Rabu, 28 April 2021

hukum tahajud setelah tarawih dan witir

HUKUM SHALAT TAHAJJUD SETELAH SHALAT TARAWIH DAN WITIR

Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi

Jawab :

Jika seseorang di bulan Ramadhan sudah melaksanakan shalat tarawih dan mengakhiri shalat tarawih tersebut dengan shalat witir, hukumnya boleh baginya melaksanakan sholat tahajjud pada malam yang sama. (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/14).

Dalilnya adalah hadits shahih dalam Shahih Muslim pada Bab Shalatul Lail dari jalur riwayat Abu Salamah dari ‘A`isyah RA. Abu Salamah bertanya kepada ‘A`isyah RA mengenai shalat Rasulullah SAW, maka ‘A`isyah berkata :

كَانَ يُصَلِّي ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي ثَمَانَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ يُوتِرُ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ قَامَ فَرَكَعَ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالْإِقَامَةِ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ

”Rasulullah SAW shalat tigabelas rakaat, yaitu Rasulullah shalat delapan rakaat kemudian beliau shalat witir (tsumma yuutiru), kemudian beliau shalat dua rakaat dalam keadaan duduk (tsumma yushalli rak’ataini wa huwa jaalisun), maka jika beliau hendak ruku’ beliau berdiri dan ruku’, kemudian beliau shalat dua rakaat antara adzan dan iqamah dari shalat Shubuh.” (HR Muslim, no 126 & 736).

Imam Nawawi memberi syarah (penjelasan) hadits di atas dengan berkata :

الصواب أن هاتين الركعتين فعلهما صلى الله عليه وسلم بعد الوتر جالسا لبيان جواز الصلاة بعد الوتر، وبيان جواز النفل جالسا
”Pendapat yang benar, sesungguhnya dua rakaat ini dilakukan oleh Rasulullah SAW setelah shalat witir dalam keadaan duduk, untuk menjelaskan bolehnya shalat [sunnah] setelah witir (jawaz an nafli ba’da al witr) dan bolehnya shalat sunnah sambil duduk (jawaz an nafli jaalisan).” (Imam Nawawi, Syarah An Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, 6/21; Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/14; Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 513, syarah hadits no 926). 

Imam Syaukani menambahkan dalil lain yang semakna dengan hadits ‘A`isyah RA, yaitu hadits dari Ummu Salamah RA, bahwa Nabi SAW ruku’ dengan dua raka’at setelah witir (kaana raka’a rak’atain ba’da al witri). (HR Tirmidzi, no 471; Ahmad, 6/299; Ibnu Majah no 1195). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 518-519).

Berdasarkan hadits ‘A`isyah dan Ummu Salamah tersebut, boleh hukumnya melaksanakan shalat tahajjud setelah shalat tarawih dan shalat witir. Inilah pendapat yang kami anggap rajih (kuat) dalam masalah ini.  

Kemudian, jika seseorang melakukan tahajjud setelah witir tersebut, apakah dia shalat witir lagi ataukah tidak? Di sini para ulama juga berbeda pendapat menjadi dua pendapat; pertama, orang tersebut tidak boleh membatalkan witirnya, yakni dia shalat sunnah secara genap-genap (syafa’) hingga Shubuh tanpa shalat witir lagi. Ini pendapat para imam seperti Imam Malik dan Imam Ahmad, berdalil dengan hadits dari Thalq bin Ali RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

لا وتران في ليلة

”Tidak ada dua witir dalam satu malam.” (laa witraani fi lailatin) (HR Ahmad, dinilai shahih oleh Ibnu Hibban, dan dinilai hasan oleh Tirmidzi). (Subulus Salam, 2/14; Nailul Authar, hlm. 518, no 934).

Kedua, orang tersebut boleh membatalkan witirnya, dengan cara menambahkan satu rakaat lagi atas witir sebelumnya sehingga jumlah raka’atnya menjadi genap, kemudian dia shalat sunnah (tahajjud), kemudian dia shalat witir. Ini juga pendapat para imam seperti Imam Auza’i, Imam Syafi’i, dan Imam Abu Tsaur, berdalil dengan hadits Ibnu Umar bahwa Nabi SAW bersabda :
 
اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا

”Jadikanlah akhir dari shalat-shalat malammu shalat witir.” (ij’aluu aakhira shalaatikum bil laili witran). (HR Jama’ah kecuali Ibnu Majah). (Nailul Authar, hlm. 518, no 935).

Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat kedua, yakni yang membolehkan membatalkan witir. Alasannya,

pendapat pertama berarti hanya mengamalkan satu hadits, yaitu hadits Thalq bin Ali yang melarang dua witir dalam satu malam, dengan cara tak membatalkan witir sebelumnya kemudian shalat tahajjud tanpa ditutup witir. Jadi hadits Ibnu Umar bahwa witir penutup shalat malam, tidak diamalkan.

Sedang pendapat kedua, mengamalkan dua hadits sekaligus, yaitu hadits Thalq bin Ali diamalkan dengan menambahkan satu rakaat untuk membatalkan witir sebelumnya, dan hadits Ibnu Umar diamalkan dengan melaksanakan shalat witir sebagai penutup shalat malam.

Jadi, pendapat kedua lebih kuat, sesuai kaidah ushuliyyah yang berbunyi :

إعمال الدليلين أولى من إهمال أحدهما بالكلية

I’maalu ad dalilaini aula min ihmaali ahadimaa bil kulliyyah. (Mengamalkan dua dalil lebih utama daripada mengabaikan salah satu dalil secara keseluruhan). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 1/240). Wallahu a’lam.

http://fissilmi-kaffah.com/index/tanyajawab_view/225

=================

Raih amal shalih dengan menyebarkan status ini. 

"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya." (HR. Muslim)

====================

itikaf

Ustadz, apakah i’tikaf itu harus 10 (sepuluh) hari? 

Jawab :

Tidak ada dalil syar’i yang mewajibkan bahwa i’tikaf itu lamanya harus 10 hari, baik di bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan. Bahkan beri’tikaf selama satu malam saja (tanpa siang harinya) dibenarkan oleh syara’. Diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA :

“Bahwa Umar pernah bertanya kepada Nabi SAW, Umar berkata,’Aku pernah bernadzar di masa Jahiliyah untuk beri’tikaf selama satu malam di Masjidil Haram.’ Nabi SAW bersabda,’Penuhilah nadzarmu!” (HR Bukhari, hadits no 2032, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa`i, dan Ad-Daruquthni). (Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 298).

Dalil hadits di atas menunjukkan bahwa beri’tikaf pada malam hari saja tanpa siangnya adalah boleh. Jadi, tidak ada dalil yang mewajibkan bahwa i’tikaf harus sepuluh hari, baik di bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan.

Meski demikian, memang i’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan adalah suatu ibadah yang afdhol (lebih utama), dalam rangka untuk mencari Lailatul Qadar. (Asy-Syarbaini Al-Khathib, Al-Iqna’, 1/212; Zakariyya Al-Anshari, Fathul Wahhab, 1/125). Hal itu dikarenakan Rasulullah SAW selalu melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan. Diriwayatkan oleh ‘A’isyah RA :

 

“Bahwasanya Nabi SAW selalu beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan Allah Azza wa Jalla, kemudian isteri-isteri beliau beri’tikaf sesudah beliau [meninggal].” (Muttafaq ‘alaihi) (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, 2/174).

Hadits ‘A’isyah di atas dengan jelas menerangkan bahwa Rasulullah SAW selalu beri’tikaf selama sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan. Namun, tidak berarti bahwa i’tikaf itu lamanya wajib sepuluh hari, dalam arti tidak boleh kurang dari sepuluh hari. Sebab dalil hadits Ibnu Umar di atas telah menunjukkan bolehnya beri’tikaf selama satu malam saja.

Maka dari itu, yang perlu diketahui adalah berapa tempo i’tikaf paling singkat yang dibolehkan syara’? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, yang rinciannya sebagai berikut :

 

Pertama, Ulama mazhab Hanafi (Hanafiyah) berpendapat bahwa minimal tempo i’tikaf adalah “tempo yang singkat tanpa batas tertentu” (muddatun yasiratun ghairu mahduudatin), tapi cukup sekedar “berdiam diri” (al-lubtsu) disertai niat. (Maraqi Al-Falah wa Nurul Idhah, hal. 119; dikutip oleh Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 2/695). Ada riwayat lain mengenai pendapat ulama mazhab Hanafi, yakni minimal adalah satu hari (siang hari saja tanpa malamnya) (yaumun). (Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 299).

 

Kedua, Ulama mazhab Maliki (Malikiyah) berpendapat tempo i’tikaf minimal adalah satu hari satu malam (yaumun wa lailatun). Dan pendapat yang terpilih (ikhtiyar) menurut ulama Malikiyah : i’tikaf itu hendaknya tidak kurang dari sepuluh hari. (Asy-Syarhul Kabir, 1/541; Asy-Syarhush Shaghir, 1/725; dikutip oleh Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 2/695).

 

Ketiga, Ulama mazhab Syafi’i (Syafi’iyah) berpendapat tempo i’tikaf minimal adalah suatu kadar yang dapat disebut “berdiam diri” (ukuuf / iqamah), yaitu lebih lama dari waktu tumakninah dalam ruku’ dan yang semisalnya (fauqa zaman at-tuma`niinah fi ar-rukuu’ wa nahwihi), dan tidak cukup disebut i’tikaf kalau lamanya hanya selama waktu tumakninah. (Lihat Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, 1/215; Syarbaini Al-Khathib, Al-Iqna’, 1/213; As-Sayyid Al-Bakri, I’anah Ath-Thalibin, 2/259; Zakariyya Al-Anshari, Fathul Wahhab, 1/125).

 

Keempat, Ulama mazhab Hanbali (Hanabilah) berpendapat tempo i’tikaf minimal adalah “sesaat” (saa’atun), yaitu suatu kadar yang dapat disebut “berdiam diri” (mu’takifan laabitsan) walaupan hanya sekejap (lahzhatan). (Kasysyaf Al-Qana’, 2/404; dikutip oleh Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 2/695).

Ringkasnya, pendapat jumhur (Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) menyatakan bahwa tempo i’tikaf minimal adalah “waktu yang singkat” (muddatun yasiiratun). Sedang pendapat ulama mazhab Maliki tempo i’tikaf minimal adalah satu hari satu malam (yaumun wa lailatun). (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 2/695; Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 299-300; Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf al-A`immah, hal. 71).

Menurut pentarjihan kami (wallahu a’lam), yang lebih kuat (rajih) adalah pendapat jumhur. Hal ini dikarenakan dalil-dalil tentang i’tikaf dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah adalah dalil-dalil yang bersifat mutlak, yakni mutlak dari segi tidak menyebut batas tempo yang minimal untuk i’tikaf. Dengan kata lain, tidak terdapat dalil yang membatasi (men-taqyid) bahwa tempo minimal i’tikaf adalah satu hari satu malam (sebagaimana mazhab Maliki). (Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 298).

Kaidah ushul dalam masalah ini menyatakan :

Al-Mutlaqu yajriy ‘ala ithlaaqihi maa lam yarid daliilun yadullu ‘alaa at-taqyiid

 

“Dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya taqyid (pemberian batasan atau sifat tambahan).” (Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, 1/208; Imam Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal. 164).

Maka dari itu, berdasarkan pendapat jumhur, sah hukumnya beri’tikaf selama waktu yang singkat yang dapat disebut “berdiam diri” (al-lubstu), meski hanya sebentar saja. Dalam mazhab Syafii bahkan diberi keterangan bahwa sah beri’tikaf walaupun lamanya hanya sedikit lebih lama daripada waktu untuk tumakninah (katakanlah 20 hingga 30 detik saja).

Namun demikian, kami menganjurkan agar dalam beribadah kita berusaha bukan sekedar pada batas minimal, namun yang lebih dari itu. Meski pada batas minimal itu sudah sah dan tidak mengapa. Kaidah fiqih menyatakan :

Maa kaana aktsaro fi’lan kaana aktsaro fadhlan

“Suatu aktivitas yang lebih banyak perbuatannya, lebih banyak pahalanya.” (Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazha`ir, Maktabah Syamilah, 1/257).

Berdasarkan kaidah itu, memisahkan shalat witir yang tiga rakaat (yakni dua rakaat salam, ditambah satu rakaat salam), lebih utama dari menggabungkannya (tiga rakaat sekali salam), dikarenakan lebih banyak niat, takbir, dan salamnya; shalat sunnah dengan berdiri lebih utama daripada dengan duduk; shalat dengan duduk lebih utama daripada shalat dengan berbaring; dan seterusnya. Demikian pula, i’tikaf satu jam lebih utama daripada i’tikaf seperempat jam, dan i’tikaf sepuluh hari lebih utama daripada lima hari, dan seterusnya.

Kesimpulannya, tidak ada dalil yang mewajibkan bahwa i’tikaf itu lamanya harus sepuluh hari. I’tikaf sah dilakukan walau hanya sebentar saja, sesuai pendapat jumhur yang lebih kuat (rajih). Namun syara’ lebih menyukai agar kita melakukan ibadah dengan perbuatan yang lebih banyak. Maka i’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan adalah afdhol (lebih utama), dalam rangka untuk mencari Lailatul Qadar. Wallahu a’lam. [ ]



Muhammad Shiddiq Al-Jawi

Selasa, 06 April 2021

Hukum Rukyatul hilal

FIKIH — Tanya: Ustaz, seperti diketahui ada beberapa ibadah yang terkait dengan rukyatulhilal, misalnya puasa Ramadan, Idulfitri, wukuf di Arafah, Iduladha, dan puasa Asyura (10 Muharam). Lalu apakah setiap bulan umat Islam wajib melakukan rukyatulhilal?

Jawab:
Hukum melakukan rukyatulhilal untuk menentukan awal bulan qamariah adakalanya wajib dan adakalanya sunah (mandub). Hukumnya wajib secara fardu kifayah jika terkait dengan ibadah-ibadah yang hukumnya wajib, seperti puasa Ramadan dan ibadah haji. Maka wajib hukumnya melakukan rukyatulhilal pada malam ke-30 bulan Syakban untuk menentukan awal bulan Ramadan sebagai waktu dimulainya puasa Ramadan.

Wajib pula rukyatulhilal pada malam ke-30 bulan Ramadan untuk mengakhiri puasa Ramadan serta menentukan awal bulan Syawal guna merayakan Idulfitri, serta malam ke-30 bulan Zulkaidah untuk menentukan awal bulan Zulhijah guna melaksanakan ibadah haji, seperti wukuf di Arafah tanggal 9 Zulhijah, juga untuk menentukan hari raya Iduladha tanggal 10 Zulhijah (Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Juz XXII hlm. 13; Bakar bin Abdullah Abu Zaid, Hukm Itsbat Awa`il As Syahr Al Qamari wa Tauhid Ar Ru`yah, hlm. 7).

Dalil wajibnya melakukan rukyatulhilal ini adalah kaidah fikih: maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib. (Jika sebuah kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya). (Mausuah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Juz XXII hlm. 13).

Adapun jika terkait dengan ibadah-ibadah yang hukumnya sunah, seperti puasa Tasu’a tanggal 9 Muharam, atau puasa Asyura tanggal 10 Muharam, atau puasa sunah tanggal 13, 14, dan 15 pada setiap bulan qamariah, maka rukyatulhilal hukumnya sunah.

Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid dalam kitabnya Hukm Itsbat Awa`il As Syahr Al Qamari wa Tauhid Ar Ru`yah berkata, ”Jika ibadah hukumnya sunah, maka melakukan rukyatulhilal hukumnya juga sunah, sebab hukum untuk sarana itu mengikuti hukum tujuan (al wasa`il lahaa ahkam al ghayat). Maka jika dilakukan rukyatulhilal, itu baik. Jika tidak, maka patokan ibadah sunah ialah istikmal (menggenapkan) bulan sebelumnya.” (Bakar bin Abdullah Abu Zaid, Hukm Itsbat Awa`il As Syahr Al Qamari wa Tauhid Ar Ru`yah, hlm. 7).

Dalil sunahnya melakukan rukyatulhilal tersebut adalah kaidah fikih: Al wasa`il tattabi’ al maqashid fi ahkamihaa (Segala jalan/perantaraan itu hukumnya mengikuti hukum tujuan) (Muhammad Shidqi Al Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyah, XII/199).

Kaidah ini menerangkan bahwa hukum untuk wasilah (jalan/perantaraan) itu sama dengan hukum untuk tujuan. Berdasarkan kaidah ini, rukyatulhilal untuk ibadah sunah itu hukumnya sunah. Sebab rukyatul hilal dianggap sebagai wasilah yang akan mengantarkan pada ibadah-ibadah sunah.

Berdasarkan penjelasan ini, maka melakukan rukyatulhilal hukumnya fardu kifayah untuk menentukan masuknya bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Adapun rukyatulhilal untuk bulan-bulan yang lain, seperti bulan Muharam, Rajab, dan sebagainya hukumnya sunah, tidak wajib.

Sebagian ulama mewajibkan rukyatulhilal untuk menentukan masuknya bulan-bulan haram (al asyhur al hurum), karena terkait dengan larangan berperang bagi kaum muslimin untuk berperang pada bulan-bulan haram, yakni bulan Zulkaidah, Zulhijah, Muharam, dan Rajab (Fahad bin Ali Al Hasun, Dukhul Al Syahr Al Qamari Baina Ru`yat Al Hilal wa Al Hisab Al Falaki, hlm. 11).

Namun menurut kami, pendapat yang rajih hukumnya tidak wajib, sebab menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, larangan berperang pada bulan-bulan haram itu telah di-nasakh (dihapus) oleh ayat-ayat perang sehingga larangan tersebut tidak berlaku lagi bagi kaum muslimin saat ini (Taqiyuddin an-Nabhani, Ad Daulah Al Islamiyah, hlm. 61). Wallahu a’lam. [MNews/Rgl]

Sumber: fissilmi-kaffah.com

hukum puasa pertengahan sya'ban

*Hukum Berpuasa pada Pertengahan Akhir Syakban*

_hukum puasa, puasa senin-kamis, syakban_

Oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi MuslimahNews.com, FIKIH – Tanya: Saya berpuasa Senin-Kamis tidak dawam tapi sering, bolehkah diteruskan pada pertengahan akhir bulan Syakban?

Jawab:

Terdapat ikhtilaf di kalangan ulama dalam hal hukum berpuasa sunah (tathawwu’) pada pertengahan akhir dari bulan Syakban.

Ada tiga pendapat; membolehkan, memakruhkan, dan mengharamkan. Jumhur ulama membolehkan. Namun ada yang memakruhkan, seperti Imam Ar-Rauyani dari ulama Syafi’iyah; dan ada pula ulama yang mengharamkan, seperti pendapat banyak ulama Syafi’iyah (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,  I/249; Wahbah Az-Zuhaili,  Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu,  II/583; Imam Shan’ani,  Subulus Salam, II/171; Imam Syaukani,  Nailul Authar, Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000, hal. 889).

Menurut pen-tarjih-an kami, wallahu a’lam, berpuasa sunah pada pertengahan akhir Syakban hukumnya adalah haram, kecuali jika seseorang sudah terbiasa melakukan puasa sunah sebelumnya.

Inilah pendapat para ulama Syafi’iyah, seperti Imam Syirazi sebagaimana dalam kitabnya Al-Muhadzdzab Juz I hal. 189.

Dalil keharamannya adalah sabda Nabi saw., “Jika bulan Syakban telah sampai pertengahan, maka janganlah kamu berpuasa hingga datang Ramadan!” (idzaa [i]ntashofa Sya’baanu falaa tashuumuu hattaa yakuuna ramadhaanu) (HR Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidziy, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah; dari Abu Hurairah ra).

hadis ini sahih menurut Ibnu Hibban, dan hasan menurut Imam Suyuthi. (Lihat Imam Shan’ani, Subulus Salam, II/171; Imam Suyuthi, Al-Jami’ush Shaghir, I/21).

Hadis Abu Hurairah ra itulah yang menjadi dalil keharaman menurut para ulama mazhab Syafi’i.

Meski demikian, ada ulama yang menganggap hadis itu lemah (dhaif), seperti Imam Ahmad, rahimahullah, sehingga berpuasa sunah pada pertengahan akhir Syakban tidaklah haram menurut beliau. Karena menurut Imam Ahmad pada hadis itu ada perawi yang lemah, yaitu al-‘Ala` bin Abdurrahman. Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in berkata, ”Sesungguhnya hadis itu munkar.” (innahu munkar). (1) (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 889).

Akan tetapi, kami lebih condong kepada pendapat ulama yang menghasankan hadis tersebut.

Imam Shan’ani berkata, “Dan dia [Al-‘Ala` bin Abdurrahman] termasuk perawi-perawi hadis Imam Muslim.” (wa huwa min rijaal muslim).

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata dalam kitabnya At-Taqrib, ”Sesungguhnya dia [Al-‘Ala` bin Abdurrahman] adalah orang yang jujur meski kadang-kadang berbuat waham (mempunyai persangkaan yang lemah).” (innahu shaduuq wa rubbamaa wahama). (Imam Shan’ani,  Subulus Salam, II/171).

Maka dari itu, hadis di atas dalam pen-tarjih-an kami adalah hadis hasan, yang dapat dijadikan hujah (yuhtajju bihi). Imam Suyuthi menghasankan hadis tersebut (Lihat Imam Suyuthi, Al-Jami’ush Shaghir, I/21).

Dengan demikian jelaslah, bahwa dengan dalil hadis tersebut, berpuasa sunah setelah pertengahan Syakban hukumnya adalah haram. Kecuali jika seseorang sudah terbiasa berpuasa sunah sebelumnya maka hukumnya tidak haram. Imam Shan’ani berkata, “Hadis di atas adalah dalil larangan berpuasa setelah pertengahan Syakban. Akan tetapi larangan itu muqayyad (ada dalil lain yang membatasinya/mengecualikannya), yaitu hadis Nabi, ”Kecuali bertepatan dengan puasa yang sudah biasa dilakukannya” (illa an yuwaafiqa shauman mu’taadan). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, II/171).

Sebelum kami akhiri, kami tambahkan satu penjelasan untuk menambah faidah. Yaitu diskusi (munaqasyah) mengenai pendapat ulama yang membolehkan puasa sunah setelah pertengahan Syakban.

Mereka berdalil antara lain dengan hadis dari Ummu Salamah ra bahwa Nabi saw. tidak pernah berpuasa satu bulan penuh dalam setahun kecuali pada bulan Syakban yang bersambung pada bulan Ramadan (anna an-nabiyya shallallahu ‘alaihi wa sallama lam yakun yashuumu min as-sanati syahran taamman illaa sya’baana yashilu bihi ramadhaana)(HR. Khamsah). (Imam Syaukani,  Nailul Authar, hal. 879; hadits no.1722).

Kami tidak sepakat dengan pendapat yang membolehkan itu, karena hadits Ummu Salamah ini bertentangan (ta’aarudh) dengan hadis Abu Hurairah di atas.

Padahal dalam ushul fikih terdapat kaidah bahwa  hadis qauli (ucapan Nabi) lebih diutamakan daripada hadis fi’li (perbuatan Nabi).

Hadits Abu Hurairah sebagai hadits qauli (ucapan Nabi) lebih diutamakan daripada hadis Ummu Salamah yang merupakan hadits fi’li  (perbuatan Nabi). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, II/171).

Sejalan dengan itu, menurut kami, pertentangan (ta’aarudh) kedua hadis di atas hakikatnya hanyalah pada lahiriahnya saja.

Artinya, masih dimungkinkan melakukan kompromi (jama’) di antara kedua hadis tersebut. Jika bertentangan hadis qauli dengan hadis fi’li pada suatu perbuatan, dalam keadaan tidak diketahui mana dari keduanya yang lebih dulu, maka menurut Imam Taqiyuddin an-Na’bhani, rahimahullah, berarti bahwa hadis qauli itu berlaku untuk umat Islam, sedang hadits fi’li berarti merupakan hukum khusus (khususiyat) bagi Nabi saw. (Lihat Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz III (Ushul Fiqih), pada Bab At-Ta’arudh Bayna Fi’lin An-Nabiy wa Qaulihi, hal. 107-110).

Dengan demikian, kedua hadis tersebut dapat dijamak dengan menghasilkan satu pemahaman, bahwa kebolehan berpuasa setelah pertengahan Syakban adalah merupakan khususiyat bagi Nabi saw. saja, sedangkan bagi umat Islam, Hukumnya adalah haram. Inilah pendapat yang rajih (lebih kuat) menurut kami. Wallahu a’lam. [ MNews/Rgl ]

Catatan :

(1) Hadis Munkar adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang dhaif, menyalahi apa yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (definisi Ibnu Hajar Al-Asqalani). Definisi kedua, hadis munkar adalah hadis yang dalam isnadnya ada perawi yang banyak kesalahannya [dalam menyampaikan hadis], atau banyak kelengahannya [dalam menerima hadis], atau jelas kefasikannya (Lihat Mahmud Ath-Thahhan, Taysir Musthalah Al-Hadits, hal. 95-96; Fatchur Rahman,  Ikhtishar Musthalahul Hadits, hal. 158-159).

Sumber: fissilmi-kaffah.com

Kamis, 01 April 2021

hukum shalat Jumat virtual

Hukum Salat Jumat Virtual (Online)
 

FIKIH — Tanya: Ustaz, bagaimana hukum salat Jumat virtual seperti yang akan dilakukan oleh seorang tokoh pada hari Jumat 19 Maret 2021 via Zoom meeting. Posisi Imam (atau Khatib) di Jakarta, sedangkan peserta tersebar di seluruh Indonesia. (Malayati Hasan, Bandung).

Jawab:
Tidak sah salat Jumat virtual seperti yang ditanyakan tersebut, yaitu salat Jumat di mana imam dan makmumnya terpisah dan tidak berada di tempat yang sama, seperti yang ditanyakan di atas, yaitu posisi imam (atau khatib) ada di Jakarta sedang makmumnya ada di berbagai tempat di seluruh Indonesia.

Tidak sahnya salat Jumat virtual tersebut dikarenakan tidak terpenuhinya salah satu syarat salat berjemaah, yaitu bersambungnya tempat (al ittishâl al makânî) antara imam dan makmum, yang menjadi salah satu syarat sahnya salat berjemaah menurut jumhur ulama (mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali). (Wahbah Zuhailî, Al Fiqh Al Islâmî wa Adillatuhu, Juz II, hlm. 247).

Syekh Sulaiman Al Jamal yang bermazhab Syafi’i dalam Hâsyiah Al Jamal berkata,

ثالثها اجتماعهما أي الإمام والمأموم بمكان… فإن كان بمسجد صح الاقتداء وإن بعدت مسافة وحالت أبنية … أو كانا بغيره أي بغير مسجد من فضاء أو بناء شرط في فضاء ولو محوطاً أو مسقفاً أن لا يزيد ما بينهما ولا ما بين كل صفين أو شخصين ممن ائتم بالإمام خلفه أو بجانبه على ثلاثمائة ذراع…

”Syarat ketiga (sahnya salat berjemaah), berkumpulnya keduanya (imam dan makmum) di satu tempat. Maka jika keduanya berada di satu masjid, sah hukumnya bermakmum. Adapun jika keduanya berjauhan dan terhalangi bangunan, atau jika keduanya berada di luar masjid, seperti di tanah kosong atau di sebuah bangunan walaupun terlindung atau beratap, maka disyaratkan jarak antara keduanya, juga jarak antara dua shaf, atau jarak antara dua orang, yaitu antara orang yang bermakmum kepada imam dengan orang di depannya atau di sampingnya, tidaklah lebih dari 300 dzirâ’ (hasta), [1 dzirâ’ mursalah/dzirâ’ syar’i= 46,2 cm, maka 300 dzirâ’= 300 x 46,2 cm = 13,86 meter], [maka hukum bermakmumnya tidak sah].” (Sulaimân Al Jamal, Hâsyiah Al Jamal, Juz I, hlm. 548-549; Abdul Qadim Zallum, Al Amwâl fî Daulat Al Khilâfah, hlm. 51-52).

Imam Kasani yang bermazhab Hanafi dalam Badâi Al Shanâ’i’ berkata,

ومنها اتحاد مكان الإمام والمأموم ولأن الاقتداء يقتضي التبعية في الصلاة والمكان من لوازم الصلاة فيقتضي التبعية في المكان ضرورة، وعند اختلاف المكان تنعدم التبعية في المكان فتنعدم التبعية في الصلاة لانعدام لازمها

“Di antara syarat (sahnya salat berjemaah), bersatunya tempat imam dan makmum, karena bermakmum itu menghendaki taba’iyyah (sifat dapat mengikuti) dalam salat. Dan faktor tempat termasuk hal-hal yang menjadi keharusan dalam salat, maka aba’iyyah dalam salat sudah barang tentu menghendaki taba’iyyah dalam hal tempat. Maka jika terjadi perbedaan tempat, hilanglah taba’iyyah dalam hal tempat, dan ini berakibat hilangnya taba’iyah dalam salat itu sendiri, karena telah hilang hal-hal yang menjadi tuntutan dalam salat.” (Imam Kasani, Badâi Al Shanâ’i’ fî Tartîb Al Syarâ’i`, Juz I, hlm. 145).

Imam Ibnu Taimiyah yang bermazhab Hambali dalam Majmû’ Al Fatâwâ berkata,

وأما إذا صفوا وبينهم وبين الصف الآخر طريق يمشي الناس فيه لم تصح صلاتهم في أظهر قولي العلماء…

”Adapun jika mereka [para pemilik toko/hânût di sekitar masjid] membuat shaf, sedang shaf mereka dengan shaf berikutnya terhalang oleh suatu jalan raya yang orang-orang dapat berjalan melintasinya, maka tidak sahlah salat mereka, menurut pendapat yang lebih jelas dari dua pendapat ulama…” (Ibnu Taimiyyah, Majmû’ Al Fatâwâ, Juz XXIII, hlm. 409-410).

Adapun mazhab Maliki yang paling longgar dalam masalah ini, jika mereka mengetahui salat Jumat secara virtual (online) yang ditanyakan, niscaya mereka juga tidak akan mengesahkan salat seperti itu.

Hal itu dikarenakan dalam mazhab Maliki, meski salat jemaah masih dipandang sah walau ada penghalang antara makmum dan imam (seperti bangunan), namun mereka mensyaratkan makmumnya masih dapat melihat atau mendengar imam [secara natural], kecuali salat Jumat.

Jadi, andaikan ulama mazhab Maliki melihat realitas salat Jumat virtual (online) yang ditanyakan, niscaya mereka juga tidak akan mengesahkannya. (islamweb.net/ar/fatwa/40897/)

Kesimpulannya, tidak sah salat Jumat virtual seperti yang ditanyakan di atas, yaitu salat Jumat di mana imam dan makmumnya terpisah dan tidak berada di tempat yang sama, yaitu posisi imam (atau khatib) ada di Jakarta sedang makmumnya ada di berbagai kota di seluruh Indonesia.

Tidak sahnya salat Jumat virtual tersebut dikarenakan tidak terpenuhinya salah satu syarat yang wajib dipenuhi dalam salat berjemaah, yaitu bersambungnya tempat (al ittishâl al makânî) antara imam dan makmum, yang menjadi salah satu syarat sahnya salat berjemaah menurut jumhur ulama (mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali). Wallahu a’lam bi al shawab.