[Fikih] Hukum Fikih Seputar Kurban
8 Juni 202310 min read
Penulis: K.H. Hafidz Abdurrahman
Muslimah News — Kurban (qurban) disebut “udh-hiyyah”. Dalam fikih, “udh-hiyyah” adalah hewan ternak yang disembelih pada hari nahr dengan niat untuk mengerjakan kesunhal yang sunah. “Udhhiyyah” hukumnya sunah, sebagaimana sabda Nabi saw.,
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Jika kalian melihat hilal Zulhijah, dan salah seorang di antara kalian ingin menyembelih, hendaknya ia tidak memotong rambut dan kukunya.” [HR Muslim][1]
Sabda Nabi saw. menyatakan, “Wa arada ahadukum an yudhahhiya [salah seorang di antara kalian ingin menyembelih],” mempunyai konotasi sunah, bukan wajib.
Pengurban
Kurban tidak ditetapkan, kecuali terhadap orang yang memenuhi syarat-syarat berikut.
Islam. Kurban merupakan ibadah dan ibadah tidak diberlakukan, kecuali terhadap kaum muslim, sedangkan tidak bagi nonmuslim.
Mukim. Kurban hanya berlaku untuk orang mukim, bukan musafir.
Kaya. Kurban hanya berlaku bagi orang yang mempunyai nafkah untuk hari raya dan dana untuk kurban, serta telah menyelesaikan kebutuhan dasarnya, seperti sandang, papan, dan pangan. Bisa ditambahkan seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan.
Tidak harus balig dan berakal. Kurban boleh dilakukan oleh wali anak-anak kecil dan orang gila. Ini karena kurban merupakan nafkah yang diberikan secara makruf yang disyariatkan untuk harta.
Niat berkurban. Niat bisa membedakan antara sembelihan yang merupakan tradisi dan kurban yang merupakan ibadah.
Kurban orang yang berutang. Membayar utang harus didahulukan daripada berkurban, meski orang yang berutang tersebut tidak ditagih untuk membayar utangnya.
Kurban boleh diperuntukkan bagi orang yang sudah meninggal dan insyaallah bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal tersebut.
Menyembelih dengan tangan sendiri. Bagi orang yang berkurban, lebih baik menyembelih kurban dengan tangannya sendiri atau menyaksikan sembelihannya. Meski boleh juga digantikan oleh orang lain.
Hewan Kurban
Disyaratkan hewan yang dikurbankan harus sebagai berikut.
Hewan ternak. Hewan ternak (al-an’am) tersebut adalah unta (al-ibil), sapi (al-baqar), kerbau (al-jamus), kambing (al-ghanam), dan biri-biri (al-ma’iz).
Umur. Disyaratkan untuk unta, sapi, dan kerbau harus tsaniyya. Untuk unta harus lima tahun. Untuk sapi dan kerbau harus dua tahun. Kambing (biri-biri/ma’iz) harus satu tahun. Kambing domba [dha’n] disyaratkan harus jad’u. Usia jad’u adalah enam bulan.
Jumlah kurban. Satu domba atau biri-biri boleh untuk satu orang atau satu keluarga, misalnya seorang pria dan anak-anaknya. Sedangkan satu unta atau sapi untuk tujuh orang.
Selamat dari cacat yang berat. Kurban adalah persembahan untuk Allah Swt. sehingga harus layak dipersembahkan. Oleh karena itu, syarat kurban harus selamat dari cacat yang berat. Cacat berat itu antara lain buta, pincang, telinga, tangan dan kaki terpotong, sakit, dan kurus sekali. Ini berdasarkan riwayat Al-Barra’ bin ‘Azib yang berkata bahwa Rasulullah saw. berdiri di antara kami, lalu beliau saw. bersabda,
أَرْبَعٌ لاَ تَجُوْزُ فِي الأَضَاحِيْ: اَلْعَوْرَاءُ اَلْبَيِّنُ عَوْرُهَا، وَاْلمَرِيْضَةُ اَلْبَيِّنُ مَرَضُهَا، وَاْلعَرْجَاءُ اَلْبَيِّنُ ظَلْعُهَا، وَالْكَسِيْرَةُ الَّتِيْ لاَ تَنْقِي
“Ada empat cacat yang tidak dibolehkan pada hewan kurban, yaitu (1) buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya, (2) sakit dan tampak jelas sakitnya, (3) pincang dan tampak jelas pincangnya, (4) sangat kurus sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa’i).
Kurban juga harus dipilih dari hewan yang paling disukai. Ini karena apa yang paling disukai oleh seseorang, jika digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, itu lebih baik daripada yang lain. Meski keduanya nilainya sama.
Siapa saja yang membeli hewan kurban yang baik dan layak, lalu terbukti mempunyai cacat setelah dibeli, boleh diganti dengan yang lain, yang baik, juga boleh tetap dengan menyembelih yang cacat.
Persiapan Penyembelihan
Waktu penyembelihan. Penyembelihan hewan kurban dimulai setelah salat Iduladha, dari 10 Zulhijah hingga matahari tenggelam pada 13 Zulhijah.
Tempat penyembelihan. Apa saja yang disembelih pada hari-hari nahr, di tanah halal, selain tanah haram Makkah, disebut kurban (udh-hiyyah). Sedangkan apa yang disembelih pada hari-hari nahr, di tanah haram Makkah, disebut hadyu.
Penggantian kurban. Jika membeli kambing dan diniatkan sebagai kurban, hewan kurban boleh diganti yang lain dengan syarat berikut. Pertama, jika hewan kurban tersebut cacat, boleh diganti dengan yang lain. Kedua, jika ingin mengganti, diganti dengan yang lain yang lebih baik, tanpa cacat. Ketiga, tidak boleh diganti dengan dirham (uang). Jika itu dilakukan, statusnya menjadi sedekah biasa, bukan kurban. Menyembelih kurban lebih baik daripada menyedekahkan harga (dana)-nya karena mengalirkan darah pada Hari Nahr adalah ibadah.
Memanfaatkan daging kurban. Disunahkan untuk daging kurban, sepertiga untuk disedekahkan, sepertiga untuk dimakan, dan sepertiga untuk dihadiahkan. Daging kurban yang dimakan boleh disimpan pada saat-saat lapang. Akan tetapi ketika pada saat sulit, terjadi kemiskinan dan putus asa, makruh untuk disimpan.
Tata Cara Menyembelih
Batasan menyembelih. Menyembelih (dzabh) adalah memotong tenggorokan, dua urat leher (wadijain), yaitu dua urat yang mengalirkan darah ke otak.
Dampak sembelihan pada hewan. Hewan bisa dibagi menjadi dua, yakni hewan yang dagingnya bisa dimakan dan hewan yang dagingnya tidak bisa dimakan.
Hewan yang bisa dimakan dagingnya. Hewan yang bisa dimakan dagingnya bisa dibagi menjadi dua, yakni hewan yang mempunyai darah dan mengalir; serta hewan yang tidak mempunyai darah yang mengalir.
Hewan yang mempunyai darah yang mengalir. Hewan jenis ini bisa dibagi lagi, yakni hanya hidup di air, hidup di darat, serta hidup di dua alam (darat dan air) atau amfibi.
Hewan yang hidup di air. Hewan yang hanya bisa hidup di dalam air, seperti ikan, boleh dimakan tanpa disembelih. Ini berdasarkan sabda Nabi saw., “Itu adalah suci airnya dan halal bangkainya.” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i).[3]
Hewan yang hidup di darat. Jika hewan tersebut hidup di darat; atau hidup di air, tetapi keluar dari air, seperti anjing laut; maka tidak halal dimakan, kecuali dengan disembelih dan dengan penyembelihan yang syar’i.
Hewan yang tidak mempunyai darah. Mengenai hewan yang tidak mempunyai darah, seperti belalang, boleh dimakan sekalipun tidak disembelih. Ini karena alasan kerusakannya ada pada darah. Oleh karena itu, kalau hewan tersebut tidak mempunyai darah, hewan tersebut tidak mempunyai alasan kerusakan.
Hewan yang tidak boleh dimakan. Hewan jenis ini ada dua, yakni suci ketika hidup dan najis ketika hidup. Adapun hewan yang suci selama hidupnya adalah semua hewan, kecuali babi dan anjing. Oleh karena itu, hewan yang suci tersebut (tetapi tidak boleh dimakan), jika disembelih, daging dan kulitnya suci, tetapi dagingnya tetap haram, tidak halal dimakan. Jika mati tanpa disembelih, ia najis karena tidak disembelih karena penyembelihan ini menjadi alasan kerusakannya. Namun, jika hewan tersebut najis ketika hidup, ia tetap najis, baik disembelih maupun tidak.
Penyembelih. Orang yang menyembelih hewan sembelihan ini disyaratkan harus berakal, mumayiz, muslim ataupun ahlulkitab (Yahudi/Nasrani).[4] Oleh karena itu, sembelihan orang gila tidaklah halal. Begitu juga sembelihan anak kecil yang belum mumayiz. Juga sembelihan orang Majusi atau musyrik yang lainnya. Ini karena Rasulullah saw. telah meneken perjanjian dengan Majusi Hajar,
صَالَحَ مَجُوْسَ هَجَرَ عَلَى أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُمُ الْجِزْيَةَ، غَيْرَ مُسْتَحِلِّ مُنَاكَحَةِ نِسَائِهِمْ، وَلاَ أَكْلَ ذَبَائِحِهِمْ
“Mengambil jizyah dari mereka, perempuan mereka tidak halal dinikahi, dan sembelihan mereka tidak halal dimakan.” (HR Abu Yusuf].[5]
Juga tidak halal sembelihan orang yang kekufurannya lebih kuat daripada Majusi, seperti orang musyrik (Hindu, Buddha, Konghucu, dan sebagainya), orang murtad dari Islam, meski ia murtad ke Yahudi atau Nasrani. Juga orang ateis yang tidak mengimani salah satu agama. Juga orang yang diklaim muslim, tetapi sektenya divonis kafir, seperti Nushariyyah atau ‘Alawiyyah dari kalangan Syiah, juga Ahmadiyah.
Hewan yang Disembelih
Syarat hewan yang disembelih, meski halal dimakan, adalah hewan sebagai berikut.
(a) Tidak dinyatakan haram untuk dimakan oleh syarak, seperti babi, anjing, atau hewan yang memiliki taring, atau burung yang memiliki cakar.
(b) Hidup dengan kehidupan yang stabil ketika disembelih. Kehidupan yang stabil bagi hewan adalah kehidupan yang memungkinkannya untuk melakukan gerakan. Adapun kehidupan yang tidak stabil adalah kehidupan saat disembelih. Kehidupan yang kehilangan dari gerakan bebas hewan tersebut.
(c) Jika hewan yang disembelih itu bunting, kemudian dari perutnya keluar janin, maka janinnya boleh dimakan tanpa disembelih. Ini berdasarkan sabda Nabi saw., “Sembelihan untuk janin mengikuti sembelihan induknya.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).[6]
Hewan yang disembelih itu bukan hewan buruan Tanah Haram. Ini karena hewan buruan yang ditangkap di Tanah Haram tidak boleh disembelih dan tidak boleh dimakan.
Alat Sembelihan
Alat yang digunakan untuk menyembelih adalah alat yang bisa memotong. Makruh menyembelih dengan menggunakan gigi, kuku, dan alat-alat sejenis lainnya, padahal ada alat yang bisa digunakan untuk memotong.
Sebagaimana sabda Nabi saw. “Apa yang bisa mengalirkan darah, dan ketika disembelih disebut nama Allah, maka makanlah, tetapi bukan gigi dan kuku.” (HR Bukhari).[7]
Membaca “Basmalah” Saat Menyembelih
Hukum membaca “basmalah”. Menyebut asma Allah Swt., dan tujuan menyembelih semata untuk Allah hukumnya adalah wajib. Oleh karena itu, sembelihan tidak boleh dimakan jika ditujukan kepada yang lain selain Allah Swt. Allah Swt. berfirman, “Maka, makanlah apa yang ketika disembelih disebut nama Allah, jika kalian benar-benar mengimani ayat-ayat-Nya.” (QS Al-An’am: 118).
Jika saat menyembelih lupa membaca “basmalah”, tetapi sembelihan tersebut memang disembelih karena Allah, sembelihan tersebut tetap boleh dimakan, baik penyembelihnya muslim, maupun ahlulkitab (Yahudi atau Nasrani).
Jika saat menyembelih, penyembelihnya diam, hukum sembelihannya tetap halal dimakan, baik penyembelihnya muslim, maupun ahlulkitab. Ini karena ada zhan [dugaan] terhadap kaum muslim bahwa ia tidak menyembelih, kecuali semata karena Allah. Sementara itu, bagi ahlulkitab, membaca “basmalah” tidak wajib dalam ajaran agamanya karena sembelihannya halal dimakan. Mereka biasanya memang tidak menyebut asma Allah ketika menyembelih. Meski begitu, Allah tetap menghalalkan kita memakan sembelihannya. Ini berdasarkan firman Allah Swt., “Makanan orang-orang ahlulkitab itu halal bagi kalian.” [QS Al-Maidah: 5].
Jika dalam penyembelihan tersebut bukan nama Allah yang disebut, tetapi yang lain, sembelihan tersebut haram dimakan, sekalipun yang menyembelih adalah muslim ataupun ahlulkitab
Waktu membaca “basmalah” adalah saat menyembelih atau tidak lama sebelum menyembelih. Jika membaca “basmalah”-nya belakangan atau antara penyembelihan dan membaca “basmalah” tersebut dipisah dengan waktu yang lama, misalnya, setelah membaca “basmalah” kemudian tidur, lalu bangun, setelah itu baru menyembelih hewan sembelihannya, hal ini tidak termasuk membaca “basmalah”.
Bacaan “basmalah” dibaca oleh penyembelihnya. Tidak sah jika yang membaca “basmalah” adalah orang lain, sedangkan penyembelihnya tidak membaca. Atau bacaan “basmalah”-nya direkam, kemudian rekaman tersebut diputar sehingga bisa diulang-ulang ketika penyembelih tersebut menyembelih hewan sembelihan, ini pun tidak bisa dihukumi membaca “basmalah”. Ini karena yang membaca bukan penyembelihnya, melainkan rekaman.
Tata Cara Menyembelih
Proses penyembelihan tersebut berbeda-beda mengikuti kondisi hewan yang disembelih. Ini karena hewan tersebut adakalanya bisa disembelih secara syar’i dan adakalanya tidak.
Hewan yang bisa disembelih. Hewan ini bisa berupa unta atau yang lain. Jika yang disembelih tersebut adalah unta, kaki depan dan belakangnya sebelah kiri diikat, kemudian pangkal lehernya disembelih dalam keadaan sambil berdiri menghadap kiblat. Akan tetapi, jika hewan tersebut bukan unta, ditidurkan miring dengan lambung sebelah kiri di bawah, kemudian disembelih menghadap kiblat.
Bagian yang harus dipotong. Dalam menyembelih hewan sembelihan, ada empat urat yang harus putus saat penyembelihan, yakni tenggorokan (hulqum), dua urat leher (wadijain), dan kerongkongan (mari’). Jika tiga dari empat urat ini terputus, maka sah. Namun, ketika hewan tersebut disembelih dari tengkuk hingga tulang lehernya terputus, lalu mati, tetapi empat uratnya justru belum terpotong, sembelihan seperti ini tidak boleh dimakan. Akan tetapi, ketika tulang lehernya terputus, seketika juga diikuti dengan terputusnya empat urat tadi, ia halal dimakan. oleh karena itu, makruh hukumnya menyembelih dari tengkuk karena menyiksa hewan sembelihan.
Waktu dan Tempat Penyembelihan
Dalam penyembelihan, disunahkan untuk sesegera mungkin. Ini sebagaimana sabda Nabi saw., “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat ihsan [sempurna dalam menunaikan kebaikan] dalam segala hal. Jika kalian membunuh [hewan buruan], maka berbuatlah baik terhadap buruanmu. Jika kalian membunuh, maka berbuat baiklah terhadap sembelihanmu. Hendaknya salah seorang di antara kalian mengasah [menajamkan] mata pisaunya, dan tidak menyakiti sembelihannya.” (HR Muslim).[8]
Juga disunahkan untuk menguliti saat sudah tidak bernyawa. Namun, hewan yang sudah disembelih tidak boleh segera dikuliti, kecuali setelah ruhnya benar-benar sudah lepas dari jasadnya. Oleh karena itu, disunahkan menguliti setelah ruhnya lepas, begitu juga ketika akan memotong-motong bagian tubuh lainnya.
Hewan yang Tidak Bisa Disembelih
Mengenai hewan yang tidak bisa disembelih, bukan karena haram disembelih, tetapi karena buas atau liar. Misalnya, kerbau atau sapi liar yang susah dijinakkan sehingga tidak bisa disembelih sebagaimana kriteria penyembelihan yang telah dijelaskan di atas, baik karena tidak mungkin disembelih atau mungkin karena terperosok di dalam sumur, dan sejenisnya. Hewan seperti ini diperlakukan seperti hewan buruan.
Oleh karena itu, sebagaimana status hewan buruan (shaid), boleh dibunuh dengan mengalirkan darah dari badannya, dari posisi mana pun. Tidak harus dari leher atau empat urat yang biasa disembelih.
Telah diriwayatkan dari Abu al-Asyra’ dari ayahnya, berkata, “Aku bertanya, ‘Ya Rasulullah, bukankah penyembelihan itu di tenggorokan dan leher?’ Baginda saw. menjawab, ‘Kalau kamu menikamnya di pahanya [hingga mati], maka [tikaman] itu pun cukup bagimu.’” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i). [9]
Khatimah
Ini ketentuan hukum fikih tentang kurban. Bagi yang ingin mendalaminya, termasuk perincian perbedaan di kalangan ulama di dalamnya, hendaknya merujuk kitab-kitab muktabar. Ini karena yang ditulis di sini hanyalah ringkasan secara umum dari pandangan mereka. Wallahualam bissawab. [MNews/Rgl]
Referensi
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Jie, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 2000 M/1421 H, Juz I.
Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 1996 M/1426 H.
Muslim, Shahih Muslim, Dar al-Fikr, Beirut, tt. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Dar al-Fikr, Beirut, tt. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Dar al-Fikr, Beirut, tt. An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’I, Dar al-Fikr, Beirut, tt. Abu Yusuf, al-Kharaj, Dar al-Fikr, Beirut, tt.
[1] Lihat, Muslim, Sahih Muslim, al-Adhahi, Bab Nahyi Man Dakhala ‘alaihi Dzi al-Hijjah; Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Jie, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 2000 M/1421 H, Juz I/221.
[2] Lihat, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud; Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, al-Adhahi, Bab “Ma Yukrahu min ad-Dhahaya”; An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, al-Adhahi, Bab “al-Arja’”.
[3] Lihat, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Bab ‘al-Wudhu’ bi Ma’ al-Bahr”; Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Fi at-Thaharah Bab “Ma’ al-Bahr Innahu Thahurun’, An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, Bab “al-Wudhu’ bi Ma’ al-Bahr’
[4] Mumayyiz adalah isim fa’il dari Mayyaza-Yumayyizu, yaitu anak yang mempunyai kemampuan untuk memilih dan memilah berbagai hal. Mumayyiz juga bisa didefinisikan sebagai anak yang telah mampu memahami seruan [khithab], memberikan jawaban, bisa memilah antara yang manfaat dan mudarat. Tidak ada batasan umur baku, tetapi bisa berbeda, antara orang satu dengan yang lain. Lihat, Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 1996 M/1426 H, hal. 429-430. [5] Lihat, Abu Yusuf, al-Kharaj, hal. 129. [6] Lihat, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, fi al-Adhahi Bab “Dzakatu al-Janin;” at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, fi al-Ath’imah, Bab Dzakatu al-Janin.
[7] Lihat, Abu Yusuf, al-Kharaj, hal. 129.
[8] Lihat, Muslim, Shahih Muslim, Bab “al-Amr Bi Ihsan ad-Dzabh wa al-Qatl”
[9] Lihat, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, fi Adhahi Bab “Dzabitu al-Mutaraddiyah”; at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Bab “Adz-Dzakatu fi al-Halaq wa al-Labbah”; an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, fi al-Mutaraddiyatu fi al-Bi’r al-Lati la yushalu ila Halqiha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar