Rabu, 27 Maret 2024

Hukum pekerja berat puasa

Fikih] Bolehkah Pekerja Berat Tidak Berpuasa?

Oleh: K.H. M. Shiddiq al-Jawi

Muslimah News, FIKIH — Tanya: Ustaz, bolehkah pekerja berat, seperti buruh bangunan, buruh pembangun jalan, tidak berpuasa Ramadan?

Jawab:

Para ulama berbeda pendapat apakah pekerja berat boleh tidak berpuasa atau tetap wajib berpuasa Ramadan.

Pertama, pendapat jumhur ulama bahwa pekerja berat tetap wajib sahur dan berniat puasa pada malam hari, lalu melaksanakan puasa sekuat kemampuannya. Jika di tengah puasanya itu kemudian mereka merasakan haus atau lapar yang hebat yang dikhawatirkan terjadi dharar (bahaya) atas diri mereka, baru boleh tidak berpuasa, dan mereka wajib mengqada, disamakan dengan orang sakit (mariidh). (QS Al-Baqarah:184). Bahkan jika terjadinya dharar itu sudah menjadi kepastian, bukan sekadar kekhawatiran, mereka wajib berbuka (QS An-Nisaa:29).

Secara umum pekerja berat oleh jumhur fukaha digolongkan mukalaf yang tetap wajib berpuasa, karena tidak ada dalil syar’i khusus yang memberikan rukhsah (keringanan) kepada mereka, kecuali terjadi dharar. Pendapat ini disebutkan Syekh Wahbah Zuhaili dan dinisbahkannya kepada jumhur ulama, yaitu ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, sesuai penjelasan Imam Abu Bakar Al-Ajiri dalam kitab Kasyaful Qina’ (2/361) dan Ghayatul Muntaha (1/323). (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 3/79). Ulama kontemporer yang berpendapat semisal ini antara lain Syekh Shaleh al-Fauzan, Syekh Nashiruddin al-Albani, dan Syekh Utsaimin. 

Kedua, pendapat sebagian ulama bahwa pekerja berat boleh tidak berpuasa dan cukup membayar fidiah, selama mereka tidak mampu berpuasa dan tidak berkesempatan untuk mengqada puasanya. Jika mereka berkesempatan mengqada, mereka boleh tidak berpuasa, tetapi wajib mengqada. Ini pendapat sebagian ulama Hanafiyah, seperti penulis kitab Hasyiah Ibnu Abidin (2/420). Ulama kontemporer yang berpendapat seperti ini antara lain Syekh Yusuf Qaradhawi.

Secara umum pekerja berat disamakan dengan laki-laki/perempuan tua, atau orang sakit yang tidak ada harapan sembuh, yang tidak mampu lagi berpuasa dan dicukupkan dengan fidiah. Mereka mendapat rukhsah sesuai firman Allah (artinya), ”Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidiah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (QS Al-Baqarah:184). (Yusuf Qaradhawi, Fiqh ash-Shiyam, hlm. 59).

Menurut kami, yang rajih (kuat) pendapat pertama, karena tiga alasan sbb.:

Pertama, mengamalkan pendapat pertama berarti mengamalkan dua dalil (jama’), yaitu dalil wajibnya puasa (QS Al-Baqarah:183) dan dalil wajibnya mencari nafkah (QS Al-Baqarah:233). Sedangkan pendapat kedua, mengamalkan satu dalil saja atas dasar tarjih, yaitu dalil wajibnya mencari nafkah (QS Al-Baqarah:233). Kaidah usul fikih:  i’mal al dalilain awlaa min ihmal ahadihima bi al kulliyah (mengamalkan dua dalil lebih utama daripada mengabaikan salah satunya secara menyeluruh). (Taqiyuddin An Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 3/491).

Kedua, pendapat pertama mengamalkan azimah (hukum asal), yaitu wajibnya berpuasa, sedangkan pendapat kedua mengamalkan rukhsah. Pengamalan azimah sudah yakin dalilnya, sedangkan mengamalkan rukhsah masih diragukan karena tidak ada dalil khusus yang memberi rukhsah bagi pekerja berat. Kaidah fikih: al-yaqiin laa yazuulu bi as syakk (keyakinan tidak dapat hilang dengan keraguan). (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazha`ir, hlm. 50).

Ketiga, pendapat pertama lebih tepat tahqiq manath-nya, sebab pekerja berat yang mengalami dharar lebih tepat digolongkan kepada orang sakit yang ada harapan sembuh (QS Al-Baqarah: 184), bukan digolongkan kepada laki-laki/perempuan tua, atau orang sakit yang tiada harapan sembuh (QS Al-Baqarah:184). Kelompok terakhir ini kondisinya tidak mungkin pulih, yakni tidak mungkin menjadi muda lagi, atau sembuh lagi. Ini berbeda dengan pekerja berat yang kondisinya dapat pulih, sama dengan orang sakit yang ada harapan sembuh. Wallahualam. [MNews/Rgl]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar