Senin, 30 April 2018

Jilbab dan kerudung

PERBEDAAN JILBAB DAN KERUDUNG DALAM SYARIAT ISLAM

Oleh : KH. Muhammad Shiddiq Al-Jawi

Pada saat ini masyarakat umum di Indonesia mengartikan jilbab sebagai kerudung. Penggunaan istilah jilbab untuk menunjukkan makna kerudung seperti ini tidak tepat. Karena sebenarnya terdapat perbedaan antara kerudung dengan jilbab.

Kerudung dalam Al Qur`an disebut dengan istilah “khumur” (plural dari khimaar) bukan dengan istilah ”jilbab”. Kata “khumur” terdapat dalam firman Allah SWT (artinya),”Dan hendaklah mereka (para wanita) menutupkan kain kerudung ke dada mereka.” (Arab : walyadhribna bi-khumurihinna ‘ala juyuubihinna).” (QS An Nuur [24] : 31).

Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Ibnu Katsirmenjelaskan bahwa yang dimaksud “khimaar” adalah apa-apa yang digunakan untuk menutupi kepala (maa yughaththa bihi ar ras`su) (Tafsir Ibnu Katsir, 4/227). Dengan kata lain, tafsir dari kata “khimaar” tersebut jika dialihkan ke dalam bahasa Indonesia artinya adalah kerudung. Inilah yang saat ini secara salah kaprah disebut “jilbab” oleh masyarakat umum Indonesia.

Adapun istilah “jilbab” dalam Al Qur`an, terdapat dalam bentuk pluralnya, yaitu “jalaabiib”. Ayat Al Qur`an yang menyebut kata “jalaabiib” adalah firman Allah SWT (artinya),”Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin,’Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (Arab : yudniina ‘alaihinna min jalaabibihinna). (QS Al Ahzab [33] : 59).

Menafsirkan ayat ini, Imam Al Qurthubi berkata,”Kata jalaabiib adalah bentuk jamak dari jilbab, yaitu baju yang lebih besar ukurannya daripada kerudung (akbar min al khimar). Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa jilbab artinya adalah ar ridaa` (pakaian sejenis jubah/gamis).

Ada yang berpendapat jilbab adalah al qinaa’ (kudung kepala wanita atau cadar). Pendapat yang sahih, jilbab itu adalah baju yang menutupi seluruh tubuh (al tsaub alladzy yasturu jamii’ al badan).” (Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, 14/107).

Dari keterangan Imam Al Qurthubi di atas, jelaslah bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai arti “jilbab”. Memang terdapat satu qaul (pendapat) yang mengatakan “jilbab” artinya adalah “al qinaa’” yang dapat diindonesiakan sebagai “kudung kepala wanita” atau juga dapat diartikan sebagai “cadar” (sesuatu yang menutupi wajah, maa yasturu bihi al wajhu). (A.W. Munawwir, Kamus Al Munawwir, hlm. 1163; Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 283).

Mungkin qaul inilah yang masyhur di Indonesia, sehingga kemudian jilbab lebih populer dimaknai sebagai kerudung.

Namun qaul tersebut dianggap lemah oleh Imam Al Qurthubi, sehingga beliau menguatkan pendapat bahwa jilbab itu bukanlah kerudung atau cadar, melainkan baju yang menutupi seluruh tubuh (al tsaub alladzy yasturu jamii’ al badan).” (Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, 14/107).

Pendapat yang dinilai rajih (kuat) oleh Imam Qurthubi inilah yang sebenarnya lebih masyhur dalam kitab-kitab tafsir ataupun kamus. Dalam kitab kamus Al Mu’jamul Wasith, misalnya, disebutkan jilbab adalah baju yang menutupi seluruh tubuh (al tsaub al musytamil ‘ala al jasadi kullihi).

Jilbab juga diartikan apa-apa yang dipakai wanita di atas baju-bajunya seperti milhafah(mantel/baju kurung) (maa yulbasu fauqa tsiyaabiha ka al milhafah).  (Al Mu’jamul Wasith, hlm. 126).

Senada dengan itu, menurut Syekh Rwwas Qal’ah Jie, jilbab adalah suatu baju yang longgar yang dipakai wanita di atas baju-bajunya (baju kerja/rumah) (tsaub wasi’ talbasuhu al mar`ah fauqa tsiyaabiha) (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 126).

Demikian juga menurut Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya At Tafsir Al Munir fi Al ‘Aqidah wa Al Syari’ah wa Al Manhaj, beliau memberikan makna serupa untuk kata jilbab.

Jilbab menurut Syekh Wahbah Zuhaili adalah baju panjang (al mula`ah) yang dipakai perempuan seperti gamis, atau baju yang menutup seluruh tubuh. (Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 22/114).

Kesimpulannya, kerudung itu berbeda dengan jilbab. Jilbab artinya bukan penutup kepala, melainkan baju terusan yang longgar yang dipakai di atas baju rumah.

Wallahu a’lam bisshowwab.

----------------------------------------

Catatan tambahan :

Mengenai tafsir ayat wal-yadhribna bi-khumurihinna ‘ala juyubihinna (QS 24 : 31), Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam (2003) hal. 68-69 mengatakan, kata khumur adalah bentuk jamak dari khimaar, yang artinya adalah maa yughathha bihi ar-ra`su (apa-apa yang digunakan untuk menutupi kepala). Ringkasnya, khumur adalah kerudung. Sedang juyuub adalah bentuk jamak jayb, yang artinya maudhi’ al-qath’i min al-dir’i wa al-qamish (tempat yang dipotong/terbuka pada baju atau kemeja). Ringkasnya, jayb adalah kerah/lubang baju. Jadi, perintah untuk mengulurkan kerudung (khimar) di atas krah (juyub), artinya adalah perintah menutupkan kerudung ke atas krah/lubang baju.

(Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam (2003), hal. 69).

*Hukum memproduksi/ menjual belikan barang KW*

*Hukum memproduksi/ menjual belikan barang KW*

Oleh KH. M. Shiddiq al-Jawi, MSI

Barang KW adalah barang tiruan/imitasi dari barang yang asli (original). Kata KW berasal dari “kwalitas” yang konotasinya “imitasi” atau “tiruan”. Awalnya istilah KW digunakan untuk tas tangan wanita tiruan bermerek, yang digunakan oleh pedagang untuk membedakan kategori kwalitas dan range (kisaran) harganya. Missal “KW super” untuk barang tiruan terbaik mendekati aslinya, “KW1” untuk barang tiruan diperingkat dibawahnya, dan seterusnya. Akhirnya istilah barang KW digunakan secara luas untuk produk-produk tiruan lainnya, seperti HP, jam tangan, baju bermerek dsb.

Hukum syar’I menjualbelikan barang KW adalah haram, dengan dua alasan sbb: pertama, karena penjual barang KW telah menjual barang dengan merek orang lain yang bukan merek milik sendiri. Padahal syara’ telah mengakui adanya nilai finansial pada merek, yaitu diakui sebagai manfaat yang mempunyai nilai harta (maaliyatul manfaah).

Dalilnya hadits-hadits Rosulullah SAW yang menunjukan bahwa manfaat/jasa itu secara umum mempunyai nilai harta (maaliyatul manfaah). Rosulullah SAW pernah menikahkan seorang sahabat dengan mahar berupa manfaat/jasa mengajarkan Alquran, dengan bersabda: “Aku Nikahkan kamu dengan perempuan itu dengan Alquran yang ada padamu.”(HR.Bukhari, no.2186).

Syeikh Ziyad Ghazal menjelaskan hadits itu dengan berkata “dalam hadits ini Rosulullah SAW telah menjadikan manfaat mengajarkan Alquran sebagai harta, sebagaimana dikatakan imam ibnu rajab al hanbali, “kalau manfaat itu bukan bernilai harta, niscaya manfaat tidak sah untuk tujuan ini (sebagai mahar).”(Ibnu Rajab Al Hanbali, Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, hlm 123).

Maka dari itu, pelanggaran hak (al I’tida’) terhadap merek dengan melakukan pemalsuan/peniruan (imitation, taqliid) adalah haram hukumnya, karena termasuk kecurangan/penipuan (al Ghisy) yang telah diharamkan islam, sesuai sabda Rosulullah SAW, “barangsiapa yang melakukan penipuan/kecurangan (ghisy), maka dia bukanlah dari golongan kami.”(HR. Muslim, no. 164).(Ziyad Ghazal, Masyru’ Qanun Al Buyu’ fi ad Daulah Al Islamiyyah, hlm.133-134).

Kedua, karena penjual barang KW telah menyembunyikan cacat pada barang dagangan (tadliis fi al bai’), karena kualitas barang yang dijualnya tidak sama kualitasnya dengan barang asli. Rosulullah SAW bersabda, “seorang muslim adalah saudara muslim lainnya, dan tidaklah halal seorang muslim menjual kepada saudaranya barang yang ada cacatnya, kecuali dia menerangkan cacatnya kepada saudaranya.”(HR Ibnu Majah, no.2246).(Ziyad Ghazal. Masyru’ Qanun Al Buyu’ fi Ad Daulah Al Islamiyyah, hlm. 134).

Sebagaimana haramnya menjualbelikan, haram pula memproduksi dan menggunakan barang KW. Haramnya memproduksi barang KW berdasarkan kaidah fiqih: al shinaa’ah ta’khudzu hukma maa tuntijuhu (hukum memproduksi barang bergantung pada produk yang dihasilkan).(taqiyuddin Nabhani, Muqadimmah Al Dustur, 2/135; Abdurrahman Maliki, Al Siyasah Al Iqtishadiyyah Al Mutsla, hlm.29-30). Dalam hal ini barang yang dihasilkan adalah barang KW yang haram dijualbelikan, maka memproduksi barang KW hukumnya juga haram.

Adapun keharaman menggunakan barang KW dikarenakan barang KW diperoleh melalui akad jualbeli yang tidak sah, yang implikasinya adalah tak adanya kebolehan memanfaatkan (ibahatul intifa’) pada barang yang dibeli. Jadi akad jualbeli yang sah menjadi sebab bolehnya pemanfaatan. Sebaliknya jika sebab itu tidak ada, yakni akad jual belinya tidak sah, berarti bolehnya pemanfaatan itu tidak ada. Kaidah fiqih menyebutkan : Zawal al ahkam bi zawal asbabiha,(hukum-hukum itu menjadi tiada disebabkan tiada sebab-sebabnya). (Izzudin bin abdis salam, Qawa’id Al Ahkam fi mashalih al anam, 2/4).

Kesimpulan

1- Siapa yang menjual barang KW (imitasi) dengan membuat kesan bahwa seakan-akan barang itu asli seperti dengan menggunakan merek terdaftar, tidaklah boleh. Penjual yang melakukan seperti itu berdosa karena melakukan penipuan.

2- Jika sudah ada keterusterangan bahwa yang dijual adalah barang KW (imitasi) dan digunakan merek yang berbeda dengan merek terdaftar, maka tidaklah termasuk pelanggaran, juga tidak melanggar aturan undang-undang.

3- Adapun jika yang dijual adalah dengan merek terdaftar dan penjual terus terang bahwa barang tersebut KW, maka ia melakukan pelanggaran: (1) melanggar hak orang lain berupa merek, (2) bagi produsen, menyelisihi

Minggu, 29 April 2018

Sistem Pendidikan Islam

/ Sistem Pendidikan Islam, Wujudkan Insan Cemerlang /

Oleh: Chusnatul Jannah (Lingkar Studi Perempuan Peradaban)

#MuslimahNewsID -- Hari Pendidikan Nasional sebentar lagi digelar. Namun, sudahkan pendidikan kita mengalami keberhasilan? Pendidikan menjadi modal dasar dalam membangun peradaban. Baik buruknya sistem pendidikan akan menjadi penentu kualitas generasi. Siapapun yang menjadi pendidik di tengah kurikulum yang sering berganti pasti pernah mengalami kegalauan hingga di titik tertinggi.

Bagaimana tidak, rusaknya generasi yang kian menjadi membuat lubuk hati menyimpan tanda tanya besar. Beragam kurikulum pernah dijajal namun tak membuahkan hasil signifikan. Hasil penelitian Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) kualitas pendidikan di Indonesia masih di bawah Ehtiopia dan Filipina.

Pendidikan karakter yang digadang-gadang sebagai penyelemat dan solusi, nyatanya belum menunjukkan bukti keberhasilannya. Yang ada generasi muda semakin beringas tingkahnya hingga menurunkan akal dan logika sebagai manusia. Kekerasan masih menjadi PR besar. Di awal tahun 2018, KPAI mencatat terjadinya kekerasan fisik pada anak sebanyak 72%. Diantaranya kekerasan psikis 9%, kekerasan finansial 4%, dan kekerasan seksual 2%.

                                                                                                                                                                                        Di tingkat Asia, kekerasan pendidikan di Indonesia berada di urutan lebih tinggi dibandingkan Vietnam (79%), Nepal (79 persen), Kamboja (73 persen), dan Pakistan (43 persen). Kasus kekerasan pada guru juga marak terjadi. Masih segar dalam ingatan, kematian guru SMAN 1 Torjun, Sampang, akibat dianiayai siswanya sendiri. Pemukulan wali siswa terhadap Kepala SMP N 4 Lolak, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara juga ikut mewarnai buramnya pendidikan di negeri ini. 

/ Sistem Sekuler: Biang Kerusakan /

Beragam kasus kekerasan menjadi bukti generasi sekarang semakin tak terkendali. Penganiayaan dan pelaporan terhadap orangtua kepada guru  kerap terjadi tanpa dilakukan klarifikasi atau sekedar berdiskusi mencari solusi secara kekeluargaan. Susah benar mendidik generasi milenial zaman sekarag. Tutur kata tak lagi menunjukkan penghormatan kepada sang guru. Berani melawan hinggga tega membunuh sang Ibu tatkala diingatkan.

Pada akhirnya, guru hanya sekedar mengajar, bukan mendidik karena sudah dirundung keputusasaan. Orangtua yang kurang perhatian terhadap anak mereka, pasrah saja kepada sekolah tanpa memonitor perkembangan pendidikannya di sekolah. Yang penting sarana administrasi sudah terpenuhi, pikir mereka. Sempurnalah kehancuran kepribadian generasi. Guru tak perhatian, orangtua tak memberi kasih sayang. Negara tak menjamin pelayanan pendidikan yang dibutuhkan.

Memang susah mendidik di sistem sekuler. Mereka hanyalah korban. Yang mereka butuhkan adalah perhatian dan kelembutan dari tangan-tangan teladan, guru dan orangtua. Di tengah langkanya peran negara, kesadaran pendidiklah  yang dibutuhkannya. Kasih sayang orangtualah tempat bernaungnya. Namun, apa daya, lagi-lagi sistem merusak mereka.

Sistem sekuler – liberal yang  jahat telah menelanjangi iman setiap insan. Islam tak lagi dijadikan pedoman dalam kehidupan. Keimanan pun dinomorduakan. Islam hanya sebagai agama ritual sekedar wujudkan rukun Islam. Rukun Iman hanya terucap di lisan. Minim dalam perbuatan. Berharap generasi membaik tatkala sistem sekuler yang diterapkan hanyalah khayalan.

/ Islam Wujudkan Generasi Cemerlang /

Mari kita lihat dan resapi, rahasia peradaban yang terkubur bahkan muslim saja tak tahu mereka pernah memiliki peradaban tinggi yang melahirkan generasi cemerlang.

Di masa Islam menaungi banyak negeri, lahirlah cendekiawan dan ilmuwan yang ahli berbagai bidang. Semisal Al Khawarizmi, seorang ahli matematika, dikenal Barat dengan Algebra atau Aljabar. Dengan kecerdasannya, beliau merumuskan hitungan matematika jauh lebih mudah dengan angka nol ketika kala itu Peradaban Romawi masih menggunakan angka romawi yang susah dipelajari.

Seorang ahli kimia, Jabir Ibnu Hayyan atau dikenal dengan nama Ibnu Geber hingga rumusan beliau menjadi dasar bagi ilmuwan Barat di bidang kimia. Bapak kedokteran dunia, Ibnu Sina atau dikenal Avicenna, Ibnu Rusyd, Al Farabi, dan lainnya menjadi bukti bahwa ulama di masa peradaban islam tak melulu lihai dalam ilmu agama, namun juga menguasai ilmu umum, sains dan teknologi.

Kegemilangan Islam dan peradabannya di pentas dunia membuat Barat segan terhadapnya.  Karena faktor keberhasilan mereka adalah keimanan dan keilmuannya. Tak adakah rasa rindu kita mewujudkan generasi milenial menjadi generasi terbaik seperti pendahulu mereka? Sudah saatnya selamatkan generasi kita. Teladan sudah ada, contoh perwujudannya sudah tercatat dalam sejarah. Bahwa satu-satunya kunci ketinggian peradaban generasi terdahulu adalah menjadikan Islam sebagai jalan hidup.  Dengan kurikulum yang berlandaskan aqidah Islam dan Negara meriayah, bukan sebuah utopia lahir generasi yang tinggi akhlaknya, cerdas akalnya, dan kuat imannya.

Berharap pada sistem kapitalisme yang beraqidah sekulerisme, bukanlah solusi mendasar menyelesaikan persoalan generasi yang kian brutal dan minus kepribadian. Hanya Islam yang mampu. Tentu saja, jika Islam dijadikan landasan dalam kehidupan individu, masyarakat, dan negara.

Sistem pemerintahan islam tak sekedar sebagai juru selamat nusantara, tapi juga dunia. Sistem Khilafah sebutannya.  Selama 13 abad, sistem Khilafah mampu membangun generasi beriman dan berilmu.

Ditopang oleh ekonomi Islam yang menyejahterakan dan kebijakan yang bersumber pada Syariat Islam, hak pendidikan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Menjadi suatu keniscayaan lahirlah umat terbaik tatkala Khilafah yang dijanjikan terwujud kembali.

Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta'ala yang berbunyi:

هُوَ الَّذى أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِا لْهُدَى وَدِيْنِ الْْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْن

“Dia-lah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai”. [At-Taubah/9 : 33]. Wallahu a’lam.

——————————
/ Silakan share dengan mencantumkan sumber Muslimah News ID - Berkarya untuk Umat /

Sabtu, 28 April 2018

Teks doa

Bismillahirohmanirohim

astaghfirullah hal adzim alladzi 3x
laa ilaha illa huwal hayyul Qayyum wa atubu ilaih

Allahumma antassalam waminkassalam tabarakta ya dzaljalali Wal Ikram

Allahumma Sholiala Sayyidina Muhammad waala ali sayidina muhammad.

Allahummaghfir Lil muslimina wal muslimat wal mukminina wal mukminat Al Ahya minhum Wal amwat

Allahummaghfirli waliwalidayya warhamhuma Kama robbayani soghiro

Ya Allah kami berkumpul di sini dalam rangka kepadamu untuk menolong agamamu maka tolonglah kami ya Allah karena sesungguhnya engkau menolong orang-orang yang menolong Agamamu

ya Ghofar, ampunilah kami ya Allah Hanya engkau yang dapat mengampuni dosa-dosa kami kami tidak sanggup menerima siksaan Mu yang sangat pedih

ya rohman ya rohim sayangilah kami rahmatilah kami jauhkanlah kami dan keluarga kami dari siksa api neraka

Ya robb istiqomahkan kami pada jalan yang kami pilih jalan kaum muslimin wal muslimat jalan yang mengikuti ajaran Rasulullah SAW wassalam

Ya Allah jangan cabut nikmat nikmat Iman, nikmat Islam, nikmat hidup dalam jamaah ini

Ya Rozak Berilah kami Rizki yang barokah yang halal yang kami infaqkan di jalan-mu Ya Allah Sesungguhnya kenikmatan dunia adalah semu karena setiap kesenangan ini akan berakhir setiap benda akan menjadi usang dan setiap orang akan beranjak tua kemudian meninggal karenanya

Ya Allah selayaknya kami berharap pada dunia yang fana ini kehidupan akhirat yang seharusnya menjadi tujuan kami kami hanya menginginkan Surgamu

Ya Rabb Ya Allah kami berlindung kepadaMu dari kegundahan dan kesedihan dan kami berlindung kepadaMu dari kelemahan dan kemalasan dan kami berlindung kepadaMu dari sifat penakut dan bahkan dan kamu berlindung kepadaMu dari terlilit hutang dan pemaksaan orang lain

Robbana dzolamna anfusana wailam tagfirlana watarhamana Lana kunnana minalkhosirin

Inna nas'aluka salamatan fiddin waafiyata firizqi wa ziyadatan fil ilmi
wa barakatan Fi rizki wa taubatan qoblal maut warahmatan Indal maut wa maghfiratan ba'dama

Allahumma inna Nas aluka Ilman nafian warizqon wasi'ah wa amalan mutaqobalan

Robbana Atina Fiddunya Hasanah wafil akhirati Hasanah waqina adzabannar

Subhana rabbika rabbil izzati amma yasifun wasalamun alal mursalin walhamdulillahi rabbil alamin

Selasa, 17 April 2018

Contoh tata tertib grup wa

السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Bagi ukhti fillah yang baru bergabung di grup ini.
Kami share lagi ya, about RSCC

🌸grup WA RSCC (Remaja Smart Club Cirebon)  yaitu wadah remaja, muslimah  sholihah bertujuan :
1. Mendapatkan ilmu keIslaman dan "kekinian"
2. Menguatkan semangat hijrah
3. Membangun pemikiran remaja tuk smart & kritis
4. Bertukar informasi
5. Menjalin ukhwah sesama anggota RSCC

📕Peraturannya :
1. Semua anggota dipersilahkan aktif meramaikan grup, boleh diskusi, bertanya.
2. Jika ingin memposting apapun silahkan izin kepada admin
3. Semua postingan dari admin boleh disebarluaskan tanpa izin
4. Berkata sopan ☺
5. Boleh izin keluar jika dirasa grup ini kurang bermanfaat
6. Mohon maaf untuk tidak promosi barang (back to visi grup😊)
7. Menerima kritik dan saran ke RSCC japri ke admin

🌷Agenda rutin RSCC
1. Kajian keIslaman dan terstruktur di grup WA RSCC
2. Diskusi on line setiap sabtu malam ahad
3. Kajian rutin bulanan setiap minggu ke 4
4. Out bont (jadwal menyusul)
5. Pesantren kilat
6. Kuis di grup wa setiap minggu ke 3
7. Kajian intensiv mingguan
(Bagi ade2 yg berminat/ calon pengurus RSCC)

Jazakillah khoir ☺

السلام عليكم   ورحمة الله و بركاته
📢 Bagi kamu remaja gaul dan syar'i
Yuk gabung di grup wa

Let's join with RSCC
https://chat.whatsapp.com/J09oOTZ4Ci4Jvm4RvLdOne

Kamis, 12 April 2018

Hukum mengarang fiksi


HUKUM MENGARANG CERITA FIKSI
Oleh: KH Shiddiq Al Jawi
=================================================
Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai hukum membuat kisah fiksi (qashsash khayaaliyyah); Pertama, ada ulama yang mengharamkan, karena dianggap membuat kebohongan (al kadzib). Kitab Fatawa Lajnah Da`imah (12/187) menyatakan, “Haram bagi seorang Muslim untuk menulis kisah-kisah bohong (fiksi), karena dalam kisah-kisah Alquran dan hadits Nabi dan yang lainnya yang menceritakan fakta dan merepresentasikan fakta, sudah cukup sebagai pelajaran dan nasihat yang baik.”
Kedua, sebagian ulama membolehkan, seperti Syeikh Ibnu Utsaimin, dengan syarat isi cerita fiksi menggambarkan hal-hal yang boleh (jaiz) menurut syara’, tidak menggambarkan hal-hal yang diharamkan, dan secara jelas menyampaikan kepada pembaca bahwa yang disampaikan adalah fiksi bukan kenyataan, agar tidak jatuh dalam kebohongan. (Lihat : Ibnu Utsaimin, Fatawa Muwazhzhafiin, soal no. 24).
Pendapat yang rajih (kuat), adalah yang membolehkan membuat cerita fiksi asalkan terikat dengan syarat-syarat syar’i agar tidak terjatuh dalam kebohongan atau keharaman.
Dalil yang membolehkan membuat cerita fiksi adalah dalil As Sunnah. Dalam hadits yang menjelaskan bahwa orang yang melakukan yang syubhat (tak tegas halal atau haramnya) dapat terjerumus kepada keharaman, Rasulullah SAW telah membuat perumpamaan dengan bersabda : “Seperti seorang penggembala yang menggembalakan [ternaknya] di sekitar tanah larangan (himaa) yang hampir-hampir dia masuk ke dalam tanah larangan itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Syeikh Ibnu Utsaimin berkata, "Di antara faidah hadits ini adalah, bolehnya membuat perumpamaan dalam rangka memperjelas suatu perkara maknawi (tak konkret) dengan perumpamaan sesuatu yang yang inderawi (konkret). Artinya, menyerupakan sesuatu yang ma’quul (obyek pikiran) dengan yang mahsuus (obyek terindera) untuk mendekatkan pemahamannya.” (Syeikh Ibnu Utsaimin, Al Arba’uun An Nawawiyyah bi Ta'liqaat Syaikh Ibnu Utsaimin, hlm. 4).
Berdasarkan dalil tersebut, boleh hukumnya seorang Muslim membuat kisah fiksi. Namun agar tidak terjatuh dalam kebohongan atau keharaman, kebolehan membuat cerita fiksi tersebut terikat dengan dua syarat :

Pertama, pembuat cerita fiksi wajib menyampaikan kepada pembacanya, baik secara implisit atau eksplisit, bahwa apa yang diucapkan atau ditulisnya adalah cerita fiksi atau khayalan, bukan kenyataan, agar pengarang cerita fiksi tidak jatuh dalam kebohongan. Dalil syarat ini adalah dalil-dalil Alquran atau hadits yang mengharamkan seorang Muslim berbohong.

Kedua, kandungan (content) cerita fiksi tidak boleh bertentangan dengan akidah atau syariah Islam. Misalnya berisi ajakan beramar makruf nahi mungkar, berbakti kepada orang tua, bersikap jujur, mendorong berani berjihad di jalan Allah, mendorong berani melawan penguasa yang zalim, dan sebagainya. Sebaliknya haram hukumnya membuat cerita fiksi yang berisi pemikiran-pemikiran kufur, semisal sekularisme, demokrasi, nasionalisme, liberalisme, pluralisme, dsb. Atau kisah-kisah cinta atau cabul yang jauh dari akhlak islami. Dalil syarat kedua ini adalah dalil-dalil yang mewajibkan Muslim berkata benar sesuai syariah Islam. Misalnya firman Allah SWT (artinya) : “Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (TQS Al Ahzab [33] : 70). Juga sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka berkatalah yang baik atau diam.” (HR Bukhari dan Muslim). Wallahu a'lam.

Selasa, 10 April 2018

20 nama shohbiyah

/Biografi 20 Shahabiyah Rasulullah ﷺ yang Asing di Telinga Kita/

#MuslimahNewsID -- Jika menyebut para shahabiyah Rasulullah ﷺ tentu Anda akrab dengan nama-nama Asma binti Abu Bakar, Asma Binti Umais, Sumayyah binti Khayyath dan sebagainya. Lalu, bagaimana dengan para shahabiyah yang jarang Anda dengar namanya?

Di bawah ini adalah para Shahabiyah Rasulullah ﷺ yang asing di telinga Anda, dengan penjelasan biografi singkatnya.

/ 1. Arwa binti Abdul Muthalib (wafat 15 H) /

Bibi Rasulullah ini, termasuk wanita yang terpandang pada masa Jahiliah dan masa Islam. Beliau memiliki ide-ide yang jernih dan profesional melantunkan syair.

/ 2. Fatimah binti Qais bin Khalid (wafat 50 H) /

Sahabat wanita yang berpandangan luas ini termasuk rombongan yang pertama berhijrah. Di tempat kediamannyalah diselenggarakan pertemuan tokoh-tokoh Islam (ahli syura) untuk memusyawarahkan pengganti khalifah sepeninggal Umar.

/ 3. Gazalah Al-Haruriah (wafat 77 H) /

Istri Syabib bin Yazid Al-Haruri ini terkenal sebagai wanita pemberani dan tangkas. Beliau ikut berperang dalam beberapa kali pertempuran sebagaimana pahlawan lainnya. Terdapat sebuah cerita populer tentang dirinya yaitu larinya Hajjaj karena tidak mampu menghadapinya dalam sebuah pertempuran.

/ 4. Hindun binti Utbah bin Rabiah (wafat 14 H) /

Sahabat wanita dari suku Quraisy yang terkenal dengan kefasihan kelantangan, ide-ide yang gemilang dan tegas ini, cukup professional dalam membacakan syair. Sebelum masuk Islam dia sering membangkitkan semangat kaum musyrikin untuk menghantam kaum muslimin. Dia masuk Islam pada waktu penaklukan Kota Mekah dan berkesempatan pula mengikuti Perang Yarmuk serta aktif membangunkan semangat kaum muslimin dalam melawan tentara Romawi.

/ 5. Juwairiah binti Abu Sofyan (wafat 54 H) /

Seorang sahabat dan pejuang wanita yang turut menggempur musuh secara langsung pada Perang Yarmuk. Beliau juga ikut dalam berbagai pertempuran lainnya yang membuktikan bahwa dia adalah wanita pionir yang tangkas.

/ 6. Khaulah binti Azwar Al-Asadi (wafat 35 H) /

Penyair wanita yang termasuk pemberani ini mirip dengan Khalid bin Walid dalam aktifitas kemiliterannya. Dia mempunyai kumpulan cerita tentang penaklukan negeri-negeri Syam. Syair-syairnya dianggap sebagai syair yang melukiskan kemuliaan dan kemegahan.

/ 7. Laila Al-Gifariah (wafat 40 H) /

Sahabat wanita yang terpandang ini sering mengikuti Rasulullah ke medan tempur untuk mengobati pejuang yang sakit dan terluka. Pada waktu Perang “Jamal” ia ikut berangkat ke Basrah berperang di barisan Ali bin Abu Thalib.

/ 8. Lubabah Kubra (Lubabah binti Harits Al-Hilali) (wafat 30 H) /

Istri Abbas bin Abdul Muthalib ini, termasuk wanita terhormat yang melahirkan banyak tokoh. Beliau masuk Islam di Mekah setelah Khadijah, dengan demikian dia adalah wanita kedua masuk Islam.

/ 9. Muazah binti Abdullah Al-Adawiah (wafat 83 H) /

Wanita ini adalah pakar hadis yang banyak meriwayatkan hadis dari Aisyah dan Ali bin Abu Thalib radhiyallahu anhu. Dia termasuk perawi yang terpercaya yang mencapai tingkat siqah dan hujjah dalam ilmu hadis.

/ 10. Qatilah binti Harits bin Kaldah (wafat 20 H) /

Penyair wanita ranking pertama ini, adalah saudara kandung Nadhar yang sering menghalang-halangi orang-orang yang ingin menemui Nabi . Beliau berhasil menawan dan membunuh saudaranya pada Perang Badar, seraya melantunkan sebuah syair yang dianggap merupakan sebab Rasulullah. melarang membunuh tawanan Quraisy. Beliau masuk Islam dan meriwayatkan hadis-hadis dari Rasulullah.

/ 11. Rabayi` binti Mi`waz bin Harits Al-Anshariah (wafat 45 H) /

Sahabat wanita yang terkemuka ini sempat membaiat Rasulullah pada waktu Baiat Ridwan dan turut dalam berbagai pertempuran bersama Rasulullah . Dia bertugas mensuplai minuman kepada para pejuang dan merawat serta mengobati mereka serta mentransportasikan pahlawan yang gugur dan yang luka-luka ke Madinah.

/ 12. Rufaidah Al-Anshariah (wafat 35 H) /

Sahabat wanita juru rawat tentara yang luka-luka ini telah mengabdikan dirinya untuk melayani para pejuang Islam dan dianggap sebagai juru rawat pertama dalam sejarah Islam. Dialah yang membalut luka Saad bin Abu Waqash ketika dibawa ke kemahnya sewaktu Perang Khandaq.

/ 13. Rumaisha binti Milhan (wafat 30 H) /

Sahabat wanita terpandang, ibu Anas bin Malik ini, ikut dalam beberapa kali pertempuran. Pada waktu Perang Uhud, dia bertugas sebagai pensuplai minuman para pejuang dan mengobati yang cedera.

Pada waktu Perang Hunain dia bersama Aisyah bertugas mengambil air dan membawanya dengan kantong-kantong kulit untuk diberikan kepada kaum muslimin di saat perang sedang berkecamuk, setelah itu mereka kembali lagi mengambil air dan membawanya ke barisan kaum muslimin.

/ 14. Subaiah binti Harits /

Subaiah binti Harits Al-Aslamiah ini, adalah seorang sahabat wanita yang pernah kawin dengan Saad bin Khaulah dari suku Bani Amir yang berasal dari Bani Luai. Saad, suaminya, sempat ikut dalam Perang Badar dan wafat ketika melaksanakan haji wada. Umar bin Abdullah bin Arqam meriwayatkan hadis yang berkenaan dengan talak dari sahabat wanita ini.

/ 15. Syifa binti Abdullah Al-Adawiah Al-Qurasyiah (wafat 20 H) /

Sahabat wanita yang terkemuka ini, pada zaman Jahiliah sudah pandai tulis-baca dan setelah Islam dia mengajari Hafsah (istri Rasulullah.) tulis-baca. Rasulullah memberikan kepadanya sebuah rumah di Madinah. Umar bin Khattab selalu mengutamakan pendapatnya.

/ 16. Ummu Athiyah Al-Anshariah (Nasibah binti Harits) (wafat 8 H) /

Sahabat wanita terkemuka ini, sempat berbaiat kepada Rasulullah, meriwayatkan hadis-hadis dari beliau dan mengikuti beliau berperang sebanyak tujuh kali peperangan. Dia bertugas membuat makanan untuk pejuang muslimin, mengobati tentara yang terluka dan merawat yang sakit.

/ 17. Ummu Darda (Khairah binti Abu Hadrad Al-Aslami) (wafat 30 H) /

Sahabat wanita yang terkemuka dan memiliki ide-ide yang cemerlang ini berhasil menghafal banyak hadis Rasulullah . Banyak tabiin yang meriwayatkan hadis dari beliau, seperti Sofwan bin Abdullah. Beliau berdomisili di Madinah dan meninggal di negeri Syam (Suriah).

/ 18. Ummu Kulsum binti Uqbah bin Muit (wafat 40 H) /

Sahabat wanita yang masuk Islam di Mekah ini adalah wanita yang ikut berhijrah dalam priode pertama. Beliau berjalan kaki dari Mekah menuju ke Madinah.

Ummu Qais binti Mihsan. Nama aslinya adalah Aminah binti Mihsan Al-Asadiah, seorang sahabat wanita yang telah memeluk Islam dari sejak dini dan ikut berhijrah dan membaiat Nabi . Dialah wanita yang datang menyerahkan bayinya kepada Nabi yang kemudian oleh Nabi diletakkan di atas pangkuannya, bayi tersebut buang air kecil, Nabi menyuruh mengambil air danmenyiramkannya ke atas bagian pakaian yang terkena air kencing tanpa dicuci.

/ 19. Ummu Waraqah binti Abdullah bin Harits (wafat 15 H) /

Sahabat wanita yang sempat berbaiat kepada Rasulullah ini, adalah hafal dan mempunyai koleksi Alquran. Beliau sempat mengikuti,Perang Badar, di saat itu dia aktif mengobati tentara yang terluka dan merawat yang sakit.

/ 20. Zainab binti Ali bin Abu Talib (wafat 62 H) /

Dia adalah saudara kandung Hasan dan Husain yang sempat ikut bersama saudaranya Husain dalam Perang Karbela. Dia dikenal dengan kewibawaan dan kepandaian berpidato dengan gaya bahasa yang menarik. []

Sumber: http://www.muslimahnews.com/2017/10/23/biografi-20-shahabiyah-rasulullah-saw-yang-asing-di-telinga-kita/

Senin, 09 April 2018

Hukum denda di bank syariah

HUKUM DENDA DI BANK SYARIAH

Oleh: KH. M Shiddiq Al Jawi, MSI

Tanya :
Ustadz, mohon pencerahan tentang fatwa sanksi denda yang terdapat dalam fatwa DSN MUI (Dewan Syariah Nasional MUI) nomor 17/DSN-MUI/IX/2000, dengan ketentuan; (1) nasabah yang tidak mampu yang disebabkan alasan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi; (2) denda dikenakan kepada nasabah mampu tapi tidak punya kemauan dan itikad baik melunasi utang; (3) tujuan sanksi agar nasabah lebih disiplin menjalankan kewajibannya; (4) besarnya sanksi ditentukan berdasarkan kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani; (5) dana dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial . (Tarnie, Semarang).

Jawab :

Memang sebagian ulama kontemporer (termasuk DSN MUI) telah membolehkan denda finansial di lembaga keuangan syariah (seperti bank syariah) sebagai ta’zir kepada nasabah yang mampu tetapi menunda pembayaran utangnya. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, Maa Laa Yasa’u al Tajir Jahluhu , hlm. 337).

Dalilnya antara lain sabda Nabi SAW, ” Menunda pembayaran utang oleh orang kaya adalah suatu kezaliman.” (Arab : mathlul ghaniy zhulmun). (HR Bukhari). Juga sabda Nabi SAW,
”Menunda pembayaran utang oleh orang yang
mampu telah menghalalkan kehormatannya dan sanksi kepadanya.” (Arab : layyul waajid yuhillu ‘irdhahu wa ‘uquubatahu ). (HR Ahmad, Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah, dan Al Hakim).
Menurut sebagian ulama tersebut hadits-hadits di atas dianggap sebagai dalil bahwa jika nasabah yang mampu menunda pembayaran utangnya, maka ia dapat dikenakan sanksi (‘uqubat ), termasuk denda finansial. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, ibid. , hlm. 337).

Namun pendapat yang membolehkan denda finansial tersebut ternyata ditolak oleh sebagian ulama kontemporer lainnya. Pendapat yang tidak membolehkan denda finansial inilah yang kami anggap lebih kuat ( rajih ) walaupun dikenakan kepada nasabah yang mampu. (Lihat : Ali Ahmad As Salus, Mausu’ah Al Qadhaya Al Fiqhiyyah al Mu’ashirah wa Al Iqtishadi Al Islami , hlm. 449; Ahmad Al Jazzar Muhammad Bisynaq, Al Syarth Al Jazaiy wa Al Badail Al Syar’iyyah Lahu, hlm. 169-170; Prof. Dr. Ali Muhammad Al Husain Al Showa, Al Syarth Al Jazaiy fi Al Duyuun : Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah, hlm. 23-25).

Alasan-alasan mengapa denda finansial tidak boleh dikenakan walaupun kepada nasabah yang mampu, antara lain;
Pertama, bank syariah tidak mempunyai kewenangan (sholahiyah/wilayah ) untuk menjatuhkan sanksi berupa denda finansial yang diklaim sebagai sanksi ta’zir . Sebab yang berhak menjatuhkan sanksi ta’zir hanyalah peradilan syar’i (al qadha al syar’i ) saja, yang menjadi wakil ( naib ) dari Imam (Khalifah). (Abdurrahman Al Maliki, Nizham Al ‘Uqubat , hlm. 7).

Kedua, hadits yang digunakan sebagai dalil tidak tepat, yaitu hadits yang menghalalkan kehormatan dan sanksi ( ‘uqubat ) kepada orang mampu yang menunda pembayaran utangnya. Karena meski orang mampu yang menunda pembayaran utang layak dijatuhi hukuman (‘uqubat ), tapi tak pernah ada seorang qadhi (hakim) atau fuqaha pun dalam sepanjang sejarah Islam yang menjatuhkan hukuman berupa denda. Padahal kasus semacam ini banyak sekali terjadi di berbagi kota di negeri-negeri Islam. Jumhur fuqaha berpendapat hukumannya adalah ta’zir , yaitu ditahan (al
habs) meski sebenarnya boleh saja bentuk
ta’zir lainnya. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, ibid. , hlm. 338; Ali Ahmad As Salus,
ibid. , hlm. 449).

Ketiga , denda karena terlambat membayar utang mirip dengan riba, terlebih lagi yang sudah disepakati di awal akad. Maka denda seperti ini dihukumi sama dengan riba sehingga haram diambil. Kaidah fiqih menyebutkan maa qaaraba al syai’a u’thiya hukmuhu. (Apa saja yang mendekati/mirip dengan sesuatu, dihukumi sama dengan sesuatu itu). (Muhammad Shidqi Burnu,
Mausu’ah al Qawa’id al Fiqhiyah, IX/252).

Wallahu a’lam.[]

Minggu, 08 April 2018

Hukum hijab

Berhijab Karena dan Untuk Allah
Ngomongin hijab ga bakalan lepas dari yang namanya cewek yah ga siiihh?? So pasti, karena hijab adalah style yang diperuntukkan buat para muslimah. Dan buat kamu para cowok ga usah sedih gitu yak karena bahasan kita kali neh sory..sory neh lebih ke para cewe. Tapi tenang bro.. ini masih termasuk bahasan yang kamu juga harus tau n wajib nyampein ke ibumu, saudara perempuanmu, calon istrimu eaeaea….  #udah ga usah baper.
Tau ga sihhh..teman, beberapa tahun belakangan ini, hijab mulai jadi tren. Dulu waktu jaman old mitosnya kalo pake hijab susah dapet kerjaan, gak keliatan cantik, ribet, dan sebagainya. Sekarang lain soal hijab.. sudah menjadi trend busana muslimah yang paling keren kayaknya, makanya banyak juga tuch komunitas hijabers dengan berbagai gayanya.  Bahkan kalangan artis pun yang akrab dengan dunia serba bebas n berkiblat ke dunia gemerlap barat, sekarang satu persatu banyak yang udah istiqomah buat pake hijab.
Perkembangan fashion hijab di jaman now pun sangat beragam. Berbagai gaya busana didesain untuk menambah keelokan paras dan menambah pesona para kaum hawa berhijab ini. Ada model dengan ornamen bunga, serut, beling-beling, ada juga dengan polesan berbagai corak dan warna mulai yang namanya polkadot, garis, abstrak dan lainnya. Kerudung panjang dan gamis lebar pun udah ga asing menghiasi foto majalah, tabloid, brosur, katalog, iklan di sosial media. Semua wira wiri dengan berbagai perpaduan warna mulai yang eksotik sampai warna yang lembut. Model dan jenis kainnya pun  beraneka ragam.
Pertinyiinnyi….upz maksudnya pertanyaannya teman, apakah pemakaian hijab nya sudah sesuai dengan hukum Islam atau belum yah? Cuma sekedar tren n budaya atau karena keimanan? Masalahnya survei membuktikan bahwa banyak juga yang masih ketuker antara hijab, jilbab, n khimar.  Hayoo, teman surga semua penasaran kan.. Yok let’s check this out.
Antara  Hijab, Khimar dan Jilbab
Yang harus temen surga tau neh, dalam Islam Pakaian yang dikenakan oleh seorang muslim or muslimah adalah sebagai ungkapan ketaatan dan ketundukkan kepada Allah, yang menghasilkan keimanan dan ketakwaan disisi Allah. Why? Karena Allah memiliki aturan dalam berpakaian yang ketika aturan itu dilaksanakan maka kita mendapatkan pahala. Jadi ga boleh tuh hanya sebatas tren n budaya doang tapi harus didasari dengan keimanan. So kita wajib tau perbedaan hijab, jilbab n khimar
Teman surga, makna Hijab Secara bahasa, hijab artinya penutup, Secara istilah, makna hijab adalah sebagaimana dijelaskan Al Munawir berikut ini: “Hijab adalah segala hal yang menutupi sesuatu yang dituntut untuk ditutupi atau terlarang untuk menggapainya. Diantara penerapan maknanya, hijab dimaknai dengan as sitr (penutup), yaitu yang mengalangi sesuatu agar tidak bisa terlihat.
Hijab Utamanya terkait dengan perintah Allah kepada para istri-istri Nabi untuk tidak berinteraksi secara terbuka kepada lawan jenisnya, tapi harus dilakukan di balik hijab.  Hal ini terjadi pada pemaknaan surat Al-Ahzab ayat 53 yang memerintahkan istri Rasulullah saw untuk tidak berbicara kepada selain mahram kecuali dengan menggunakan tirai penghalang terhadap kontak langsung, atau dengan menutup wajah mereka.
“...Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka...” Ayat ini  terkait dengan masalah etika ketika bersama istri-istri Nabi. Karena itu, hijab di atas bermakna penutup kontak langsung. 
Nah qlo Makna Khimar neh teman, Allah Ta’ala menyebutkan istilah khimar dalam firman-Nya :“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menjulurkan khimar kedadanya…” (QS. An Nuur: 31)
Dalam Tafsir Jalalain, “Dan hendaklah mereka menjulurkan khimar ke dadanya” dijelaskan maksudnya: “yaitu menutup kepala-kepala, leher-leher dan dada-dada mereka dengan qina‘ (semacam kerudung)”. Ibnu Katsir menjelaskan makna khimar, “yaitu qina‘ (kerudung) yang memiliki ujung-ujung, yang dijulurkan ke dada wanita, untuk menutupi dada dan payudaranya” (Tafsir Ibni Katsir, 6/46). Para ulama menjelaskan bahwa khimar adalah kerudung yang menutup bagian kepala hingga dada wanita.
Nah sedangkan makna Jilbab neh teman, Allah menyebutkan nya dalam Firman Nya : “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[1232] ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (TQS al-Ahzab [33]: 59)
Tafsir Ayat ini Allah SWT memerintahkan Nabi SAW untuk menyampaikan suatu ketentuan bagi para Muslimah. Ketentuan yang dibebankan kepada para wanita Mukmin itu adalah: yudnîna ‘alayhinna min jalâbîbihinna “ (hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka)”. Kata jalâbîb merupakan bentuk jamak dari kata jilbâb. Terdapat beberapa pengertian yang diberikan para ulama mengenai kata jilbab. Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai ar-ridâ’ (mantel) yang menutup tubuh dari atas hingga bawah, Al-Qasimi menggambarkan, ar-ridâ’ itu seperti as-sirdâb (terowongan). Adapun menurut al-Qurthubi, Ibnu al-’Arabi, dan an-Nasafi jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh. Ada juga ulama yang mengartikannya sebagai milhafah (baju kurung yang longgar dan tidak tipis) dan semua yang menutupi, baik berupa pakaian maupun lainnya, Sebagian lainnya memahamin sebagai mulâ’ah (baju kurung) yang menutupi wanita, Al-qamîsh (baju gamis), Meskipun berbeda-beda, menurut al-Baqai, semua makna yang dimaksud itu tidak salah.
So, Guys,  dah jelas kan apa perbedaan dari hijab, khimar dan jilbab, jangan mpe ketuker yak… baiknya sihh selain tau makna hijab, khimar dan jilbab, kita juga harus tau syarat-syarat  pakaian muslimah  yang syar’i. Misalnya kalo kamu yang  muslimah tahu bahwa salah satu makna kerudung adalah “kain yang menutupi kepala, leher, hingga ke dada” bukan berarti kamu bisa mengenakan kerudung alakadarnya sebatas menutup kepala hingga dada, and than pakainnya ketat, transparan, atau masih menampakkan perhiasan-perhiasan wanita yang seharusnya ditutupi.
Syarat pakaian yang syar’i
Jadi kayak gimana sih seharusnya pakaian muslimah yang  sya’i kalau keluar rumah?  Gini loh sobat.
Pakaian muslimah itu harus menutupi seluruh tubuh, terdiri dari khimar (kerudung) di bagian atas dan Jilbab di bagian bawahnya seperti yang dijelaskan dalam QS Al – Ahzab : 59 dan QS An – nuur : 31.
Bahannya  harus tebal (tidak tipis) supaya ga menggambarkan apa yang ada di baliknya. Dalilnya adalah hadits yang menceritakan dua golongan penghuni neraka yang salah satunya adalah para perempuan yang berpakaian tapi telanjang (sebagaimana tercantum dlm Shahih Muslim). Maksud dari hadits itu adalah para perempuan yang mengenakan pakaian yang yang menerawang seperti aquarium sehingga justru bisa menggambarkan lekuk tubuh. Dengan kata lain, mereka itu berpakaian, namun pada hakikatnya mereka itu telanjang.
Harus longgar, tak boleh sempit atau ketat bak lemper karena akan menampakkan bentuk tubuhnya.
Tidak perlu diberi wangi-wangian.  Dalilnya adalah sabda Nabi: “Perempuan manapun yang memakai wangi-wangian kemudian berjalan melewati sekelompok orang agar mereka mencium keharumannya maka dia adalah perempuan pezina.” (HR. An-Nasa’i, Abu Dawud & Tirmidzi dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari). Bahkan Al-Haitsami menyebutkan bahwa keluarnya perempuan dari rumahnya dgn memakai wangi-wangian & bersolek adalah tergolong dosa besar, meskipun dia diizinkan oleh suaminya. Wadow.. padahal berapa banyak perempuan muslim yang terbiasa pakai minyak wangi cap goodbye..  orangnya sudah entah ke mana wanginya masih menebar. Astagfirullah…
Tidak boleh menyerupai pakaian orang kafir. Ketentuan ini berlaku bagi kaum lelaki dan perempuan. Dalilnya banyak sekali, diantaranya adalah kejadian yang menimpa Ali. Ketika itu Ali memakai dua lembar baju mu’ashfar. Melihat hal itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini adalah pakaian kaum kafir. Jangan kau kenakan pakaian itu.” (HR. Muslim, Nasa’i & Ahmad).

Busana Muslimah bagian dari Syari'at
Kamu pernah  dengar komenter macam ini:  "Ngapain pake busana muslimah kalo akhlaknya masih buruk?" “Yang penting hati aja dulu di jilbab”, “ Aduh belum alim, jadi belum bisa dech pake busana muslimah”, “ Nunggu hijrah dulu baru pake busana muslimah",  dan lain lain.  Kamu tahu, ini adalah salah kaprah mendudukan syari'at dan mencampuradukan aturan, akhirnya jadi keliru dalam pelaksanaan syariah. Jilbab  itu perintah untuk menutupi tubuh muslimah, bukan nutupi hatinya dengan jilbab.  Berjilbab satu kewajiban, menjaga akhlaq juga satu kewajiban lain yang sama kedudukannya harus ditunaikan. Seperti sholat  dan puasa Ramadahan, dua-duanya wajib dilaksanakan. Justru dengan berjilbab kamu akan terjaga untuk tidak berbuat maksiat
Ironisnya lagi,  sering kita saksikan busana muslimah itu hanya digunakan dalam momentum tertentu saja seperti di bulan Ramadhan sebagai bulan mulia sehingga kita harus taat sampai urusan berpakaian.  Kadang digunakan tatkala akan menghadiri undangan, reuni, atau yang semisal itu. Kadang juga digunakan saat di sekolah, mengantar anak ke sekolah, perjalanan keluar kota yang cukup jauh, etece. Kalau Cuma keluar rumah untuk nyapu halaman, atau beli peniti di warung, rambut dan sebagian tubuh tetap terbuka. Lho kok?
Sebagai muslimah yang beriman kepada Allah SWT tentu kita akan menjalankan perintah berbusana syar”i  ini dengan keikhlasan dan ketaatan karena aturan busana ini merupakan kewajiban. Jika hati sudah mantap, kewajiban adalah kewajiban. Males ? Lawan dong… Takut dicela ekstrim? Toh gak terbukti nyata. Yang pasti, berbusana syar’i itu tetap wajib.

Man-teman, khusus nya para muslimah, dengan berhijab itu ada kebaikan buat kamu.. Jadi lebih cantik? Bisa jadi. Tapi cantik itu sebenarnya hanyalah bonus, karena yang terpenting (dan sering dilupakan) adalah cantik perilakunya, mulia akhlaknya  serta kesolehannya. Yang jelas, dengan berhijab maka kita akan terjaga kehormatan dan harga diri, mengingatkan kita untuk terus berprilaku baik, juga dimuliakan sebagai seorang muslimah. Jadi tunggu apa lagi? Yuuk kita berhijab karena Allah dan sesuai dengan Aturan Allah. 










Sabtu, 07 April 2018

Hukum terlambat qodho puasa

BELUM QADHA` PUASA, RAMADHAN SUDAH DATANG LAGI
Oleh: Ustadz Muhammad Shiddiq Al-Jawi
---

PERTANYAAN:

Ustadz, kalau belum bayar hutang puasa tahun kemarin, tapi sudah ketemu Ramadhan lagi, bagaimana hukumnya?

JAWABAN:

Barangsiapa yang belum mengqadha puasa Ramadhan yang lalu, kemudian sudah datang lagi Ramadhan berikutnya, maka harus dilihat dulu alasan penundaan (ta`khir) qadha tersebut. Jika penundaan itu karena ada udzur (alasan syar’i), seperti sakit, nifas, menyusui, atau hamil, maka tidak mengapa. Demikian menurut seluruh mazhab tanpa ada perbedaan pendapat, sebab yang bersangkutan dimaafkan karena ada udzur dalam penundaan qadha`-nya.

Namun jika penundaan qadha` itu tanpa ada udzur, maka para ulama berbeda pendapat dalam dua pendapat :

Pendapat Pertama, pendapat jumhur, yaitu Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan lain-lain berpendapat orang tersebut di samping tetap wajib mengqadha`, dia wajib juga membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari dia tidak berpuasa. Fidyah ini adalah sebagai kaffarah (penebus) dari penundaan qadha`-nya. Demikian penuturan Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni Ma’a Asy-Syarh Al-Kabir, II/81 (Dikutip oleh Yusuf al-Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, [Kairo : Darush Shahwah], 1992, hal. 64).

Pendapat pertama ini terbagi lagi menjadi dua : (1) Menurut ulama Syafi’iyah, fidyah tersebut berulang dengan berulangnya Ramadhan (Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala al-Mazahib Al-Arba’ah Kitabush Shiyam (terj), hal. 109). (2) Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, fidyah hanya sekali, yakni tidak berulang dengan berulangnya Ramadhan (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/680).

Dalil pendapat pertama ini, yakni yang mewajibkan fidyah di samping qadha karena adanya penundaan qadha` hingga masuk Ramadhan berikutnya, adalah perkataan sejumlah sahabat, seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah (Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm], 2000, hal. 872). Ath-Thahawi dalam masalah ini meriwayatkan dari Yahya bin Aktsam,”Aku mendapati pendapat ini dari enam sahabat yang tidak aku ketahui dalam masalah ini ada yang berbeda pendapat dengan mereka.” (wajadtuhu ‘an sittin min ash-shahabati laa a‘lamu lahum fiihi mukhalifan).(Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, [Beirut : Mu`assasah Ar-Risalah], 2002, hal. 210).

Imam Syaukani menjelaskan dalil lain bagi pendapat pertama ini. Yaitu sebuah riwayat dengan isnad dhaif dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW tentang seorang laki-laki yang sakit di bulan Ramadhan lalu dia tidak berpuasa, kemudian dia sehat namun tidak mengqadha` hingga datang Ramadhan berikutnya. Maka Nabi SAW bersabda,”Dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang menyusulnya itu, kemudian dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang dia berbuka padanya dan dia memberi makan seorang miskin untuk setiap hari [dia tidak berpuasa].” (yashuumu alladziy adrakahu tsumma yashuumu asy-syahra alladziy afthara fiihi wa yuth’imu kulla yaumin miskiinan). (HR Ad-Daruquthni, II/197). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 871; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/689).

Pendapat Kedua, pendapat Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya, Imam Ibrahim An-Nakha`i, Imam al-Hasan Al-Bashri, Imam Al-Muzani (murid Asy-Syafi’i), dan Imam Dawud bin Ali. Mereka mengatakan bahwa orang yang menunda qadha` hingga datang Ramadhan berikutnya, tidak ada kewajiban atasnya selain qadha`. Tidak ada kewajiban membayar kaffarah (fidyah) (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/240; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/240; Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 210).

Dalil ulama Hanafiyah ini sebagaimana dijelaskan Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu (II/240). adalah kemutlakan nash Al-Qur`an yang berbunyi “fa-‘iddatun min ayyamin ukhar” yang berarti “maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqarah [2] : 183).

Perlu ditambahkan bahwa dalam masalah menunda qadha` (ta`khir al-qadha`), Imam Abu Hanifah memang membolehkan qadha` puasa Ramadhan kapan saja walau pun sudah datang lagi bulan Ramadhan berikutnya. Dalilnya adalah kemutlakan nash Al-Baqarah : 183. Dalam kitab Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 122, dinukilkan oleh penulisnya bahwa Imam Abu Hanifah berkata,”Kewajiban mengqadha puasa Ramadhan adalah kewajiban yang lapang waktunya tanpa ada batasan tertentu, walaupun sudah masuk Ramadhan berikutnya.” (wujuubu al-qadhaa`i muwassa’un duuna taqyiidin walaw dakhala ramadhan ats-tsaniy).

Sedang jumhur berpendapat bahwa penundaan qadha` selambat-lambatnya adalah hingga bulan Sya’ban dan tidak boleh sampai masuk Ramadhan berikutnya. Dalil pendapat jumhur ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ahmad dari ‘A`isyah RA dia berkata,”Aku tidaklah mengqadha` sesuatu pun dari apa yang wajib atasku dari bulan Ramadhan, kecuali di bulan Sya’ban hingga wafatnya Rasulullah SAW.” (maa qadhaytu syai`an mimmaa yakuunu ‘alayya min ramadhaana illaa sya’baana hatta qubidha rasulullahi shallallahu ‘alaihi wa sallama) (Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, [Beirut : Mu`assasah Ar-Risalah], 2002, hal. 122).

*Tarjih

Setelah mendalami dan menimbang dalil-dalilnya, pendapat yang rajih (kuat) menurut pemahaman kami adalah sebagai berikut :

*Masalah Fidyah

Mengenai wajib tidaknya fidyah atas orang yang menunda qadha` Ramadhan hingga datang Ramadhan berikutnya, pendapat yang rajih adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Ibrahim An-Nakha`i, dan lain-lain. Pendapat ini menyatakan bahwa orang yang menunda qadha` hingga masuk Ramadhan, hanya berkewajiban qadha`, tidak wajib membayar fidyah.

Hal itu dikarenakan kewajiban membayar fidyah bagi orang yang menunda qadha` Ramadhan hingga masuk Ramadhan berikutnya, membutuhkan adanya dalil khusus dari nash-nash syara’. Padahal tidak ditemukan nash yang layak menjadi dalil untuk kewajiban fidyah itu. (Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal.210).

Adapun dalil hadits Abu Hurairah yang dikemukakan, adalah hadits dhaif yang tidak layak menjadi hujjah (dalil). Imam Syaukani berkata,”…telah kami jelaskan bahwa tidak terbukti dalam masalah itu satu pun [hadits shahih] dari Nabi SAW.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 872). Yusuf al-Qaradhawi meriwayatkan tarjih serupa dari Shiddiq Hasan Khan dalam kitabnya Ar-Raudatun An-Nadiyah (I/232),”…tidak terbukti dalam masalah itu sesuatu pun [hadits sahih] dari Nabi SAW.” (Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, hal. 64).

Pendapat beberapa sahabat yang mendasari kewajiban fidyah itu, adalah dasar yang lemah. Sebab pendapat sahabat –yang dalam ushul fiqih disebut dengan mazhab ash-shahabi atau qaul ash-shahabi— bukanlah hujjah (dalil syar’i) yang layak menjadi sumber hukum Islam. Imam Syaukani berkata,”Pendapat yang benar bahwa qaul ash-shahabi bukanlah hujjah [dalil syar’i].” (Imam Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal. 243). Imam Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan,”…mazhab sahabat tidak termasuk dalil syar’i.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, III/411).

Mengenai periwayatan ath-Thahawi dari Yahya bin Aktsam bahwa dia berkata,”Aku mendapati pendapat ini dari enam sahabat yang tidak aku ketahui dalam masalah ini ada yang berbeda pendapat dengan mereka”, tidaklah dapat diterima. Mahmud Abdul Latif Uwaidhah dalam Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam hal.210 mengatakan,”Sesungguhnya riwayat-riwayat dari sahabat ini tidaklah terbukti, sebab riwayat-riwayat itu berasal dari jalur-jalur riwayat yang lemah [dhaif]. Maka ia wajib ditolak dan tidak boleh ditaqlidi atau diikuti.”

*Masalah Waktu Qadha

Adapun waktu qadha`, yang rajih adalah pendapat jumhur, bukan pendapat Imam Abu Hanifah, rahimahullah. Jadi mengqadha` puasa Ramadhan itu waktunya terbatas, bukan lapang (muwassa`) sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah. Maka qadha wajib dilakukan sebelum masuknya Ramadhan berikutnya. Jika seseorang menunda qadha tanpa udzur hingga masuk Ramadhan berikutnya, dia berdosa.

Dalilnya adalah hadits A`isyah RA di atas bahwa dia berkata,”Aku tidaklah mengqadha` sesuatu pun dari apa yang wajib atasku dari bulan Ramadhan, kecuali di bulan Sya’ban hingga wafatnya Rasulullah SAW.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ahmad, hadits sahih). (Terdapat hadits-hadits yang semakna dalam lafazh-lafazh lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 871-872, hadits no. 1699).

Memang hadits di atas adalah hadits mauquf yaitu merupakan perbuatan, perkataan, dan diamnya sahabat, yang dalam hal ini adalah perkataan dan/atau perbuatan ‘Aisyah RA. Jadi ia memang bukan hadits marfu’, yaitu hadits yang isinya adalah perbuatan, perkataan, dan diamnya Rasulullah SAW.

Namun adakalanya sebuah hadits itu mauquf, tapi dihukumi sebagai hadits marfu’. Para ulama menyebut hadits semacam ini dengan sebutan al-marfu’ hukman, yakni hadits yang walaupun secara redaksional (lafzhan) adalah hadits mauquf tetapi secara hukum termasuk hadits marfu’ (Mahmud Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, hal. 131).

Hadits al-marfu’ hukman mempunyai ciri antara lain bahwa objek hadits bukanlah lapangan pendapat atau ijtihad. Dengan kata lain, bahwa seorang sahabat tidaklah berkata, berbuat, atau berdiam terhadap sesuatu kecuali dia telah memastikan bahwa itu berasal dari Nabi SAW (Shubhi Shalih, ‘Ulumul Hadits wa Musthalahuhu, hal. 207-208).

Mengenai hadits ‘A`isyah RA di atas terdapat indikasi bahwa ia adalah al-marfu’ hukman. Mahmud Abdul Latif Uwaidhah menjelaskan dalam Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam hal. 123-124 dengan mengatakan :

“Adalah jauh sekali, terjadi perbuatan itu dari ‘A`isyah —yang tinggal dalam rumah kenabian— tanpa adanya pengetahuan dan persetujuan (iqrar) dari Rasulullah SAW. Nash ini layak menjadi dalil bahwa batas waktu terakhir untuk mengqadha` puasa adalah bulan Sya’ban. Artinya, qadha` hendaknya dilaksanakan sebelum datangnya Ramadhan yang baru. Jika tidak demikian, maka seseorang telah melampaui batas. Kalau qadha` itu boleh ditunda hingga datangnya Ramadhan yang baru, niscaya perkataan ‘A`isyah itu tidak ada faidahnya. Lagi pula pendapat mengenai wajibnya mengqadha` sebelum datangnya Ramadhan yang baru telah disepakati oleh para fuqaha, kecuali apa yang diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah, rahimahullah.”

*Kesimpulan

Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang menunda qadha` hingga masuk Ramadhan, hanya berkewajiban qadha`, tidak wajib membayar fidyah. Adapun dalam hal waktu mengqadha`, qadha` wajib dilaksanakan selambat-lambatnya pada bulan Sya’ban dan berdosa jika seseorang menunda qadha` hingga masuk Ramadhan berikutnya. Wallahu a’lam

-

Hukum jaminan barang ketika kredit

*Hukum Jaminan Barang dalam Jual Beli Kredit*

Oleh: KH. M Shiddiq Al Jawi, MSI

Tanya :
Ustadz, bolehkah barang yang kita beli dijadikan jaminan? Misal, kita kredit motor lalu BPKB motor itu kita jadikan jaminan kepada penjual (dealer)?

Jawab :
Dalam jual beli kredit (bai’u at-taqsith ) penjual boleh mensyaratkan jaminan/agunan ( rahn) dari pembeli. (Adnan Sa’duddin, Bai’u At-Taqsith wa Tathbiqatuha al-Mu’ashirah, hal. 187). Namun jaminan ini wajib berupa barang lain, yaitu bukan barang obyek jual beli. Karena menjadikan barang yang dibeli sebagai jaminan ( rahn al-mabii’ ) tidak boleh secara syar’i.
Inilah pendapat fuqaha yang rajih menurut kami.

Imam Syafi’i, seperti dikutip Imam Ibnu Qudamah, menyatakan jika dua orang berjual beli dengan syarat menjadikan barang yang dibeli sebagai jaminan atas harganya, jual belinya tidak sah. Sebab jika barang yang dibeli dijadikan jaminan ( rahn), berarti barang itu belum menjadi milik pembeli. (Al-Mughni, 4/285).
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami berkata,”Tidak boleh jual beli dengan syarat menjaminkan barang yang dibeli.” (Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, 2/287).
Imam Ibnu Hazm berkata,”Tidak boleh menjual suatu barang dengan syarat menjadikan barang itu sebagai jaminan atas harganya. Kalau jual beli sudah telanjur terjadi, harus dibatalkan.” (Al-Muhalla, 3/427).

Memang ada fuqaha yang membolehkan. Kata Imam Ibnu Qudamah,”Menurut Imam Ahmad, jaminan berupa barang yang dibeli sah.” (Al-Mughni, 4/285; Al-Fiqh ‘ala Al-Mazhahib al-Arba’ah, 2/166). Imam Ibnul Qayyim berkata,”Boleh mensyaratkan jaminan berupa barang yang dibeli.” (Ighatsah al-Lahfan, 2/53; I’lam al-Muwaqqi’in, 4/33).
Pendapat inilah yang diadopsi Majma’ Al-Fiqh Al-Islami bahwa,”Penjual tidak berhak mempertahankan kepemilikan barang di tangannya, tapi penjual boleh mensyaratkan pembeli untuk menjaminkan barang yang dibeli guna menjamin hak penjual memperoleh pembayaran angsuran yang tertunda.” (Ali as-Salus, Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 605).

Namun menurut kami, pendapat ini tidak dapat diterima. Karena menjaminkan barang obyek jual beli adalah syarat yang menyalahi konsekuensi akad (muqtadha al-‘aqad), yakni hak kepemilikan dan melakukan tasharruf (perbuatan hukum) seperti jual beli atau hibah oleh pembeli. Imam Taqiyudin an-Nabhani berkata, ”Jika seseorang menjual suatu barang kepada orang lain, lalu mensyaratkan orang itu untuk tidak menjualnya kepada siapa pun, maka syarat itu tidak berlaku tapi jual belinya sah, karena syarat itu menafikan konsekuensi akad (muqtadha al-‘aqad), yakni kepemilikan barang dan melakukan tasharruf padanya.” (al-Syakhshiyah al-Islamiyah, 3/52).
Syarat yang menyalahi hukum syara’ tidak dapat diterima, karena sabda Nabi SAW, ”Syarat apa saja yang tidak ada dalam Kitabullah, maka ia batil, meski ada seratus syarat.” (HR Bukhari dan Muslim). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 3/10).

Selain itu, syarat itu tertolak berdasar kaidah fiqih : Kullu syarthin khaalafa aw nafaa muqtadha al-‘aqad fahuwa baathil (Setiap syarat yang menyalahi atau meniadakan konsekuensi akad, adalah syarat yang batal). (M. Sa’id al-Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, 8/418).

Kesimpulannya, tidak boleh menjadikan barang yang dibeli sebagai jaminan dalam jual beli kredit. Yang dibolehkan adalah jaminan berupa barang lain, bukan barang obyek jual beli.

Wallahu a’lam

Kamis, 05 April 2018

Dasar keberhasilan pendidikan anak

🌷 Dasar Keberhasilan Pendidikan Anak
#Bagian 1

//Tujuan Pendidikan//

Bunda, agar kita berhasil dalam melakukan pendidikan anak, hal utama adalah kita harus memahami *tujuan hakikat pendidikan* menurut Syed Muhammad naquib Al Attas  merumuskan bahwa tujuan pendidikan adalah *untuk menghasilkan orang yang baik* ( _produser A Good Man)
Lantas Siapakah manusia yang baik atau Manusia beradab itu dalam pandangan Islam?

Manusia seperti ini adalah *manusia yang kenal akan Tuhannya* tahu akan dirinya menjadikan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai Uswah Hasanah mengikuti jalan pewaris nabi dan ulama dan berbagai kriteria manusia yang baik lainnya.

Manusia yang baik juga harus memahami potensi dirinya dan bisa mengembangkan potensinya sebab potensi itu adalah amanah dari Allah subhanahu wa ta'ala

Selain itu di dalam Islam posisi ilmu sangatlah mulia menjadikan pendidikan sebagai komoditas *keinginan meraih materi sama saja menghinakan ilmu* pengetahuan itu sendiri

Imam Ghozali mengingatkan dalam bahasa yang lugas dalam kitab bidayatul Hidayah bahwa *mencari ilmu bukan sekedar hebat-hebat dan mencari pujian* atau untuk mengumpulkan harta maka dia telah menghancurkan agamanya merusak dirinya sendiri dan telah menjual akhirat dan dunia nya

Oleh karena itu Bunda *tujuan pendidikan bagi anak haruslah ditujukan untuk ibadah dan mencari Hidayah Allah* maka pendidikan Harus dikembali didekatkan pada wahyu Allah bukan malah dijauhkan siapapun yang mencari ilmu dengan niat beribadah maka para malaikat akan melindungi pencari ilmu itu dengan membentangkan sayapnya dan ikan ikan di lautan akan mendoakan si pencari ilmu tersebut

Rasulullah bersabda : barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu maka Allah akan memudahkan untuknya jalan ke surga sesungguhnya para malaikat menaungi dengan sayapnya karena Ridho kepada orang yang menuntut ilmu Sesungguhnya orang yang menuntut ilmu dimohonkan ampun baginya oleh penghuni langit dan bumi hingga ikan-ikan di dalam air dan sesungguhnya keutamaan Orang alim atas orang yang beribadah seperti bulan purnama atas seluruh bintang-bintang sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi dan sesungguhnya para nabi itu tidak mewariskan Dinar dan Dirham hanya saja mereka mewariskan ilmu Maka barangsiapa yang mengambilnya berarti ia telah mengambil bagian yang banyak (HR Ibnu Majah)

Begitulah bunda tujuan mendidik anak bukanlah mencari popularitas, menjadikan ia Hafiz bukanlah untuk terkenal dan membanggakan diri tetapi haruslah semata-mata mencari ridho Allah subhanahu wa ta'ala. Kursus bahasa Inggris bagus, les matematika bagus, tapi ketika tujuan hanya untuk menjadikan anak rangking pertama di kelasnya tanpa memupuk aqidah dan mencari Ridha Allah maka Bunda telah menjerumuskan anak tersebut.
Marilah bunda sholihah semua mendidik anak dengan mengingat tujuan pendidikan anak dan menyampaikan nya kepada anak kita.

Referensi : makalah konferensi perempuan internasional

#KomunitasMuslimahSholihah
🌷 Dasar Keberhasilan Pendidikan anak
#Bagian 2

// Menjadikan anak berkepribadian Islam //

Bunda sholehah, pernah dengar kursus kepribadian?

Apa yang ada dibayangan kita?
Mahal, berkelas, cara makan, sopan santun dll.
Ehm, tertarik mengkursuskan anak kelas kepribadian?🤔

Ternyata bunda, kepribadian dalam Islam tidak seperti apa yang di ajarkan di negara Eropa.

Kepribadian dalam Islam  ( _Syakhsiah Islam_ ) terdiri dari 2 hal :
1. Membentuk Pola Pikir maksudnya bunda mengarahkan dan  membentuk pola/kerangka berfikir anak dengan dasar Islam. Anak akan selalu mengaitkan perbuatannya dengan hukum Islam, walaupun sederhana disesuaikan dengan usianya.
Contoh : ketika anak ingin makan, maka ajarkan bahwa ini rezeki dari Allah tidak boleh kita sia-sia kan harus dihabiskan.
Maka anak akan berfikir hal yang sama walau ia berada disekolah.

2. Membentuk Pola Sikap adalah sikap anak diarahkan harus sesuai dengan pola pikirnya. Ketika anak menyadari bahwa makanan adalah rizki dari Allah, tp ia masih saja menyisakan makanan di piringnya maka kita harus ingatkan bahwa ia tidak boleh melakukannya.

Itulah kepribadian dalam Islam, pola pikir dan sikap harus sejalan, terlihat dan dilaksanakan.
Mudah2an anak anak kita memiliki kepribadian Islam.

Ref : Kitab Muqowimat
#KomunitasMuslimahSholihah

Senin, 02 April 2018

Hukum pajak dalam khilafah

/ Kebijakan Khilafah dalam Urusan Pajak /

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

#MuslimahNewsID -- Istilah pajak, dalam fikih Islam, dikenal dengan dharîbah. Al-‘Allamah Syaikh Rawwas Qal’ah Jie menyebutnya dengan, “Apa yang ditetapkan sebagai kewajiban atas harta maupun orang di luar kewajiban syara’.”[Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hal. 256].

Sedangkan al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, mendefinisikannya dengan, “harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum Muslim untuk membiayainya.” [al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hal. 129]

/ Tidak Tetap /

Dalam APBN Khilafah (APBN-K), sumber pendapat tetap negara yang menjadi hak kaum Muslim dan masuk ke Baitul Mal adalah: (1) Fai’ [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan.

Berbeda dengan pendapatan tidak tetap. Pendapatan ini bersifat instrumental dan insidental. Bersifat instrumental, karena Islam menetapkan kepada kaum Muslim fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika dana tidak ada di Baitul Mal.

Karena itu, ini menjadi instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi negara, yang dibebankan hanya kepada umat Islam. Disebut insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya.

Syara’ telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau tidak adanya harta di Baitul Mal tetap harus berjalan. Jika di Baitul Mal ada harta, maka dibiayai oleh Baitul Mal. Jika tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim. Sebab, jika tidak, maka akan menyebabkan terjadinya dharar bagi seluruh kaum Muslim.

Dalam rangka menghilangkan dharar di saat Baitul Mal tidak ada dana inilah, maka khilafah boleh menggunakan instrumen pajak. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau Baitul Mal mempunyai dana untuk mengcovernya.

/ Yang Wajib Dibiayai /

Mengenai kewajiban dan pos yang wajib dibiayai, dengan ada atau tidak adanya dana di Baitul Mal, adalah:

Biaya jihad: Mulai dari pembentukan pasukan yang kuat, pelatihan hingga pada level tinggi, menyiapkan persenjataan mutakhir, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, sampai pada level yang membuat musuh takut, sehingga pasukan tersebut bisa mengalahkan musuh kita, membebaskan wilayah kita, mengenyahkan cengkaraman kaum Kafir penjajah dari negeri kaum Muslim, serta mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.

Dalam hal ini Allah berfirman: “Infiru khifaf[an] wa tsiqal[an]..” [Berangkatlah berperang, baik dengan ringan maupun berat] [TQS at-Taubah: 41]. Nabi ﷺ dalam kondisi sulit pun tetap memberangkatkan Jaisy Usyrah ke Tabuk. Biayanya ditanggung bersama oleh kaum Muslim.

Biaya industri perang: Di dalamnya, termasuk industri dan pabrik yang dibutuhkan, agar bisa memproduksi alutsista yang diperlukan. Karena jihad membutuhkan pasukan. Pasukan tidak bisa berperang, jika tidak ada alat utama sistem pertahanan yang canggih dan memadai. Untuk itu, dibutuhkan industri perang.

Dalam hal ini, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman: “Wa a’iddu lahum mastatha’tum min quwwat[in] wa min ribathi al-khaili turhibuna bihi ‘aduwwa-Llahi wa ‘aduwwakum, wa akharina min dunihim la ta’lamunahum, Allahu ya’lamuhum.” [Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.] [QS al-Anfal: 60].

Pengeluaran untuk fakir, miskin dan ibn sabil. Ini termasuk ashnaf zakat, tetapi jika di Baitul Mal, dana dari pos zakat tidak ada, maka kewajiban tersebut wajib dipikul oleh kaum Muslim, melalui instrumen pajak dan bersifat insidental.

Pengeluaran untuk gaji tentara, pegawai negara, hakim, guru, dan semua pihak yang memberikan khidmat kepada negara untuk mengurus kemaslahatan kaum Muslim. Jika dana di Baitul Mal juga tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim, melalui instrumen pajak ini.

Biaya pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum, seperti jalan raya, sekolah, kampus, rumah sakit, masjid, saluran air, dan sebagainya, jika semuanya ini merupakan sarana dan prasarana utama. Sebab, jika tidak ada, maka akan menyebabkan terjadinya dharar kepada kaum Muslim.

Biaya penanggulangan bencana alam, kecelakaan dan sejenisnya. Jika di Baitul Mal tidak ada dana, dan kaum Muslim tidak bahu membahu menanggulanginya, maka akan menyebabkan terjadinya dharar. Maka, instrumen pajak bisa digunakan untuk membiayai penanggulangan bencana alam, kecelakaan, dan sebagainya.

Inilah kewajiban dan pos yang wajib dibiayai oleh kaum Muslim, baik ketika ada maupun tidak ada dana di Baitul Mal. Maka, ini merupakan kewajiban dan pos yang bisa dibiayai melalui instrumen pajak, meski bersifat insidental.

/ Wajib Pajak /

Meski beban tersebut menjadi kewajiban kaum Muslim, tetapi tidak semua kaum Muslim menjadi wajib pajak, apalagi non-Muslim. Pajak juga hanya diambil dari kaum Muslim yang mampu. Dari kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional (ma’ruf), sesuai dengan standar hidup mereka di wilayah tersebut.

Karena itu, jika ada kaum Muslim yang mempunyai kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya, maka dia menjadi wajib pajak. Pajak juga wajib diambil darinya. Tetapi, jika tidak mempunyai kelebihan, maka dia tidak menjadi wajib pajak, dan pajak tidak akan diambil darinya.

Bagaimana cara menghitungnya? /Pertama/, pendapatannya harus dikurangi biaya untuk kebutuhan pokok dan sekunder pribadinya.

/Kedua/, setelah itu dikurangi kebutuhan pokok dan sekunder istri dan anaknya.

/Ketiga/, jika mempunyai orang tua, saudara, mahram yang menjadi tanggungannya, maka dikurangi biaya kebutuhan pokok dan sekunder mereka. Setelah dikurangi semuanya tadi masih ada kelebihan, maka dia menjadi wajib pajak, dan pajak pun wajib diambil darinya.

Dalam hal ini, Nabi ﷺ bersabda, “Ibda’ bi nafsika fatashaddaqa ‘alaiha, fa in fudhula syai’[un] fa li ahlika.” (Mulailah dari dirimu, maka biayailah. Jika ada kelebihan, maka itu untuk keluargamu) [HR Muslim dari Jabir]

Karena itu, pajak di dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan menghalangi orang kaya, atau menambah pendapatan negara, kecuali diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syara’.

Negara khilafah juga tidak akan menetapkan pajak tidak langsung, termasuk pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli, dan pajak macam-macam yang lain.

Selain itu, khilafah juga tidak akan menetapkan biaya apapun dalam pelayanan publik, seperti biaya kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semuanya diberikan dengan gratis, dan terbaik.

Begitu juga negara tidak akan memungut biaya-biaya administrasi, termasuk denda layanan publik, seperti PLN, PDAM, Telkom, dan sebagainya. Termasuk, tidak memungut biaya pembuatan SIM, KTP, KK, surat-menyurat dan sebagainya. Karena semuanya itu sudah menjadi kewajiban negara kepada rakyatnya.

Bandingkan dengan negara “dracula” seperti saat ini, yang menghisap “darah” rakyatnya hingga tetes darah yang terakhir.

Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 164

——————————
/ Silakan share dengan mencantumkan sumber Muslimah News ID - Berkarya untuk Umat /
——————————
Follow kami di
Facebook: fb.com/MuslimahNewsID
Twitter: twitter.com/muslimahnewsid
IG: instagram.com/MuslimahNewsID
——————————
Grup WhatsApp: bit.ly/JoinWAMuslimahNewsID
——————————

Hukum ortu hibahkan harta pada anak

/ Orang Tua Menghibahkan Harta Kepada Anak-anaknya Sebelum Meninggal, Bolehkah? /

Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi

/ Tanya: /
Ustadz, ibu mertua saya saat masih hidup telah membagikan hartanya kepada anak-anaknya. Ada 3 anak; anak pertama mendapat sebidang tanah, anak ke-2 dan ke-3 masing-masing mendapat satu rumah. Apakah itu boleh dan dapat dianggap hibah? (Mukhsin, Bantul).

/ Jawab: /

Boleh hukumnya seseorang seperti seorang ayah atau ibu menghibahkan hartanya kepada anak-anaknya sebelum dia meninggal, asal memenuhi lima syarat sbb :

Pertama, pemberi hibah wajib berada dalam kondisi sehat ketika menghibahkan hartanya. Jika dia menghibahkan dalam kondisi sakit keras menjelang kematiannya (maradh al maut), hibahnya tidak boleh dilaksanakan. Karena hibah tersebut dihukumi sebagai washiyat, bukan sebagai hibah menurut ijma’ ulama. Padahal washiyat tak boleh diberikan kepada ahli waris sesuai sabda Nabi ﷺ, ”Tak ada washiyat kepada ahli waris.” (HR Ahmad, Abu Dawud, & Ibnu Majah). (Ibnul Mundzir, Al Ijma’, hlm. 120; Khalid Al Musyaiqih, Al Jami’ fi Ahkam Al Waqf wa Al Hibat wa Al Washiyyah, V/259).

Adapun jika hibahnya diberikan kepada selain ahlis waris, boleh dilaksanakan maksimal sepertiga dari total harta. Dari Abu Zaid Al Anshari ra bahwa seorang laki-laki telah memerdekakan enam orang budak miliknya pada saat menjelang kematiannya, dan dia tak punya harta selain mereka. Rasulullah ﷺ lalu mengundi di antara mereka kemudian memerdekakan dua orang budak dan tetap memperbudak empat budak lainnya. (HR Ahmad & Abu Dawud). (Imam Syaukani, Nailul Authar, VII/384).

Kedua, pemberi hibah wajib melakukan serah terima (al qabdhu) harta tersebut sehingga anak-anaknya dapat melakukan tasharruf terhadap harta itu, seperti memanfaatkan, meminjamkan, dsb. Jika hibah hanya formalitas dan tak ada serah terima sehingga anak-anaknya baru dapat melakukan tasharruf setelah pemberi hibah meninggal, maka pemberian harta itu tak dihukumi sebagai hibah, tapi sebagai washiyat. Padahal washiyat tak boleh diberikan kepada ahli waris (termasuk anak). (HR Ahmad, Abu Dawud, & Ibnu Majah).

Ketiga, pemberi hibah wajib berbuat adil dengan memberikan hibah yang sama kuantitasnya (at taswiyah) kepada anak-anaknya. Sebab memberikan hibah kepada anak-anak secara sama kuantitasnya (at taswiyah) hukumnya wajib, bukan sunnah (istihbab), sebagaimana pendapat yang dianggap rajih (lebih kuat) oleh Imam Syaukani, ”Maka pendapat yang benar, memberi hibah secara sama (at taswiyah) adalah wajib.” (Fa al haqq anna at taswiyah wajibah). (Imam Syaukani, Nailul Authar, VII/303).

Dari Nu’man bin Basyir ra, Rasulullah ﷺ bersabda,”Berbuat adillah di antara anak-anakmu (i’diluu baina abnaa`ikum).” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa`i). (Sa’id Wajih Sa’id Manshur, Ahkam Al Hadiyyah fi Al Fiqh Al Islami, hlm. 64-65).

Keempat, pemberi hibah tak berniat untuk mencegah para ahli waris untuk mendapatkan harta waris. Sebab boleh jadi ada ahli waris lain selain anak-anaknya, seperti ibunya atau ayahnya. Jika tindakannya menghibahkan harta itu diniatkan untuk mencegah hak ahli waris lainnya di luar anak-anaknya, maka hibah itu termasuk hiilah (rekayasa hukum) yang haram hukumnya. (Lihat QS An Nisaa` [4]:7).

Kelima, hibah yang dilakukan tak mengakibatkan keharaman, misalnya tak tercukupinya kebutuhan dasar orang-orang yang menjadi tanggungan pemberi hibah. Dalilnya kaidah fiqih : al wasiilah ila al haraam haraamun (segala perantaraan menuju yang haram hukumnya haram).

Kesimpulannya, hibah yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya seperti yang ditanyakan, sah hukumnya jika memenuhi kelima syarat tersebut. Jika tak memenuhi satu atau lebih dari kelima syarat tersebut, hibahnya tak sah dan haram dilaksanakan. Solusinya, hibah itu wajib dibatalkan dan harta tersebut wajib dibagi menurut hukum waris Islam. Wallahu a’lam.[]

Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 208

Minggu, 01 April 2018

Hukum anak zina

/ Nasab Anak Zina dengan Ayah Biologisnya, Adakah? /

Ust. Shiddiq al-Jawi

Soal: /
Ustadz, dapatkan anak zina dihubungkan nasabnya dengan ayah biologisnya, yaitu laki-laki yang berzina dengan ibu anak zina itu?

/ Jawab: /
Anak zina adalah anak yang dilahirkan oleh ibunya melalui jalan yang tak syar’i, atau anak dari hasil hubungan yang diharamkan. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 8/430).

Mengenai nasab anak zina dengan ayah biologisnya, seluruh fuqaha sepakat jika seorang perempuan telah bersuami atau menjadi budak dari tuannya (sayyid), lalu dia mempunyai anak zina, maka anak itu tak dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya. Anak itu wajib dinasabkan kepada suami sah perempuan tadi, selama tak ada pengingkaran oleh suami dengan li’an. (Wahbah Zuhaili, Ahkam Al Aulad An Natijin an Az Zina, hlm. 13; Ahmad Abdul Majid Husain, Ahkam Walad Az Zina fi Al Fiqh Al Islami, hlm. 28; M. Ra`fat Utsman, Hal Yashihhu Nisbah Walad Az Zina ila Az Zani, hlm. 8; Abdul Aziz Fauzan, Hukm Nisbah Al Maulud Ila Abihi min Al Madkhul Biha Qabla Al ‘Aqad, hlm. 21).

Imam Ibnu Qudamah berkata,”Para ulama sepakat bahwa jika lahir seorang anak dari seorang perempuan yang berstatus isteri dari seorang laki-laki, lalu ada laki-laki lain yang mengklaim itu anaknya, maka anak itu tak dapat dinasabkan dengan laki-laki lain tadi.” (Lihat Ibnu Qudamah, Al Mughni, 9/123; Ibnu Abdil Barr, At Tamhid, 3/569).

Dalilnya sabda Rasulullah ﷺ, "Al walad li al firasy wa li al ‘ahir al hajar” (Anak itu adalah bagi pemilik firasy [laki-laki berstatus suami/pemilik budak], dan bagi yang berzina hanya mendapat batu). (HR Bukhari, no 6749).

Firasy secara harfiyah artinya tempat tidur (bed). Dalam hadis ini firasy artinya perempuan yang sah digauli secara syar’i, baik sebagai isteri melalui nikah maupun sebagai budak perempuan (milkul yamin). (M. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha, hlm. 260).

Adapun jika seorang perempuan tak bersuami atau bukan budak perempuan, lalu mempunyai anak zina, maka di sini ada khilafiyah.

/Pertama/, jumhur ulama dari empat mazhab, juga mazhab Zhahiri, berpendapat anak zina itu tak dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya.

/Kedua/, sebagian ulama, seperti Hasan Bashri, Ibnu Sirin, Ibrahim Nakha`i, Ishaq bin Rahawaih, juga Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim, berpendapat anak zina yang demikian itu sah dinasabkan kepada ayah biologisnya. (Imam Kasani, Bada`i’us Shana`i’, 6/243; Imam Sarakhsi, Al Mabsuth, 17/154; Imam Maliki, Al Mudawwanah Al Kubra, 2/556; Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 9/123; Ibnu Hazm, Al Muhalla, 10/142; Ibnul Qayyim, Zadul Ma’ad, 5/425).

Pendapat jumhur berdalil antara lain dengan keumuman hadis “wa li ‘aahir al hajar” (bagi orang yang berzina hanya mendapat batu), yang maknanya pezina hanya mendapat kerugian (khaibah), yakni tak dapat mengklaim anak zina sebagai anaknya. (Ibnu Hajar Asqalani, Fathul Bari, 12/36).

Pendapat kedua berdalil bahwa hadis “al walad li al firasy” hanya berlaku jika terjadi kasus rebutan klaim anak zina antara pemilik firasy (suami/pemilik budak) dengan laki-laki yang berzina. Dalam kondisi ini anak zina adalah hak pemilik firasy, bukan hak laki-laki yang berzina.

Hal ini menurut mereka sejalan dengan sababul wurud hadis tersebut, yaitu kasus rebutan klaim anak zina dari seorang budak perempuan. Jadi jika anak zina lahir dari perempuan yang tak bersuami atau bukan budak, hadis itu tak berlaku sehingga anak zina tak ada halangan untuk dinasabkan kepada ayah biologisnya. (Ibnul Qayyim, Zadul Ma’ad, 5/425).

Pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur, sebab diperkuat dengan keumuman hadis-hadis lain yang menggugurkan dalil pendapat kedua.

Sabda Rasulullah ﷺ,”Siapa saja laki-laki yang berzina dengan seorang budak perempuan atau perempuan merdeka, maka anaknya adalah adalah anak zina, dia (anak zina) itu tak dapat mewariskan dan menerima waris.” (HR Tirmidzi, disahihkan oleh Al Albani; Sunan At Tirmidzi Ma’a Ahkam Al Albani, hlm. 477).

Penafian hubungan waris ini menunjukkan penafian nasab, sebab hubungan waris adalah implikasi dari nasab. Maka anak zina secara mutlak tak dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya, baik perempuan yang dizinai bersuami atau tidak. (Ahmad Abdul Majid Husain, Ahkam Walad Az Zina fi Al Fiqh Al Islami, hlm. 68). Wallahu a’lam.

——————————

——————————

Hukum makan you can eat

HUKUM JUAL BELI MAKANAN SISTEM ALL YOU CAN EAT

Tanya :

Ustadz, apa hukumnya kita makan di restoran dengan sistem pembayaran all you can eat? (Arim Nasim, Bandung)

Jawab :

Jual beli makanan sistem all you can eat (disingkat AYCE) disebut juga sistem buffet (baca : buffé) atau prasmanan. Definisinya adalah jual beli dimana restoran/hotel menyajikan semua jenis makanan dan pembeli dapat makan sepuasnya hanya dengan membayar satu harga, misalnya Rp 200.000 per orang. Namun pembeli hanya boleh makan di tempat dan tak boleh membawa makanan pulang ke rumah, dan biasanya ada pembatasan waktu misalnya 2 atau 3 jam.

Bolehkah jual beli makanan sistem AYCE ini? Para ulama kontemporer berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat. Pertama, mengharamkan. Ini pendapat sebagian ulama seperti Syeikh Shalih Al Fauzan, Syeikh Sa’id Ramadhan Al Buthi, dan Syeikh Muhammad Mukhtar Al Syanqithi. Dalil keharamannya karena jual beli sistem AYCE mengandung unsur gharar(ketidakpastian, uncertainty), yaitu tak pasti berapa banyak makanan yang dimakan pembeli. Maka hukumnya haram sesuai larangan Rasulullah SAW terhadap jual beli gharar (bai’ al gharar). (HR Muslim, no 1513). Jual beli gharar adalah jual beli yang mengandung unsur jahalah (ketidaktahuan, ignorance), baik ketidaktahuan dalam hal harga, barang dagangan, tempo, maupun dalam hal kemampuan menyerahterimakan. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al Fuqaha`, hlm. 251; M. Shidqi Al Burnu, Mausu’ah Al Qawaid Al Fiqhiyah, IX/500).

Kedua, membolehkan. Ini pendapat sebagian ulama lainnya seperti Syeikh Ibnu Utsaimin dan Syeikh Taqi Utsmani. Mereka mengatakan bahwa meski terjadi gharar, tetapi gharar itu adalah gharar yasir (gharar ringan) yang biasanya ditoleransi oleh masyarakat ketika bermuamalah, yang sekiranya tidak akan menimbulkan persengketaan. Syeikh Taqi Utsmani menyebutkan terjadinya Ijma’ Shahabat yang membolehkan gharar ringan dalam muamalah. Misalnya ketika Abu Hurairah menjadi pekerja (ajiir) bagi anak perempuan Ghazwan dengan mendapat upah berupa makanan. (HR Ibnu Majah, no 2445). Padahal upah berupa makanan itu mengandung unsur gharar, karena tidak jelas makanan itu jenisnya apa dan kadarnya berapa banyak. Namun saat itu tak ada seorang pun shahabat Nabi SAW yang mengingkari muamalah tersebut sehingga terwujudlah Ijma’ Shahabat mengenai bolehnya gharar ringan. (M. Taqi Utsmani, Fiqh Al Buyu’, I/388-389; Yusuf Sabatin, Al Buyu’ Al Qadimah wa Al Mu’ashirah, hlm. 27).

Pendapat yang rajih (lebih kuat) adalah pendapat yang membolehkan sistem AYCE, sebab meski terdapat larangan jual beli gharar yang bersifat mutlak dalam hadits yang melarang jual beli gharar di atas, namun kemutlakan hadits ini telah dibatasi dengan taqyiid (pembatasan) berupa Ijma’ Shabahat yang membolehkan gharar ringan.

Kaidah ushul fiqih dalam masalah ini menyebutkan : al muthlaqu yajriy ‘alaa ithlaaqihi maa lam yarid daliilun yadullu ‘ala at taqyiid. (dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan batasan). (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, I/208).

Para ulama ushul fiqih telah menetapkan kaidah ushuliyah bahwa boleh saja dalil mutlak dari As Sunnah dibatasi dengan dengan dalil taqyiid dari Ijma’ Shababat. Imam Taqiyuddin An Nabhani berkata, “As sunnah tuqayyadu bi al kitaab wa bi as sunnah wa bi ijmaa’ ash shahaabah wa bi al qiyaas.” (Dalil As Sunnah dapat dibatasi (di-taqyiid) dengan dalil Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas).” (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, III/263). Wallahu a’lam.[]

Sumber: Tabloid MediaUmat edisi 210

Hukum musik


SOAL : 
Bagaimana hukumnya menyanyi menggunakan alat musik selain rebana (gitar/organ) walaupun nyanyiannya Islami? (Adhe, Kendari)
 

JAWAB :
Ada satu jenis alat musik yang diterangkan kebolehannya secara jelas, yaitu rebana (Arab : duff atau ghirbal), sesuai sabda Nabi SAW :
Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).(HR. Ibnu Majah) (al-Jaziri, Al-Fiqh Ala al-Madzahib al-Arbaah, II/52).
Adapun selain rebana, ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Pengasuh cenderung kepada pendapat Nashiruddin al-Albani yang mengatakan hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya, seluruhnya dha™if (lemah). 
Memang benar, ada beberapa ahli hadits yang memandang hadits-hadits itu shahih. Seperti Ibnu Shalah dalam Muqaddimah Ulumul Hadits, an-Nawawi dalam Al-Irsyad, Ibnu Katsir dalam Ikhtishar Ulumul Hadits, Ibnu Hajar dalam Taghliqul Taâiq, as-Sakhawy dalam Fathul Mughits, ash-Shanâani dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul Afkar, juga Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayim dan masih banyak lagi. Tetapi al-Albani lebih setuju pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla bahwa hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah munqathiâ™ (terputus sanadnya) (Nashiruddin al-Albani, Dhaâif al-Adab al-Mufrad, hal. 14-16). 
Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla(VI/59) berkata :
“Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.(Al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 57).
Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum asalnya, sesuai kaidah fiqih : Al-ashlu fi al-asy-yaa` al-ibahah maa lam yarid dalilu at-tahrim [Hukum asal benda adalah boleh selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya]. 
Maka jika ada dalil syar'i tertentu yang mengharamkan, pada saat itu suatu alat musik hukumnya haram dimainkan. Misalnya :
(1). Jika suatu alat musik diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya kewajiban, hukumnya haram. Sebab kaidah fiqih menetapkan : al-wasilah ila al-haram haram[Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga]. Misalnya saja  alat musik yang dimainkan mengakibatkan ikhtilath (campur baur pria wanita) atau dilalaikannya shalat wajib.
(2). Jika suatu alat musik digunakan untuk mengiringi lagu yang syairnya bertentangan dengan Islam, hukumnya haram. Sebab syair yang dinyanyikan wajib syair Islami atau yang dibolehkan Islam. Jika suatu alat musik digunakan mengiringi lagu yang syairnya tidak dibolehkan Islam, misalnya menyerukan nasionalisme, hukumnya haram. 
(3) Jika suatu alat musik digunakan secara khusus oleh orang kafir dalam upacara keagamaan mereka, hukumnya haram. Sebab haram hukumnya muslim menyerupai orang kafir (tasyabbuh bil-kuffar), sesuai hadits Nabi SAW,"Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk ke dalam golongan mereka." (HR. Abu Dawud) 

Bogor, 9 Maret 2006

 Muhammad Shiddiq al-Jawi

Makna liwa dan roya

MAKNA BENDERA & PANJI RASULULLAH SAW

Oleh : Ustd. Shiddiq Al-Jawi

Bendera Rasulullah saw., baik al-Liwa‘ (bendera putih) maupun ar-Rayah (bendera hitam) bukanlah sembarang bendera yang berhenti sebagai simbol. Keduanya mengekspresikan makna-makna mendalam yang lahir dari ajaran Islam. Di antara makna-makna di balik bendera Rasulullah saw. tersebut adalah:

PERTAMA,

yaitu sebagai lambang ‘Aqidah Islam. Pada al-Liwa‘ dan ar-Rayah tertulis kalimat syahadat: Lâ ilâha illalLâh Muhammad rasûlulLâh. Kalimat inilah yang membedakan Islam dan kekufuran; kalimat yang menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat. Dalam hadis-hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi, dan Thabrani dari Buraidah ra. diterangkan, “Rayah Nabi saw. berwarna hitam dan Liwa‘-nya berwarna putih.”

Ibnu Abbas ra. menambahkan, “Tertulis pada Liwa` Nabi saw. kalimat: Lâ ilâha illalLâh Muhammad rasûlulLâh (Abdul Hayyi Al-Kattani, ibid., I/266).

Maka dari itu, sebagai simbol syahadat, bendera tersebut akan dikibarkan oleh Rasulullah saw. kelak pada Hari Kiamat. Bendera ini disebut oleh Rasulullah saw. sebagai Liwa‘ al-Hamdi (Bendera Pujian kepada Allah). Rasulullah saw. bersabda, “Aku adalah pemimpin anak Adam pada Hari Kiamat dan aku tidak sombong. Di tanganku ada Liwa‘ al-Hamdi dan aku tidak sombong.” (HR at-Tirmidzi).

KEDUA,

yaitu sebagai pemersatu umat Islam. Lâ ilâha illalLâh Muhammad rasûlulLâh adalah kalimat yang mempersatukan umat Islam sebagai satu kesatuan tanpa melihat lagi keanekaragaman bahasa, warna kulit, kebangsaan ataupun mazhab dan paham yang ada di tengah umat Islam.

Imam Abdul Hayyi Al-Kattani menjelaskan rahasia tertentu yang ada di balik suatu bendera, yaitu jika suatu kaum berhimpun di bawah satu bendera, artinya bendera itu menjadi tanda persamaan pendapat kaum tersebut (ijtimâ’i kalimatihim) dan juga tanda persatuan hati mereka (ittihâdi qulûbihim). Dengan demikian kaum itu akan menjadi bagaikan satu tubuh (ka al-jasad al-wâhid) dan akan terikat satu sama lain dalam satu ikatan yang bahkan jauh lebih kuat daripada ikatan antar saudara yang masih satu kerabat (dzawil arhâm) (Abdul Hayyi al-Kattani, ibid., I/266).

KETIGA,

yaitu sebagai simbol kepemimpinan. Faktanya, al-Liwa‘ dan ar-Rayah itu selalu dibawa oleh komandan perang pada zaman Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin. Misalnya pada saat Perang Khaibar, Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh aku akan memberikan ar-Rayah ini kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan memberikan kemenangan kepada dirinya.”

Umar bin al-Khaththab berkata, “Tidaklah aku menyukai kepemimpinan kecuali hari itu.” (HR Muslim).

KEEMPAT,

yaitu sebagai pembangkit keberanian dan pengorbanan dalam perang. Makna ini khususnya akan dirasakan dalam jiwa pasukan dalam kondisi perang. Pasalnya, dalam perang, pasukan akan terbangkitkan keberaniannya dan pengorbanannya selama mereka melihat benderanya masih berkibar-kibar. Pasukan akan berusaha mati-matian agar bendera tetap berkibar dan menjaga jangan sampai bendera itu jatuh ke tanah sebagai simbol kekalahan (Abdul Hayyi al-Kattani, ibid., I/267).

Bendera sebagai pembangkit semangat dan keberanian itu tampak jelas dalam Perang Mu’tah. Saat itu komandan perang yang memegang bendera berusaha untuk tetap memegang dan mengibarkan bendera walaupun nyawa taruhannya. Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa yang memegang ar-Rayah dalam Perang Mu’tah awalnya adalah Zaid bin Haritsah, tetapi ia kemudian gugur. Ar-Rayah lalu dipegang oleh Ja’far, tetapi ia pun gugur. Ar-Rayah lalu berpindah tangan dan dipegang oleh Abdullah bin Rawwahah, tetapi ia akhirnya gugur juga di jalan Allah SWT (HR al-Bukhari, Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, IV/281).

KELIMA,

yaitu sebagai sarana untuk menggentarkan musuh dalam perang. Bagi diri sendiri bendera berfungsi untuk membangkitkan semangat dan keberanian. Sebaliknya, bagi musuh bendera itu menjadi sarana untuk memasukkan rasa gentar dan putus asa kepada mereka. Imam Ibnu Khaldun dalam kaitan ini menyatakan, “Banyaknya bendera-bendera itu, dengan berbagai warna dan ukurannya, maksudnya satu, yaitu untuk menggentarkan musuh…” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, II/805-806).

#IndonesiaMoveUp
#IslamRahmatanlilAlamin
#PanjiRosulullah