Selasa, 23 April 2024

hukum biaya admin dalam pinjaman

Fikih] Biaya Admin dalam Akad Pinjaman Adalah Riba
18 April 20244 min read
Oleh: K.H. M. Shiddiq Al-Jawi

Muslimah News, FIKIH — Tanya:

Asalamu ‘alaikum wr. wb. Ustaz, minta tolong bantu jawaban, kalau ada seseorang dapat tawaran pinjaman dari bank/koperasi tanpa bunga sama sekali, hanya ada biaya admin sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) saja dan bisa dicicil selama 3 bulan, apakah biaya admin ini masih termasuk riba? (Hamba Allah).

Jawab:
Wa‘alaikumussalam wr. wb.

Biaya admin tersebut sesungguhnya adalah riba, meskipun tidak dinamakan bunga. Hal ini karena riba dalam akad qardh (pinjaman) itu bisa bermacam-macam bentuk dan namanya. Bisa jadi riba dalam akad qardh (pinjaman) itu nama teknisnya adalah “bunga” (interest) dalam kasus kredit di perbankan. Atau mungkin riba itu diberi nama “denda” (fine) dalam kasus keterlambatan pembayaran angsuran kredit di bank, atau diberi nama “penalti” dalam kasus pelunasan kredit sebelum tenor berakhir di bank atau leasing. Kadang riba juga dinamakan “annual fee” atau iuran tahunan dalam kasus kartu kredit, dan sebagainya. Intinya adalah, jika dalam akad qardh (pinjaman) itu ada tambahan yang telah dipersyaratkan dalam perjanjian di awal, maka tambahan itu adalah riba yang haram hukumnya. Jadi, kata kunci yang menandakan eksistensi riba dalam akad pinjaman (qardh), adalah adanya tambahan yang telah dipersyaratkan (ziyādah masyrūthah). (Prof. ‘Ali Ahmad As-Sālūs, Mausū’ah Al-Qadhāyā Al-Fiqhiyyah Al-Mu’āshirah wa Al-Iqtishād Al-Islāmi, hlm. 82).

Oleh karena itu, biaya admin yang ditanyakan di atas jelas merupakan riba karena biaya admin tersebut faktanya adalah tambahan yang telah dipersyaratkan (ziyādah masyrūthah) di awal saat terjadinya transaksi dalam akad qardh (pinjaman) padahal para ulama telah sepakat tanpa khilafiah bahwa jika dalam akad qardh (pinjaman) disyaratkan adanya suatu tambahan (ziyādah), maka tambahan itu adalah riba.

Berikut ini sebagian kutipan pendapat ulama-ulama tersebut:

Pertama, kutipan dari Imam Ibnul Mundzir (w. 318 H/930 M).

قَالَ اْلإِماَمُ ابْنُ الْمُنْذِرِ: أَجْمَعُوْا عَلىَ أّنَّ الْمُسْلِفَ إِذَا شَرَطَ عَلىَ الْمُسْتَلِفِ زِياَدَةً أَوْ هَدِيَةً فَأَسْلَفَ عَلىَ ذَلِكَ، أَنَّ أَخْذَهُ الزِّياَدَةَ عَلىَ ذَلِكَ رِباً

Imam Ibnul Mundzir berkata, ”Mereka (para ulama) sepakat bahwa pemberi pinjaman jika mensyaratkan kepada peminjam suatu tambahan atau hadiah, lalu dia memberikan pinjaman atas dasar syarat itu, pengambilan tambahan atas pinjaman itu adalah riba.” (Ibnul Mundzir, Al-Ijmā’, hlm. 136).

Kedua, kutipan dari Imam Al-Jashshāsh (w. 370 H/981 M).

قَالَ اْلإِماَمُ اَلْجَصَّاصُ: وَلاَ خِلاَفَ أَنَّهُ لَوْ كاَنَ عَلَيْهِ أَلْفُ دِرْهَمٍ حاَلَةً، فَقاَلَ: أَجِّلْنِيْ أَزِيْدُكَ فِيْهاَ مِائَةَ دِرْهَمٍ، لاَ يَجُوْزَ…

Imam Al-Jashshash berkata, ”Tidak ada perbedaan pendapat bahwa kalau seseorang punya kewajiban membayar 1.000 dirham secara kontan, lalu dia berkata, ’Berilah aku tangguh dan aku akan memberi tambahan kepadamu 100 dirham,’ maka itu tidak boleh…” (Al-Jashshāsh, Ahkāmul Qur`ān, Juz I, hlm. 467).

Ketiga, kutipan dari Imam Ibnu ‘Abdil Barr (w. 463 H/1071 M).

  قَالَ اْلإِماَمُ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ: أَجْمَعَ الْعُلَماَءُ مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ عَلىَ أَنَّ الرِّباَ الَّذِيْ نَزَلَ باِلْقُرْآنِ تَحْرِيْمُهُ هُوَ: أَنْ يَأْخُذَ الدَّائِنُ لِتَأْخِيْرِ دَيْنِهِ بَعْدَ حُلُوْلِهِ عِوَضاً عَيْنِيّاً أَوْ عَرَضاً…

Imam Ibnu ‘Abdil Barr berkata, ”Telah sepakat para ulama dari generasi salaf dan khalaf, bahwa riba yang pengharamannya turun dalam Al-Qur’an adalah seorang pemberi utang mengambil kompensasi berupa uang atau barang karena penundaan pembayaran utangnya setelah jatuh tempo… (Ibnu ‘Abdil Barr, Al-Kāfī, Juz II, hlm. 633).

Dalam kitab yang sama, Imam Ibnu ‘Abdil Barr (w. 463 H/1071 M) juga berkata,

وَكُلُّ زِياَدَةٍ فِيْ سَلَفٍ أَوْ مَنْفَعَةٍ يَنْتَفِعُ بِهاَ الْمُسْلِفُ فَهِيَ رِباً وَلَوْ كاَنَتْ قَبْضَةً مِنْ عَلَفٍ، وَذَلِكَ حَرَامٌ إِنْ كاَنَ بِشَرْطٍ

”Setiap tambahan dalam akad pinjaman (salaf/qardh) atau setiap manfaat yang dinikmati oleh pemberi pinjaman (qardh) maka ia adalah riba, meskipun itu hanya segenggam pakan ternak. Itu haram jika disyaratkan.” (Ibnu Abdil Barr, Al-Kāfī, Juz II, hlm. 359).

Keempat, kutipan dari Imam Ibnu Qudamah (w. 629 H/1223 M).

قَالَ اْلإِماَمُ ابْنُ قُدَامَةَ كُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيْهِ أَنْ يَزِيْدَهُ فَهُوَ حَرَامٌ بِغَيْرِ خِلاَفٍ

Imam Ibnu Qudamah berkata,”Setiap pinjaman (qardh) yang mensyaratkan adanya tambahan (ziyādah) padanya, maka tambahan itu haram tanpa perbedaan pendapat (di kalangan ulama).” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Juz IV, hlm. 360).

Kelima, kutipan dari Imam Ibnu Taimiyah (w. 728 H/1328 M).

 قَالَ اْلإِماَمُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ : وَقَدِ اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلىَ أَنَّ الْمُقْتَرِضَ إِذَا اشْتَرَطَ زِياَدَةً عَلىَ قَرْضِهِ كَانَ ذَلِكَ حَرَاماً

Imam Ibnu Taimiyyah berkata,”Para ulama telah sepakat bahwa pemberi pinjaman (qardh) jika mensyaratkan tambahan atas pinjamannya (qardh) maka tambahan itu hukumnya haram.” (Ibnu Taimiyah, Majmū’ul Fatāwā, Juz XXIX, hlm. 334).

Dari berbagai kutipan pendapat para ulama di atas, jelaslah bahwa tambahan yang disyaratkan (ziyādah masyrūthah) di awal saat terjadinya akad qardh (pinjaman), adalah riba yang hukumnya haram dalam Islam. Para ulama tersebut berdalil dengan beberapa hadis yang menunjukkan haramnya hadiah atau manfaat yang muncul dari akad qardh (pinjaman), di antaranya adalah sabda Rasulullah saw.,

إِذَا أَقْرَضَ فَلاَ يَأْخُذْ هَدِيَةً

“Jika seseorang memberi pinjaman (qardh), janganlah dia mengambil suatu hadiah.” (HR Bukhari, dalam At-Tārīkh Al-Kabīr, 4/2/231; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubrā, V/530).

Para ulama itu juga berdalil dengan sabda Rasulullah saw.,

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوهِ الرِّبَا

“Tiap-tiap pinjaman (qardh) yang menimbulkan manfaat (bagi pemberi pinjaman, al-muqridh) maka itu adalah satu jenis di antara berbagai jenis riba.” (HR Al-Baihaqi, As-Sunan, 5/530).

Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa apa yang ditanyakan di atas, yaitu adanya biaya admin sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) pada akad pinjaman (qardh) dari bank atau koperasi kepada seorang peminjam (mustaqridh, debitur), adalah riba yang hukumnya haram, walaupun disebut biaya admin dan tidak disebut “bunga”.

Kami tegaskan pula bahwa setiap tambahan yang disyaratkan (ziyādah masyrūthah) pada akad qardh (pinjaman), walau pun namanya bermacam-macam, hakikatnya adalah riba, baik itu dinamakan bunga maupun diberi nama lain, semisal hadiah, bonus, denda, penalti, biaya admin, annual fee, ataupun istilah-istilah lainnya. Semuanya adalah riba jika pada saat terjadinya akad qardh (pinjaman), adanya tambahan itu dipersyaratkan atau diperjanjikan di awal.

Adapun jika adanya tambahan atau hadiah itu tidak dipersyaratkan di awal pada saat akad qardh (pinjaman), di sini ada perbedaan pendapat (ikhtilaf) di kalangan ulama. Sebagian ulama menganggap tambahan itu hukumnya boleh, asalkan pemberian tambahan itu atas inisiatif sendiri dari pihak yang meminjam. Namun, sebagian ulama lain tetap tidak memperbolehkan adanya tambahan tersebut. Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, jika tambahan itu diberikan sebagai hadiah kepada pemberi pinjaman, hukumnya dirinci. Jika peminjam sudah biasa memberi hadiah kepada pemberi pinjaman, hukumnya boleh. Tapi jika tidak biasa, hukumnya haram. Pendapat Imam Taqiyuddin An-Nabhani ini sejalan dengan pendapat Imam Syaukani dalam kitabnya Naylul Awthār (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, hlm. 340—342; Imam Syaukani, Naylul Awthār, Juz V, hlm. 275).

Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw.,

‏إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ فَلَا يَرْكَبْهَا وَلَا يَقْبَلْهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ

“Jika salah seorang dari kamu memberi pinjaman (qardh) (kepada orang lain), lalu yang meminjam itu memberi dia hadiah, atau menaikkannya di atas tunggangannya, maka janganlah dia menaiki tunggangan itu dan jangan pula menerima hadiahnya, kecuali hal itu sudah biasa terjadi sebelumnya antara yang memberi pinjaman dan yang meminjam.” (HR Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, no. 2432). Wallahualam. [MNews/Rgl]

Rabu, 27 Maret 2024

Hukum pekerja berat puasa

Fikih] Bolehkah Pekerja Berat Tidak Berpuasa?

Oleh: K.H. M. Shiddiq al-Jawi

Muslimah News, FIKIH — Tanya: Ustaz, bolehkah pekerja berat, seperti buruh bangunan, buruh pembangun jalan, tidak berpuasa Ramadan?

Jawab:

Para ulama berbeda pendapat apakah pekerja berat boleh tidak berpuasa atau tetap wajib berpuasa Ramadan.

Pertama, pendapat jumhur ulama bahwa pekerja berat tetap wajib sahur dan berniat puasa pada malam hari, lalu melaksanakan puasa sekuat kemampuannya. Jika di tengah puasanya itu kemudian mereka merasakan haus atau lapar yang hebat yang dikhawatirkan terjadi dharar (bahaya) atas diri mereka, baru boleh tidak berpuasa, dan mereka wajib mengqada, disamakan dengan orang sakit (mariidh). (QS Al-Baqarah:184). Bahkan jika terjadinya dharar itu sudah menjadi kepastian, bukan sekadar kekhawatiran, mereka wajib berbuka (QS An-Nisaa:29).

Secara umum pekerja berat oleh jumhur fukaha digolongkan mukalaf yang tetap wajib berpuasa, karena tidak ada dalil syar’i khusus yang memberikan rukhsah (keringanan) kepada mereka, kecuali terjadi dharar. Pendapat ini disebutkan Syekh Wahbah Zuhaili dan dinisbahkannya kepada jumhur ulama, yaitu ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, sesuai penjelasan Imam Abu Bakar Al-Ajiri dalam kitab Kasyaful Qina’ (2/361) dan Ghayatul Muntaha (1/323). (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 3/79). Ulama kontemporer yang berpendapat semisal ini antara lain Syekh Shaleh al-Fauzan, Syekh Nashiruddin al-Albani, dan Syekh Utsaimin. 

Kedua, pendapat sebagian ulama bahwa pekerja berat boleh tidak berpuasa dan cukup membayar fidiah, selama mereka tidak mampu berpuasa dan tidak berkesempatan untuk mengqada puasanya. Jika mereka berkesempatan mengqada, mereka boleh tidak berpuasa, tetapi wajib mengqada. Ini pendapat sebagian ulama Hanafiyah, seperti penulis kitab Hasyiah Ibnu Abidin (2/420). Ulama kontemporer yang berpendapat seperti ini antara lain Syekh Yusuf Qaradhawi.

Secara umum pekerja berat disamakan dengan laki-laki/perempuan tua, atau orang sakit yang tidak ada harapan sembuh, yang tidak mampu lagi berpuasa dan dicukupkan dengan fidiah. Mereka mendapat rukhsah sesuai firman Allah (artinya), ”Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidiah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (QS Al-Baqarah:184). (Yusuf Qaradhawi, Fiqh ash-Shiyam, hlm. 59).

Menurut kami, yang rajih (kuat) pendapat pertama, karena tiga alasan sbb.:

Pertama, mengamalkan pendapat pertama berarti mengamalkan dua dalil (jama’), yaitu dalil wajibnya puasa (QS Al-Baqarah:183) dan dalil wajibnya mencari nafkah (QS Al-Baqarah:233). Sedangkan pendapat kedua, mengamalkan satu dalil saja atas dasar tarjih, yaitu dalil wajibnya mencari nafkah (QS Al-Baqarah:233). Kaidah usul fikih:  i’mal al dalilain awlaa min ihmal ahadihima bi al kulliyah (mengamalkan dua dalil lebih utama daripada mengabaikan salah satunya secara menyeluruh). (Taqiyuddin An Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 3/491).

Kedua, pendapat pertama mengamalkan azimah (hukum asal), yaitu wajibnya berpuasa, sedangkan pendapat kedua mengamalkan rukhsah. Pengamalan azimah sudah yakin dalilnya, sedangkan mengamalkan rukhsah masih diragukan karena tidak ada dalil khusus yang memberi rukhsah bagi pekerja berat. Kaidah fikih: al-yaqiin laa yazuulu bi as syakk (keyakinan tidak dapat hilang dengan keraguan). (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazha`ir, hlm. 50).

Ketiga, pendapat pertama lebih tepat tahqiq manath-nya, sebab pekerja berat yang mengalami dharar lebih tepat digolongkan kepada orang sakit yang ada harapan sembuh (QS Al-Baqarah: 184), bukan digolongkan kepada laki-laki/perempuan tua, atau orang sakit yang tiada harapan sembuh (QS Al-Baqarah:184). Kelompok terakhir ini kondisinya tidak mungkin pulih, yakni tidak mungkin menjadi muda lagi, atau sembuh lagi. Ini berbeda dengan pekerja berat yang kondisinya dapat pulih, sama dengan orang sakit yang ada harapan sembuh. Wallahualam. [MNews/Rgl]