Oleh: Ustaz M. Shiddiq Al Jawi
Tanya: Bagaimana cara meng-qadha puasa yang ditinggalkan? Masalahnya, belum sempat meng-qadha ternyata bulan puasa sudah tiba kembali.
Jawab: Barang siapa yang belum meng-qadha puasa Ramadan yang lalu, kemudian sudah datang lagi Ramadan berikutnya, maka harus dilihat dulu alasan penundaan (ta’khir) qadha tersebut. Jika penundaan itu karena ada uzur (alasan syar’i), seperti sakit, nifas, menyusui, atau hamil, maka tidak mengapa. Demikian menurut seluruh mazhab tanpa ada perbedaan pendapat, sebab yang bersangkutan dimaafkan karena ada uzur dalam penundaan qadha-nya.
Namun jika penundaan qadha itu tanpa ada uzur, maka para ulama berbeda pendapat dalam dua pendapat :
Pendapat Pertama, pendapat jumhur, yaitu Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan lain-lain berpendapat orang tersebut di samping tetap wajib meng-qadha, dia wajib juga membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari dia tidak berpuasa. Fidyah ini adalah sebagai kaffarah (penebus) dari penundaan qadha-nya. Demikian penuturan Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni Ma’a Asy-Syarh Al-Kabir, II/81 (Dikutip oleh Yusuf al-Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, [Kairo : Darush Shahwah], 1992, hal. 64)
Pendapat pertama ini terbagi lagi menjadi dua:
(1) Menurut ulama Syafi’iyah, fidyah tersebut berulang dengan berulangnya Ramadhan (Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala al-Mazahib Al-Arba’ah Kitabush Shiyam (terj), hal. 109).
(2) Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, fidyah hanya sekali, yakni tidak berulang dengan berulangnya Ramadhan (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/680).
Dalil pendapat pertama ini, yakni yang mewajibkan fidyah di samping qadha karena adanya penundaan qadha hingga masuk Ramadan berikutnya, adalah perkataan sejumlah sahabat, seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah (Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm], 2000, hal. 872). Ath-Thahawi dalam masalah ini meriwayatkan dari Yahya bin Aktsam,”Aku mendapati pendapat ini dari enam sahabat yang tidak aku ketahui dalam masalah ini ada yang berbeda pendapat dengan mereka.” (wajadtuhu ‘an sittin min ash-shahabati laa a‘lamu lahum fiihi mukhalifan).(Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, [Beirut : Muassasah Ar-Risalah], 2002, hal. 210).
Imam Syaukani menjelaskan dalil lain bagi pendapat pertama ini. Yaitu sebuah riwayat dengan isnad dhaif dari Abu Hurairah ra dari Nabi Saw. tentang seorang laki-laki yang sakit di bulan Ramadan lalu dia tidak berpuasa, kemudian dia sehat namun tidak meng-qadha hingga datang Ramadan berikutnya. Maka Nabi Saw. bersabda, “Dia berpuasa untuk bulan Ramadan yang menyusulnya itu, kemudian dia berpuasa untuk bulan Ramadan yang dia berbuka padanya dan dia memberi makan seorang miskin untuk setiap hari [dia tidak berpuasa].” (yashuumu alladziy adrakahu tsumma yashuumu asy-syahra alladziy afthara fiihi wa yuth’imu kulla yaumin miskiinan). (HR Ad-Daruquthni, II/197). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 871; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/689).
Pendapat Kedua, pendapat Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya, Imam Ibrahim An-Nakhai, Imam al-Hasan Al-Bashri, Imam Al-Muzani (murid Asy-Syafi’i), dan Imam Dawud bin Ali. Mereka mengatakan bahwa orang yang menunda qadha hingga datang Ramadan berikutnya, tidak ada kewajiban atasnya selain qadha`. Tidak ada kewajiban membayar kaffarah (fidyah) (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/240; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/240; Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 210).
Dalil ulama Hanafiyah ini sebagaimana dijelaskan Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu (II/240). adalah kemutlakan nas Al-Qur’an yang berbunyi “fa-‘iddatun min ayyamin ukhar” yang berarti “maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqarah [2] : 183).
Perlu ditambahkan bahwa dalam masalah menunda qadha (ta’khir al-qadha), Imam Abu Hanifah memang membolehkan qadha puasa Ramadan kapan saja walau pun sudah datang lagi bulan Ramadan berikutnya. Dalilnya adalah kemutlakan nas Al-Baqarah : 183. Dalam kitab Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 122, dinukilkan oleh penulisnya bahwa Imam Abu Hanifah berkata,”Kewajiban meng-qadha puasa Ramadan adalah kewajiban yang lapang waktunya tanpa ada batasan tertentu, walaupun sudah masuk Ramadan berikutnya.” (wujuubu al-qadhaai muwassa’un duuna taqyiidin walaw dakhala ramadhan ats-tsaniy).
Sedang jumhur berpendapat bahwa penundaan qadha selambat-lambatnya adalah hingga bulan Sya’ban dan tidak boleh sampai masuk Ramadan berikutnya. Dalil pendapat jumhur ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ahmad dari ‘Aisyah ra dia berkata, “Aku tidaklah meng-qadha sesuatu pun dari apa yang wajib atasku dari bulan Ramadan, kecuali di bulan Sya’ban hingga wafatnya Rasulullah Saw.” (maa qadhaytu syaian mimmaa yakuunu ‘alayya min ramadhaana illaa sya’baana hatta qubidha rasulullahi shallallahu ‘alaihi wa sallama) (Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, [Beirut : Muassasah Ar-Risalah], 2002, hal. 122).
Tarjih
Setelah mendalami dan menimbang dalil-dalilnya, pendapat yang rajih (kuat) menurut pemahaman kami adalah sebagai berikut:
Masalah Fidyah
Mengenai wajib tidaknya fidyah atas orang yang menunda qadha Ramadan hingga datang Ramadan berikutnya, pendapat yang rajih adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Ibrahim An-Nakhai, dan lain-lain. Pendapat ini menyatakan bahwa orang yang menunda qadha hingga masuk Ramadan, hanya berkewajiban qadha, tidak wajib membayar fidyah.
Hal itu dikarenakan kewajiban membayar fidyah bagi orang yang menunda qadha Ramadan hingga masuk Ramadan berikutnya, membutuhkan adanya dalil khusus dari nash-nash syara’. Padahal tidak ditemukan nas yang layak menjadi dalil untuk kewajiban fidyah itu. (Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal.210).
Adapun dalil hadis Abu Hurairah yang dikemukakan, adalah hadis dhaif yang tidak layak menjadi hujjah (dalil). Imam Syaukani berkata,”…telah kami jelaskan bahwa tidak terbukti dalam masalah itu satu pun [hadis sahih] dari Nabi Saw.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 872). Yusuf al-Qaradhawi meriwayatkan tarjih serupa dari Shiddiq Hasan Khan dalam kitabnya Ar-Raudatun An-Nadiyah (I/232),”…tidak terbukti dalam masalah itu sesuatu pun [hadis sahih] dari Nabi Saw.” (Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, hal. 64).
Pendapat beberapa sahabat yang mendasari kewajiban fidyah itu, adalah dasar yang lemah. Sebab pendapat sahabat –yang dalam ushul fiqih disebut dengan mazhab ash-shahabi atau qaul ash-shahabi— bukanlah hujjah (dalil syar’i) yang layak menjadi sumber hukum Islam. Imam Syaukani berkata,”Pendapat yang benar bahwa qaul ash-shahabi bukanlah hujjah [dalil syar’i].” (Imam Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal. 243). Imam Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan,”…mazhab sahabat tidak termasuk dalil syar’i.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, III/411).
Mengenai periwayatan ath-Thahawi dari Yahya bin Aktsam bahwa dia berkata,”Aku mendapati pendapat ini dari enam sahabat yang tidak aku ketahui dalam masalah ini ada yang berbeda pendapat dengan mereka”, tidaklah dapat diterima. Mahmud Abdul Latif Uwaidhah dalam Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam hal.210 mengatakan,”Sesungguhnya riwayat-riwayat dari sahabat ini tidaklah terbukti, sebab riwayat-riwayat itu berasal dari jalur-jalur riwayat yang lemah [dhaif]. Maka ia wajib ditolak dan tidak boleh di-taqlid-i atau diikuti.”
Masalah Waktu Qadha
Adapun waktu qadha, yang rajih adalah pendapat jumhur, bukan pendapat Imam Abu Hanifah, rahimahullah. Jadi meng-qadha puasa Ramadan itu waktunya terbatas, bukan lapang (muwassa) sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah. Maka qadha wajib dilakukan sebelum masuknya Ramadan berikutnya. Jika seseorang menunda qadha tanpa udzur hingga masuk Ramadan berikutnya, dia berdosa.
Dalilnya adalah hadis Aisyah ra di atas bahwa dia berkata, “Aku tidaklah meng-qadha sesuatu pun dari apa yang wajib atasku dari bulan Ramadan, kecuali di bulan Sya’ban hingga wafatnya Rasulullah Saw.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ahmad, hadis sahih). (Terdapat hadis-hadis yang semakna dalam lafaz-lafaz lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 871-872, hadis no. 1699).
Memang hadis di atas adalah hadis mauquf yaitu merupakan perbuatan, perkataan, dan diamnya sahabat, yang dalam hal ini adalah perkataan dan/atau perbuatan ‘Aisyah ra. Jadi ia memang bukan hadits marfu’, yaitu hadis yang isinya adalah perbuatan, perkataan, dan diamnya Rasulullah Saw.
Namun adakalanya sebuah hadis itu mauquf, tapi dihukumi sebagai hadis marfu’. Para ulama menyebut hadis semacam ini dengan sebutan al-marfu’ hukman, yakni hadis yang walaupun secara redaksional (lafzhan) adalah hadits mauquf tetapi secara hukum termasuk hadits marfu’ (Mahmud Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, hal. 131).
Hadits al-marfu’ hukman mempunyai ciri antara lain bahwa objek hadis bukanlah lapangan pendapat atau ijtihad. Dengan kata lain, bahwa seorang sahabat tidaklah berkata, berbuat, atau berdiam terhadap sesuatu kecuali dia telah memastikan bahwa itu berasal dari Nabi Saw. (Shubhi Shalih, ‘Ulumul Hadits wa Musthalahuhu, hal. 207-208).
Mengenai hadis ‘Aisyah ra di atas terdapat indikasi bahwa ia adalah al-marfu’ hukman. Mahmud Abdul Latif Uwaidhah menjelaskan dalam Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam hal. 123-124 dengan mengatakan :
“Adalah jauh sekali, terjadi perbuatan itu dari ‘Aisyah —yang tinggal dalam rumah kenabian— tanpa adanya pengetahuan dan persetujuan (iqrar) dari Rasulullah Saw. Nas ini layak menjadi dalil bahwa batas waktu terakhir untuk meng-qadha puasa adalah bulan Sya’ban. Artinya, qadha hendaknya dilaksanakan sebelum datangnya Ramadan yang baru. Jika tidak demikian, maka seseorang telah melampaui batas. Kalau qadha itu boleh ditunda hingga datangnya Ramadan yang baru, niscaya perkataan ‘Aisyah itu tidak ada faidahnya. Lagi pula pendapat mengenai wajibnya meng-qadha sebelum datangnya Ramadan yang baru telah disepakati oleh para fukaha, kecuali apa yang diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah, rahimahullah.”
Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang menunda qadha hingga masuk Ramadan, hanya berkewajiban qadha, tidak wajib membayar fidyah. Adapun dalam hal waktu meng-qadha, qadha wajib dilaksanakan selambat-lambatnya pada bulan Sya’ban dan berdosa jika seseorang menunda qadha` hingga masuk Ramadan berikutnya. Wallahu a’lam. [MNews/Rgl]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar