—
Hukum Mengarang Cerita Fiksi
https://muslimahnews.net/2022/07/28/9354/
—
Oleh: Ustaz M. Shiddiq al-Jawi
Muslimah News, FIKIH – Tanya: Ustaz, bolehkah mengarang cerita fiksi, seperti cerpen, novel, dan lain-lain?
Jawaban:
Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai hukum membuat kisah fiksi (qashsash khayaaliyyah);
Pertama, ada ulama yang mengharamkan karena dianggap membuat kebohongan (al kadzib). Kitab Fatawa Lajnah Da`imah (12/187) menyatakan, “Haram bagi seorang muslim untuk menulis kisah-kisah bohong (fiksi) karena dalam kisah-kisah Al Qur’an dan Hadis Nabi dan yang lainnya yang menceritakan fakta dan merepresentasikan fakta, sudah cukup sebagai pelajaran dan nasihat yang baik.”
Kedua, sebagian ulama membolehkan, seperti Syekh Ibnu Utsaimin, dengan syarat isi cerita fiksi menggambarkan hal-hal yang boleh (jaiz) menurut syarak, tidak menggambarkan hal-hal yang diharamkan, dan secara jelas menyampaikan kepada pembaca bahwa yang disampaikan adalah fiksi bukan kenyataan, agar tidak jatuh dalam kebohongan. (Lihat : Ibnu Utsaimin, Fatawa Muwazhzhafiin, soal no. 24).
Pendapat yang rajih (kuat), adalah yang membolehkan membuat cerita fiksi asalkan terikat dengan syarat-syarat syar’i agar tidak terjatuh dalam kebohongan atau keharaman.
Dalil yang membolehkan membuat cerita fiksi adalah dalil As-Sunah. Dalam hadis yang menjelaskan bahwa orang yang melakukan yang syubhat (tidak tegas halal atau haramnya) dapat terjerumus kepada keharaman, Rasulullah SAW. telah membuat perumpamaan dengan bersabda,
“Seperti seorang penggembala yang menggembalakan [ternaknya] di sekitar tanah larangan (himaa) yang hampir-hampir dia masuk ke dalam tanah larangan itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Syekh Ibnu Utsaimin berkata, “Di antara faedah hadis ini adalah bolehnya membuat perumpamaan dalam rangka memperjelas suatu perkara maknawi (tidak konkret) dengan perumpamaan sesuatu yang yang indrawi (konkret). Artinya, menyerupakan sesuatu yang ma’quul (objek pikiran) dengan yang mahsuus (objek terindra) untuk mendekatkan pemahamannya.” (Syekh Ibnu Utsaimin, Al-Arba’uun An-Nawawiyyah bi Ta’liqaat Syaikh Ibnu Utsaimin, hlm. 4).
Berdasarkan dalil tersebut, boleh hukumnya seorang muslim membuat kisah fiksi. Namun, agar tidak terjatuh dalam kebohongan atau keharaman, kebolehan membuat cerita fiksi tersebut terikat dengan 2 (dua) syarat:
Pertama, pembuat cerita fiksi wajib menyampaikan kepada pembacanya, baik secara implisit atau eksplisit, bahwa apa yang diucapkan atau ditulisnya adalah cerita fiksi atau khayalan, bukan kenyataan, agar pengarang cerita fiksi tidak jatuh dalam kebohongan. Dalil syarat ini adalah dalil-dalil Al-Qur’an atau Al-Hadis yang mengharamkan seorang muslim berbohong.
Kedua, kandungan (content) cerita fiksi tidak boleh bertentangan dengan akidah atau syariat Islam. Misalnya berisi ajakan beramar makruf nahi mungkar, berbakti kepada orang tua, bersikap jujur, mendorong berani berjihad di jalan Allah, mendorong berani melawan penguasa yang zalim, dan sebagainya.
Sebaliknya, haram hukumnya membuat cerita fiksi yang berisi pemikiran-pemikiran kufur, semisal sekularisme, demokrasi, nasionalisme, liberalisme, pluralisme, dan sebagainya. Atau kisah-kisah cinta atau cabul yang jauh dari akhlak islami.
Dalil syarat kedua ini adalah dalil-dalil yang mewajibkan muslim berkata benar sesuai syariat Islam. Misalnya firman Allah Swt. (artinya),
“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (QS Al-Ahzab [33]: 70)
Juga sabda Rasulullah saw., “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam.” (HR Bukhari dan Muslim). Wallahualam [MNews/Rgl]
#Fikih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar