Selasa, 23 Maret 2021

BELUM QADHA PUASA, RAMADAN SUDAH DATANG LAGI

BELUM QADHA PUASA, RAMADAN SUDAH DATANG LAGI

Oleh: Ustaz M. Shiddiq Al Jawi

Tanya: Bagaimana cara meng-qadha puasa yang ditinggalkan? Masalahnya, belum sempat meng-qadha ternyata bulan puasa sudah tiba kembali.

Jawab: Barang siapa yang belum meng-qadha puasa Ramadan yang lalu, kemudian sudah datang lagi Ramadan berikutnya, maka harus dilihat dulu alasan penundaan (ta’khir) qadha tersebut. Jika penundaan itu karena ada uzur (alasan syar’i), seperti sakit, nifas, menyusui, atau hamil, maka tidak mengapa. Demikian menurut seluruh mazhab tanpa ada perbedaan pendapat, sebab yang bersangkutan dimaafkan karena ada uzur dalam penundaan qadha-nya.

Namun jika penundaan qadha itu tanpa ada uzur, maka para ulama berbeda pendapat dalam dua pendapat :

Pendapat Pertama, pendapat jumhur, yaitu Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan lain-lain berpendapat orang tersebut di samping tetap wajib meng-qadha, dia wajib juga membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari dia tidak berpuasa. Fidyah ini adalah sebagai kaffarah (penebus) dari penundaan qadha-nya. Demikian penuturan Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni Ma’a Asy-Syarh Al-Kabir, II/81 (Dikutip oleh Yusuf al-Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, [Kairo : Darush Shahwah], 1992, hal. 64)

Pendapat pertama ini terbagi lagi menjadi dua:

(1) Menurut ulama Syafi’iyah, fidyah tersebut berulang dengan berulangnya Ramadhan (Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala al-Mazahib Al-Arba’ah Kitabush Shiyam (terj), hal. 109).

(2) Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, fidyah hanya sekali, yakni tidak berulang dengan berulangnya Ramadhan (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/680).

Dalil pendapat pertama ini, yakni yang mewajibkan fidyah di samping qadha karena adanya penundaan qadha hingga masuk Ramadan berikutnya, adalah perkataan sejumlah sahabat, seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah (Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm], 2000, hal. 872). Ath-Thahawi dalam masalah ini meriwayatkan dari Yahya bin Aktsam,”Aku mendapati pendapat ini dari enam sahabat yang tidak aku ketahui dalam masalah ini ada yang berbeda pendapat dengan mereka.” (wajadtuhu ‘an sittin min ash-shahabati laa a‘lamu lahum fiihi mukhalifan).(Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, [Beirut : Muassasah Ar-Risalah], 2002, hal. 210).

Imam Syaukani menjelaskan dalil lain bagi pendapat pertama ini. Yaitu sebuah riwayat dengan isnad dhaif dari Abu Hurairah ra dari Nabi Saw. tentang seorang laki-laki yang sakit di bulan Ramadan lalu dia tidak berpuasa, kemudian dia sehat namun tidak meng-qadha hingga datang Ramadan berikutnya. Maka Nabi Saw. bersabda, “Dia berpuasa untuk bulan Ramadan yang menyusulnya itu, kemudian dia berpuasa untuk bulan Ramadan yang dia berbuka padanya dan dia memberi makan seorang miskin untuk setiap hari [dia tidak berpuasa].” (yashuumu alladziy adrakahu tsumma yashuumu asy-syahra alladziy afthara fiihi wa yuth’imu kulla yaumin miskiinan). (HR Ad-Daruquthni, II/197). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 871; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/689).

Pendapat Kedua, pendapat Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya, Imam Ibrahim An-Nakhai, Imam al-Hasan Al-Bashri, Imam Al-Muzani (murid Asy-Syafi’i), dan Imam Dawud bin Ali. Mereka mengatakan bahwa orang yang menunda qadha hingga datang Ramadan berikutnya, tidak ada kewajiban atasnya selain qadha`. Tidak ada kewajiban membayar kaffarah (fidyah) (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/240; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/240; Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 210).

Dalil ulama Hanafiyah ini sebagaimana dijelaskan Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu (II/240). adalah kemutlakan nas Al-Qur’an yang berbunyi “fa-‘iddatun min ayyamin ukhar” yang berarti “maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqarah [2] : 183).

Perlu ditambahkan bahwa dalam masalah menunda qadha (ta’khir al-qadha), Imam Abu Hanifah memang membolehkan qadha puasa Ramadan kapan saja walau pun sudah datang lagi bulan Ramadan berikutnya. Dalilnya adalah kemutlakan nas Al-Baqarah : 183. Dalam kitab Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 122, dinukilkan oleh penulisnya bahwa Imam Abu Hanifah berkata,”Kewajiban meng-qadha puasa Ramadan adalah kewajiban yang lapang waktunya tanpa ada batasan tertentu, walaupun sudah masuk Ramadan berikutnya.” (wujuubu al-qadhaai muwassa’un duuna taqyiidin walaw dakhala ramadhan ats-tsaniy).

Sedang jumhur berpendapat bahwa penundaan qadha selambat-lambatnya adalah hingga bulan Sya’ban dan tidak boleh sampai masuk Ramadan berikutnya. Dalil pendapat jumhur ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ahmad dari ‘Aisyah ra dia berkata, “Aku tidaklah meng-qadha sesuatu pun dari apa yang wajib atasku dari bulan Ramadan, kecuali di bulan Sya’ban hingga wafatnya Rasulullah Saw.” (maa qadhaytu syaian mimmaa yakuunu ‘alayya min ramadhaana illaa sya’baana hatta qubidha rasulullahi shallallahu ‘alaihi wa sallama) (Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, [Beirut : Muassasah Ar-Risalah], 2002, hal. 122).

Tarjih
Setelah mendalami dan menimbang dalil-dalilnya, pendapat yang rajih (kuat) menurut pemahaman kami adalah sebagai berikut:

Masalah Fidyah
Mengenai wajib tidaknya fidyah atas orang yang menunda qadha Ramadan hingga datang Ramadan berikutnya, pendapat yang rajih adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Ibrahim An-Nakhai, dan lain-lain. Pendapat ini menyatakan bahwa orang yang menunda qadha hingga masuk Ramadan, hanya berkewajiban qadha, tidak wajib membayar fidyah.

Hal itu dikarenakan kewajiban membayar fidyah bagi orang yang menunda qadha Ramadan hingga masuk Ramadan berikutnya, membutuhkan adanya dalil khusus dari nash-nash syara’. Padahal tidak ditemukan nas yang layak menjadi dalil untuk kewajiban fidyah itu. (Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal.210).

Adapun dalil hadis Abu Hurairah yang dikemukakan, adalah hadis dhaif yang tidak layak menjadi hujjah (dalil). Imam Syaukani berkata,”…telah kami jelaskan bahwa tidak terbukti dalam masalah itu satu pun [hadis sahih] dari Nabi Saw.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 872). Yusuf al-Qaradhawi meriwayatkan tarjih serupa dari Shiddiq Hasan Khan dalam kitabnya Ar-Raudatun An-Nadiyah (I/232),”…tidak terbukti dalam masalah itu sesuatu pun [hadis sahih] dari Nabi Saw.” (Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, hal. 64).

Pendapat beberapa sahabat yang mendasari kewajiban fidyah itu, adalah dasar yang lemah. Sebab pendapat sahabat –yang dalam ushul fiqih disebut dengan mazhab ash-shahabi atau qaul ash-shahabi— bukanlah hujjah (dalil syar’i) yang layak menjadi sumber hukum Islam. Imam Syaukani berkata,”Pendapat yang benar bahwa qaul ash-shahabi bukanlah hujjah [dalil syar’i].” (Imam Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal. 243). Imam Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan,”…mazhab sahabat tidak termasuk dalil syar’i.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, III/411).

Mengenai periwayatan ath-Thahawi dari Yahya bin Aktsam bahwa dia berkata,”Aku mendapati pendapat ini dari enam sahabat yang tidak aku ketahui dalam masalah ini ada yang berbeda pendapat dengan mereka”, tidaklah dapat diterima. Mahmud Abdul Latif Uwaidhah dalam Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam hal.210 mengatakan,”Sesungguhnya riwayat-riwayat dari sahabat ini tidaklah terbukti, sebab riwayat-riwayat itu berasal dari jalur-jalur riwayat yang lemah [dhaif]. Maka ia wajib ditolak dan tidak boleh di-taqlid-i atau diikuti.”

Masalah Waktu Qadha
Adapun waktu qadha, yang rajih adalah pendapat jumhur, bukan pendapat Imam Abu Hanifah, rahimahullah. Jadi meng-qadha puasa Ramadan itu waktunya terbatas, bukan lapang (muwassa) sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah. Maka qadha wajib dilakukan sebelum masuknya Ramadan berikutnya. Jika seseorang menunda qadha tanpa udzur hingga masuk Ramadan berikutnya, dia berdosa.

Dalilnya adalah hadis Aisyah ra di atas bahwa dia berkata, “Aku tidaklah meng-qadha sesuatu pun dari apa yang wajib atasku dari bulan Ramadan, kecuali di bulan Sya’ban hingga wafatnya Rasulullah Saw.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ahmad, hadis sahih). (Terdapat hadis-hadis yang semakna dalam lafaz-lafaz lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 871-872, hadis no. 1699).

Memang hadis di atas adalah hadis mauquf yaitu merupakan perbuatan, perkataan, dan diamnya sahabat, yang dalam hal ini adalah perkataan dan/atau perbuatan ‘Aisyah ra. Jadi ia memang bukan hadits marfu’, yaitu hadis yang isinya adalah perbuatan, perkataan, dan diamnya Rasulullah Saw.

Namun adakalanya sebuah hadis itu mauquf, tapi dihukumi sebagai hadis marfu’. Para ulama menyebut hadis semacam ini dengan sebutan al-marfu’ hukman, yakni hadis yang walaupun secara redaksional (lafzhan) adalah hadits mauquf tetapi secara hukum termasuk hadits marfu’ (Mahmud Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, hal. 131).

Hadits al-marfu’ hukman mempunyai ciri antara lain bahwa objek hadis bukanlah lapangan pendapat atau ijtihad. Dengan kata lain, bahwa seorang sahabat tidaklah berkata, berbuat, atau berdiam terhadap sesuatu kecuali dia telah memastikan bahwa itu berasal dari Nabi Saw. (Shubhi Shalih, ‘Ulumul Hadits wa Musthalahuhu, hal. 207-208).

Mengenai hadis ‘Aisyah ra di atas terdapat indikasi bahwa ia adalah al-marfu’ hukman. Mahmud Abdul Latif Uwaidhah menjelaskan dalam Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam hal. 123-124 dengan mengatakan :

“Adalah jauh sekali, terjadi perbuatan itu dari ‘Aisyah —yang tinggal dalam rumah kenabian— tanpa adanya pengetahuan dan persetujuan (iqrar) dari Rasulullah Saw. Nas ini layak menjadi dalil bahwa batas waktu terakhir untuk meng-qadha puasa adalah bulan Sya’ban. Artinya, qadha hendaknya dilaksanakan sebelum datangnya Ramadan yang baru. Jika tidak demikian, maka seseorang telah melampaui batas. Kalau qadha itu boleh ditunda hingga datangnya Ramadan yang baru, niscaya perkataan ‘Aisyah itu tidak ada faidahnya. Lagi pula pendapat mengenai wajibnya meng-qadha sebelum datangnya Ramadan yang baru telah disepakati oleh para fukaha, kecuali apa yang diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah, rahimahullah.”

Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang menunda qadha hingga masuk Ramadan, hanya berkewajiban qadha, tidak wajib membayar fidyah. Adapun dalam hal waktu meng-qadha, qadha wajib dilaksanakan selambat-lambatnya pada bulan Sya’ban dan berdosa jika seseorang menunda qadha` hingga masuk Ramadan berikutnya. Wallahu a’lam. [MNews/Rgl]

Rabu, 17 Maret 2021

hukum anak kecil kriminal

Pelaku Kriminal di Bawah Umur, Apa Hukumannya?


Oleh: Ustaz M. Shiddiq Al Jawi

MuslimahNews.com, FIKIH — Tanya: Ustaz, bagaimana pandangan syariat bagi pelaku kriminal yang masih di bawah umur? (Budi, Jakarta)

Jawab:

Anak di bawah umur yang melakukan perbuatan kriminal (jariimah, crime), misalnya mencuri, melakukan pengeroyokan (tawuran), membunuh tanpa sengaja (misal kecelakaan), dan sebagainya, tidak dapat dijatuhi sanksi pidana Islam (‘uqubat syar’iyyah), baik hududjinayatmukhalafat, maupun ta’zir.

Ini karena anak di bawah umur belum tergolong mukalaf yang harus memenuhi tiga syarat mukalaf; yaitu ‘aqil (berakal), balig (dewasa), dan mukhtar (melakukan perbuatan atas dasar pilihan sadar, bukan karena dipaksa atau berbuat di luar kuasanya).

Maka dari itu, jika pelaku kriminal adalah orang gila, atau anak di bawah umur (belum balig), dia tak dapat dihukum. Namun jika perbuatan kriminal yang dilakukan anak di bawah umur itu terjadi karena kelalaian walinya, misalnya wali mengetahui dan melakukan pembiaran, maka wali itu yang dijatuhi sanksi. Jika bukan karena kelalaian wali, wali tak dapat dihukum (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 108).

Dalil bahwa anak di bawah umur dan orang gila tak dapat dihukum, sabda Rasulullah Saw.,

رُفِعَ الْقَلمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النائِمِ حَتى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصبِيِّ حَتى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ المَجْنُوْنِ حَتى يَعْقِلَ

“Telah diangkat pena bagi tiga golongan, yaitu : dari orang tidur hingga dia bangun, dari anak kecil hingga dia balig, dan dari orang gila hingga dia berakal (waras).” (HR Abu Dawud, no 4403)

Yang dimaksud “diangkat pena” (rufi’a al qalamu) dalam hadis ini adalah diangkat taklif (beban hukum), yakni tiga golongan itu bukan mukallaf. (Taqiyuddin Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/36; Muqaddimah Ad Dustur, 1/188).

Adapun dalil bahwa orang yang dipaksa tak dapat dihukum, sabda Rasulullah Saw., ”Sesungguhnya Allah telah mengangkat [hukuman] dari umatku perbuatan karena tersalah (tak sengaja), lupa, dan apa-apa yang mereka dipaksa melakukannya.” (HR Ibnu Majah, no 2045)

Perlu diketahui, anak di bawah umur dalam pandangan syariat adalah anak yang belum balig (dewasa). Adapun jika pada seseorang sudah terdapat satu atau lebih di antara tanda-tanda balig (‘alamat al bulugh) yang ditetapkan syariat, berarti dia sudah dianggap mukalaf dan dapat dijatuhi sanksi jika melakukan perbuatan kriminal (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 108; Abdul Qadir ‘Audah, At Tasyri’ Al Jina`i Al Islami, 1/602).

Tanda-tanda balig adalah salah satu dari empat tanda berikut; pertamaihtilaam, yaitu keluarnya mani dari laki-laki atau perempuan baik dalam keadaan tidur (mimpi basah/mimpi berhubungan badan) maupun dalam keadaan sadar (misal onani); Kedua, tumbuhnya rambut kemaluan baik pada laki-laki atau perempuan; Ketiga, sudah haid atau melahirkan, khusus bagi perempuan; Keempat, sudah mencapai umur balig, baik pada laki-laki atau perempuan, yaitu 15 (lima belas) tahun menurut pendapat jumhur ulama, dihitung menurut kalender Qamariah, bukan kalender Syamsiyah (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 8/186 & 13/248; Imam Syaukani, Nailul Authar, 7/55-60, bab ‘Alamat Al Bulugh, kitab At Taflis).

Dari keempat tanda balig tersebut, terdapat tiga tanda yang disepakati para fukaha, yaitu tanda pertama, kedua, dan ketiga. Adapun tanda keempat (umur), terdapat perbedaan pendapat (khilafiah) di kalangan fukaha (Abdul Qadir ‘Audah, At Tasyri’ Al Jina`i Al Islami, 1/603; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah; 8/192).

Menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah, batas umur balig 15 tahun. Menurut ulama Malikiyah 18 tahun, sedang menurut Imam Abu Hanifah batasnya 18 tahun untuk laki-laki dan 17 tahun untuk perempuan. Yang rajih menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, adalah 15 tahun baik untuk laki-laki maupun perempuan, berdasarkan hadis sahih dalam Shahih Al Bukhari no 2521 & 3871. (Lihat: Muqaddimah Ad Dustur, 1/204-206; Abdul Qadim Zallum, Nizham Al Hukm fi Al Islam, hlm. 52; Ajhizah Daulah Al Khilafah, hlm. 86-87). Wallahu a’lam.

Selasa, 09 Maret 2021

Hukum Memanfaatkan Wanita untuk Menjadi Model Iklan

Hukum Memanfaatkan Wanita untuk Menjadi Model Iklan
 3 Desember 2020 berhias, Eksploitasi, feminitas, hukum menjadi model iklan, model perempuan, Tabarruj


Oleh: Ustaz Shiddiq Al Jawi

MuslimahNews.com, FIKIH – Pertanyaan: Saat ini banyak sekali pembuat iklan yang memanfaatkan wanita untuk menjadi model iklan produk tertentu, misal iklan kerudung. Bagaimana hukumnya?

Jawab:

Syara’ membolehkan wanita untuk bekerja, namun tidak semua pekerjaan boleh dilakukan oleh wanita. Kaum wanita boleh bekerja dan mencari nafkah dari kecakapan atau keterampilan yang dia miliki, baik kemampuan fisik maupun nonfisik.

Mereka boleh menjadi guru, juru masak, laboran, programmer, juru tulis, tukang jahit, dan lain-lain asalkan semua profesi itu tetap dilakukan di atas rel hukum syara’ yang mengatur mereka sebagai wanita.

Hanya saja, Islam melarang mereka untuk menebar pesona kepada pria mana pun kecuali suami. Dengan kata lain, Islam mengharamkan setiap usaha kaum hawa untuk menonjolkan dan menunjukkan sisi-sisi “menarik” pada diri mereka kepada pria asing. Aktivitas tebar pesona inilah yang oleh bahasa dan syara’ disebut tabarruj.

Dikatakan: tabarrajat al-mar’ah (seorang wanita ber-tabarruj) artinya adzharat zînatahâ wa mahâsinahâ li al-ajânib (wanita itu memamerkan perhiasan dan kecantikannya kepada pria asing –bukan mahramnya–)[1].

Tabarruj dilakukan oleh seorang wanita melalui penampilan yang tidak biasa ditampilkan oleh umumnya wanita dalam kehidupan sehari-hari, baik dengan pakaian, perhiasan, riasan, maupun gerakan tertentu, dengan maksud menunjukkan bahwa ia adalah wanita yang cukup menarik/cantik ketika dilihat oleh kaum pria.

Baca juga: Benarkah Celana Panjang bagi Perempuan Termasuk Tabarruj?
Dalam tradisi kita, kaum wanita kompak untuk berlomba tampil cantik dengan memakai pakaian dan riasan wajah tertentu ketika berangkat ke pesta, di mana pakaian dan riasan seperti itu secara umum tidak biasa ditampilkan pada hari-hari lain. Inilah tabarruj.

Jika tabarruj/memamerkan kecantikan saja dilarang, maka –dalam Islam- tidak ada ruang bagi kaum hawa untuk mengomersialkan kecantikan mereka. Mereka tidak boleh berkecimpung dalam profesi yang tidak mempekerjakan kemampuan dan keterampilan, tapi sekadar mengeksploitasi kecantikan dan kewanitaan.

Dengan kata lain, mereka tidak boleh digaji karena keindahan rambut, tubuh, gaya, lenggak-lenggok, senyuman, wajah, pakaian, suara yang menggoda, dan sebagainya. Semua itu haram untuk dikomersialkan dan haram hukumnya menyewa seluruh “aset” mereka yang seperti itu.

Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab An Nidzom Al Ijtima’iy menyatakan,

“Islam melarang pria dan wanita untuk terjun dalam segala bentuk profesi yang membahayakan akhlak atau yang dapat merusak masyarakat. Maka dari itu wanita tidak boleh berkecimpung dalam segala bentuk pekerjaan yang bermaksud untuk “memperkerjakan” aspek kewanitaan (feminitas).

Diriwayatkan dari Râfi‘ ibn Rifâ‘ah, ia menuturkan, “Nabi Saw. telah melarang kami dari pekerjaan seorang pelayan wanita kecuali yang dikerjakan dengan kedua tangannya. Beliau bersabda, ‘Begini (dia kerjakan) dengan jari-jemarinya seperti membuat roti, memintal, atau menenun.’ (HR Ahmad).

Baca juga: Berhias dan Tabarruj, Apakah Sama? (Bagian 1/2)
Dengan demikian, seorang wanita dilarang untuk bekerja di toko sekadar untuk menarik pelanggan atau bekerja di kantor-kantor diplomatik, konsulat, dan yang sejenisnya dengan maksud untuk memanfaatkan unsur kewanitaannya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan politik.

Wanita juga dilarang bekerja sebagai pramugari di pesawat-pesawat terbang dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang mengeksploitasi unsur kewanitaannya.”[2]

Saat ini, wanita banyak dibayar sebagai model untuk mempromosikan berbagai produk, mulai dari oli sampai jilbab. Gambar mereka terpampang di pinggir-pinggir jalan sampai di internet.

Dalam tinjauan syara’, menjadi model dalam iklan-iklan tersebut tidaklah haram bagi seorang wanita jika gambarnya tidak mengekspos aspek kecantikannya. Sebagai contoh, gambar ibu-ibu yang sedang memasak dengan gaya, dandanan dan pakaian yang wajar layaknya muslimah biasa yang sedang masak, atau gambar petani wanita yang sedang memetik jagung di ladang dengan penampilan layaknya petani muslimah biasa yang sedang di ladang.

Namun, banyak kita jumpai iklan produk yang sengaja menampilkan sisi menarik wanita, seperti menampilkan wanita cantik dengan pakaian yang indah, senyum yang manis, dan gaya yang menawan. Kebanyakan poster iklan menampilkan model wanita dengan kondisi seperti itu.

Bahkan, promosi jilbab sekalipun, sering memilih wanita yang memiliki postur, proporsi tubuh, wajah, warna kulit, dan senyum yang “layak tonton”. Tujuannya, jilbab akan tampak menarik ketika ia dipasang pada model yang menarik pula.

Baca juga: Wanita Memakai Celana Panjang, Tabarruj-kah?
Padahal, jilbab adalah pakaian syar’i bagi wanita untuk dipakai di kehidupan umum, bukan perhiasan, bukan sarana penarik perhatian, bukan alat untuk memaksimalkan kecantikan.

Jika jilbab digunakan untuk mempercantik diri dalam kehidupan umum, maka jilbab justru menjadi sarana tabarruj itu sendiri.

Maka dari itu, mengupah dan mengambil upah untuk penampilan seperti itu adalah haram. Sebab, menampilkan wanita dalam keadaan demikian jelas tergolong mengeksploitasi sisi-sisi menarik yang ada pada diri wanita.

Nuansa pemanfaatan “aspek menarik” pada wanita itu kental sekali dalam menampilkan model-model tersebut. Jika mereka tidak ingin memanfaatkan sisi kecantikan wanita dalam gambar itu, tentu mereka akan cukup menampilkan foto jilbab tanpa model yang berpose lengkap dengan senyumannya. Wallahu a’lam. [MNews/Rgl]