Rabu, 21 September 2022

hukum membeli barang curian

MEMBELI BARANG TARIKAN LEASING DAN BARANG CURIAN 

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi 

Tanya :
Assalamualaikum wa rahmatullah wa barakatuh.
Ustadz, mohon ijin bertanya bagaimana hukum jual beli barang dari sumber haram seperti barang tarikan leasing dan barang curian? Syukron jazilan (Agus Salim, Yogyakarta). 

Jawab : 

Wa alaikumus salam wr wb. 

Haram hukumnya menjual belikan barang tarikan leasing, karena barang itu bukan hak milik pihak leasing, melainkan hak milik pihak customer / pembeli (lessee). 

Dalam Syariat Islam, barang yang dibeli sebenarnya sudah menjadi hak milik pembeli, dengan adanya ijab dan kabul dalam akad jual beli, walaupun barang itu dibeli secara angsuran dan belum lunas. Ini berlaku untuk barang-barang yang tidak ditakar, tidak ditimbang dan tidak dihitung, seperti rumah, tanah, kendaraan, dan sebagainya. Adapun barang-barang yang ditakar, ditimbang dan dihitung, seperti gandum, beras, minyak goreng, dan sebagainya, maka selain sudah terjadinya akad jual beli, ditambah satu syarat lagi agar terwujud kepemilikan sempurna bagi pembeli, yaitu adanya penerimaan barang (al qabdhu) oleh pembeli. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, II/291). 

Jadi kalau penjual (pihak leasing) menarik paksa barang itu dengan alasan gagal bayar dari pihak pembeli, lalu menjual barang itu, artinya pihak leasing telah menjual barang yang bukan miliknya. 

Padahal menjual barang yang bukan hak milik adalah haram dalam Syariah Islam, sesuai sabda Rasulullah SAW : 

  

لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ 

"Janganlah kamu menjual apa-apa yang tidak ada di sisimu.” (Arab : laa tabi’ maa laysa ‘indaka) (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah). 

Haram juga jual beli barang curian, berdasarkan keumuman dalil hadits tersebut, dan juga berdasarkan dalil khusus yang mengharamkan jual beli barang curian. 

Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW berkata : 

  

مَن اشترى سَرِقَةً ، وهو يعلمُ أنها سَرِقَةٌ ، فقد شارك في عارِها وإِثْمِها 

“Barangsiapa membeli barang curian, sedang dia tahu bahwa barang itu adalah barang curian, maka ia bersekutu dalam aib dan dosanya.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi. Hadits Shahih. Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami’ush Shaghir, Juz II, hal. 164; Lihat juga Yusuf Al-Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam (terj.), hal. 363). 

Hadits di atas dengan jelas menunjukkan haramnya membeli barang curian. 

Namun hadits tersebut menunjukkan bahwa keharaman itu ada jika pihak pembeli mengetahui bahwa barang yang dibelinya adalah barang curian. 

Mafhum mukhalafah (pemahaman sebaliknya) dari ungkapan ini ialah, jika pembeli tidak mengetahui, maka dia tidak turut berdosa. Namun andaikata pihak pembeli tidak mengetahuinya, pihak penjual tetap berdosa. Sebab penjual tersebut berarti telah menjual sesuatu yang sebenarnya bukan hak miliknya dan ini telah diharamkan dalam hadits yang kami sampaikan sebelumnya. 

Wallahu a'lam.

Selasa, 13 September 2022

hukum menghadiri walimah tanpa diundang

HUKUM MENGHADIRI WALIMAH TANPA UNDANGAN
August 28, 202237

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Tanya :

Ustadz, bolehkah seseorang datang ke walimah tanpa diundang? (Saiful, Jogjakarta).

Jawab :

Haram hukumnya seorang muslim datang ke walimah seperti walimah nikah (walîmatul ‘urs) atau walimah-walimah lainnya seperti walîmatul khitân, walîmatus safar, dan berbagai hajatan lainnya yang pada pokoknya termasuk dalam undangan makan-makan (walîmah) jika dia tidak diundang. Hal ini karena orang yang datang tanpa undangan itu telah memakan makanan milik pihak pengundang tanpa seizin dia. Kecuali jika pihak pengundang itu ridho dan mengizinkan, maka hukumnya tidak mengapa.

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Tuhfatul Muhtâj fi Syarh al-Minhâj berkata :

وَعُلِمَ مِمَّا تَقَرَّرَ أَنَّهُ يَحْرُمُ اَلْتَّطَفُّلُ وَهُوَ الدُّخولُ إِلَى مَحَلِّ الغَيْرِ لِتَنَاوُلِ طَعامِهِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ وَلَا عُلِمَ رِضَاه أَوْ ظَنُّهُ بِقَرينَةٍ مُعْتَبَرَةٍ بَلْ يُفَسَّقُ بِهَذَا إِنْ تَكَرَّرَ مِنْهُ

“Telah diketahui dari pengetahuan yang sudah tetap, bahwa haram hukumnya melakukan at-tathofful (menyusup), yaitu masuk ke tempat orang lain untuk memakan makanan yang ada di tempat itu tanpa seizin pemiliknya dalam keadaan tak diketahui keridhoan pemiliknya atau tak diketahui dugaan keridhoannya dia berdasarkan petunjuk (qarînah) yang diakui. Bahkan penyusup itu difasikkan dengan perbuatan itu jika dia melakukan perbuatan ini secara berulang-ulang.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtâj fî Syarh al-Minhâj, Juz 9, hlm. 472).

Perbuatan mendatangi undangan walimah tanpa diundang dalam Bahasa Arab disebut dengan istilah at-tathafful (اَلْتَّطَفُّلُ) yang secara bahasa bermakna “penyusupan”, dan orangnya disebut ath-thufaili (اَلطُّفَيْلِيّ) atau “penyusup” (Inggris : intruder) dinisbatkan (dikaitkan) dengan orang yang bernama Ath-Thufail bin Bani Abdullah bin Al-Ghathafân, orang dari kota Kufah (Irak) yang sering datang untuk makan-makan di suatu walimah padahal dia tidak diundang. (Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bârî Syarah Shahîh Al-Bukhârî, Juz 9, hlm. 470; Rawwâs Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al-Fuqohâ`, hlm. 262).

Keharaman mendatangi undangan walimah tanpa undangan ini didasarkan pada beberapa hadis Nabi SAW. Dalam kitab Sunan Abu Dawud, diriwayatkan bahwa Nabi SAW telah bersabda :

مَنْ دُعِيَ فَلَمْ يُجِبْ ، فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسولَهُ ، وَمَن دَخَلَ عَلَى غَيْرِ دَعْوَةٍ ، دَخَلَ سَارِقًا ، وَخَرَجَ مُغِيْرًا

“Barangsiapa yang diundang (untuk menghadiri walimah) namun dia tidak datang, maka sungguh dia telah durhaka (tidak taat) kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang masuk (ke suatu walimah) tanpa undangan, sungguh dia telah masuk sebagai pencuri, dan keluar sebagai perampas.” (HR Abu Dawud, no. 3741).

Namun hadits ini dinilai lemah (dhaif) oleh para ulama karena dalam sanad hadits ini terdapat seorang periwayat hadits yang bernama Abbân bin Thâriq, yang dinilai sebagai periwayat hadits yang tidak diketahui identitasnya (syaikh majhûl). (Imam Syaukani, Nailul Authâr, hlm. 1296).

Namun walaupun hadits tersebut lemah, makna yang terkandung dalam hadits ini, yaitu adanya “larangan mendatangi walimah tanpa undangan”merupakan makna yang shahih yang dapat disandarkan pada hadits-hadits lain yang shahih. Dalam Shahih Al-Bukhâri terdapat hadits dari Abu Mas’ûd Al-Anshâri RA berikut ini :

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ كَانَ مِنْ الْأَنْصَارِ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أَبُو شُعَيْبٍ وَكَانَ لَهُ غُلَامٌ لَحَّامٌ فَقَالَ اصْنَعْ لِي طَعَامًا أَدْعُو رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَدَعَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَتَبِعَهُمْ رَجُلٌ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ دَعَوْتَنَا خَامِسَ خَمْسَةٍ وَهَذَا رَجُلٌ قَدْ تَبِعَنَا فَإِنْ شِئْتَ أَذِنْتَ لَهُ وَإِنْ شِئْتَ تَرَكْتَهُ قَالَ بَلْ أَذِنْتُ لَهُ

Dari Abu Mas’ûd Al-Anshâri RA, dia berkata,”Ada seorang laki-laki yang bernama Abu Syu’aib dari kalangan Anshar, ia mempunyai seorang budak yang pandai memasak daging, ia lalu berkata kepada budaknya,’Buatlah makanan, aku ingin mengundang Rasulullah SAW dengan menyiapkan lima porsi.’ Dia lalu mengundang Rasulullah SAW dengan menyiapkan lima porsi tersebut. Lalu ada seorang laki-laki yang mengikuti Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW pun bersabda,’Engkau mengundang kami dengan lima porsi, padahal ini ada seorang laki-laki (lain) yang ingin ikut bersama saya. Sekarang terserah kamu, kamu memberi izin kepada dia atau tidak.’ Abu Syu’aib menjawab,’Aku memberinya izin.’ (HR Bukhari, no. 5014).

Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menjelaskan hadits tersebut dengan berkata :

وَأَنَّ مَنْ تَطَفُّلَ فِي الدَّعْوَةِ كَانَ لِصَاحِبِ الدَّعْوَةِ الِاخْتيارُ فِي حِرْمانِهِ فَإِنْ دَخَلَ بِغَيْرِ إِذْنِهِ كَانَ لَهُ إِخْراجُهُ

“(Dalam hadits ini terdapat dalil) bahwa barangsiapa yang menyusup dalam suatu undangan walimah, maka pihak pengundang berhak memilih untuk mencegah penyusup itu. Jika penyusup itu kemudian masuk tanpa seizin pihak pengundang, maka pihak pengundang berhak mengusirnya.” (Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bârî Syarah Shahîh Al-Bukhârî, Juz 9, hlm. 470).

Berdasarkan penjelasan dalil-dalil tersebut, jelaslah bahwa haram hukumnya seseorang masuk ke tempat walimah untuk memakan makanan tanpa seizin pihak pengundang. Kecuali pengundangnya kemudian ridho berdasarkan petunjuk-petunjuk (qarînah) yang ada. Misalnya pengundangnya mengetahui kehadiran penyusup itu dan diam saja tanpa menunjukkan kemarahan karena yang datang itu ternyata saudaranya, atau sahabatnya. Atau pihak pengundang hanya tersenyum, atau dengan jelas pengundang berkata kepada orang itu,”Silahkan, silahkan,” dan sebagainya yang intinya menjadi petunjuk (qarînah) yang menunjukkan keridhoan pengundang. Wallâhu a’lam.

Yogyakarta, 28 Agustus 2022

M. Shiddiq Al-Jawi

Senin, 05 September 2022

hukum ngeprank

Tanya: Ustaz, mohon dijelaskan bagaimana hukum ngeprank dalam Islam?
-

Hukum Ngeprank
 

https://muslimahnews.net/2022/09/01/10779/
-

Oleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi

Muslimah News, FIKIH — Tanya:

Ustaz, mohon dijelaskan bagaimana hukum ngeprank dalam Islam? (Abu Zaid, Rembang)

Jawab :

Prank dapat didefinisikan sebagai practical joke (lelucon berupa perbuatan), yaitu komedi atau candaan yang diwujudkan dalam perbuatan. Jadi, jika joke itu biasanya diekspresikan secara verbal (ucapan), misalnya stand up comedy, prank merupakan kebalikannya, yaitu komedi yang diwujudkan dalam perbuatan.

Perbuatan dalam prank biasanya berupa trik-trik nakal atau iseng yang sengaja dilakukan seseorang, yang umumnya menyebabkan korban prank merasa terkejut, malu, takut, bingung, atau tidak nyaman. Pelaku prank disebut “pelawak dalam bentuk perbuatan” (practical joker) atau orang iseng/jahil (prankster).

Misalnya, prankster berpura-pura menjadi patung di suatu tempat umum, misal di kantor. Lalu ada seseorang yang datang mengamatinya dan mengira prankster itu benar-benar patung. Tiba-tiba prankster itu bergerak dan berkata, ”Hello?” Sontak orang yang mengamati itu berteriak kaget, ”Oh my God!” karena sangat syok.

Demikian sekilas fakta (manâth) prank. Bagaimanakah hukum ngeprank dalam syariat Islam?

Hukum asal prank menurut kami adalah haram, karena menurut pengamatan kami, dalam prank itu sering ditemukan keharaman, utamanya kebohongan. Ada juga unsur-unsur keharaman lainnya selain kebohongan, misalnya, menakut-nakuti korban prank, mempermalukan korban prank, atau keharaman-keharaman lainnya. Misalnya, prankster laki-laki mengenakan baju perempuan untuk ngeprank orang lain agar dikira perempuan, dan sebagainya. Keharaman lain itu dapat pula berupa dampak-dampak negatif yang dialami korban prank, misal timbulnya perasaan syok, tertipu, malu, atau sakit hati, dan sebagainya.

Prank yang mengandung kebohongan, sangat banyak. Misalnya, prankster berpura-pura memberikan daging kurban kepada warga. Ternyata itu bukan daging kurban, melainkan sampah.

Ada prankster seleb yang pura-pura akan menjual rumah peninggalan kakaknya yang juga seleb yang sudah meninggal, padahal itu bohong.

Ada prankster seorang bule yang fasih berbahasa Jawa dan Indonesia, tetapi pura-pura ikut kursus bahasa Inggris untuk ngerjain sang instruktur kursus.

Ada prankster seleb pria dewasa, mempunyai anak kecil balita, yang berbohong kepada anaknya itu bahwa pembantu rumah tangganya akan pulang kampung selamanya, sampai anaknya nangis-nangis, padahal faktanya tidak demikian.

Ada prankster orang Arab yang pura-pura buta, sambil membawa HP, lalu minta orang lewat untuk membaca pesan dalam HP itu yang ternyata isinya kabar ayah orang “buta” itu telah meninggal dunia. Padahal itu bohong.

Ini semua contoh prank yang mengandung kebohongan yang haram hukumnya. Padahal Islam mengharamkan kebohongan, sesuai sabda Rasulullah saw.,

ويلٌ للذي يحدِّثُ بالحديثِ ليُضحكَ بهِ القومَ فيكذِبُ ويلٌ لهُ ويلٌ لهُ

“Sungguh celaka, seseorang yang berbicara sesuatu kebohongan untuk membuat orang-orang tertawa mendengarnya. Sungguh celaka dia, sungguh celaka dia.” (HR Tirmidzi, No. 2417; Abu Dawud, No. 4990)

Berbohong itu selain dengan ucapan (yang berbeda dengan kenyataan), dapat juga berupa perbuatan yang membuat orang tertipu, seperti banyak dalam prank. Ahmad Hasan ‘Arâbi dalam kitabnya Ihdzar Al Kadzib hlm.3, mengatakan,”Terkadang kebohongan itu diungkapkan dengan perbuatan.” (qad yakûnu al kadzib bil af’âl).

Contohnya, saudara-saudara Nabi Yusuf as. yang membawa baju berlumuran darah palsu yang diklaim sebagai bajunya Nabi Yusuf as. yang dimakan serigala, padahal bukan (Lihat QS Yusuf: 17-18).

Namun, prank hukumnya dapat saja menjadi mubah (dibolehkan) syarak, asalkan sesuai dengan pengertian dan syarat-syarat bercanda (mizâh, mumâzahah) dalam syariat Islam, serta bersih dari unsur-unsur keharaman, seperti kebohongan, dan sebagainya. Imam Mubârakfûrî men-syarah hadis di atas,

ثم المفهوم منه أنه إذا حدث بحديث صدق ليضحك القوم فلا بأس به

“Mafhum mukhalafah dari hadis ini, jika seseorang berkata dengan jujur (tidak bohong) dan membuat orang lain tertawa, maka tidak mengapa.” (Mubârakfûrî, Tuhfatul Ahwadzi, VI/497). Wallahualam. [MNews/Rgl]

#Fikih

Jumat, 02 September 2022

hukum penentuan rukyah hilal idul adha

PENENTUAN IDUL ADHA WAJIB BERDASARKAN RUKYATUL HILAL PENDUDUK MAKKAH

Oleh: KH. Muhammad Shiddiq Al-Jawi

Para ulama mujtahidin telah berbeda pendapat dalam hal mengamalkan satu ru’yat yang sama untuk Idul Fitri. Madzhab Syafi’i menganut ru’yat lokal, yaitu mereka mengamalkan ru’yat masing-masing negeri. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menganut ru’yat global, yakni mengamalkan ru’yat yang sama untuk seluruh kaum Muslim. Artinya, jika ru’yat telah terjadi di suatu bagian bumi, maka ru’yat itu berlaku untuk seluruh kaum Muslim sedunia, meskipun mereka sendiri tidak dapat meru’yat.

Namun, khilafiyah semacam itu tidak ada dalam penentuan Idul Adha. Sesungguhnya ulama seluruh madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) telah sepakat mengamalkan ru’yat yang sama untuk Idul Adha. Ru’yat yang dimaksud, adalah ru’yatul hilal (pengamatan bulan sabit) untuk menetapkan awal bulan Dzulhijjah, yang dilakukan oleh penduduk Makkah. Ru’yat ini berlaku untuk seluruh dunia.

Karena itu, kaum Muslim dalam sejarahnya senantiasa beridul Adha pada hari yang sama. Fakta ini diriwayatkan secara mutawatir (oleh orang banyak pihak yang mustahil sepakat bohong) bahkan sejak masa kenabian, dilanjutkan pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin, Umawiyin, Abbasiyin, Utsmaniyin, hingga masa kita sekarang.

Namun meskipun penetapan Idul Adha ini sudah ma’luumun minad diini bidl dlaruurah (telah diketahui secara pasti sebagai bagian integral ajaran Islam), anehnya pemerintah Indonesia dengan mengikuti fatwa sebagian ulama telah berani membolehkan perbedaan Idul Adha di Indonesia. Jadilah Indonesia sebagai satu-satunya negara di muka bumi yang tidak mengikuti Hijaz dalam beridul Adha. Sebab, Idul Adha di Indonesia sering kali jatuh pada hari pertama dari Hari Tasyriq (tanggal 11 Dzulhijjah), dan bukannya pada Yaumun-nahr atau hari penyembelihan kurban (tanggal 10 Dzulhijjah).

Kewajiban kaum Muslim untuk beridul Adha (dan beridul Fitri) pada hari yang sama, telah ditunjukkan oleh banyak nash-nash syara’. Di antaranya adalah sebagai berikut :

Hujah pertama:
“‘Idul Fitri adalah hari saat umat manusia berbuka, dan ‘Idul Adha adalah hari ketika umat manusia menyembelih korbannya.” (HR. Tirmidzi dari ‘Aisyah ra)

Selain itu Imam Tirmidzi juga meriwayatkan hadits Nabi SAW dengan lafadz berbeda:

“Berpuasa (Ramadlan) adalah saat mereka berpuasa, ‘Idul fitri adalah saat mereka berbuka, dan ‘Idul Adha adalah masa mereka menyembelih (haiwan korban).” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah ra)

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa perayaan ‘Idul Adha dilakukan pada saat (jamaah haji) melakukan penyembelihan haiwan korban (berkorban), yaitu tanggal 10 Dzulhijah, bukan hari yang lain. Dalam hal ini Ummul Mukminin ‘Aisyah ra mengatakan
“Bahwa hari Arafah (yaitu tanggal 9 Dzulhijjah) itu adalah hari yang telah ditetapkan oleh Imam (Khalifah), dan hari berkorban itu adalah masa Imam (Khalifah) menyembelih kurban.” (HR. Thabrani dalam kitab al-Ausath, dengan sanad hasan).

Ini lebih menegaskan lagi bahwasanya penetapan hari (wukuf) di Arafah, dan ‘Idul Adha (yaumul hadyi) diputuskan oleh Imam (Khalifah) kaum muslimin, yang berlaku serentak untuk seluruh kaum muslimin di negeri manapun, baik mereka tinggal di negeri Hijaz, Mesir, Suriah, Turki, Irak, Pakistan, Indonesia, Uzbekistan, ataupun di Malaysia.

Hujah ke-2:
Hadits yang berasal dari Husain bin Harits Al Jadali, yang menyampaikan :

“Bahwasanya Amir Makkah (Wali Makkah) berkhutbah dan menyatakan : ‘Rasulullah SAW memerintahkan kita agar memulai manasik (haji) berdasarkan ruyat. Apabila kita tidak melihat (ruyat)nya, sementara dua orang yang adil menyaksikan (munculnya hilal) maka kita harus memulai manasik dengan kesaksian dua orang tersebut.” (HR. Abu Daud)

Hadits ini menunjukkan bahwa pada masa itu Amir Makkah-lah yang menetapkan pelaksanaan manasik haji, mulai dari wukuf di Arafah, Thawaf Ifadhah, bermalam di Muzdalifah, melempar Jumrah, dan seterusnya. Dengan kata lain, penguasa yang menguasai kota Makkah saat ini berhak menentukan wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah), pelaksanaan penyembelihan haiwan korban (10 Dzulhijjah), dan rangkaian manasik haji lainnya. Hal itu berarti negeri-negeri Islam lainnya harus mengikuti penetapan hari wukuf di Arafah, yaumun nahar (hari penyembelihan haiwan korban pada tanggal 10 Dzulhijjah) berdasarkan keputusan Amir Makkah, atau penguasa yang saat ini mengelola kota Makkah. Oleh karena itu, kaum muslimin di seluruh dunia wajib merayakan ‘Idul Adha secara serentak pada hari yang sama, yaitu pada saat ketika jamaah haji tengah melakukan penyembelihan kurban --pada hari ke-10 bulan Dzulhijjah-- dan bukan pada awal hari Tasyriq.

Hujah ke-3 
Hadits Rasulullah SAW melalui Abu Hurairah RA :

“Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang berpuasa pada hari Arafah (bagi jamaah haji yang ada) di padang Arafah.” (HR. Abu Daud, Nasa`i, dan Ibnu Khuzaimah).

Disunnahkan bagi orang-orang yang tidak menjalankan ibadah haji untuk berpuasa pada hari (wukuf) Arafah, atau pada hari ke-9 bulan Dzulhijjah. Hari Arafah adalah hari itu jamaah haji melakukan wukuf di Padang Arafah. Ini menunjukkan pula bahwa hari Arafah itu satu, tidak berbilang dan tidak boleh berbilang. Jadi bagaimana mungkin kaum muslimin di Malaysia berpuasa Arafah pada hari penyembelihan haiwan korban, yaitu pada jamaah haji tengah menjalankan ‘Idul Adha? Dan bagaimana mungkin mereka merayakan ‘Idul Adha sekaligus melakukan solat ‘Id(solat raya) pada hari sewaktu jamaah haji sudah memasuki awal hari Tasyriq (tanggal 11 Dzulhijjah) ?

hujah ke-4 
Hadits Rasulullah SAW melalui Abu Hurairah RA :

“Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang berpuasa pada dua hari, yaitu hari ‘Idul Fitri, dan hari ‘Idul Adha.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Selain itu kita diharamkan berpuasa pada hari Tasyriq, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

“Hari-hari di Mina (hari-hari Tasyriq) adalah hari-hari untuk makan dan minum serta mengingat Allah Ta’ala.” (HR. Muslim).

Maka, tidak diperbolehkan kaum muslimin menjalankan puasa sunat pada hari tatkala jamaah haji tengah merayakan ‘Idul Adha (10 Dzulhijjah)

hukum ganja

Tanya: Bagaimana hukum menggunakan ganja dalam pandangan Islam? 
-

Baca: Hukum Mengonsumsi Ganja

https://muslimahnews.net/2022/07/02/8216/
-

Oleh: Ustaz Muhammad Shiddiq al-Jawi

Muslimah News, TANYA JAWAB — Tanya :

Saat ini muncul kampanye untuk melegalkan penggunaan ganja, beberapa negara melegalkan ganja, bahkan Uruguay negara pertama yang melegalkan warganya untuk menanam, mengkonsumsi dan menjual ganja. Bagaimana hukum menggunakan ganja dalam pandangan Islam? (Abu Fatih, Jakarta)

Jawab :

Menurut kami haram hukumnya secara syar’i menggunakan ganja (Cannabis sativa) secara mutlak. Meskipun untuk sekedar penyedap makanan, meskipun hanya sedikit dan meskipun tidak menimbulkan bahaya atau efek negatif bagi yang memakan makanan tersebut.

Keharamannya didasarkan pada dalil syar’i yang mengharamkan ganja secara mutlak, baik sedikit maupun banyak. Juga didasarkan pada fakta tidak adanya illat (alasan) keharaman ganja, misalnya karena menimbulkan efek negatif bagi penggunanya. Maka ganja hukumnya haram tanpa melihat lagi apakah menimbulkan efek negatif atau tidak bagi penggunanya.

Dalil syar’i yang mengharamkan ganja (Arab : al-hasyisy) adalah hadis sebagai berikut :

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ مُسْكِرٍ وَمُفْتِرٍ

Dari Ummu Salamah RA, dia berkata,”Bahwa Nabi SAW telah melarang setiap-tiap zat yang memabukkan (muskir) dan zat yang melemahkan (mufattir).” (nahaa ‘an kulli muskir[in] wa mufattir[in]). (HR Abu Dawud no. 3689 & Ahmad no. 26676).

Sebagian ulama menilai hadis ini dha’if (lemah), misalnya penulis kitab ‘Aunul Ma’bud dan Syekh Syu’aib al-Arna`uth. Namun, kami lebih condong kepada Imam Ibnu Hajar al-Asqalani yang menghukumi hadis ini sebagai hadis hasan. (‘Aunul Ma’bud, 3/378; Musnad Ahmad bin Hanbal Ma’a Hukm Syu’aib al-Arna`uth, Juz 6 hlm. 309; Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Juz 10 hlm. 47; Kitabul Asyribah, Bab Al-Khamr min al-‘Asl, syarah hadis no 5263; Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Juz 11 hlm. 35, Bab “At-Takhdiir”; Ahmad Fathi Bahnasy, Al-Khamr wal Mukhaddirat fi al-Islam, hlm. 169).

Para ulama menjelaskan yang dimaksud dengan kata “mufattir” dalam hadis di atas adalah setiap zat yang dapat menimbulkan rasa tenang/rileks (istirkha`) dan lemah/lemas (futuur) pada tubuh manusia. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah al-Fuqoha, hlm. 342; Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Juz 11 hlm. 35).

Maka dari itu, hadis di atas dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan ganja. Imam Ibnu Hajar mengatakan bahwa dalam hadis Ummu Salamah ini terdapat dalil yang secara khusus mengharamkan ganja (al-hasyisy) karena ganja dapat menimbulkan rasa tenang (tukhaddir) dan melemahkan (tufattir). (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Juz 11 hlm. 35; Al-Mausu’ah al-Jina`iyyah al-Muqaranah, Juz 1, hlm. 367 & 695).

Keharaman ganja ini menurut kami bersifat mutlak, artinya baik dikonsumsi sedikit maupun banyak hukumnya tetap haram. (Lihat Syekh As Saharanfuri, Badzlul Majhud fi Halli Abi Dawud, Juz 16, hlm. 22).

Kemutlakan hukum ini disimpulkan dari nash hadis Ummu Salamah yang bersifat mutlak pula. Artinya, hadis ini hanya menjelaskan bahwa Nabi saw. telah melarang setiap zat yang melemahkan (mufattir), tanpa menjelaskan batasannya apakah yang dilarang itu sedikit atau banyak. Maka dari itu, keharaman ganja ini adalah mutlak, sesuai nas hadis yang mutlak pula. Kaidah ushul fiqih dalam masalah ini menetapkan : al-muthlaqu yajriy ‘alaa ithlaaqihi maa lam yarid daliilun yadullu ‘ala at-taqyiid. (dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan batasan). (Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz 1 hlm. 208).

Selain itu, keharaman ganja ini semata-mata didasarkan pada nash, bukan didasarkan pada illat (alasan) keharaman ganja. Karena illat itu memang tidak ada. Bahwa ganja dapat menimbulkan efek negatif, adalah semata-mata fakta (al-waqi’), namun bukan illat keharaman ganja.

Maka dari itu, ganja hukumnya haram tanpa melihat lagi apakah menimbulkan efek negatif atau tidak bagi penggunanya. Kaidah fiqih menyebutkan :

إِنَّ العِبَادَاتَ وَالمَطْعُومَاتَ وَالمَلْبُوسَاتَ وَالمَشْرُوبَاتَ وَالأخْلَاقَ لَا تُعَلَّلُ وَإِنَّمَا يُلْتَزَمُ فِيهَا بِالنَّصِ

sesungguhnya hukum-hukum ibadah, makanan, minuman, dan akhlaq tidak didasarkan pada illat, namun hanya didasarkan dan berpegang pada nash saja. (Abdul Qadim Zallum, At-Ta’rif bi Hizb at-Tahrir, hlm. 55). Wallahu a’lam. [MNews]

#TanyaJawab

hukum orang Indonesia sholat id mendahului arab

*ORANG INDONESIA SHOLAT IDUL ADHA DAN MENYEMBELIH KURBAN MENDAHULUI ORANG ARAB SAUDI, BOLEHKAH?*

*Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi*

*Tanya :
Ustadz, jika rangkaian ibadah haji di Mekkah belum dimulai, mengapa di luar Mekkah (di negeri-negeri muslim yang secara waktu lebih dulu karena berada di sebelah timur Mekkah secara geografis), sudah boleh memulai shalat Idul Adha dan menyembelih kurban, sebagai konsekuensi dari rukyatul hilal global? (Hamba Allah, Tangerang).

*Jawab :

Sholat Idul Adha dan penyembelihan kurban itu, dari segi waktu (jam berapa pelaksanaannya) acuannya adalah waktu berdasarkan pergerakan matahari, bukan berdasarkan pergerakan bulan.
 
Sedangkan penentuan Idul Adha, yaitu hari apa (atau tanggal berapa), acuannya adalah pergerakan bulan, bukan pergerakan matahari.

Dalam bahasa Ushul Fiqih, ada sebab yang berbeda antara Sholat Idul Adha itu dilaksanakan jam berapa, dengan sebab penetapan masuknya bulan Dzulhijjah, yaitu Idul Adha itu jatuhnya hari apa atau tanggal berapa (dalam kalender Masehi). 
 
Sebab pelaksanaan sholat Idul Adha adalah dukhulul waqti, yaitu sudah masuknya waktu untuk melakukan Sholat Dhuha, yaitu sekira waktu ketika matahari sudah sepenggalah naik _(irtifa’u al-syams)_. 
 
Berkata Imam Ibnu Baththal :
 
أجمَع الفقهاء أنَّ العيد لا يُصلَّى قبل طلوع الشمس، ولا عند طلوعها، فإذا ارتفعتِ الشمسُ وابيضَّتْ وجازتْ صلاة النافلة، فهو وقتُ العيد) (ابنُ بطَّال، شرح صحيح البخاري ج2ص560)

“Para fuqoha sepakat bahwa sholat Ied (Idul Fitri dan Idul Adha) tidak dilakukan sebelum terbitnya matahari, tidak pula pada saat bersamaan dengan terbitnya matahari. Maka jika matahari sudah naik dan sudah putih cahayanya, boleh dilakukan sholat nafilah (sholat sunnah), dan itulah waktu sholat Ied (Idul Fitri dan Idul Adha).” (Imam Ibnu Baththal, _Syarah Shahih Al-Bukhari,_ 2/560).

Jadi acuan waktu sholat Idul Adha (dari segi jam-nya, bukan dari segi tanggal berapa-nya), adalah mengikuti pergerakan matahari, bukan pergerakan bulan. 

Sedangkan sebab penetapan Idul Adha, yaitu Idul Adha dari segi jatuh hari apa atau tanggal ke-berapa dalam kalender Masehi, acuannya adalah rukyatul hilal, yaitu terlihatnya hilal bulan Dzulhijjah pada tanggal ke-29 malam ke-30 bulan Dzulqa'dah, pada saat maghrib (tenggelamnya matahari). Rukyatul hilal ini khusus dari Penguasa Mekkah, sesuai hadits dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata :

أنَّ أَمِيْرَ مَكَّةَ خَطَبَ ، ثُمَّ قَالَ : عَهِدَ إلَيْنَا رَسُوْلُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤيَةَ ، فَإِنْ لَمْ نَرَهُ ، وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا

"Sesungguhnya Amir (Penguasa) Mekkah berkhutbah, kemudian dia berkata,"Rasulullah SAW telah berpesan kepada kita agar kita menjalankan manasik haji berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan menjalankan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya." (HR. Abu Dawud, hadis no 2340. Imam Ad-Daruquthni berkata, "Hadis ini isnadnya muttashil dan shahih." Lihat Sunan Ad-Daraquthni, 2/267. Syeikh Nashiruddin Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud (2/54) berkata, "Hadis ini shahih").

Jadi acuan penetapan Idul Adha, dari segi harinya itu hari apa (bukan dari segi jam-nya) adalah rukyatul hilal (penguasa Mekkah) dan rukyatul hilal itu mengacu pada pergerakan bulan, bukan pergerakan matahari.

Rukyatul Hilal itu jika berhasil dilakukan, yaitu jika perukyat berhasil melihat hilal (bulan sabit), maka akan ditetapkan bahwa tanggal 1 Dzulhijjah sudah masuk, dan tanggal 10 Dzulhijjah-nya dihitung berdasarkan tanggal 1 Dzulhijjah tersebut. 

Dengan demikian, dari segi jam, jelas jam untuk orang Indonesia lebih cepat empat jam jika dibanding orang Arab Saudi. Waktu ibadahnya orang Indonesia juga akan lebih cepat empat jam jika dibandingkan dengan waktu Arab Saudi.

Misalkan, nanti hari Sabtu tanggal 9 Juli 2022, pukul 07.00 kita di Indonesia akan melakukan sholat Idul Adha. Sedangkan di Arab Saudi, pada waktu yang saat sama, orang-orang mungkin masih tidur karena di Arab Saudi baru pukul 03.00 dini hari. Jadi di Arab Saudi belum ada sebab untuk pelaksanaan Sholat Idul Adha.  

Di sinilah muncul pertanyaan, apakah sholat Idul Adha dan penyembelihan kurban di Indonesia itu dibolehkan? Bukankah berarti kita mendahului Arab Saudi yang belum Sholat Idul Adha dan belum juga menyembelih kurban? 

Jawabnya, sholatnya orang Indonesia sah, demikian juga penyembelihan kurban di Indonesia. Hal ini karena di Indonesia sudah terwujud sebab untuk melakukan sholat Idul Adha, yaitu sudah masuk waktu sholat untuk sholat Dhuha, bagi orang Indonesia, walaupun bagi orang Arab Saudi, pada saat yang sama belum masuk waktu sholat untuk sholat Idul Adha bagi mereka. 

Jadi, sholat Idul Adha itu, dari segi waktu (jam berapa pelaksanaannya) acuannya adalah waktu berdasarkan pergerakan matahari, bukan pergerakan bulan. Sedangkan penentuan Idul Adha, yaitu hari apa (atau tanggal ke-berapa), acuannya adalah pergerakan bulan, bukan pergerakan matahari.

Fakta tersebut, yaitu orang Indonsia mendahului Arab Saudi dalam sholat Idul Adha dan penyembelihan kurban, sesungguhnya tidak ada masalah, selama orang Indonesia dan orang Saudi melakukan sholat Idul Adha pada hari yang sama, yaitu hari Sabtu tanggal 9 Juli 2022. Walaupun pelaksanaan ibadah tersebut di Indonesia dari segi jam-nya, terjadi lebih dulu dibandingkan dengan di Arab Saudi.

Dengan demikian, konsekuensi rukyatul hilal global, hanya terbatas persoalan hari (bukan persoalan jam) untuk melakukan sholat Idul Adha dan penyembelihan kurban bagi muslim Indonesia. 

Dengan demikian, tidak ada masalah secara syariah, kita di Indonesia sudah mulai menyembelih kurban, sementara pada detik yang sama di Mekkah para jamaah haji belum menyembelih karena ada selisih waktu 4 jam di mana waktu Indonesia lebih cepat 4 jam. Ini karena yang menjadi sebab untuk memulai menyembelih adalah telah tibanya waktu shalat Idul Adha di wilayah masing-masing, bukan setelah sholat Idul Adha atau setelah penyembelihan kurban yang dilakukan oleh jamaah haji di Mekkah. Wallahu a’lam.

*Jogjakarta, 30 Juni 2022*

*M. Shiddiq Al-Jawi*

hukum membuat cerita fiksi

Tanya: Ustaz, bolehkah mengarang cerita fiksi, seperti cerpen, novel, dan lain-lain?

Hukum Mengarang Cerita Fiksi

https://muslimahnews.net/2022/07/28/9354/

Oleh: Ustaz M. Shiddiq al-Jawi

Muslimah News, FIKIH – Tanya: Ustaz, bolehkah mengarang cerita fiksi, seperti cerpen, novel, dan lain-lain?

Jawaban:

Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai hukum membuat kisah fiksi (qashsash khayaaliyyah);

Pertama, ada ulama yang mengharamkan karena dianggap membuat kebohongan (al kadzib). Kitab Fatawa Lajnah Da`imah (12/187) menyatakan, “Haram bagi seorang muslim untuk menulis kisah-kisah bohong (fiksi) karena dalam kisah-kisah Al Qur’an dan Hadis Nabi dan yang lainnya yang menceritakan fakta dan merepresentasikan fakta, sudah cukup sebagai pelajaran dan nasihat yang baik.”

Kedua, sebagian ulama membolehkan, seperti Syekh Ibnu Utsaimin, dengan syarat isi cerita fiksi menggambarkan hal-hal yang boleh (jaiz) menurut syarak, tidak menggambarkan hal-hal yang diharamkan, dan secara jelas menyampaikan kepada pembaca bahwa yang disampaikan adalah fiksi bukan kenyataan, agar tidak jatuh dalam kebohongan. (Lihat : Ibnu Utsaimin, Fatawa Muwazhzhafiin, soal no. 24).

Pendapat yang rajih (kuat), adalah yang membolehkan membuat cerita fiksi asalkan terikat dengan syarat-syarat syar’i agar tidak terjatuh dalam kebohongan atau keharaman.

Dalil yang membolehkan membuat cerita fiksi adalah dalil As-Sunah. Dalam hadis yang menjelaskan bahwa orang yang melakukan yang syubhat (tidak tegas halal atau haramnya) dapat terjerumus kepada keharaman, Rasulullah SAW. telah membuat perumpamaan dengan bersabda,

“Seperti seorang penggembala yang menggembalakan [ternaknya] di sekitar tanah larangan (himaa) yang hampir-hampir dia masuk ke dalam tanah larangan itu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Syekh Ibnu Utsaimin berkata, “Di antara faedah hadis ini adalah bolehnya membuat perumpamaan dalam rangka memperjelas suatu perkara maknawi (tidak konkret) dengan perumpamaan sesuatu yang yang indrawi (konkret). Artinya, menyerupakan sesuatu yang ma’quul (objek pikiran) dengan yang mahsuus (objek terindra) untuk mendekatkan pemahamannya.” (Syekh Ibnu Utsaimin, Al-Arba’uun An-Nawawiyyah bi Ta’liqaat Syaikh Ibnu Utsaimin, hlm. 4).

Berdasarkan dalil tersebut, boleh hukumnya seorang muslim membuat kisah fiksi. Namun, agar tidak terjatuh dalam kebohongan atau keharaman, kebolehan membuat cerita fiksi tersebut terikat dengan 2 (dua) syarat:

Pertama, pembuat cerita fiksi wajib menyampaikan kepada pembacanya, baik secara implisit atau eksplisit, bahwa apa yang diucapkan atau ditulisnya adalah cerita fiksi atau khayalan, bukan kenyataan, agar pengarang cerita fiksi tidak jatuh dalam kebohongan. Dalil syarat ini adalah dalil-dalil Al-Qur’an atau Al-Hadis yang mengharamkan seorang muslim berbohong.

Kedua, kandungan (content) cerita fiksi tidak boleh bertentangan dengan akidah atau syariat Islam. Misalnya berisi ajakan beramar makruf nahi mungkar, berbakti kepada orang tua, bersikap jujur, mendorong berani berjihad di jalan Allah, mendorong berani melawan penguasa yang zalim, dan sebagainya.

Sebaliknya, haram hukumnya membuat cerita fiksi yang berisi pemikiran-pemikiran kufur, semisal sekularisme, demokrasi, nasionalisme, liberalisme, pluralisme, dan sebagainya. Atau kisah-kisah cinta atau cabul yang jauh dari akhlak islami.

Dalil syarat kedua ini adalah dalil-dalil yang mewajibkan muslim berkata benar sesuai syariat Islam. Misalnya firman Allah Swt. (artinya),

“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (QS Al-Ahzab [33]: 70)

Juga sabda Rasulullah saw., “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam.” (HR Bukhari dan Muslim). Wallahualam [MNews/Rgl]

#Fikih

hukum memakai wifi tetangga

Oleh: K.H. Muhammad Shiddiq Al-Jawi, M.Si.

FIKIH — Pertanyaan: Assalamu’alaikum wr. wb.. Ustaz, mohon dibahas hukumnya menggunakan Wi-Fi tetangga tanpa ada izin dari yang bersangkutan? Syukran katsiran. Wassalamu’alaikum wr. wb. (Abu Alfandi, Bandung)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam wr wb..

Haram hukumnya seseorang menggunakan Wi-Fi tetangga tanpa izin dari tetangga tersebut. Hal ini karena penggunaan Wi-Fi tanpa izin tersebut termasuk memanfaatkan harta milik orang lain tanpa seizin pemiliknya. Perbuatan seperti ini (yaitu memanfaatkan harta milik orang lain tanpa izin dia) telah diharamkan oleh syariat Islam, berdasarkan banyak dalil-dalil syar’i.

Di antaranya, dalil dari sabda Rasulullah saw.,

إن دماءكم وأموالكم وأعراضكم عليكم حرام

“Sesungguhnya darah-darah kamu, harta-harta kamu, dan kehormatan-kehormatan kamu adalah haram atas kamu (terpelihara satu sama lain).” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadis di atas telah mengharamkan kita untuk memanfaatkan atau mengambil harta milik orang lain, kecuali dengan cara yang dihalalkan syarak dan atas dasar saling rida (suka sama suka), sesuai firman Allah Swt.,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.” (QS An Nisa: 29)

Selain itu, terdapat juga dalil dari sabda Rasulullah saw.,

لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ

“Tidak halal mengambil harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dirinya.” (HR Abu Dawud dan Daraquthni, disahihkan oleh Syekh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 7662)

Berdasarkan dalil-dalil syar’i ini, haram hukumnya menggunakan Wi-Fi tetangga tanpa izin karena merupakan perbuatan memanfaatkan harta milik orang lain tanpa seizin pemiliknya.

Mungkin ada yang mengatakan hukumnya boleh karena sinyal Wi-Fi tetangga itu melintasi area tanah kita. Katanya lagi, ketika pohon buah milik tetangga menjulur ke area tanah milik kita, secara fikih kita boleh mengambilnya. Apakah memang benar demikian?

Jawabannya: Pendapat tersebut tidak benar karena tetangga itu tetap wajib minta izin kepada pemilik pohon yang pohonnya menjulur ke wilayah tetangganya. Jadi, tidak otomatis pohon tetangga yang menjulur ke halaman kita menjadi milik kita. Walhasil, kita tetap wajib meminta izin kepadanya lebih dulu.

Dalilnya sabda Rasulullah saw.,

إذا أتى أحدكم حائطاً فأراد أن يأكل فليناد: يا صب الحائط ثلاثاً فإن أجابه وإلا فليأكل، وإذا مر أحدكم بإبل فأراد أن يشرب من ألبانها فليناد يا صاحب الإبل أو يا راعي الإبل فإن أجاب وإلا فليشرب رواه أحمد وابن ماجه…

“Jika seseorang dari kamu mendatangi sebuah kebun berpagar lalu dia berkehendak untuk memakan [buahnya], hendaklah dia berseru, ”Wahai pemilik kebun!” sebanyak tiga kali. Jika pemilik kebun itu menjawab [dia boleh makan buahnya]. Jika tidak ada jawaban, dia boleh juga memakannya. Dan jika seseorang dari kamu melintasi seekor unta, lalu dia hendak meminum air susunya, hendaklah dia berseru, ”Wahai pemilik unta!” atau, “Wahai penggembala unta!” Jika pemilik unta itu menjawab [dia boleh minum air susunya]. Jika tidak ada jawaban, dia boleh juga meminumnya…” (HR Ahmad dan Ibnu Majah)

Hadis ini menunjukkan bahwa jika seseorang yang hendak memanfaatkan harta orang lain, dia tetap wajib minta izin kepada pemilik harta itu, meskipun pemiliknya tidak kita ketahui keberadaannya. Jadi Wi-Fi tetangga yang menyebar hingga sampai ke rumah kita, tetap milik tetangga itu, tidak otomatis menjadi milik kita. Kita tetap wajib minta izin kepada tetangga itu sebelum kita memanfaatkan sinyal Wi-Fi tetangga tersebut. Wallahualam. [MNews/Rgl]

hukum buket uang

#HUKUM BUKET UANG
 
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Tanya :

Ustadz, izin bertanya kaitannya tentang hukum buket uang, yang lagi ramai dan menjadi kebiasaan. Hari ini buket uang dijadikan hadiah baik saat ulang tahun, seminar hasil penelitian, seminar proposal ataupun agenda semisalnya. Padahal uang kan termasuk salah satu di antara barang ribawi hari ini. Bagaimana penjelasan terkait hal ini? Mohon penjelasannya???? Jazakumullahu khoiron. (Hamba Allah)

Jawab :

Benar, uang yang berlaku sekarang, yakni uang kertas (fiat money, al-nuqûd al-waraqiyyah), seperti rupiah Indonesia, dolar AS, riyal Saudi, yen Jepang, dsb, disamakan hukumnya dengan barang ribawi berupa emas (dinar) dan perak (dirham). Hal ini dikarenakan uang kertas mempunyai fungsi-fungsi yang sama dengan dinar dan dirham pada masa Nabi SAW, yakni fungsi al-naqdiyyah, yaitu menjadi alat tukar (uang), dan fungsi al-tsamaniyyah, yaitu menjadi harga untuk menilai berbagai barang dan upah untuk menilai berbagai jasa. (Abdul Qadîm Zallûm, Al-Amwâl fî Daulah Al-Khilâfah, hlm. 160-161).

Maka dari itu, ketika satu mata uang dipertukarkan dengan mata uang lainnya, wajib mengikuti hukum syariat mengenai hukum pertukaran uang (sharaf), baik pertukaran mata uang yang sejenis (misal rupiah dengan rupiah) maupun pertukaran uang yang beda jenis (misal rupiah dengan dolar AS). Hukum syara’ untuk pertukaran mata uang sejenis adalah wajib memenuhi dua syarat; pertama, harus sama nilainya (at-tamâtsul), atau dengan kata lain tidak boleh ada tambahan (at-tafâdhul). Kedua, harus terjadi secara kontan (tidak boleh terjadi penundaan), yakni terjadi serah terima di majelis akad (al-taqâbudh fî majelis al-‘aqad). Adapun untuk pertukaran mata uang yang beda jenis, wajib memenuhi satu syarat saja, yaitu terjadi secara kontan. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhâm Al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 255-256).

Adapun hukum buket uang, jika uangnya berasal dari pembuat buket uang, hukumnya jelas haram, karena terjadi riba. Sebab fakta yang terjadi adalah aktivitas pertukaran uang (sharaf) antar uang yang sejenis (rupiah dengan rupiah) namun disertai tambahan (at-tafâdhul). Jadi pertukaran antara uang sejenis yang seharusnya wajib berlangsung dengan uang yang senilai (at-tamâtsul), tetapi faktanya menjadi tidak senilai karena adanya tambahan.

Misalnya, buket uang dengan uang asli Rp 100 ribuan sebanyak 10 lembar (senilai Rp 1 juta), dijual dengan harga Rp 1.200.000 oleh penjual buket uang. Ketika terjadi akad jual beli buket uang, maka pembeli yang seharusnya menyerahkan Rp 1 juta, ternyata menyerahkan Rp 1.200.000. Jadi di sini ada kelebihan Rp 200.000, yang boleh jadi diklaim sebagai jasa pembuatan buket ataupun harga dari benda-benda yang menjadi rangkaian bunga. Ini tetap tidak boleh secara syariah Islam.

Dalil haramnya tambahan dalam pertukaran mata uang sejenis adalah hadits Nabi SAW, di antaranya hadits dari Abu Sa'id al-Khudri RA bahwa Rasulullah SAW bersabda :

لاَ تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلاَ تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلاَ تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ.

“Janganlah kalian berjual beli emas dengan emas kecuali sama beratnya, dan janganlah kalian lebihkan yang satu atas yang lainnya. Janganlah kalian berjual beli perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan jangan kalian lebihkan yang satu atas yang lainnya, dan janganlah kalian berjual beli sesuatu (emas/perak) yang tidak hadir (tidak ada di majelis akad) dengan yang hadir (ada di majelis akad).” (HR Bukhari, no. 2031).

Dari hadits tersebut, jelas bahwa ketika terjadi pertukaran uang yang sejenis, yaitu emas ditukarkan dengan emas, atau perak ditukarkan dengan perak, wajib dilakukan secara semisal (at-tamâtsul), yaitu sama beratnya (untuk emas atau perak), atau sama nilainya (untuk uang kertas), dan tidak boleh ada tambahan (at-tafâdhul). Jika terjadi tambahan (at-tafâdhul), maka jelas tambahan itu adalah riba, yaitu ribâ fadhl. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhâm Al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 258).

 
Solusinya, agar buket uang itu halal secara syariah, ada beberapa alternatif, di antaranya :

Pertama, buket uangnya diisi dengan uang yang berasal dari pembeli, bukan dari penjual. Jadi pembeli hanya membayar jasa penjual yang bekerja merangkai uang dari pembeli ke dalam rangkaian buket uang.

Kedua, buket uang yang dijualbelikan adalah buket uang kosongan (ini tersedia di sebagian online shop). Jadi buket uang yang dibeli tidak ada uangnya, yang ada hanyalah wadah atau tempat untuk uangnya. Jadi uangnya nanti akan ditambahkan sendiri oleh pembeli buket uang itu ketika akan dihadiahkan kepada pihak lain.

Ketiga, buket uang yang dijualbelikan adalah buket uang yang berisi uang mainan (ini tersedia di sebagian online shop).

 

Yogyakarta, 24 Agustus 2022

M. Shiddiq Al Jawi

 

Referensi :

Abdul Qadîm Zallûm, Al-Amwâl fî Daulah Al-Khilâfah

Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhâm Al-Iqtishâdi fî al-Islâm

https://islamqa.info/ar/answers/208878/بيع-المال-المعمول-على-اشكال-فنية

   

KONTAK KAMI
FISSILMI KAFFAH
Email : fissilmikaffah.info@gmail.com
Website : fissilmi-kaffah.com

hukum jual beli anak anak

Untuk anak-anak, syarat balig dalam akad, khususnya jual beli, tidak mutlak. Oleh karena itu, anak-anak usia rusyd, yaitu usia saat anak-anak tersebut sudah bisa memilih dan memilah yang baik dan buruk, yang benar dan salah, boleh melakukan akad. 
-

Status Transaksi Anak Kecil
 

https://muslimahnews.net/2022/08/11/9899/
-

Penulis: K.H. Hafidz Abdurrahman

Muslimah News, FIKIH – Akad, baik jual-beli maupun yang lain, mempunyai konsekuensi terjadinya kepemilikan, baik yang terkait dengan barang maupun jasa. Karena itu, orang yang melakukan akad disyaratkan harus berakal. Dasarnya adalah hadis Nabi saw., “Diangkat pena dari tiga golongangolongan: dari orang yang tidur hingga dia bangun, dari anak kecil hingga dia bermimpi keluar sperma (balig), dan dari orang gila hingga dia waras akalnya.”(HR Abu Dawud)

Oleh karena itu, ketiga orang di atas, yaitu orang yang tidur, anak kecil, dan orang gila, dibatalkan ucapan dan semua tindakannya karena ucapan dan tindakan mereka tidak mempunyai status hukum sebagaimana mafhum yang bisa ditarik dari sabda Nabi di atas, “Diangkat pena dari tiga golongan.” (HR Abu Dawud).

Selain itu, muamalah juga mempunyai prinsip, “al-Ashlu fi al-Mu’amalah qath’u al-munaza’ah” (hukum asal muamalah adalah untuk menghilangkan perselisihan). Jika hukum asal dilakukannya muamalah adalah untuk menghilangkan perselisihan, maka hilangnya perselisihan tersebut tidak mungkin bisa disandarkan pada ketiga orang tersebut. Justru sebaliknya, jika ucapan dan tindakan ketiganya mengikat, maka potensi perselisihan justru terbuka lebar.

Dalam konteks jual beli, Allah menyatakan bahwa jual beli harus dilakukan dengan sukarela antara penjual dan pembeli. Bagaimana mungkin terjadi kerelaan dari ketiganya? Jelas tidak mungkin. Hanya saja untuk anak-anak, syarat balig dalam akad, khususnya jual beli, tidak mutlak. Oleh karena itu, anak-anak usia rusyd, yaitu usia saat anak-anak tersebut sudah bisa memilih dan memilah yang baik dan buruk, yang benar dan salah, boleh melakukan akad.

Alasannya, dalam Al-Qur’an, Allah menyatakan, “Dan ujilah anak yatim itu sampai cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah mengerti (usia rusyd), maka serahkanlah harta-hartanya kepada mereka.” (TQS An-Nisa [4]: 6].

Syarat usia rusyd agar harta bisa diserahkan kepada mereka agar mereka kelola dan hilangnya status perwalian dari mereka menunjukkan bahwa anak-anak yang belum balig boleh melakukan akad.

Karena itu, akad yang dilakukan oleh anak-anak yang sudah mumayyiz (bisa memilih dan memilah) hukumnya sah. Dasarnya QS An-Nisa [4]: 6 di atas. Perintah Allah “Ujilah mereka” dilakukan dengan melakukan jual beli agar bisa diketahui apakah mereka sudah bisa dilepas atau belum.

Dalam konteks ini, Ibn Qudamah al-Maqdisi, menjelaskan, “Maksudnya ujilah mereka supaya kamu bisa mengetahui kecerdasan mereka. Menguji mereka bisa direalisasikan dengan mendelegasikan kepada mereka untuk melakukan tindakan hukum, termasuk jual beli, supaya bisa diketahui apakah dia tertipu atau tidak, karena dia berakal, bukan orang yang dihalangi melakukan tindakan hukum. Oleh karena itu, tindakannya sah. Tetapi, agar sah harus seizin walinya.” [Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IV/168]

Karena itu, status akad anak kecil yang sudah mumayyiz tetap sah dengan izin walinya, jika walinya mengizinkan tindakannya. Ini menurut mazhab Hanbali, Maliki, dan Hanafi. Berbeda dengan mazhab Syafii, dan dalam salah satu riwayat menurut mazhab Hanbali. Imam al-Kharasyi, dalam syarah Mukhtashar Khalil, mazhab Maliki, “Makna bahwa syarat sahnya akad bagi orang yang melakukan akad jual beli, yaitu penjual dan pembeli, adalah tamyiz (bisa memilih dan memilah). Ketika diberitahu tentang sesuatu yang merupakan maksud orang-orang yang berakal dia paham, kemudian bisa memberikan jawaban (respons) yang sempurna. Maka, akad tidak terjadi dari anak yang belum tamyiz, karena kecil, gila, atau tidak sadar, atau salah satunya, menurut Ibn Syas, penulis, dan Ibn Rusyd.” – selesai.

Menurut al-Hatthab dalam Mawahid al-Jalil, Syarah Mukhtashar Khalil, bahwa, “Maka, disyaratkannya orang yang melakukan akad jual beli agar akadnya mengikat harus mukalaf sehingga kalau anak kecil yang sudah mumayyiz melakukan jual beli, maka jual belinya sah. Akan tetapi, akad itu tidak mengikatnya. Bagi walinya boleh menilai, untuk melanjutkan atau membatalkannya, yaitu mana yang ia pandang lebih baik bagi anak kecil tersebut.” – selesai.

Dengan demikian, dari keempat mazhab, hanya Imam Syafii yang tidak membolehkan akad anak-anak. Ketiga mazhab yang ada, baik Hanafi, Maliki, maupun Hanbali, semuanya membolehkan akad yang dilakukan oleh anak-anak yang belum balig, dengan syarat harus . Wallahualam. [MNews/Rgl]

#Fikih