibil], sapi [al-baqar], kerbau [al-jamus], kambing [al-ghanam] dan biri-biri [al-ma’iz].
2)    Umur: Disyaratkan untuk unta, sapi dan kerbau harus tsaniyya. Untuk unta harus 5 tahun. Untuk sapi dan kerbau harus 2 tahun. Kambing [biri-biri/Ma’iz] harus 1 tahun. Kambing domba [Dha’n] disyaratkan harus jad’u. Usia jad’u adalah 6 bulan.
3)    Jumlah Qurban: 1 domba atau biri-biri boleh untuk 1 orang, atau 1 keluarga, misalnya seorang pria dan anak-anaknya. Sedangkan 1 unta atau sapi untuk 7 orang.
4)    Selamat dari cacat yang berat: Qurban adalah persembahan yang dipersembahkan kepada Allah SWT, karena itu harus layak dipersembahkan. Karena itu, qurban ini syaratnya harus selamat dari cacat yang berat. Cacat berat itu antara lain, buta, pincang, telinga, tangan dan kaki terpotong, sakit dan kurus sekali. Ini berdasarkan riwayat al-Barra’ bin ‘Azib, berkata, Rasulullah SAW, berdiri di antara kami, lalu bersabda: “Empat yang tidak boleh dijadikan qurban: cacat yang berat, yang jelas sekali cacatnya. Sakit, yang jelas sekali sakitnya. Pincang yang jelas sekali pincangnya. Patah yang tak te..” (HR Abu Dawud, Ibn Majah, an-Nasa’i)

Qurban juga harus dipilih dari hewan yang paling disukai. Karena apa yang paling disukai oleh seseorang, jika digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka itu lebih baik ketimbang yang lain. Meski kedunya nilainya sama.

Siapa saja yang membeli hewan qurban yang baik dan layak, lalu terbukti mempunyai cacat, setelah dibeli, maka boleh diganti dengan yang lain, yang baik, juga boleh tetap dengan menyembelih yang cacat.

Penyembelihan

1)    Waktu Penyembelihan: Penyembelihan hewan qurban dimulai setelah shalat Idul Adhha, dari tanggal 10 Dzulhijjah, hingga matahari tenggelam, pada tanggal 13 Dzulhijjah.
2)    Tempat Penyembelihan: Apa saja yang disembelih pada hari-hari Nahr, di tanah halal, selain tanah haram Makkah, disebut qurban [udhhiyyah]. Sedangkan apa yang disembelih pada hari-hari Nahr, di tanah haram Makkah, disebut Hadyu.
3)    Penggantian Qurban: Jika membeli kambing, dan diniatkan sebagai qurban, maka hewan qurban boleh diganti yang lain, jika:
a.    hewan qurban tersebut cacat, maka boleh diganti dengan yang lain.
b.    Jika ingin mengganti, diganti dengan yang lain, yang lebih baik, tanpa cacat.
c.    Tidak boleh diganti dengan dirham [uang]. Jika itu dilakukan, maka statusnya sedekah biasa, bukan qurban. Menyembelih qurban lebih baik ketimbang menyedekahkan harga [dana]-nya. Karena, mengalirkan darah di hari Nahr, adalah ibadah.
4)    Memanfaatkan Daging Qurban: Disunahkan untuk daging qurban, sepertiga untuk disedekahkan, sepertiga untuk dimakan, dan sepertiga untuk dihadiahkan. Daging qurban yang dimakan boleh disimpan pada saat-saat lapang, tetapi pada saat sulit, terjadi kemiskinan dan putus asa, makruh disimpan.

Tata Cara Menyembelih Qurban

Menyembelih hewan adalah hal yang sudah biasa. Namun demikian tidak ada salahnya jika pemahaman tentang penyembelihan ini disegarkan kembali, apalagi di saat beban penyembelihan biasanya cukup banyak di Hari Raya Idul Adha.

1)    Batasan Menyembelih: Menyembelih [dzabh] adalah memotong tenggorokan, dua urat leher [wadijain], yaitu dua urat yang mengalirkan darah ke otak.
2)    Penyembelih: Orang yang menyembelih hewan sembelihan ini disyaratkan harus: (a) Berakal; (b) Mumayyiz; (3) Muslim; (4) Ahli Kitab [Yahudi/Nasrani]. Karena itu, sembelihan orang gila tidak halal. Begitu juga sembelihan anak kecil, yang belum Mumayyiz. Juga sembelihan orang Majusi atau Musyrik yang lainnya. Karena Rasulullah SAW telah meneken perjanjian dengan Majusi Hajar: “Mengambil jizyah dari mereka, perempuan mereka tidak halal dinikahi, dan sembelihan mereka tidak halal dimakan.” (HR Abu Yusuf)
3)    Alat Sembelihan: Alat yang digunakan untuk menyembelih adalah alat yang bisa memotong. Makruh menyembelih dengan menggunakan gigi, kuku dan alat-alat sejenis lainnya, padahal ada alat yang bisa digunakan untuk memotong. Sebagaimana sabda Nabi SAW:“Apa yang  bisa mengalirkan darah, dan ketika disembeli disebut nama Allah, maka makanlah. Tetapi, bukan gigi dan kuku.” (HR Bukhari). LTS

Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 224


Rabu, 01 Juli 2020

hadist uu minerba

/ UU MINERBA dalam Perspektif Hadis Nabi Tentang Barang Tambang /

Oleh: Yuana Ryan Tresna

#Opini
#MuslimahNewsID -- Dalam sebuah hadis, disebutkan sebuah riwayat,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ (سنن ابن ماجه ج2 ص 1339)

قال العلامة السندي: والرجل التافه الرذيل والحقير والرويبضة تصغير رابضة وهو العاجز الذي ربض عن معالي الأمور وقعد عن طلبه  (شرح سنن ابن ماجه – (ج 1 / ص 292)

Laki-laki yang “tafih” adalah orang yang hina, dan tidak bermartabat. Ruwaibidhah merupakan isim tasghir dari “rabidhah” yaitu orang yang lemah yang malas untuk mendapatkan hal-hal yang terbaik, serta putus asa untuk mendapatkannya. (Syarh Sunan Ibn Majah, 1/292)

===

Membaca UU Minerba No. 4 Tahun 2009, poin-poin kritis UU Minerba adalah:

Mengeliminasi peran negara. Padahal dalam pasal 33 UUD 1945 ayat 3 menyebutkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun kenyataannya UU Minerba berpotensi hanya menguntungkan kemakmuran investor;

Pada Pasal 169A dan 169B pemegang Kontrak Karya (KK) dan pemegang Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) akan memperoleh kemudahan untuk mendapatkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan perpanjangan IUPK tanpa melalui proses lelang yang berpotensi seenaknya;

Pasal 47 (a) menyebut jangka waktu kegiatan operasi produksi tambang mineral logam paling lama adalah 20 tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan dua kali masing-masing 10 tahun setelah memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan. Sehingga perusahaan di PKP2B bisa “menguasai” tambang batu bara sampai dua dekade;

Terdapat definisi Wilayah Hukum Pertambangan yang akan mendorong eksploitasi tambang besar-besaran, bukan hanya di kawasan daratan tetap juga lautan yang bertentangan UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

Adanya perubahan dalam Pasal 100 yang membuat reklamasi dan pascatambang dimungkinkan untuk tidak dikembalikan sebagaimana zona awal;

Pasal 102 dalam revisi UU Minerba juga menghilangkan kewajiban pengusaha batu bara untuk melakukan hilirisasi serta memberikan segala insentif fiskal dan non fiskal bagi pertambangan dan industri batubara;

Pasal 93 memungkinkan IUP & IUPK dipindahtangankan atas izin menteri. Kapasitas pemerintah pusat dalam membina dan mengawasi pertambangan diragukan masyarakat.

Sebagai tambahan, UU Minerba yang disahkan sangat investor friendly, dengan memberikan berbagai kemudahan memperoleh IUPK dan jaminan perpanjangan IUPK. UU Minerba juga tidak mendorong dan menjaga kelestarian lingkungan hidup dan kelangsungan ketersediaan Minerba dalam jangka panjang. UU Minerba juga tidak mendorong pengolahan minerba di Smelter dalam negeri untuk meningkatkan nilai bagi negeri. Paradigmanya masih tetap gali-jual. Akibatnya, investor akan meraup keuntungan besar, sedangkan kemakmuran rakyat diabaikan.

(https://mediaindonesia.com/read/detail/312675-baru-disahkan-uu-minerba-yang-baru-langsung-panen-kritik)

===

Hadis tentang Tambang Garam

عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِى مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ. قَالَ فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ.

“Dari Abyad bin Hammal, ia mendatangi Rasulullah ﷺ, dan meminta beliau ﷺ agar memberikan tambang garam kepadanya. Nabi ﷺ pun memberikan tambang itu kepadanya. Ketika, Abyad bin Hamal ra telah pergi, ada seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukan Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd)”. Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah ﷺ mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hammal)”. (HR. Abu Dawud dan al-Timidzi)

Posisinya dalam kitab induk hadis, diantaranya:

أخرجه ابن حبان في “صحيحه” والنسائي في “الكبرى” وأبو داود في “سننه” والترمذي في “جامعه” والدارمي في “مسنده” وابن ماجه في “سننه” والبيهقي في “سننه الكبير” والدارقطني في “سننه” وابن أبي شيبة في “مصنفه” والطبراني في “الكبير”

Syawahid:

وَفِي الْبَابِ عَنْ وَائِلٍ وَأَسْمَاءَ اِبْنَةِ أَبِي بَكْرٍ

Kedudukan:

Hadis ini maqbul dengan banyaknya jalan (katsrah al-thuruq) karena memenuhi persyaratan minimal sebagai hadis hasan (dengan beberapa catatan kritik sanad),

حَدِيثُ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ. تحفة الأحوذي (4/ 9)

Kritik Sanad (Naqd al-Sanad):

Sanad hadis ini muttashil (bersambung);

Secara umum rawinya maqbul. Secara rinci, kriteria rawi beragam mulai tsiqah tsabat, tsiqah, shaduq, wahm, hingga majhul hal. Kelemahan pada beberapa rawi dikuatkan dengan adanya jalur lain;

Madar sanad hadis ini pada Syumair dan Sumay bin Qais.

Kritik Matan (Naqd al-Matn):

Matan hadis ini mengandung hukum baru yang tidak disebutkan dalam al-Quran;

Matan hadis ini selaras dengan Hadis shahih lainnya;

Lafaznya menunjukkan keagungan pemilik kalamnya yakni Sayyiduna Muhammad ﷺ;

Berdasarkan data takhrijnya, matan-matan hadis tersebut tidak saling bertentangan (bukan hadis mukhtalif).

===

Penjelasan (Syarah):

تحفة الأحوذي (4/ 9)

( وَفَدَ ) أَيْ قَدِمَ. ( اِسْتَقْطَعَهُ ) أَيْ سَأَلَهُ أَنْ يُقْطِعَ إِيَّاهُ. ( الْمِلْحَ ) أَيْ مَعْدِنَ الْمِلْحِ. ( فَقَطَعَ لَهُ ) لِظَنِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ يُخْرِجَ مِنْهُ الْمِلْحَ بِعَمَلٍ وَكَدٍّ. ( فَلَمَّا أَنْ وَلَّى ) أَيْ أَدْبَرَ. ( قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْمَجْلِسِ ) هُوَ الْأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيمِيُّ عَلَى مَا ذَكَرَهُ الطِّيبِيُّ ، وَقِيلَ إِنَّهُ الْعَبَّاسُ بْنُ مِرْدَاسٍ.

( الْمَاءَ الْعِدَّ ) بِكَسْرِ الْعَيْنِ وَتَشْدِيدِ الدَّالِ الْمُهْمَلَةِ ، أَيْ الدَّائِمُ الَّذِي لَا يَنْقَطِعُ وَالْعِدُّ الْمُهَيَّأُ.

عون المعبود (7/ 48)

( الْمَاء الْعِدّ ): بِكَسْرِ الْعَيْن وَتَشْدِيد الدَّال الْمُهْمَلَتَيْنِ أَيْ الدَّائِم الَّذِي لَا يَنْقَطِع . قَالَ فِي الْقَامُوس : الْمَاء الَّذِي لَهُ مَادَّة لَا تَنْقَطِع كَمَاءِ الْعَيْن . وَالْمَقْصُود أَنَّ الْمِلْح الَّذِي قُطِعَتْ لَهُ هُوَ كَالْمَاءِ الْعِدّ فِي حُصُوله مِنْ غَيْر عَمَل وَكَدّ.

( فَانْتَزَعَ ): أَيْ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ الْمِلْح

( مِنْهُ ): أَيْ مِنْ أَبْيَض .

قَالَ الْقَارِي : وَمِنْ ذَلِكَ عُلِمَ أَنَّ إِقْطَاع الْمَعَادِن إِنَّمَا يَجُوز إِذَا كَانَتْ بَاطِنَة لَا يُنَال مِنْهَا شَيْء إِلَّا بِتَعَبٍ وَمُؤْنَة كَالْمِلْحِ وَالنِّفْط وَالْفَيْرُوزَج وَالْكِبْرِيت وَنَحْوهَا وَمَا كَانَتْ ظَاهِرَة يَحْصُل الْمَقْصُود مِنْهَا مِنْ غَيْر كَدّ وَصَنْعَة لَا يَجُوز إِقْطَاعهَا ، بَلْ النَّاس فِيهَا شُرَكَاء كَالْكَلَأِ وَمِيَاه الْأَوْدِيَة ، وَأَنَّ الْحَاكِم إِذَا حَكَمَ ثُمَّ ظَهَرَ أَنَّ الْحَقّ فِي خِلَافه يُنْقَض حُكْمه وَيُرْجَع عَنْهُ اِنْتَهَى .

Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan:

Hadis ini adalah dalil bahwa barang tambang yang depositnya melimpah adalah milik umum. Dan tidak boleh dimiliki oleh individu; (Syekh Abdul Qadim Zallum, al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hlm. 54-56):

Karena dalam hadis tersebut beliau ﷺ yang menarik kembali tambang garam yang beliau berikan pada Abyadh bin Hammal ra setelah beliau mengetahui bahwa tambang garam tersebut depositnya melimpah, maka tambang garam tersebut tidak boleh dimiliki oleh individu , dan merupakan milik kaum muslimin;

Ini berlaku bukan hanya untuk garam saja –seperti dalam hadis diatas- tapi berlaku pula untuk seluruh barang tambang. Mengapa? Karena larangan tersebut berdasarkan illat yang disebutkan dengan jelas dalam hadis tersebut , yakni “layaknya air yang mengalir”, maka semua barang tambang jumlahnya “layaknya air yang mengalir” –depositnya melimpah- tidak boleh dimiliki oleh individu (privatisasi).

Penjelasan para ulama terkait dengan topik ini diantaranya adalah sebagai berikut:

قال الامام ابن قدامة المقدسي: وَأَمَّا الْمَعَادِنُ الْجَارِيَةُ ، كَالْقَارِ ، وَالنِّفْطِ ، وَالْمَاءِ ، فَهَلْ يَمْلِكُهَا مَنْ ظَهَرَتْ فِي مِلْكِهِ ؟ فِيهِ رِوَايَتَانِ أَظْهَرُهُمَا ، لَا يَمْلِكُهَا…. (المغني – (ج 12 / ص 131)

Imam Ibn Qudamah berkata: adapun barang tambang yang melimpah seperti garam, minyak bumi, air, apakah boleh orang menampakkan kepemilikannya? Jawabannya ada dua riwayat dan yang lebih kuat adalah tidak boleh memilikinya. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, 12/131)

وقد ذهب المالكية إلى أن المعادن سواء كانت جارية أو غير جارية لا تملك ملكية خاصة حتى وإن كانت في أرض مملوكة ملكية خاصة…. (امام ابن رشد المالكي, المقدمات الممهدات 2 / 224 – 225)

“Dan kalangan mazhab Maliki berpendapat bahwa barang tambang baik melimpah maupun tidak, tidak boleh dimiliki dengan pemilikan yang sifatnya khusus (privat), meski barang tambang tersebut terdapat di dalam tanah yang kepemilikannya bersifat privat (khusus). (Ibnu Rusyd, al-Muqaddamat al-Mumahadat, 2/221-225)

Berkaitan dengan hal itu, al-’Allamah Syaikh ‘Abd al-Qadim al-Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hlm. 54, menegaskan:

أما المعادن الكثيرة، غير محدودة المقدار، فإنها تكون مملوكة ملكية عامة لجميع المسلمين، ولا يجوز أن يختص بها فرد، أو أفراد. كما لا يجوز إعطاء امتياز استخراجها لأفراد، أو لشركات، بل يجب أن تبقى ملكية عامة لجميع المسلمين، مشتركة بينهم وأن تقوم الدولة باستخراجها وتنقيتها، وصهرها، وبيعها نيابة عنهم، ووضع ثمنها في بيت مال المسلمين. ولا فرق في هذه المعادن بين أن تكون ظاهرة، يتوصل إليها من غير مشقة، ولا مؤونة كبيرة، كالملح والكح، أو أن تكون في باطن الأرض، وأعماقها، ولا يتوصل إلى استخراجها إلا بمشقة وعمل، ومؤونة كبيرة، كالذهب، والفضة، والحديد، والنُّحَاسِ، والرَّصَاصِ، والقصدير، والكروم، واليورانيوم، والفوسفات، وغيرها من المعادن، وسواء أكانت جامدة كالذهب والحديد أم سائلة كالنفط، أم غازية كالغاز الطبيعي.

===

Jadi konsep kepemilikan dan pengelolaan tambang ini terkait dengan konsep kepemilikan. Adapun kepemilikan dalam Islam dibagi menjadi tiga, yaitu:

Kepemilikan Individu; Kepemilikan umum, mencakup fasilitas publik, barang tambang yang depositnya melimpah, dan barang yang secara pembentukan mustahil dikuasai individu;

Kepemilikan negara. Di mana tambang yang depositnya melimpah termasuk kepemilikan umum.

===

Kesimpulan

Barang tambang dengan deposit melimpah, seperti migas, nikel, tembaga, batu bara, dan lain-lain termasuk kepemilikan umum (milkiyyah al-’amah). Syariat melarang individu menguasai dan mengelola barang tambang seperti tambang garam, migas, nikel, dan barang-barang tambang lain yang depositnya melimpah.

===
Sumber: https://www.facebook.com/MuslimahNewsID/photos/a.820025648175252/1578924212285388/?type=3/

—————————————
Silakan share dan follow
Web: http://muslimahnews.com

FB, IG, Telegram
@MuslimahNewsID

Twitter:
http://twitter.com/m_newsid

Grup WA:
http://bit.ly/GrupMuslimahNewsID

—————————————
Berkarya untuk Umat
—————————————