Rabu, 24 Februari 2021

hukum pemasaran network

[Tanya-Jawab] Hukum Pemasaran Sistem Jaringan (Network Marketing)
 18 Februari 2021

Belakangan ini menyebar e-commerce, khususnya Pemasaran Sistem Jaringan (Network Marketing). Pandangan terhadapnya terpecah seputar halal dan haramnya. Pertanyaan saya, apa hukum Pemasaran Sistem Jaringan (Network Marketing)?

Contohnya :
Di awal, perusahaan menawarkan kepada siapa yang ingin bergabung dengan bisnis agar membayar sejumlah uang tertentu untuk mendapatkan situs webnya dengan nama ID seolah-olah itu merupakan izin untuk wakalah.

ID ini, perusahaan memungut biaya yang diambil dari kliennya. Setelah bergabung, ia memulai bisnis sebagai berikut.

Pertama dibagi menjadi dua bagian: Agen mulai memasarkan dan menjual produk, yang diketahui harganya dan benar-benar ada (riil), tidak ada gharar di dalamnya. Dia harus mencapai target, yang dimaksudkan, untuk mendapat komisi persentase tertentu yang diberikan perusahaan kepada agen karena menjual produk ini.

Perlu diketahui, bahwa agen itu mentransfer informasi tentang pembeli ke perusahaan dan perusahaan mengirim produknya dan memberi agen nisbah komisinya tanpa kepemilikan agen untuk produk itu, dari sisi bahasa agen itu adalah seorang pemasar dan bukan penjual produk ini, ini di satu sisi.

Di sisi kedua yang lebih penting, agen mempromosikan perusahaan dan merekrut agen-agen lain bercabang di bawahnya, kanan dan kiri. Yang mana dari setiap agen yang direkrut dia mendapat 500 poin.

Dan, jika ia bisa mendapatkan keseimbangan kanan dan kiri dengan menjual produk dan merekrut orang-orang, jika ia mencapai keseimbangan kanan dan kiri, misalnya 1.000 poin kanan dan 1.000 poin kiri, agen tersebut naik peringkatnya di perusahaan untuk mendapatkan komisi tetap sebagai penghasilan tetap.

Dan semakin banyak poin kanan dan kiri, agen pertama akan naik tingkatnya (levelnya) dan komisinya, dan yang lainnya melakukan aktivitas yang sama untuk naik level dan komisinya juga….

Apakah aktivitas ini di dalamnya ada gharar atau perjudian atau masuk di bawah al-ju’âlah? Mohon Anda jelaskan hukum syara’ dalam hal itu dan semoga Allah membalas Anda dengan yang lebih baik).

Jawaban oleh Syekh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

Wa’alaikumussalam wa rahmatullahi wa barakatuh. 
*Akad di dalam Islam itu jelas, mudah, tidak ada kerumitan, dan penghimpunnya bahwa transaksi (muamalat) itu harus jelas dari sisi faktanya, pihak-pihak yang bertransaksi, kemudian mengetahui nas-nas yang berkaitan, mempelajari, dan mengistinbat hukum dengan ijtihad yang sahih.
**Perusahaan yang ada dalam pertanyaan Anda itu bertransaksi melalui jaringan pemasaran dalam sejumlah produk. Perusahaan ini mensyaratkan kepada orang yang memasarkan produk-produknya untuk terlebih dahulu membeli sesuatu dari produk-produk perusahaan itu.

Seperti yang ada di pertanyaan pertama, atau membayar sejumlah tertentu “seolah-olah dia mengambil izin wakalah (agensi)” seperti dalam pertanyaan kedua.

Hal itu supaya perusahaan memberinya hak untuk mendatangkan klien untuk perusahaan dan perusahaan memberinya komisi sebagai imbalan mereka, yaitu “dia menjadi makelar perusahaan, menghadirkan para pembeli dan mendapat komisi dari menghadirkan mereka itu”.

Perusahaan tidak memberinya komisi sampai dia menghadirkan sejumlah pembeli, yakni sesuai program perusahaan yang disiapkan untuk tujuan ini.

Dengan kata lain, pembeli pertama atau orang yang membayar uang pertama, dia mendapatkan komisi dari orang-orang yang dia hadirkan, juga mendapat komisi yang lebih kecil dari orang-orang yang dihadirkan oleh yang lain dan aktivitas pemasaran “samsarah -brokery-“ terus berlanjut seperti ini, yaitu dalam bentuk serangkaian samsarah atau jaringan pemasaran.

Aktivitas bisnis seperti ini menyalahi syariat.
Penjelasannya:

1-Tidak dibenarkan penjual mensyaratkan bahwa seorang pria tidak akan menjadi makelarnya kecuali jika dia membeli darinya. Namun, ia hanya diperbolehkan (menjadi makelar) jika sesuai dengan fakta samsarah (makelaran/brokery).

Yaitu, penjual mengatakan kepada seorang pria, “Jika kamu mendatangkan pelanggan untukku, maka aku akan memberimu upah untuk setiap pelanggan.”

Seperti yang saya katakan, tanpa harus membeli darinya atau membayar uang kepadanya supaya menjadi makelar dari penjual itu.

Karena perusahaan mensyaratkan wajibnya pembelian “pemasar/marketer” produk perusahaan itu seperti pada pertanyaan pertama, atau membayar jumlah tertentu seperti pada pertanyaan kedua, ia berhak untuk bekerja untuk perusahaan itu sebagai makelar dengan mendapat komisi, yaitu menghadirkan pelanggan dan menerima komisi atas mereka.

Ini berarti bahwa akad pembelian “atau pembayaran uang” dan akad samsarah adalah dua akad dalam satu akad, atau dua kesepakatan dalam satu kesepakatan, karena keduanya saling disyaratkan satu sama lain. Dan ini haram.

«نَهَى رَسُولُ اللهِ ﷺ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ» أخرجه أحمد عن عبد الرحمن بن عبد الله بن مسعود عن أبيه

“Rasulullah saw melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan.” (HR Ahmad dari Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud dari bapaknya).

Seperti saya katakan kepada Anda, “Jika Anda jual kepada saya, saya pekerjakan Anda atau saya makelarkan Anda atau saya beli dari Anda,” dll.

Jelas bahwa kenyataan inilah yang ada sesuai dengan pertanyaan di atas. Jadi, jual beli dan samsarah (makelaran) dalam satu akad, artinya wajib membeli dari perusahaan adalah syarat untuk aktivitas samsarah (makelar), yakni untuk memasarkan dengan mendapat komisi dari pembeli yang dihadirkan untuk perusahaan.


2-Samsarah (makelar) adalah akad antara penjual dengan orang yang menghadirkan pelanggan untuk penjual itu, dan komisi samsarah (broker) dalam akad ini wajib dari orang-orang yang dihadirkan seseorang itu untuk perusahaan, dan bukan dari orang-orang yang dihadirkan oleh orang lain.
Karena komisi samsarah (broker) dalam transaksi perusahaan yang disebutkan itu diambil makelar “pemasar/marketer” dari pelanggan yang ia hadirkan (bawa) untuk membeli dari perusahaan, juga dari orang-orang yang dihadirkan (dibawa) yang lainnya, maka ini menyalahi akad samsarah (makelaran/brokery).


3-Harga pembelian dari perusahaan tersebut disertai dengan ghabn fâhisy (selisih yang keterlaluan), dan karena pembeli mengetahui hal itu, hanya saja perkara tersebut tidak kosong dari tipuan (tipu muslihat) hasil dari cara-cara yang “berliku” yang digunakan oleh perusahaan dalam mempromosikan bisnisnya yang mana perusahaan menuntun pembeli untuk membayar harga mahal untuk produk perusahaan yang tidak setara dengan bagian kecil dari harga yang sebenarnya. Semua itu disebabkan apa yang dipromosikan oleh perusahaan berupa masa depan (cemerlang) untuk pembeli ini karena ia akan memiliki kesempatan untuk memasarkan produk perusahaan dengan mendapat komisi dari (para pembeli) yang dia hadirkan (bawa) ke perusahaan, dan juga dari para pembeli yang akan dihadirkan (dibawa) oleh orang-orang yang dia hadirkan (dia bawa) dulu!

Ketika pembeli tidak dapat menghadirkan (membawa) para pembeli, khususnya mereka yang ada di ujung rantai pembeli, maka trik itu telah mengepung dia, dan dia merugi harga mahal yang dia bayar untuk sebuah produk yang tidak sebanding dengan angka yang dia bayar!

Tipuan (tipu muslihat) itu di dalam Islam hukumnya haram.

Rasulullah saw. bersabda,

«الخَدِيعَةُ فِي النَّارِ…» أخرجه البخاري عن ابن أبي أوفى

“Tipuan (tipu muslihat) itu (pelakunya) di neraka…” (HR al-Bukhari dari Ibnu Abi Awfa).

Rasulullah saw. mengatakan kepada seorang pria yang biasa tertipu dalam jual beli,

«إِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ لاَ خِلاَبَةَ» أخرجه البخاري عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما

“Jika engkau menjual, katakanlah, tidak ada khilâbah” (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar ra).

Dan al-khilâbah adalah al-khadî’ah (tipuan). Inilah manthuq hadis tersebut. Mafhumnya menunjukkan bahwa tipuan adalah haram.

Kesimpulannya, transaksi (muamalat) ini menurut cara yang dijelaskan di dalam pertanyaan adalah menyalahi syarat-syarat samsarah (makelar/brokery) dan tidak kosong dari tipuan (tipu muslihat).


Jadi, muamalat itu adalah mualamat yang menyalahi syara’.

Saya sungguh memohon kepada Allah SWT untuk memberi taufik kita dengan pertolongan dan karunia-Nya untuk tegaknya al-Khilafah dan penerapan sistem ekonomi Islam yang menjelaskan berbagai transaksi (muamalat) ekonomi yang bersifat dan murni yang memberikan kehidupan yang tenang dan tenteram untuk semua individu rakyat dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.

Inilah yang saya rajih-kan dalam masalah ini, wallâh a’lam awa ah



Kamis, 18 Februari 2021

hukum Konsul dengan dukun

*[Soal Jawab] Hadits Larangan Berkonsultasi Pada Dukun-Paranormal*

_Pertanyaan_

Afwan asâtidzah, bil khusus ustadz @Irfan Abu Naveed, (penulis buku Hitam Putih Perdukunan Indonesia) boleh diberikan penjelasan atau jawaban perihal satu hadits tersebut di bawah ini atau semisalnya.

عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ « مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ». رواه مسلم

Diriwayatkan oleh sebagian isteri Nabi ﷺ, dari Nabi ﷺ: “Barangsiapa yang mendatangi tukang tenung untuk bertanya tentang sesuatu, maka tidak diterima darinya shalat selama empat puluh malam”. (HR Muslim, 7/37 (5957)

Jika seseorang mendatangi tukang tenung (dukun) saja, maka tidak diterima shalatnya selama 40 malam.

Terus bagaimana dengan shalat para dukun putih itu sendiri (uskun, kikun, hakun, dll), dan para pemilik khadam ilmu kanuragan, nasab, dst-nya, yang pada hakikatnya mereka juga seperti dukun (beristi'anah dg bangsa jin)?

Jazâkumullâh khairan untuk tanggapan, penjelasan dan ilmunya.

_Jawaban_

الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه أجمعين وبعد

Para ulama jelasnya merinci bab ini:

Pertama, Dalam kitab Âkâm al-Marjân fî Ahkâm al-Jân, Al-Imam Badruddin al-Syibli al-Hanafi (w. 760 H) menukilkan penjelasan Abu al-‘Abbas Ibn Taymiyyah, menyoal hukum berkonsultasi kepada bangsa jin dan bertanya kepada orang (dukun/paranormal) yang berkonsultasi kepada mereka adalah haram, berdasarkan hadits:

«مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً»
“Barangsiapa mendatangi ‘arrâf lalu dia bertanya kepadanya tentang suatu hal, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh malam.” (HR. Muslim, Ahmad)

Istilah ‘arrâf itu sendiri memiliki konotasi sedikit berbeda dengan kâhin, sebagaimana dalam penjelasan al-Alusi atas ayat ini:

 فَذَكِّرْ فَمَا أَنْتَ بِنِعْمَتِ رَبِّكَ بِكَاهِنٍ وَلَا مَجْنُونٍ {٢٩}
“Maka tetaplah memberi peringatan, dan kamu disebabkan nikmat Tuhanmu bukanlah seorang kâhin dan bukan pula seseorang yang gila.” (QS. Al-Thûr [52]: 29)

Ketika menafsirkan ayat ini, Al-Imam Syihabuddin al-Alusi (w. 1270 H) berkata:

كاهِن هو الذي يخبر بالغيب بضرب من الظن، وخص الراغب الكاهن بمن يخبر بالأخبار الماضية الخفية كذلك، والعرّاف بمن يخبر بالأخبار المستقبلة كذلك، والمشهور في الكهانة الاستمداد من الجن في الإخبار عن الغيب
(Dukun) adalah orang yang mengabarkan berita ghaib sejenis ramalan, dan Al-Raghib (yakni al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H)) mengkhususkan kâhin adalah orang yang mengabarkan hal-hal yang telah terjadi (al-akhbâr al-mâdhiyyah) yang bersifat rahasia. Adapun ‘arrâf (peramal) adalah orang yang mengabarkan hal-hal yang akan terjadi (al-akhbâr al-mustaqbalah). Dan sudah menjadi hal yang masyhur dalam dunia perdukunan, (kahin & ‘arraf) memperoleh berita-berita ghaib dari bangsa jin.[1]

Al-Syibli merinci penjelasan Ibn Taymiyyah, dikecualikan dalam hal ini bertanya kepada dukun/paranormal dalam rangka menguji dan membuktikan kedustaan mereka, sebagaimana pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ, berdasarkan hadits:

Al-Imam al-Bukhârî meriwayatkan: “Bahwa 'Umar dan Nabi ﷺ berangkat bersama rombongan untuk mememui Ibn Shayyad hingga akhirnya mereka mendapatinya sedang bermain bersama anak-anak yang lain di bangunan yang tinggi milik Bani Magholah. Ibn Shayyad sudah mendekati baligh dan dia tidak menyadari (kedatangan Nabi ﷺ) hingga akhirnya Nabi ﷺ menepuknya dengan tangan Beliau kemudian berkata kepada Ibn Shayyad:

تَشْهَدُ أَنِّي رَسُولُ اللهِ؟
"Apakah kamu bersaksi bahwa aku ini utusan Allâh?"

Maka Ibn Shayyad memandang Beliau lalu berkata:

أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ الْأُمِّيِّينَ
"Aku bersaksi bahwa kamu utusan kaum ummiyyin[2]”

Kemudian Ibn Shayyad berkata, kepada Nabi ﷺ:

أَتَشْهَدُ أَنِّي رَسُولُ اللهِ؟
"Apakah kamu juga bersaksi bahwa aku ini utusan Allâh?".

Maka Beliau menolaknya dan berkata:

آمَنْتُ بِاللهِ وَبِرُسُلِهِ
"Aku beriman kepada Allâh dan kepada Rasul-Rasul-Nya".

Kemudian Beliau berkata:

مَاذَا تَرَى
"Apa yang kamu pandang sebagai alasan (sehingga mengaku sebagai Rasul)?”

Berkata Ibn Shayyad:

يَأْتِينِي صَادِقٌ وَكَاذِبٌ
"Karena telah datang kepadaku orang yang jujur dan pendusta".

Maka Nabi ﷺ bersabda:

خُلِّطَ عَلَيْكَ الْأَمْرُ
"Urusanmu jadi kacau"

Kemudian Nabi ﷺ berkata, kepadanya:

إِنِّي قَدْ خَبَأْتُ لَكَ خَبِيئًا
"Sesungguhnya aku menyembunyikan (sesuatu dalam hatiku) coba kamu tebak?"

Ibn Shayyad berkata:

هُوَ الدُّخُّ
"Itu adalah asap"

Beliau berkata:

اخْسَأْ فَلَنْ تَعْدُوَ قَدْرَكَ
"Hinalah kamu, dan kamu tidak bakalan melebihi kemampuanmu sebagai seorang dukun.” (HR. Al-Bukhârî)

Selengkapnya: http://www.irfanabunaveed.net/2021/02/soal-jawab-hadits-larangan.html

Ibarat Kitab[3]

فصل

قَالَ أَبُو الْعَبَّاس أَحْمد بن تَيْمِية أما سُؤال الْجِنّ وسؤال من يسألهم فَهَذَا إِن كَانَ على وَجه التَّصْدِيق لَهُم فِي كل مَا يخبرون بِهِ والتعظيم للسؤال فَهُوَ حرَام كَمَا ثَبت فِي الصَّحِيح عَن مُعَاوِيَة بن الحكم أَن النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم قيل لَهُ إِن قوما منا يأْتونَ الْكُهَّان قَالَ فَلَا تأتوهم وَفِي صَحِيح مُسلم عَنهُ عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام انه قَالَ من أَتَى عرافا فَسَأَلَهُ عَن شَيْء لم تقبل لَهُ صَلَاة أَرْبَعِينَ يَوْمًا وَأما إِن كَانَ يسْأَل الْمَسْئُول ليمتحن حَاله ويختبر بَاطِن أمره وَعِنْده مَا يُمَيّز بِهِ صدقه من كذبه فَهَذَا جَائِز كَمَا ثَبت فِي الصَّحِيحَيْنِ أَن النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم سَأَلَ ابْن صياد فَقَالَ مَا يَأْتِيك قَالَ يأتيني صَادِق وكاذب قَالَ مَا ترى قَالَ أرى عرشا على المَاء قَالَ فَإِنِّي قد خبأت لَك خبيئا قَالَ هُوَ الدخ قَالَ اخْسَأْ فَلَنْ تعدو قدرك فَإِنَّمَا أَنْت من إخْوَان الْكُهَّان

Catatan Kaki:
[1] Syihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa al-Sab’u al-Matsânî, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1415 H, juz XIV, hlm. 36.
[2] Kaum yang tidak kenal baca tulis.
[3] Muhammad bin Abdullah al-Syibli al-Hanafi, Âkâm al-Marjân fî Ahkâm al-Jân, Ed: Ibrahim Muhammad al-Jamal, Kairo: Maktabat al-Qur’an, hlm. 193.

Selasa, 16 Februari 2021

hukum mahar hewan

MAHAR DALAM NIKAH BERUPA BINATANG, SEPERTI IKAN CUPANG DAN ULAR, BOLEHKAH?

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

Tanya :
Assalamu'alaikum wr wb. Ustadz, akhir-akhir ini terdapat beberapa fenomena sepasang pengantin yang memilih mahar (mas kawin) dengan sesuatu yang tak lazim berupa binatang, seperti ikan cupang dan ular. Bagaimana pandangan Islam terkait hal itu? Syukran wa jazaakallah khairan. (Liza Burhan, Karawang)

Jawab :

Wa ‘alaikumus salam wr wb.

Mahar nikah yang berupa ikan cupang hukumnya boleh. Adapun mahar yang berupa ular hukumnya tidak boleh (haram). 

Namun demikian, akad nikah yang menggunakan mahar berupa ular itu tetap sah, hanya saja maharnya yang berupa ular itu wajib diganti dengan mahar lain berupa harta yang dihalalkan syariah.

Jawaban kami tersebut didasarkan pada suatu kaidah fiqih mengenai mahar yang dirumuskan oleh Imam Ibnu Qudamah sebagai berikut : 

كل ما جاز أن يكون ثمنا جاز أن يكون صداقا

*“Kullu ma jaaza an yakuna tsamanan jaza an yakuna shadaqan.”* (segala sesuatu yang boleh menjadi harga dalam jual beli, boleh pula hukumnya menjadi mahar). (Ibnu Qudamah, _Al Mughni,_ Juz VIII, hlm. 4; Wahbah Az Zuhaili, _Mausu’ah Al Fiqh Al Islami wa Al Qadhaya Al Mu’ashirah,_ Juz VIII, hlm. 246; _Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah,_ Juz XXXIX, hlm. 255-256).

Kaidah fiqih tersebut berarti bahwa apa saja yang halal diperjualbelikan, berarti halal dijadikan mahar dalam pernikahan. Sebaliknya, apa saja yang haram diperjualbelikan, berarti haram dijadikan mahar dalam pernikahan.

Nah, dalam kasus yang ditanyakan, ikan cupang _(Betta sp)_ merupakan ikan hias yang secara syariah boleh dijual belikan, karena tidak terdapat dalil yang mengharamkannya. Maka dari itu, boleh menjadikan ikan cupang sebagai mahar dalam pernikahan. 

Adapun ular, haram dijadikan mahar dalam pernikahan, karena terdapat dalil yang mengharamkan jual beli ular.  

Dalil-dalil keharaman mahar berupa ular ini agak panjang penalarannya. Maka akan kami sajikan penjelasannya mengikuti urutan (tertib) istinbath hukumnya, dalam tiga tahapan istinbath sebagai berikut :

*Pertama,* sesungguhnya telah terdapat dalil berupa hadits-hadits shahih yang memerintahkan membunuh ular, di antaranya hadits riwayat Ibnu Umar RA sebagai berikut:

عنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّه سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُ : (اقْتُلُوا الْحَيَّاتِ) .قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: فَلَبِثْتُ لَا أَتْرُكُ حَيَّةً أَرَاهَا إِلَّا قَتَلْتُهَا.  رواه البخاري 3299، ومسلم 3233

Dari Ibnu Umar RA, bahwa dia telah mendengar Nabi SAW berkhutbah di atas mimbar seraya bersabda.”Bunuhlah ular-ular!”. Berkatalah Ibnu Umar,”Maka setiap kali aku melihat ular, pasti aku membunuhnya.” (HR Bukhari, no. 3299; Muslim, no. 3233).

Hadits lain yang semakna telah diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA sbb :

عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( اقْتُلُوا الْحَيَّاتِ كُلَّهُنَّ ، فَمَنْ خَافَ ثَأْرَهُنَّ فَلَيْسَ مِنِّي ) رواه ألو داود، 5249

Dari Ibnu Mas’ud RA, dia berkata,”Telah bersabda Rasulullah SAW,’Bunuhlah ular-ular semuanya. Maka barangsiapa yang takut akan adanya balas dendam dari ular-ular itu, maka dia bukanlah golonganku.” (HR Abu Dawud, no. 5249). 

Berdasarkan dalil-dalil yang memerintahkan membunuh ular ini, berarti ular itu haram dimakan, sesuai kaidah fiqih yang dirumuskan oleh Imam Nawawi : 

ما أُمر بقتله من الحيوانات فأكله حرام

*“Maa umira bi-qatlihi mina al hayawanat fa-akluhu haram.”* (Apa saja binatang yang diperintahkan untuk membunuhnya, maka memakannya haram). (Imam Nawawi, _Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab,_ Juz IX, hlm. 22; Imam Syaukani, _Nailul Authar,_ Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000/1421, hlm. 1688; Sulaiman bin Shalih Al Kharasyi; _Al Hayawaanaat Maa Yajuuzu Akluhu minhaa wa Maa Laa Yajuuzu,_ Riyadh : Darul Qasim, 1420, hlm. 24).
 
*Kedua,* selanjutnya, dikarenakan ular itu haram dimakan, maka ular itu pun haram diperjual belikan, sesuai kaidah fiqih yang dirumuskan oleh Imam Syaukani dan Imam An Nabhani :

كل ما حرم على العباد فبيعه حرام

*“Kullu maa hurrima ‘ala al ‘ibaad fa-bai’uhu haraam.”* (setiap-tiap benda yang telah diharamkan syara’ atas para hamba, maka menjual-belikannya haram pula hukumnya). (Imam Syaukani, _Nailul Authar,_ Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000/1421, hlm. 1028; Taqiyuddin An Nabhani, _Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah,_ Juz II, hlm. 287).

*Ketiga,* selanjutnya, dikarenakan ular itu haram diperjualbelikan, maka ular itu pun haram hukumnya dijadikan mahar dalam akad nikah, sesuai kaidah fiqih yang dirumuskan oleh Imam Ibnu Qudamah, yang telah kami sebut sebelumnya di atas, yaitu : 

كل ما جاز أن يكون ثمنا جاز أن يكون صداقا

*“Kullu ma jaaza an yakuna tsamanan jaza an yakuna shadaqan.”* (segala sesuatu yang boleh menjadi harga dalam jual beli, boleh pula hukumnya menjadi mahar). (Ibnu Qudamah, _Al Mughni,_ Juz VIII, hlm. 4). _Wallahu a’lam._

*Yogyakarta, 30 Januari 2021*

M. Shiddiq Al Jawi

#Komus 17 feb 2021

hukum wakaf tunai

Hukum Wakaf Tunai, wakaf uang
 28 Januari 2021 

Oleh: K.H. M. Shiddiq al-Jawi

#Fikih, Tanya: Ustaz, bolehkah wakaf tunai? (Adi, Padang)

Jawab:

Wakaf tunai (waqf al nuqud, cash waqf) adalah wakaf dalam bentuk uang. Caranya dengan menjadikan uang wakaf sebagai modal dalam akad mudharabah yang keuntungannya disalurkan sebagai wakaf, atau dengan meminjamkan uang dalam akad pinjaman (qardh). (Abu Su’ud Muhammad, Risalah bi Waqf al Nuqud, hlm. 20-21; Fiqh Al Waqf fi Al Syari’ah Al Islamiyyah, 2/239).

Di Indonesia, wakaf tunai telah difatwakan kebolehannya oleh Komisi Fatwa MUI Pusat tanggal 11 Mei 2002 dan telah mendapat legalitas berdasar UU No 41/2004 tentang Wakaf (Agustianto, Wakaf Tunai dalam Hukum Positif, hlm. 5-6).

Sebenarnya ada khilafiyah di kalangan fukaha mengenai hukum wakaf tunai.

Pertama, tak membolehkan wakaf tunai. Ini pendapat mayoritas fukaha Hanafiyah, pendapat mazhab Syafi’i, dan pendapat yang sahih di kalangan fukaha Hanabilah dan Zaidiyyah.

Kedua, membolehkan wakaf tunai. Ini pendapat ulama Malikiyyah, juga satu riwayat Imam Ahmad yang dipilih Ibnu Taimiyyah (Majmu’ul Fatawa, 31/234) dan juga satu pendapat (qaul) di kalangan fukaha Hanafiyah dan Hanabilah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 44/167; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 10/298; Al ‘Ayyasyi Faddad, Masa`il fi Fiqh Al Waqf, hlm. 8-9).

Sumber perbedaan pendapat di atas sebenarnya terkait dengan uang sebagai barang wakaf, apakah bendanya tetap ada atau akan lenyap. Pendapat yang tak membolehkan beralasan, sebagaimana kata Imam Ibnu Qudamah,”Karena wakaf itu adalah menahan harta pokok (al ashl) dan memanfaatkan buahnya, dan sesuatu yang tak dapat dimanfaatkan kecuali dengan lenyapnya sesuatu itu, tak sah wakafnya.” (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 8/229)

Sedang pendapat yang membolehkan, mengatakan uang yang diwakafkan sebenarnya tak lenyap, karena disediakan gantinya (badal), yaitu uang yang senilai. (Abu Su’ud Muhammad, Risalah bi Waqf al Nuqud, hlm. 31; Abdullah Tsamali, Waqf Al Nuqud, hlm. 11-12; Ali Muhammadi, Waqf Al Nuqud Fiqhuhu wa Anwa’uhu, hlm. 159-163; Ahmad Al Haddad, Waqf Al Nuqud wa Istitsmaruha, hlm. 30-40).

Yang lebih kuat (rajih) menurut kami pendapat yang tak membolehkan wakaf tunai, dengan 3 (tiga) alasan sebagai berikut:
Pertama, pendapat yang tak membolehkan lebih sesuai dan lebih dekat kepada definisi syar’i (ta’rif syar’i) bagi wakaf, yang mensyaratkan tetapnya zat harta wakaf (ma’a baqaa`i ‘ainihi). Sebab definisi wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan mempertahankan benda/zat harta itu (ma’a baqaa`i ‘ainihi), dengan tidak melakukan tindakan hukum (tasharruf) terhadap benda itu (menjual, menghibahkan, dan seterusnya), untuk disalurkan kepada sesuatu yang mubah. (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 3/87; Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 4/231; Imam Syairazi, Al Muhadzdzab, 1/575).

Wakaf uang tak memenuhi syarat ini, karena zat uang akan segera lenyap ketika digunakan. Berhujah dengan definisi syar’i ini sesungguhnya adalah berhujah dengan nash syar’i, karena definisi syar’i hakikatnya adalah hukum syar’i yang di-istinbath dari nash-nash syar’i (Taqiyuddin an Nabhani, Izalatul Atribah ‘Anil Judzur, hlm. 1-2; Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah; 3/443).

Kedua, pendapat yang tak membolehkan wakaf tunai berarti berpegang dengan hukum asal (al ashl), yaitu benda wakaf harus dipertahankan zatnya. Sedang pendapat yang membolehkan berarti menyalahi hukum asal (khilaful ashl), yaitu benda wakaf boleh lenyap zatnya asalkan diganti yang senilai. Berpegang dengan hukum asal adalah sesuatu yang yakin, sedang menyalahi hukum asal masih diragukan, kecuali ada dalilnya. Kaidah fikih menyebutkan : al yaqiin laa yuzaalu bi al syakk (sesuatu yang yakin tak dapat dihilangkan dengan keraguan) (Jalaluddin Suyuthi, Al Asybah wa An Nazha`ir, hlm. 50).

Ketiga, pendapat yang membolehkan wakaf tunai sesungguhnya lebih bersandar kepada dalil kemaslahatan (Mashalih Mursalah) (Abdullah Tsamali, Waqf Al Nuqud, hlm. 13-14). Padahal Mashalih Mursalah bukan dalil syar’i yang mu’tabar (kuat) (Taqiyuddin an Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah; 3/441). Wallahu a’lam. [MNews/Rgl]