Selasa, 28 November 2023

hukum mendapat tip

Berikut ini penjelasan tentang hukum fikih ketika seorang karyawan yang sudah mendapatkan gaji, diberi hadiah oleh penerima manfaat atas jasanya. #Fikih
Hukum Hadiah bagi Karyawan yang Sudah Mendapat Gaji
https://muslimahnews.net/2023/05/25/20407/
Penulis: K.H. M. Shiddiq al-Jawi
Muslimah News, FIKIH — Tanya:
Ustaz, misalkan ada karyawan sebuah lembaga filantropi yang sudah mendapat gaji, melakukan distribusi Al-Qur’an ke lokasi distribusi. Setelah Al-Qur’an diterima oleh penerima manfaat (pesantren, majelis taklim, masjid, dll.), penerima manfaat memberikan hadiah berupa makanan/minuman/kue/madu/hasil pertanian kepada karyawan tersebut. Apakah yang diterima karyawan tersebut halal atau haram? (Hamba Allah, Jakarta).

Jawab:
Hukum asalnya haram karyawan/pekerja tersebut menerima hadiah tersebut, baik hadiah yang berupa barang maupun yang berupa fasilitas. Dalil keharamannya adalah beberapa hadis Nabi saw. yang mengharamkan karyawan (al-ajīr/al-’āmil) yang sudah digaji oleh pihak pemberi kerja (al-musta`jir) untuk menerima hadiah (al-hadiyyah) atau tip (al-ikrāmiyāt) dari pihak rekanan (bukan dari pihak pemberi kerja).

Pertama, hadis dari Abu Humaid As-Sa’idi ra.,
عن أبي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رضي الله عنه قَالَ : اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلا مِنْ بَنِي أَسْدٍ يُقَالُ لَهُ ابن اللُّتْبِيَّة عَلَى صَدَقَةٍ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ : هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي ، فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ : ( مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ فَيَأْتِي يَقُولُ : هَذَا لَكَ وَهَذَا لِي ، فَهَلا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لا ؟ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لا يَأْتِي بِشَيْءٍ إِلا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَيْ إِبْطَيْهِ أَلا هَلْ بَلَّغْتُ ثَلاثًا.رواه مسلم برقم 3413.

Dari Abu Humaid as-Sa’idi ra., bahwa Rasulullah saw. telah mempekerjakan seorang laki-laki dari Bani Asad bernama Ibnu Luthbiyah untuk mengumpulkan zakat (dari Bani Sulaim). Ketika ia menyetorkan zakat yang dipungutnya, ia berkata kepada Rasulullah saw., “Zakat ini kuserahkan kepada Anda dan ini hadiah orang kepadaku.” Abu Humaid berkata, “Rasulullah saw. lalu berdiri di atas mimbar, kemudian beliau memuji dan menyanjung Allah, serta bersabda, ‘Bagaimana bisa ada seorang petugas zakat yang sudah aku tugaskan memungut zakat, lalu ia berkata, ‘Zakat ini kuberikan kepada Anda, dan ini hadiah dari orang untukku.’ Mengapa ia tidak duduk-duduk saja di rumah ibunya atau bapaknya menunggu orang mengantarkan hadiah kepadanya? Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangannya, tidak ada seorang pun di antara kalian yang mengambil harta secara khianat, melainkan kelak ia akan memikul harta itu di atas lehernya pada hari kiamat, jika harta itu berupa unta, unta itu akan menguak, atau jika sapi maka sapi itu akan melenguh, atau jika kambing maka kambing itu akan mengembik.’ Kemudian Rasulullah saw. mengangkat kedua tangannya sehingga kami dapat melihat warna putih pada kedua ketiaknya, kemudian Rasulullah saw. bersabda, ’Ya Allah, telah aku sampaikan.’ Beliau mengatakan itu tiga kali.” (HR Muslim, no. 3413).

Imam Nawawi memberi syarah (penjelasan) hadis tersebut dengan berkata,
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ بيانُ أنَّ هَدَايَا الْعُمَّالِ حَرَامٌ وَغُلُولٌ ؛ لِأَنَّه خَانَ فِي وِلَايَتِهِ وَأَمَانَتِه ، وَلِهَذَا ذَكَرَ فِي الْحَدِيثِ فِي عُقُوبَتِهِ وحَمْلِهِ مَا أُهْدِيَ إلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، شرح مسلم للنووي ج 12 ص 219.

“Dalam hadis ini terdapat penjelasan bahwa hadiah yang diterima oleh karyawan (pekerja) adalah haram dan khianat (ghulul), karena ia telah berkhianat dalam tugasnya dan amanatnya. Oleh karena itulah, disebutkan dalam hadis ini hukumannya, yaitu memikul harta yang dihadiahkan kepadanya itu di lehernya pada hari kiamat.” (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 12/219).

Kedua, hadis dari dari Abu Humaid As-Saidi ra.,
عن أبي حميد الساعدي أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُوْلٌ . مسند الإمام أحمد ج 5 ص 424 برقم 23090 وصحَّحه الألباني في ارواء الغليل 2622

Dari Abu Humaid as-Sa’idi ra., bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, ”Hadiah-hadiah yang diterima oleh para karyawan, adalah harta khianat (ghulūl).” (HR Ahmad, dalam Al-Musnad, 5/424, nomor 23090, dinilai sahih oleh Syekh Nashiruddin al-Albani, dalam kitab Irwa`ul Ghalil, no. 2622).

Ketiga, hadis dari Buraidah ra.,
عن بُرَيدَةَ رَضِيَ اللهُ عنه، عنِ النبيِّ صلَّى الله عليه وسلَّم أنَّه قال: مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلىَ عَمَلٍ فَرَزقْنَاهُ رِزْقًا؛ فَمَا أَخَذَهُ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُوْلٌ. رواه أبو داود برقم 2943 وابن خزيمة ج 4 ص 70 برقم 2369، والحاكم ج 1 ص 563 ، والبيهقي ج 6 ص 355 برقم 13401.وقال الشوكاني في نيل الأوطار ج 4 ص 232: رجال إسناده ثقات، وصحَّحه الألباني في صحيح سنن أبي داود برقم 2943.

Dari Buraidah ra., bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Barang siapa yang telah kami berikan pekerjaan kepadanya, lalu kami sudah memberikan gaji kepadanya, maka apa saja yang ia ambil sesudah gaji itu, maka itu adalah harta khianat (ghulūl).” (HR Abu Dawud, no 2943; Ibnu Khuzaimah, 4/70; Al-Hakim, 1/563, Al-Baihaqi, 6/355; hadis ini sahih menurut Imam Syaukani dan Syekh Nashiruddin al-Albani).

Keempat, hadis dari ‘Adiy bin ‘Amirah al-Kindi ra.,
عن عَديِّ بنِ عَمِيرةَ الكِنديِّ، قال: سمعتُ رسولَ الله صلَّى الله عليه وسلَّم يقول« مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ » ، قَالَ: « فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنْ الْأَنْصَارِ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ، قَالَ: ((وَمَا لَكَ؟)) ، قَالَ: سَمِعْتُكَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا، قَالَ: وَأَنَا أَقُولُهُ الْآنَ، مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَلْيَجِئْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ فَمَا أُوتِيَ مِنْهُ أَخَذَ وَمَا نُهِيَ عَنْهُ انْتَهَى» رواه البخاري ومسلم

Dari ‘Adiy bin ‘Amirah al-Kindi ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu ia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah harta khianat (ghulūl) yang akan ia bawa pada hari kiamat.” (‘Adiy) berkata.”Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi saw. seolah-olah aku melihatnya, lalu ia berkata, ”Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan.” Nabi saw. bertanya, ”Ada apa gerangan?” Ia menjawab, ”Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di atas).” Nabi saw. pun berkata, ”Aku katakan sekarang, (bahwa) barang siapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah ia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya [dari kami], ia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang [oleh kami], maka tidak boleh [ia mengambilnya].” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadis-hadis di atas menunjukkan haramnya seorang karyawan (al-ajīr/ al-’āmil) yang sudah digaji oleh pihak pemberi kerja (al-musta`jir) untuk menerima hadiah (al-hadiyyah) atau tip (al-ikrāmiyāt) dari pihak rekanan (pihak lain yang bukan pihak pemberi kerja). (Taqiyuddin an-Nabhani, Al-Shakhṣiyyah al-Islāmiyyah, 2/337).

Dikecualikan dari hukum asal haramnya karyawan yang sudah digaji oleh pemberi kerja, yakni boleh hukumnya karyawan menerima hadiah dari pihak lain di luar pihak pemberi kerja dalam 2 (dua) kondisi sebagai berikut:
Pertama, jika hadiah itu berasal dari pihak yang sudah terbiasa memberi hadiah kepada karyawan itu, misalnya keluarganya atau sahabatnya.

Kedua, jika pihak pemberi kerja (al-musta`jir) memberi izin kepada karyawan untuk menerima hadiah itu.

Perkecualian pertama:
Boleh hukumnya karyawan menerima hadiah, jika hadiah itu berasal dari pihak yang sudah terbiasa memberi hadiah kepada karyawan itu, misalnya keluarganya atau sahabatnya. Imam Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan,

إلَّا أَنْ الْهَدِيَّةَ لِهَؤُلَاءِ تَكُوْنُ حَرَاماً إذَا لَمْ يَكُنْ مِنْ عَادَةِ الْمُهْدِي أَنْ يُهْدِيَ لَهُم ، أمَّا إنْ كَانَ مِنْ عَادَتِهِ أَنْ يُهْدِيَ لَهُمْ سَوَاءٌ أَكَانُوا يَتَوَلَّوْنَ قَضَاءَ مَصَالِحَ أَمْ لَا ، فَإِنَّهُ تَجُوْزُ الْهَدِيَّةُ لَهُمْ وَلَا شَيْءَ فِيهَا ، لِأَنَّ الرَّسُوْلَ ﷺ يَقُولُ فِي الْحَدِيْثِ : فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أبِيكَ وَأُمِّكَ ، حتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إنْ كُنْتَ صَادِقًا . وَمَفْهُومُهُ أَنَّ الْهَدِيَّةَ الَّتِيْ تُهْدَى لَهُ وَهُوَ جَالِسٌ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ دُونَ أَنْ يَكُونَ عاملاً جَائِزَةٌ.
“Namun, hadiah kepada mereka ini (karyawan/pekerja) hukumnya haram, jika bukan merupakan kebiasaan pemberi hadiah untuk memberi hadiah kepada karyawan itu. Adapun jika pemberi hadiah sudah terbiasa sebelumnya memberi hadiah kepada karyawan itu, sama saja apakah pemberi hadiah itu berwenang mengurus urusan publik atau tidak, boleh hukumnya karyawan itu menerima hadiah, karena Rasulullah saw. bersabda, ‘Jadi mengapa Anda tidak duduk saja di rumah ayah dan ibu Anda sampai Anda menerima hadiah Anda, jika Anda jujur?’ Mafhūm mukhālafah (pengertian sebaliknya) dari hadis ini, jika hadiah yang diberikan kepada karyawan itu datang saat ia sedang duduk di rumah ayah dan ibunya tanpa ia menjadi pekerja, maka hukumnya boleh.” (Taqiyuddin an-Nabhani, Al-Shakhṣiyyah al-Islāmiyyah, 2/337).

Perkecualian kedua:
Boleh hukumnya karyawan (pekerja) menerima hadiah, jika pihak pemberi kerja (al-musta`jir) sudah mengetahui dan memberi izin kepada karyawan untuk menerima hadiah tersebut. Imam Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan,

وَلَيْسَ مِنَ السَّمْسَرَةِ مَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ الْأُجَرَاءِ ، وَهُوَ أَنْ يُرْسِلَ التَّاجِرُ رَسُوْلاً عَنْهُ لِيَشْتَرِيَ لَهُ بِضَاعَةً مِنْ آخَرَ ، فَيُعْطِيْهِ الْآخَرُ مَالاً مُقَابِلَ شِرَائِهِ مِنْ عِنْدِهِ فَلَا يَحْسِبَهُ مِنْ الثَّمَنِ بَلْ يَأْخُذُهَا لَهُ بِاعْتِبَارِه سَمْسَىرَةً مِنَ التَّاجِرِ ، وَهُوَ مَا يُسَمَّى عِنْدَهُم الْقَامِسِيُّوْنَ . فَهَذَا لَا يُعْتَبَرُ سَمْسَرَةً ، لِأَنَّ الشَّخْصَ وَكِيْلٌ عَنِ التَّاجِرِ الَّذِيْ يَشْتَرِيْ لَهُ ، فَمَا يَنْقُصُ مِنَ الثَّمَنِ هُوَ لِلْمُشْتَرِي ، وَلَيْس لِلرَّسُوْلِ . وَلِذَلِكَ يَحْرُمُ عَلَيْهِ أَخْذُهُ ، بَلْ هُوَ لِلْمُرْسِلِ الَّذِيْ أَرْسَلَهُ إلَّا أَنْ يُسَامِحَ بِهِ الْمُرْسِلُ فَيَجُوْزُ

“Tidak termasuk samsarah (perantara jual beli), apa yang dilakukan oleh sebagian karyawan (pekerja), yaitu seorang pedagang mengirim seorang utusan untuk membeli suatu barang dari orang lain untuknya, kemudian orang lain ini memberi harta kepada utusan tersebut sebagai imbalan karena ia telah membeli barang kepadanya, maka orang lain itu memberikan potongan harga kepadanya, lalu karyawan mengambil potongan harga tadi hakikatnya adalah wakil dari pihak pedagang untuk membeli barang atas namanya (pihak yang mengutus). Jadi, potongan harga tadi sebenarnya adalah haknya pihak yang mengutus, bukan haknya utusan. Haram hukumnya utusan tadi mengambil potongan harga itu, dan potongan harga itu sebenarnya adalah hak pihak yang mengutus, kecuali pihak yang mengutus membolehkan potongan harga itu diambil oleh utusan.” (Taqiyuddin an-Nabhani, Al-Niẓām al-Iqtiṣādi fi al-Islām, hlm. 70). Wallahualam. [MNews/Rgl]

Selasa, 14 November 2023

hukum zakat rumah

Fikih] Rumah Tempat Tinggal dan Kendaraan Pribadi, Apakah Zakatnya Harus Dibayar?
9 November 20233 min read
Oleh: K.H. M. Shiddiq al-Jawi (Pakar Fikih Muamalah dan Kontemporer)

Muslimah News, FIKIH — Tanya: Assalamu’alaikum wr. wb.. Afwan Pak Ustaz, ana ingin bertanya tentang zakat rumah tempat tinggal dan kendaraan pribadi, apakah harus dibayar zakatnya? Atas jawaban Pak Ustaz saya ucapkan jazakallah khairan. (Ibrahim Muhayang, Balikpapan).

Jawab:

Wa’alaikumus-salam wr. wb.. Jika rumah dan kendaraan pribadi itu hanya dipakai sendiri, bukan untuk diperdagangkan, tidak ada kewajiban zakat untuk rumah dan kendaraan pribadi tersebut.

Dalilnya sabda Rasulullah saw.,

لَيْسَ عَلَى المُسْلِمِ فِي فَرَسِهِ وَغُلاَمِهِ صَدَقَةٌ

“Tidak ada kewajiban zakat atas seorang muslim pada kudanya dan budaknya.” (HR Bukhari, no. 1463, Muslim, no. 982).

Imam Nawawi menjelaskan hadis tersebut dengan berkata,

هَذَا الْحَدِيثِ أَصْلٌ فِي أَنَّ أَمْوَالَ الْقُنْيَةِ لَا زَكَاةَ فِيْهَا ، وَأَنَّهُ لَا زَكَاةَ فِي الْخَيْلِ وَالرَّقِيْقِ إذَا لَمْ تَكُنْ لِلتِّجَارَةِ ، وَبِهَذَا قَالَ الْعُلَمَاءُ كَافَّةً مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ

“Hadis ini adalah dalil bahwa harta-harta yang dipakai untuk keperluan sendiri (Arab: al-qun-yah), tidak ada kewajiban zakatnya. Hadis ini juga dalil bahwa tidak ada kewajiban zakat untuk kuda dan budak selama tidak diperdagangkan. Inilah pendapat para ulama seluruhnya, baik ulama salaf maupun khalaf…” (Imam Nawawi, Syarah Shahīh Muslim, Juz VII, hlm. 55).

Dengan demikian, jelaslah bahwa rumah dan kendaraan yang dimiliki tidak terkena kewajiban zakat perdagangan, selama rumah dan kendaraan pribadi tersebut dipakai untuk keperluan pribadi dan tidak diperdagangkan. Adapun jika rumah dan kendaraan pribadi tersebut diperdagangkan, akan terkena zakat perdagangan (zakāt ‘urūdh at-tijārah) jika memenuhi syarat-syaratnya. (http://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/411).

Misalnya, awalnya seseorang mempunyai rumah untuk dipakai sendiri. Namun, pada suatu saat, dia berniat mau menjual rumahnya tersebut. Sejak dia berniat menjual, berarti rumah tersebut akan terkena zakat perdagangan (zakāt ‘urūdh at-tijārah) jika sudah memenuhi 2 (dua) kriteria sebagai berikut:

Pertama, nilai barang dagangan sudah mencapai nisab zakat perdagangan atau lebih. Nisab zakat perdagangan secara umum adalah nisab perak (bukan nisab emas) sesuai prinsip aqallu nishabaini (mengikuti nisab paling sedikit di antara nisab emas dan perak), yaitu 200 dirham atau kira-kira Rp14,5 juta.

Kedua, barang dagangan sudah memenuhi kriteria haul, yaitu sudah berlalu dalam jangka waktu 1 tahun menurut kalender hijriah (bukan menurut kalender Masehi), sejak tanggal diniatkan untuk dijual. Jika sudah memenuhi 2 (dua) kriteria tersebut, zakatnya adalah 2,5% dari harga jual (‘Abdul Qadīm Zallūm, Al-Amwāl fī Daulah Al-Khilāfah, hlm. 163—164).

Misalnya, seseorang mempunyai rumah untuk dipakai sendiri sejak tahun 2015. Pada suatu saat, misalkan tahun 2023, tepatnya hari Ahad tanggal 1 Rabiulawal tahun 1445 H, dia berniat menjual rumah tersebut yang nilainya saat itu Rp900 juta. Sejak tanggal tersebut, rumah itu akan terkena zakat perdagangan (zakāt ‘urūdh at-tijārah) jika sudah memenuhi 2 (dua) kriteria yang sudah disebutkan. Rumah tersebut laku misalnya pada tanggal 1 Rabiulawal tahun 1446 H (sudah berlalu selama 1 tahun hijriah sejak tanggal diniatkan untuk dijual) dengan harga jual sebesar Rp1 miliar. Apakah orang tersebut wajib membayar zakat perdagangan (zakāt ‘urūudh at-tijārah)? Jika sudah wajib, berapa besarnya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu ditinjau 2 (dua) kriteria zakat perdagangan, yaitu nisab dan haul.

Kriteria pertama, ditinjau dari segi nisab, rumah tersebut yang nilainya Rp900 juta jelas sudah melampaui nisab untuk barang dagangan, yaitu 200 dirham, atau kira-kira Rp14,5 juta.

Kriteria kedua, ditinjau dari segi haul, barang dagangan itu sudah memenuhi kriteria haul, yaitu sudah berlalu dalam jangka waktu 1 tahun hijriah sejak tanggal diniatkan untuk dijual. Ini karena orang tersebut mulai berniat menjual rumahnya tanggal 1 Rabiulawal tahun 1445 H dan kemudian rumah itu laku satu tahun setelahnya, yaitu 1 Rabiulawal tahun 1446 H.

Dikarenakan sudah memenuhi dua kriteria zakat perdagangan, berarti muslim tersebut sudah wajib hukumnya mengeluarkan zakat perdagangan. Adapun besarnya zakat yang wajib dikeluarkan adalah = 2,5% dikalikan harga jual (Rp1 miliar) (bukan dikalikan harga beli atau harga di awal haul, yaitu Rp900 juta), yaitu = 2,5% x Rp1 miliar = Rp25 juta.

Akan tetapi, jika rumah itu misalnya sudah terjual pada bulan ke-6 (belum mencapai haul, yaitu satu tahun hijriah) sejak tanggal diniatkan dijual, berarti belum ada kewajiban zakat perdagangan, karena belum memenuhi kriteria kedua, yaitu kriteria haul (berlalu satu tahun hijriah) pada barang dagangan, sejak tanggal diniatkan dijual. Sebaliknya, jika rumah itu belum laku juga hingga pada bulan ke-15 (sudah lebih dari satu tahun hijriah), rumah itu sudah terkena kewajiban zakat, walaupun belum laku terjual. Wallahualam. [MNews/Rgl]