maryam parastuti
Senin, 05 Mei 2025
hukum menjual barang yang belum dimiliki
Selasa, 23 April 2024
hukum biaya admin dalam pinjaman
Rabu, 27 Maret 2024
Hukum pekerja berat puasa
Fikih] Bolehkah Pekerja Berat Tidak Berpuasa?
Oleh: K.H. M. Shiddiq al-Jawi
Muslimah News, FIKIH — Tanya: Ustaz, bolehkah pekerja berat, seperti buruh bangunan, buruh pembangun jalan, tidak berpuasa Ramadan?
Jawab:
Para ulama berbeda pendapat apakah pekerja berat boleh tidak berpuasa atau tetap wajib berpuasa Ramadan.
Pertama, pendapat jumhur ulama bahwa pekerja berat tetap wajib sahur dan berniat puasa pada malam hari, lalu melaksanakan puasa sekuat kemampuannya. Jika di tengah puasanya itu kemudian mereka merasakan haus atau lapar yang hebat yang dikhawatirkan terjadi dharar (bahaya) atas diri mereka, baru boleh tidak berpuasa, dan mereka wajib mengqada, disamakan dengan orang sakit (mariidh). (QS Al-Baqarah:184). Bahkan jika terjadinya dharar itu sudah menjadi kepastian, bukan sekadar kekhawatiran, mereka wajib berbuka (QS An-Nisaa:29).
Secara umum pekerja berat oleh jumhur fukaha digolongkan mukalaf yang tetap wajib berpuasa, karena tidak ada dalil syar’i khusus yang memberikan rukhsah (keringanan) kepada mereka, kecuali terjadi dharar. Pendapat ini disebutkan Syekh Wahbah Zuhaili dan dinisbahkannya kepada jumhur ulama, yaitu ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, sesuai penjelasan Imam Abu Bakar Al-Ajiri dalam kitab Kasyaful Qina’ (2/361) dan Ghayatul Muntaha (1/323). (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 3/79). Ulama kontemporer yang berpendapat semisal ini antara lain Syekh Shaleh al-Fauzan, Syekh Nashiruddin al-Albani, dan Syekh Utsaimin.
Kedua, pendapat sebagian ulama bahwa pekerja berat boleh tidak berpuasa dan cukup membayar fidiah, selama mereka tidak mampu berpuasa dan tidak berkesempatan untuk mengqada puasanya. Jika mereka berkesempatan mengqada, mereka boleh tidak berpuasa, tetapi wajib mengqada. Ini pendapat sebagian ulama Hanafiyah, seperti penulis kitab Hasyiah Ibnu Abidin (2/420). Ulama kontemporer yang berpendapat seperti ini antara lain Syekh Yusuf Qaradhawi.
Secara umum pekerja berat disamakan dengan laki-laki/perempuan tua, atau orang sakit yang tidak ada harapan sembuh, yang tidak mampu lagi berpuasa dan dicukupkan dengan fidiah. Mereka mendapat rukhsah sesuai firman Allah (artinya), ”Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidiah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (QS Al-Baqarah:184). (Yusuf Qaradhawi, Fiqh ash-Shiyam, hlm. 59).
Menurut kami, yang rajih (kuat) pendapat pertama, karena tiga alasan sbb.:
Pertama, mengamalkan pendapat pertama berarti mengamalkan dua dalil (jama’), yaitu dalil wajibnya puasa (QS Al-Baqarah:183) dan dalil wajibnya mencari nafkah (QS Al-Baqarah:233). Sedangkan pendapat kedua, mengamalkan satu dalil saja atas dasar tarjih, yaitu dalil wajibnya mencari nafkah (QS Al-Baqarah:233). Kaidah usul fikih: i’mal al dalilain awlaa min ihmal ahadihima bi al kulliyah (mengamalkan dua dalil lebih utama daripada mengabaikan salah satunya secara menyeluruh). (Taqiyuddin An Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 3/491).
Kedua, pendapat pertama mengamalkan azimah (hukum asal), yaitu wajibnya berpuasa, sedangkan pendapat kedua mengamalkan rukhsah. Pengamalan azimah sudah yakin dalilnya, sedangkan mengamalkan rukhsah masih diragukan karena tidak ada dalil khusus yang memberi rukhsah bagi pekerja berat. Kaidah fikih: al-yaqiin laa yazuulu bi as syakk (keyakinan tidak dapat hilang dengan keraguan). (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazha`ir, hlm. 50).
Ketiga, pendapat pertama lebih tepat tahqiq manath-nya, sebab pekerja berat yang mengalami dharar lebih tepat digolongkan kepada orang sakit yang ada harapan sembuh (QS Al-Baqarah: 184), bukan digolongkan kepada laki-laki/perempuan tua, atau orang sakit yang tiada harapan sembuh (QS Al-Baqarah:184). Kelompok terakhir ini kondisinya tidak mungkin pulih, yakni tidak mungkin menjadi muda lagi, atau sembuh lagi. Ini berbeda dengan pekerja berat yang kondisinya dapat pulih, sama dengan orang sakit yang ada harapan sembuh. Wallahualam. [MNews/Rgl]
Selasa, 26 Desember 2023
Hukum menghadiri natal
Senin, 11 Desember 2023
Hukum menjual barang alkohol
Fikih] Haram Menjual Barang Haram
Oleh: Syekh ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
Muslimah News, FIKIH — Soal:
Ada tawaran pekerjaan (duta komoditas) milik salah satu perusahaan yang menjual produk kecantikan dan parfum. Sebagian jenisnya mengandung alkohol yang kadarnya berbeda-beda. Ada kolonyet yang mengandung nisbah tinggi etilalkohol (etanol). Ada produk-produk yang mengandung proporsi etilalkohol, metilalkohol, isopropilalkohol semisal parfum dan kosmetik.
Pertanyaannya: Bolehkah bekerja sebagai duta produk di situ? Bolehkah bekerja di dalam perusahaan tersebut bukan pada bidang produk, misalnya pekerjaan administrasi?
Jawab:
Pertama: Hukum bekerja sebagai duta produk di perusahaan untuk menjual sebagian barang yang haram (parfum dan kosmetik yang di dalamnya ada etilalkohol dsb.). Kami telah membahas perkara ini di buku kami dan kami jelaskan bahwa itu haram. Di dalam buku Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz 2 bab “Kullu Mâ Hurima ‘alâ al-‘Ibâd Fa Bay’uhu Harâm[un] (Semua yang Diharamkan atas Hamba, maka Menjualnya Adalah Haram)” dijelaskan:
Di situ ada sesuatu yang Allah haramkan untuk dimakan seperti daging bangkai, sesuatu yang Allah haramkan untuk diminum seperti khamar, sesuatu yang Allah haramkan diambil (digunakan) seperti berhala, sesuatu yang Allah haramkan untuk dimiliki seperti patung, dan sesuatu yang Allah haramkan untuk dibuat seperti gambar. Semua ini dinyatakan oleh nas-nas syar’i berupa ayat atau hadis tentang pengharamannya. Apa yang Allah haramkan bagi hamba berupa sesuatu yang pengharamannya dinyatakan oleh nas syar’i, baik haram dimakan, diminum, atau yang lainnya, maka menjual sesuatu ini yang telah Allah haramkan atas hamba itu adalah haram karena keharaman harganya. Jabir ra. pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda,
إِنَّ اللهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِير وَالْأَصْنَامِ. فَقِيلَ: يَا رَسُولَ الله، أَرَأَيْت شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بها السُّفُنُ، وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ، وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ؟ فَقَال: لَا، هُوَ حَرَامٌ. ثُم قَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم عِنْدَ ذَلِكَ : قَاتَلَ الله الْيَهُودَ، إِنَّ الله لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوه ثُمَّ بَعُوه فَأَكَلُوا ثَمَنَه
“Sungguh Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual khamar, bangkai, babi, dan berhala. Lalu dikatakan, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pandangan Anda dengan lemak bangkai, sebab itu bisa digunakan untuk mengecat perahu, mengurapi kulit, dan orang menggunakan itu untuk penerangan?” Beliau bersabda, “Tidak. Itu adalah haram.” Kemudian Rasulullah saw. ketika itu bersabda, “Semoga Allah membinasakan Yahudi. Sungguh Allah, ketika mengharamkan lemak hewan, mereka lelehkan kemudian mereka jual dan mereka makan harganya.” (HR Bukhari).
Jamalûhu adalah adzâbuhu (melelehkannya). Ibnu Abbas ra. juga bertutur bahwa Nabi saw. pernah bersabda,
قَاتَلَ الله الْيَهُودَ ثَلَاثًا، إِنَّ الله حَرَّمَ عَلَيْهِمُ الشُّحُومَ فَبَاعُوهَا وَأَكَلُوا أَثْمَانها، وَإِنَّ الله إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ [رواه البخاري]
“Semoga Allah membinasakan Yahudi.” Beliau mengatakan ini tiga kali. “Sungguh Allah telah mengharamkan atas mereka lemak lalu mereka jual dan mereka makan harganya. Sungguh Allah jika telah mengharamkan atas kaum memakan sesuatu maka Allah pun mengharamkan atas mereka harganya.” (HR Bukhari).
Oleh karena itu, bekerja di bidang ini adalah haram.
Kedua: Adapun pekerjaan administratif di perusahaan yang menjual sebagian barang yang haram maka dilihat sebagai berikut:
– Jika pekerjaan administratif itu berhubungan langsung dengan penjualan barang haram, seperti Anda bekerja dalam menyiapkan permintaan-permintaan yang terkait dengan penjualan barang-barang yang haram atau semacam itu, maka pekerjaan administratif ini adalah haram. Hal itu karena terkait langsung dengan pekerjaan yang haram, yaitu penjualan barang yang haram. Sebaliknya, jika pekerjaan administratif itu tidak memiliki hubungan langsung dengan penjualan barang haram (jadi tidak termasuk dalam pekerjaan administratif menyiapkan permintaan-permintaan untuk penjualan barang yang haram atau semacam itu), maka pekerjaan administratif ini tidak haram meskipun di perusahaan itu ada aktivitas menjual barang yang haram. Hal itu karena Anda dalam keadaan ini tidak melakukan pekerjaan yang haram.
Meski demikian, kehati-hatian seseorang untuk agamanya bukan hanya menjauh dari yang haram, tetapi hingga dari sebagian kemubahan karena khawatir adanya yang haram yang dekat darinya. Para sahabat Rasul saw. dahulu menjauhi banyak pintu-pintu mubah karena khawatir mendekat pada yang haram. Rasulullah saw. bersabda,
لَا يَبْلُغُ العَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لاَ بَأْسَ بِهِ حَذَرا لِمَا بِهِ البَأْسُ [أخرجه الترمذي]
“Seseorang tidak mencapai derajat takwa sampai dia meninggalkan apa yang tidak ada masalah dengannya karena khawatir terhadap apa yang ada masalah dengannya.” (HR Tirmidzi).
Imam at-Tirmidzi juga telah mengeluarkan hadis ini dan ia berkata, “Hadis ini hasan sahih,” yakni dari jalur Hasan bin Ali ra. yang berkata, “Aku menghafal hadis dari Rasulullah saw. yang bersabda,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
‘Tinggalkan apa yang meragukanmu menuju pada apa yang tidak meragukanmu.'” (HR Tirmidzi).
Oleh karena itu, yang lebih utama dan lebih selamat untuk agama adalah menjauh dari bekerja di perusahaan semacam ini dan mencari pekerjaan yang di dalamnya ada rezeki yang baik. Allah Swt. pasti menjadikan jalan keluar untuk orang yang bertakwa kepada-Nya,
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا ٢ وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمۡرِهِۦۚ قَدۡ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَيۡءٖ قَدۡرٗا ٣
“Siapa saja yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menyediakan bagi dirinya jalan keluar (solusi) dan memberi dia rezeki dari arah yang tiada dia sangka-sangka. Siapa saja yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi (keperluan)-nya. Sungguh Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”(QS Ath-Thalaq [65]: 2-3).
Wallahualam wa ahkam