Senin, 05 Mei 2025

hukum menjual barang yang belum dimiliki

Ada pertanyaan, jika seorang pedagang belum punya barang dan dia memesan barang tersebut dari pedagang lain, kemudian dia jual kepada pembeli, apakah ini termasuk “bay’[un] mâ lâ yumlaku” (menjual barang yang tidak dimiliki)? Berikut penjelasan ulama. #Fikih

--
Haram Menjual Barang yang Belum Dimiliki

https://muslimahnews.net/2023/12/14/25516/
--

Oleh: Syekh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

Muslimah News, FIKIH — Soal:

Apakah penjualan oleh bank atas barang yang bukan miliknya itu diharamkan, baik bagi bank tersebut atau bagi pembelinya?

Apakah seorang pedagang, jika belum punya barang, dan dia memesan barang tersebut dari pedagang lain, kemudian dia jual kepada pembeli, apakah ini termasuk “bay’[un] mâ lâ yumlaku” (menjual barang yang tidak dimiliki)?

Jawab:

Penjualan yang dilakukan oleh pedagang atas barang yang tidak dia miliki adalah haram. Ia merupakan akad yang batil. Dosanya menimpa penjual dan pembeli jika pembeli itu mengetahui bahwa barang yang dia beli bukan milik pedagang tersebut, yakni pedagang itu akan pergi dan membeli barang tersebut dari pasar dan menyerahkannya kepada pembeli. Kami telah menjelaskan perkara ini di dalam Kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah Jilid 2 bab “Lâ Yajûzu Bay’[un] Mâ Laysa ‘Indaka (Tidak Boleh Menjual Barang yang Bukan Milik Anda)” sebagai berikut:

Tidak boleh menjual barang sebelum sempurna dimiliki. Jika seseorang menjual barang pada kondisi ini (belum dia miliki), maka jual beli itu batil. Ini berlaku atas dua kondisi: Pertama, menjual barang sebelum dia dimiliki. Kedua, ia menjual barang setelah dia beli, tetapi sebelum kepemilikannya atas barang itu sempurna dengan serah terima jika memang kesempurnaan kepemilikannya mensyaratkan adanya serah terima. Sebabnya, akad jual beli itu tidak lain terjadi pada kepemilikan. Selama barang belum dimiliki, atau barang itu telah dibeli, tetapi kepemilikannya belum sempurna karena barangnya memang belum diterima, maka belum terjadi akad jual beli atas barang tersebut. Sebabnya, secara syar’i memang tidak ada barang yang menjadi objek dalam akad tersebut.

Rasulullah saw. telah melarang jual beli barang yang belum dimiliki oleh penjual. Hakim bin Hizam berkata,

قُلْتُ : يا رَسُوْلَ الله يأْتِيْنِيْ الرَّجُلُ يَسْأَلُني عَنِ الْبَيْعِ لَيْسَ عِنْدِيْ مَا أَبِيْعُهُ، ثُمَّ أَبِيْعُهُ مِنَ السُّوْقِ، فَقَال: لا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَك

“Aku berkata, ‘Rasulullah, seorang laki-laki mendatangi aku dan bertanya kepadaku tentang menjual barang yang belum aku miliki, kemudian aku membeli barang tersebut dari pasar.’ Beliau bersabda, ‘Janganlah kamu menjual barang yang belum kamu miliki.'” (HR Ahmad).

Amru bin Syuaib, dari bapaknya, dari kakeknya, ia juga berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda,

لا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ، وَلاَ شَرْطَانِ فِيْ بَيْعٍ، وَلا رِبْحٌ مَا لَم تَضْمَنْ، وَلا بَيْعٌ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Tidak halal salaf dan jual beli, tidak halal dua syarat dalam satu jual-beli, tidak halal keuntungan yang tidak kamu jamin, juga tidak halal jual beli barang yang bukan milikmu.”(HR Abu Dawud).

Ungkapan Rasul “mâ laysa ‘indaka (barang yang bukan milikmu)” bersifat umum. Di dalamnya termasuk barang yang belum Anda miliki, barang yang tidak sanggup Anda serahkan, dan barang yang belum sempurna Anda milik. Hal itu diperkuat oleh hadis-hadis yang menyatakan adanya larangan menjual barang yang belum diterima yang memang di dalamnya disyaratkan adanya serah terima agar kepemilikannya dipandang sempurna. Semua itu menunjukkan bahwa siapa saja yang membeli barang yang mensyaratkan adanya serah terima sehingga pembelian atas barang itu sempurna, maka dia tidak boleh menjual barang tersebut sampai barang itu dia terima. Jadi hukumnya sama dengan hukum menjual barang yang tidak dimiliki. Hal itu karena sabda Rasul saw.,

مَنْ اِبْتَاعَ طَعَاماً فَلَا يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَه

“Siapa saja yang membeli makanan maka jangan dia jual makanan itu sampai makanan tersebut dia terima.” (HR Bukhari).

Juga karena ada riwayat yang meriwayatkan,

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاع حَتَّى يَحُوْزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ

“Sungguh Nabi saw. telah melarang barang dijual sebagaimana dibeli sampai pedagang memindahkan barang itu ke tempat mereka.”

Juga karena Ibnu Majah ra. meriwayatkan,

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاع حَتَّى يَحُوْزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ

“Sungguh Nabi saw. telah melarang pembelian (barang) sedekah sampai barang itu diterima.” (HR Ibnu Majah).

Juga karena ada riwayat dari Ibnu Abbas ra. bahwa: Rasulullah saw. pernah bersabda kepada ‘Utab bin Usaid ra.,

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ شِرَاءِ الصَّدَقَاتِ حَتَّى تُقْبَضَ

“Sungguh aku mengutus engkau kepada Ahlullah dan penduduk Makkah. Laranglah mereka dari menjual barang yang belum mereka terima.” (HR al-Baihaqi).

Hadis-hadis ini gamblang menyatakan larangan menjual barang yang belum mereka terima, yakni yang kepemilikannya belum sempurna. Sebabnya, barang yang memerlukan serah terima tidak sempurna kepemilikannya sampai si pembeli menerima barang tersebut dan karena barang itu termasuk dalam jaminan penjualnya.

Dengan demikian, jelas bahwa dalam keabsahan jual beli disyaratkan barang itu telah dimiliki oleh penjual dan telah sempurna kepemilikannya. Adapun jika barang itu belum dimiliki atau dia miliki, tetapi belum sempurna kepemilikannya, maka dia tidak boleh menjual barang itu sama sekali. Ini mencakup barang yang dia miliki, tetapi belum dia terima, sedangkan atas barang tersebut disyaratkan adanya serah terima untuk kesempurnaan jual belinya, yaitu barang al-makîl wa al-mawzûn wa al-ma’dûd (barang ditakar, ditimbang, dan dihitung). Adapun barang yang tidak disyaratkan serah terima untuk kesempurnaan kepemilikannya, yaitu selain barang yang ditakar, ditimbang, atau dihitung semisal hewan, rumah, tanah, dan semacamnya, maka si penjual boleh menjual barang tersebut sebelum dia terima. Sebabnya, semata-mata terjadinya akad jual beli dengah ijab dan kabul, maka telah sempurna jual beli itu, baik sudah dia terima atau belum, sehingga jadilah dia menjual apa yang telah sempurna kepemilikannya. Jadi masalah ketidakbolehan jual beli tidak terkait dengan adanya serah terima atau tidak, melainkan berkaitan dengan kepemilikan barang yang dijual, dan dengan sempurnanya kepemilikan atas barang tersebut.

Adapun kebolehan menjual barang yang belum diterima selain barang yang ditakar, ditimbang, dan dihitung, hal itu ditetapkan dengan hadis sahih. Ibnu Umar ra. menuturkan bahwa unta milik Umar memiliki kesulitan,

إِنِيّْ قَدْ بَعَثْتُكَ إِلَى أَهْل اللهِ، وَأَهْل مَكَّةَ، فَانْهَهُمْ عَنْ بَيْعٍ مَا لَمْ يَقْبِضُوْا

Nabi saw. bersabda kepada beliau, “Juallah unta itu kepadaku.” Lalu Umar berkata, “Unta itu untukmu.” Lalu Nabi saw. membeli unta tersebut, kemudian beliau bersabda, “Dia untukmu, wahai Abdullah bin Umar. Perbuatlah dengan unta itu apa yang kamu mau.” (HR Bukhari).

Tasharruf (tindakan) pada barang yang dijual dengan menghibahkan barang tersebut sebelum adanya serah terima menunjukkan atas sempurnanya kepemilikan barang yang dijual itu sebelum adanya serah terima. Ini sekaligus menunjukkan kebolehan menjual barang tersebut karena telah sempurna kepemilikan penjual (yakni Rasulullah saw.) atas unta tersebut.

Atas dasar itu., maka barang yang dimiliki oleh si penjual dan telah sempurna kepemilikannya boleh dia jual. Sebaliknya, barang yang belum dia miliki atau belum sempurna kepemilikannya, maka tidak boleh dia jual.

Atas dasar itu, apa yang dilakukan oleh pedagang kecil berupa tawar menawar dengan pembeli atas suatu barang, kemudian keduanya bersepakat atas harganya, lalu penjual menjual barang itu kepada pembeli itu, kemudian penjual baru pergi mencari barang tersebut ke pedagang lain untuk dia beli, lalu dia menyerahkan barang tersebut kepada pembeli itu, ini tidak boleh. Sebabnya, itu adalah tindakan menjual barang yang belum dimiliki. Ini karena pedagang itu, ketika ditanya tentang barang, barang itu belum ada pada dirinya dan belum di miliki. Namun, dia tahu bahwa barang itu ada di pasar pada pedagang yang lain. Artinya, dia berbohong dengan memberitahu pembeli bahwa barang itu ada dan kemudian dia jual kepada pembeli tersebut. Kemudian dia pergi untuk membeli barang yang dimaksud setelah akad jual-beli terjadi. Ini adalah haram, tidak boleh, sebab dia menjual barang yang belum dia miliki.

Demikian juga apa yang dilakukan oleh para pemilik toko sayur dan pasar biji-bijian berupa penjualan mereka atas sayur dan gandum sebelum sempurna kepemilkannya. Sebagian pedagang membeli sayur atau gandum dari petani, dan sebelum dia terima, dia jual. Ini tidak boleh, sebab sayur dan gandum itu termasuk makanan yang tidak sempurna kepemilikannya kecuali dengan serah terima.

Demikian juga apa yang dilakukan oleh para importir barang dari negeri lain. Sebagian mereka membeli barang dan mensyaratkan di dalamnya penyerahan di dalam negeri, kemudian dia menjual barang tersebut sebelum barang itu tiba, yakni sebelum sempurna kepemilikan mereka atas barang itu. Ini pun termasuk jual-beli yang haram sebab itu adalah penjualan barang yang belum sempurna kepemilikannya sama sekali.

Saya berharap di dalam ini ada kecukupan. Wallahualam wa ahkam. [MNews/Rgl]

Selasa, 23 April 2024

hukum biaya admin dalam pinjaman

Fikih] Biaya Admin dalam Akad Pinjaman Adalah Riba
18 April 20244 min read
Oleh: K.H. M. Shiddiq Al-Jawi

Muslimah News, FIKIH — Tanya:

Asalamu ‘alaikum wr. wb. Ustaz, minta tolong bantu jawaban, kalau ada seseorang dapat tawaran pinjaman dari bank/koperasi tanpa bunga sama sekali, hanya ada biaya admin sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) saja dan bisa dicicil selama 3 bulan, apakah biaya admin ini masih termasuk riba? (Hamba Allah).

Jawab:
Wa‘alaikumussalam wr. wb.

Biaya admin tersebut sesungguhnya adalah riba, meskipun tidak dinamakan bunga. Hal ini karena riba dalam akad qardh (pinjaman) itu bisa bermacam-macam bentuk dan namanya. Bisa jadi riba dalam akad qardh (pinjaman) itu nama teknisnya adalah “bunga” (interest) dalam kasus kredit di perbankan. Atau mungkin riba itu diberi nama “denda” (fine) dalam kasus keterlambatan pembayaran angsuran kredit di bank, atau diberi nama “penalti” dalam kasus pelunasan kredit sebelum tenor berakhir di bank atau leasing. Kadang riba juga dinamakan “annual fee” atau iuran tahunan dalam kasus kartu kredit, dan sebagainya. Intinya adalah, jika dalam akad qardh (pinjaman) itu ada tambahan yang telah dipersyaratkan dalam perjanjian di awal, maka tambahan itu adalah riba yang haram hukumnya. Jadi, kata kunci yang menandakan eksistensi riba dalam akad pinjaman (qardh), adalah adanya tambahan yang telah dipersyaratkan (ziyādah masyrūthah). (Prof. ‘Ali Ahmad As-Sālūs, Mausū’ah Al-Qadhāyā Al-Fiqhiyyah Al-Mu’āshirah wa Al-Iqtishād Al-Islāmi, hlm. 82).

Oleh karena itu, biaya admin yang ditanyakan di atas jelas merupakan riba karena biaya admin tersebut faktanya adalah tambahan yang telah dipersyaratkan (ziyādah masyrūthah) di awal saat terjadinya transaksi dalam akad qardh (pinjaman) padahal para ulama telah sepakat tanpa khilafiah bahwa jika dalam akad qardh (pinjaman) disyaratkan adanya suatu tambahan (ziyādah), maka tambahan itu adalah riba.

Berikut ini sebagian kutipan pendapat ulama-ulama tersebut:

Pertama, kutipan dari Imam Ibnul Mundzir (w. 318 H/930 M).

قَالَ اْلإِماَمُ ابْنُ الْمُنْذِرِ: أَجْمَعُوْا عَلىَ أّنَّ الْمُسْلِفَ إِذَا شَرَطَ عَلىَ الْمُسْتَلِفِ زِياَدَةً أَوْ هَدِيَةً فَأَسْلَفَ عَلىَ ذَلِكَ، أَنَّ أَخْذَهُ الزِّياَدَةَ عَلىَ ذَلِكَ رِباً

Imam Ibnul Mundzir berkata, ”Mereka (para ulama) sepakat bahwa pemberi pinjaman jika mensyaratkan kepada peminjam suatu tambahan atau hadiah, lalu dia memberikan pinjaman atas dasar syarat itu, pengambilan tambahan atas pinjaman itu adalah riba.” (Ibnul Mundzir, Al-Ijmā’, hlm. 136).

Kedua, kutipan dari Imam Al-Jashshāsh (w. 370 H/981 M).

قَالَ اْلإِماَمُ اَلْجَصَّاصُ: وَلاَ خِلاَفَ أَنَّهُ لَوْ كاَنَ عَلَيْهِ أَلْفُ دِرْهَمٍ حاَلَةً، فَقاَلَ: أَجِّلْنِيْ أَزِيْدُكَ فِيْهاَ مِائَةَ دِرْهَمٍ، لاَ يَجُوْزَ…

Imam Al-Jashshash berkata, ”Tidak ada perbedaan pendapat bahwa kalau seseorang punya kewajiban membayar 1.000 dirham secara kontan, lalu dia berkata, ’Berilah aku tangguh dan aku akan memberi tambahan kepadamu 100 dirham,’ maka itu tidak boleh…” (Al-Jashshāsh, Ahkāmul Qur`ān, Juz I, hlm. 467).

Ketiga, kutipan dari Imam Ibnu ‘Abdil Barr (w. 463 H/1071 M).

  قَالَ اْلإِماَمُ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ: أَجْمَعَ الْعُلَماَءُ مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ عَلىَ أَنَّ الرِّباَ الَّذِيْ نَزَلَ باِلْقُرْآنِ تَحْرِيْمُهُ هُوَ: أَنْ يَأْخُذَ الدَّائِنُ لِتَأْخِيْرِ دَيْنِهِ بَعْدَ حُلُوْلِهِ عِوَضاً عَيْنِيّاً أَوْ عَرَضاً…

Imam Ibnu ‘Abdil Barr berkata, ”Telah sepakat para ulama dari generasi salaf dan khalaf, bahwa riba yang pengharamannya turun dalam Al-Qur’an adalah seorang pemberi utang mengambil kompensasi berupa uang atau barang karena penundaan pembayaran utangnya setelah jatuh tempo… (Ibnu ‘Abdil Barr, Al-Kāfī, Juz II, hlm. 633).

Dalam kitab yang sama, Imam Ibnu ‘Abdil Barr (w. 463 H/1071 M) juga berkata,

وَكُلُّ زِياَدَةٍ فِيْ سَلَفٍ أَوْ مَنْفَعَةٍ يَنْتَفِعُ بِهاَ الْمُسْلِفُ فَهِيَ رِباً وَلَوْ كاَنَتْ قَبْضَةً مِنْ عَلَفٍ، وَذَلِكَ حَرَامٌ إِنْ كاَنَ بِشَرْطٍ

”Setiap tambahan dalam akad pinjaman (salaf/qardh) atau setiap manfaat yang dinikmati oleh pemberi pinjaman (qardh) maka ia adalah riba, meskipun itu hanya segenggam pakan ternak. Itu haram jika disyaratkan.” (Ibnu Abdil Barr, Al-Kāfī, Juz II, hlm. 359).

Keempat, kutipan dari Imam Ibnu Qudamah (w. 629 H/1223 M).

قَالَ اْلإِماَمُ ابْنُ قُدَامَةَ كُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيْهِ أَنْ يَزِيْدَهُ فَهُوَ حَرَامٌ بِغَيْرِ خِلاَفٍ

Imam Ibnu Qudamah berkata,”Setiap pinjaman (qardh) yang mensyaratkan adanya tambahan (ziyādah) padanya, maka tambahan itu haram tanpa perbedaan pendapat (di kalangan ulama).” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Juz IV, hlm. 360).

Kelima, kutipan dari Imam Ibnu Taimiyah (w. 728 H/1328 M).

 قَالَ اْلإِماَمُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ : وَقَدِ اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلىَ أَنَّ الْمُقْتَرِضَ إِذَا اشْتَرَطَ زِياَدَةً عَلىَ قَرْضِهِ كَانَ ذَلِكَ حَرَاماً

Imam Ibnu Taimiyyah berkata,”Para ulama telah sepakat bahwa pemberi pinjaman (qardh) jika mensyaratkan tambahan atas pinjamannya (qardh) maka tambahan itu hukumnya haram.” (Ibnu Taimiyah, Majmū’ul Fatāwā, Juz XXIX, hlm. 334).

Dari berbagai kutipan pendapat para ulama di atas, jelaslah bahwa tambahan yang disyaratkan (ziyādah masyrūthah) di awal saat terjadinya akad qardh (pinjaman), adalah riba yang hukumnya haram dalam Islam. Para ulama tersebut berdalil dengan beberapa hadis yang menunjukkan haramnya hadiah atau manfaat yang muncul dari akad qardh (pinjaman), di antaranya adalah sabda Rasulullah saw.,

إِذَا أَقْرَضَ فَلاَ يَأْخُذْ هَدِيَةً

“Jika seseorang memberi pinjaman (qardh), janganlah dia mengambil suatu hadiah.” (HR Bukhari, dalam At-Tārīkh Al-Kabīr, 4/2/231; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubrā, V/530).

Para ulama itu juga berdalil dengan sabda Rasulullah saw.,

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوهِ الرِّبَا

“Tiap-tiap pinjaman (qardh) yang menimbulkan manfaat (bagi pemberi pinjaman, al-muqridh) maka itu adalah satu jenis di antara berbagai jenis riba.” (HR Al-Baihaqi, As-Sunan, 5/530).

Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa apa yang ditanyakan di atas, yaitu adanya biaya admin sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) pada akad pinjaman (qardh) dari bank atau koperasi kepada seorang peminjam (mustaqridh, debitur), adalah riba yang hukumnya haram, walaupun disebut biaya admin dan tidak disebut “bunga”.

Kami tegaskan pula bahwa setiap tambahan yang disyaratkan (ziyādah masyrūthah) pada akad qardh (pinjaman), walau pun namanya bermacam-macam, hakikatnya adalah riba, baik itu dinamakan bunga maupun diberi nama lain, semisal hadiah, bonus, denda, penalti, biaya admin, annual fee, ataupun istilah-istilah lainnya. Semuanya adalah riba jika pada saat terjadinya akad qardh (pinjaman), adanya tambahan itu dipersyaratkan atau diperjanjikan di awal.

Adapun jika adanya tambahan atau hadiah itu tidak dipersyaratkan di awal pada saat akad qardh (pinjaman), di sini ada perbedaan pendapat (ikhtilaf) di kalangan ulama. Sebagian ulama menganggap tambahan itu hukumnya boleh, asalkan pemberian tambahan itu atas inisiatif sendiri dari pihak yang meminjam. Namun, sebagian ulama lain tetap tidak memperbolehkan adanya tambahan tersebut. Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, jika tambahan itu diberikan sebagai hadiah kepada pemberi pinjaman, hukumnya dirinci. Jika peminjam sudah biasa memberi hadiah kepada pemberi pinjaman, hukumnya boleh. Tapi jika tidak biasa, hukumnya haram. Pendapat Imam Taqiyuddin An-Nabhani ini sejalan dengan pendapat Imam Syaukani dalam kitabnya Naylul Awthār (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, hlm. 340—342; Imam Syaukani, Naylul Awthār, Juz V, hlm. 275).

Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw.,

‏إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ فَلَا يَرْكَبْهَا وَلَا يَقْبَلْهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ

“Jika salah seorang dari kamu memberi pinjaman (qardh) (kepada orang lain), lalu yang meminjam itu memberi dia hadiah, atau menaikkannya di atas tunggangannya, maka janganlah dia menaiki tunggangan itu dan jangan pula menerima hadiahnya, kecuali hal itu sudah biasa terjadi sebelumnya antara yang memberi pinjaman dan yang meminjam.” (HR Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, no. 2432). Wallahualam. [MNews/Rgl]

Rabu, 27 Maret 2024

Hukum pekerja berat puasa

Fikih] Bolehkah Pekerja Berat Tidak Berpuasa?

Oleh: K.H. M. Shiddiq al-Jawi

Muslimah News, FIKIH — Tanya: Ustaz, bolehkah pekerja berat, seperti buruh bangunan, buruh pembangun jalan, tidak berpuasa Ramadan?

Jawab:

Para ulama berbeda pendapat apakah pekerja berat boleh tidak berpuasa atau tetap wajib berpuasa Ramadan.

Pertama, pendapat jumhur ulama bahwa pekerja berat tetap wajib sahur dan berniat puasa pada malam hari, lalu melaksanakan puasa sekuat kemampuannya. Jika di tengah puasanya itu kemudian mereka merasakan haus atau lapar yang hebat yang dikhawatirkan terjadi dharar (bahaya) atas diri mereka, baru boleh tidak berpuasa, dan mereka wajib mengqada, disamakan dengan orang sakit (mariidh). (QS Al-Baqarah:184). Bahkan jika terjadinya dharar itu sudah menjadi kepastian, bukan sekadar kekhawatiran, mereka wajib berbuka (QS An-Nisaa:29).

Secara umum pekerja berat oleh jumhur fukaha digolongkan mukalaf yang tetap wajib berpuasa, karena tidak ada dalil syar’i khusus yang memberikan rukhsah (keringanan) kepada mereka, kecuali terjadi dharar. Pendapat ini disebutkan Syekh Wahbah Zuhaili dan dinisbahkannya kepada jumhur ulama, yaitu ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, sesuai penjelasan Imam Abu Bakar Al-Ajiri dalam kitab Kasyaful Qina’ (2/361) dan Ghayatul Muntaha (1/323). (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 3/79). Ulama kontemporer yang berpendapat semisal ini antara lain Syekh Shaleh al-Fauzan, Syekh Nashiruddin al-Albani, dan Syekh Utsaimin. 

Kedua, pendapat sebagian ulama bahwa pekerja berat boleh tidak berpuasa dan cukup membayar fidiah, selama mereka tidak mampu berpuasa dan tidak berkesempatan untuk mengqada puasanya. Jika mereka berkesempatan mengqada, mereka boleh tidak berpuasa, tetapi wajib mengqada. Ini pendapat sebagian ulama Hanafiyah, seperti penulis kitab Hasyiah Ibnu Abidin (2/420). Ulama kontemporer yang berpendapat seperti ini antara lain Syekh Yusuf Qaradhawi.

Secara umum pekerja berat disamakan dengan laki-laki/perempuan tua, atau orang sakit yang tidak ada harapan sembuh, yang tidak mampu lagi berpuasa dan dicukupkan dengan fidiah. Mereka mendapat rukhsah sesuai firman Allah (artinya), ”Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidiah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (QS Al-Baqarah:184). (Yusuf Qaradhawi, Fiqh ash-Shiyam, hlm. 59).

Menurut kami, yang rajih (kuat) pendapat pertama, karena tiga alasan sbb.:

Pertama, mengamalkan pendapat pertama berarti mengamalkan dua dalil (jama’), yaitu dalil wajibnya puasa (QS Al-Baqarah:183) dan dalil wajibnya mencari nafkah (QS Al-Baqarah:233). Sedangkan pendapat kedua, mengamalkan satu dalil saja atas dasar tarjih, yaitu dalil wajibnya mencari nafkah (QS Al-Baqarah:233). Kaidah usul fikih:  i’mal al dalilain awlaa min ihmal ahadihima bi al kulliyah (mengamalkan dua dalil lebih utama daripada mengabaikan salah satunya secara menyeluruh). (Taqiyuddin An Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 3/491).

Kedua, pendapat pertama mengamalkan azimah (hukum asal), yaitu wajibnya berpuasa, sedangkan pendapat kedua mengamalkan rukhsah. Pengamalan azimah sudah yakin dalilnya, sedangkan mengamalkan rukhsah masih diragukan karena tidak ada dalil khusus yang memberi rukhsah bagi pekerja berat. Kaidah fikih: al-yaqiin laa yazuulu bi as syakk (keyakinan tidak dapat hilang dengan keraguan). (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazha`ir, hlm. 50).

Ketiga, pendapat pertama lebih tepat tahqiq manath-nya, sebab pekerja berat yang mengalami dharar lebih tepat digolongkan kepada orang sakit yang ada harapan sembuh (QS Al-Baqarah: 184), bukan digolongkan kepada laki-laki/perempuan tua, atau orang sakit yang tiada harapan sembuh (QS Al-Baqarah:184). Kelompok terakhir ini kondisinya tidak mungkin pulih, yakni tidak mungkin menjadi muda lagi, atau sembuh lagi. Ini berbeda dengan pekerja berat yang kondisinya dapat pulih, sama dengan orang sakit yang ada harapan sembuh. Wallahualam. [MNews/Rgl]

Selasa, 26 Desember 2023

Hukum menghadiri natal

Mengikuti Misa di Gereja dengan Alasan Akademis Ilmiah, Bolehkah?

Oleh: Ustaz M. Shiddiq al-Jawi

#GuruMuslimahInspiratif -- FIKIH — Tanya:

Ustaz, bolehkah mahasiswa muslim mengikuti ibadah misa Natal di gereja dengan alasan akademis ilmiah?

Jawab:
Haram hukumnya seorang muslim mengikuti atau menghadiri ibadah misa Natal di gereja walaupun untuk alasan akademis ilmiah. Alasan akademis ilmiah ini meskipun kelihatannya baik, tetapi sesungguhnya tetap tidak dapat menghalalkan sesuatu yang haram. Karena sesuatu yang haram dalam Islam itu hukumnya tetap haram walaupun dilakukan dengan niat untuk melakukan kebaikan (As-Sayyid bin Hamudah, An Nafa`is fi Ahkam al-Kana`is, hlm. 183; Yusuf al-Qaradhawi, Al-Halal wa Al-Haram fi Al-Islam, hlm. 33).

Mengenai keharamannya, As-Sayyid bin Hamudah dalam kitabnya An-Nafa`is fi Ahkam Al-Kana`is mengatakan,

اتفق الفقهاء على تحريم دخول المسلم معابد الكفار وقت أعيادهم ومناسباتهم الدينية

”Para ahli fikih telah sepakat mengenai haramnya seorang muslim untuk memasuki tempat-tempat ibadah kaum kafir pada saat hari-hari raya mereka dan pada saat momentum-momentum keagamaan mereka.” (ittafaqa al fuqoha ‘ala tahriim dukhul al muslim ma’aabida al kuffar waqta a’yadihim wa munasabatihim al diiniyyah). (As-Sayyid bin Hamudah, An-Nafa`is fi Ahkam al- Kana’is, hlm. 183).

Dalil keharamannya adalah firman Allah Swt.,

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ

”Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain.” (QS Al-An’aam [6] : 68).

Ayat ini telah mengharamkan seorang muslim untuk ikut serta pada suatu majelis yang dia mempersaksikan kebatilan (musyahadah al bathil) dan mendengarkan kebatilan (istima’ al bathil) di dalamnya. Maka dari itu, haram hukumnya seorang muslim ikut serta dalam ibadah misa Natal di gereja, karena dalam ibadah di gereja itu dapat dipastikan seorang muslim akan menyaksikan dan mendengar hal-hal yang batil dalam pandangan akidah Islam, seperti ketuhanan Yesus, doktrin Trinitas, dan sebagainya (As-Sayyid bin Hamudah, An-Nafa`is fi Ahkam al-Kana’is, hlm. 183).

Dalil lainnya adalah firman Allah Swt.,

وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ

”Dan [ciri-ciri hamba Allah adalah] tidak menghadiri/mempersaksikan kedustaan/kepalsuan.” (walladziina laa yasyhaduuna az zuur).(QS Al-Furqan [25] : 72).

Imam Ibnul Qayyim meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas, Adh Dhahhak, dan lain-lain, bahwa yang dimaksud az zuur (kedustaan/kepalsuan) dalam ayat ini adalah hari raya orang-orang musyrik (‘idul musyrikiin). Maka berdasarkan ayat itu, Imam Ibnul Qayyim mengharamkan seorang muslim untuk turut serta merayakan (mumaala`ah), menghadiri (hudhuur), atau memberi bantuan (musa`adah) pada hari-hari raya kaum kafir. (Imam Ibnul Qayyim, Ahkam Ahlidz Dzimmah, 2/156).

Berdasarkan dua dalil atas, dan dalil-dalil lain yang semisalnya, haram hukumnya seorang muslim mengikuti atau menghadiri ibadah misa Natal di gereja. Di sini perlu ditegaskan supaya tidak ada kerancuan, bahwa sungguh tidak ada khilafiah di kalangan fukaha dalam masalah ini, yaitu haramnya seorang muslim untuk memasuki tempat-tempat ibadah kaum kafir pada saat hari-hari raya mereka dan pada saat momentum-momentum keagamaan mereka. Semua fukaha sepakat mengharamkan.

Yang ada khilafiah adalah hukum masuknya seorang muslim ke dalam gereja di luar konteks hari raya atau momentum keagamaan Kristiani, misalnya untuk duduk-duduk, istirahat, mengamati bangunannya, dan sebagainya (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 38/155; Imam Al-Qarafi, Al-Dzakhiirah, 12/35; Imam Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 13/54; Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Al-Fatawa Al-Kubra, 2/485; Imam Ibnul Qayyim, Ahkam Ahlidz Dzimmah, 2/722).

 Adapun mengapa alasan akademis ilmiah dalam hal ini tidak dapat diterima, karena dalam Islam terdapat kaidah-kaidah syariat yang tegas mengenai halal-haram Di antaranya kaidah:

النية الحسنة لا تبرر الحرام

“An-niyyat al-hasanah laa tubarrir al-haram (niat yang baik tidak dapat membenarkan yang haram).”

Demikian juga kaidah,

الغاية لا تبرر الواسطة

“Al ghaayah laa tubarrir al waasithah” (tujuan tidak dapat membenarkan segala macam cara). (Yusuf Al Qaradhawi, Al Halal wa Al Haram fi Al Islam, hlm. 33; Taqiyuddin an-Nabhani, Muqadimah ad-Dustur, 2/181).

Dengan demikian, jelaslah bahwa alasan akademis ilmiah tidak dapat diterima sebagai justifikasi untuk membenarkan aktivitas mahasiswa muslim mengikuti ibadah misa Natal di gereja. Wallahuam. 

Sumber: muslimahnews.net

•••••
Raih amal saleh dengan menyebarluaskan postingan ini. Ikuti kami di :

Facebook :https://www.facebook.com/GuruMuslimahInspiratif/
Telegram : t.me/GuruMuslimahInspiratif
Instagram : https://www.instagram.com/gurumuslimahinspiratif

Senin, 11 Desember 2023

Hukum menjual barang alkohol

Fikih] Haram Menjual Barang Haram

Oleh: Syekh ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

Muslimah News, FIKIH — Soal:

Ada tawaran pekerjaan (duta komoditas) milik salah satu perusahaan yang menjual produk kecantikan dan parfum. Sebagian jenisnya mengandung alkohol yang kadarnya berbeda-beda. Ada kolonyet yang mengandung nisbah tinggi etilalkohol (etanol). Ada produk-produk yang mengandung proporsi etilalkohol, metilalkohol, isopropilalkohol semisal parfum dan kosmetik.

Pertanyaannya: Bolehkah bekerja sebagai duta produk di situ? Bolehkah bekerja di dalam perusahaan tersebut bukan pada bidang produk, misalnya pekerjaan administrasi?

Jawab:

Pertama: Hukum bekerja sebagai duta produk di perusahaan untuk menjual sebagian barang yang haram (parfum dan kosmetik yang di dalamnya ada etilalkohol dsb.). Kami telah membahas perkara ini di buku kami dan kami jelaskan bahwa itu haram. Di dalam buku Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz 2 bab “Kullu Mâ Hurima ‘alâ al-‘Ibâd Fa Bay’uhu Harâm[un] (Semua yang Diharamkan atas Hamba, maka Menjualnya Adalah Haram)” dijelaskan:

Di situ ada sesuatu yang Allah haramkan untuk dimakan seperti daging bangkai, sesuatu yang Allah haramkan untuk diminum seperti khamar, sesuatu yang Allah haramkan diambil (digunakan) seperti berhala, sesuatu yang Allah haramkan untuk dimiliki seperti patung, dan sesuatu yang Allah haramkan untuk dibuat seperti gambar. Semua ini dinyatakan oleh nas-nas syar’i berupa ayat atau hadis tentang pengharamannya. Apa yang Allah haramkan bagi hamba berupa sesuatu yang pengharamannya dinyatakan oleh nas syar’i, baik haram dimakan, diminum, atau yang lainnya, maka menjual sesuatu ini yang telah Allah haramkan atas hamba itu adalah haram karena keharaman harganya. Jabir ra. pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda,

إِنَّ اللهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِير وَالْأَصْنَامِ. فَقِيلَ: يَا رَسُولَ الله، أَرَأَيْت شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بها السُّفُنُ، وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ، وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ؟ فَقَال: لَا، هُوَ حَرَامٌ. ثُم قَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم عِنْدَ ذَلِكَ : قَاتَلَ الله الْيَهُودَ، إِنَّ الله لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوه ثُمَّ بَعُوه فَأَكَلُوا ثَمَنَه

“Sungguh Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual khamar, bangkai, babi, dan berhala. Lalu dikatakan, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pandangan Anda dengan lemak bangkai, sebab itu bisa digunakan untuk mengecat perahu, mengurapi kulit, dan orang menggunakan itu untuk penerangan?” Beliau bersabda, “Tidak. Itu adalah haram.” Kemudian Rasulullah saw. ketika itu bersabda, “Semoga Allah membinasakan Yahudi. Sungguh Allah, ketika mengharamkan lemak hewan, mereka lelehkan kemudian mereka jual dan mereka makan harganya.” (HR Bukhari).

Jamalûhu adalah adzâbuhu (melelehkannya). Ibnu Abbas ra. juga bertutur bahwa Nabi saw. pernah bersabda,

قَاتَلَ الله الْيَهُودَ ثَلَاثًا، إِنَّ الله حَرَّمَ عَلَيْهِمُ الشُّحُومَ فَبَاعُوهَا وَأَكَلُوا أَثْمَانها، وَإِنَّ الله إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ [رواه البخاري]

“Semoga Allah membinasakan Yahudi.” Beliau mengatakan ini tiga kali. “Sungguh Allah telah mengharamkan atas mereka lemak lalu mereka jual dan mereka makan harganya. Sungguh Allah jika telah mengharamkan atas kaum memakan sesuatu maka Allah pun mengharamkan atas mereka harganya.” (HR Bukhari).

Oleh karena itu, bekerja di bidang ini adalah haram.

Kedua: Adapun pekerjaan administratif di perusahaan yang menjual sebagian barang yang haram maka dilihat sebagai berikut:

– Jika pekerjaan administratif itu berhubungan langsung dengan penjualan barang haram, seperti Anda bekerja dalam menyiapkan permintaan-permintaan yang terkait dengan penjualan barang-barang yang haram atau semacam itu, maka pekerjaan administratif ini adalah haram. Hal itu karena terkait langsung dengan pekerjaan yang haram, yaitu penjualan barang yang haram. Sebaliknya, jika pekerjaan administratif itu tidak memiliki hubungan langsung dengan penjualan barang haram (jadi tidak termasuk dalam pekerjaan administratif menyiapkan permintaan-permintaan untuk penjualan barang yang haram atau semacam itu), maka pekerjaan administratif ini tidak haram meskipun di perusahaan itu ada aktivitas menjual barang yang haram. Hal itu karena Anda dalam keadaan ini tidak melakukan pekerjaan yang haram.

Meski demikian, kehati-hatian seseorang untuk agamanya bukan hanya menjauh dari yang haram, tetapi hingga dari sebagian kemubahan karena khawatir adanya yang haram yang dekat darinya. Para sahabat Rasul saw. dahulu menjauhi banyak pintu-pintu mubah karena khawatir mendekat pada yang haram. Rasulullah saw. bersabda,

لَا يَبْلُغُ العَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لاَ بَأْسَ بِهِ حَذَرا لِمَا بِهِ البَأْسُ [أخرجه الترمذي]

“Seseorang tidak mencapai derajat takwa sampai dia meninggalkan apa yang tidak ada masalah dengannya karena khawatir terhadap apa yang ada masalah dengannya.” (HR Tirmidzi).

Imam at-Tirmidzi juga telah mengeluarkan hadis ini dan ia berkata, “Hadis ini hasan sahih,” yakni dari jalur Hasan bin Ali ra. yang berkata, “Aku menghafal hadis dari Rasulullah saw. yang bersabda,

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ

Tinggalkan apa yang meragukanmu menuju pada apa yang tidak meragukanmu.'” (HR Tirmidzi).

Oleh karena itu, yang lebih utama dan lebih selamat untuk agama adalah menjauh dari bekerja di perusahaan semacam ini dan mencari pekerjaan yang di dalamnya ada rezeki yang baik. Allah Swt. pasti menjadikan jalan keluar untuk orang yang bertakwa kepada-Nya,

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا ٢ وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمۡرِهِۦۚ قَدۡ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَيۡءٖ قَدۡرٗا ٣

“Siapa saja yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menyediakan bagi dirinya jalan keluar (solusi) dan memberi dia rezeki dari arah yang tiada dia sangka-sangka. Siapa saja yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi (keperluan)-nya. Sungguh Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”(QS Ath-Thalaq [65]: 2-3).

Wallahualam wa ahkam

Selasa, 28 November 2023

hukum mendapat tip

Berikut ini penjelasan tentang hukum fikih ketika seorang karyawan yang sudah mendapatkan gaji, diberi hadiah oleh penerima manfaat atas jasanya. #Fikih
Hukum Hadiah bagi Karyawan yang Sudah Mendapat Gaji
https://muslimahnews.net/2023/05/25/20407/
Penulis: K.H. M. Shiddiq al-Jawi
Muslimah News, FIKIH — Tanya:
Ustaz, misalkan ada karyawan sebuah lembaga filantropi yang sudah mendapat gaji, melakukan distribusi Al-Qur’an ke lokasi distribusi. Setelah Al-Qur’an diterima oleh penerima manfaat (pesantren, majelis taklim, masjid, dll.), penerima manfaat memberikan hadiah berupa makanan/minuman/kue/madu/hasil pertanian kepada karyawan tersebut. Apakah yang diterima karyawan tersebut halal atau haram? (Hamba Allah, Jakarta).

Jawab:
Hukum asalnya haram karyawan/pekerja tersebut menerima hadiah tersebut, baik hadiah yang berupa barang maupun yang berupa fasilitas. Dalil keharamannya adalah beberapa hadis Nabi saw. yang mengharamkan karyawan (al-ajīr/al-’āmil) yang sudah digaji oleh pihak pemberi kerja (al-musta`jir) untuk menerima hadiah (al-hadiyyah) atau tip (al-ikrāmiyāt) dari pihak rekanan (bukan dari pihak pemberi kerja).

Pertama, hadis dari Abu Humaid As-Sa’idi ra.,
عن أبي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رضي الله عنه قَالَ : اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلا مِنْ بَنِي أَسْدٍ يُقَالُ لَهُ ابن اللُّتْبِيَّة عَلَى صَدَقَةٍ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ : هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي ، فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ : ( مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ فَيَأْتِي يَقُولُ : هَذَا لَكَ وَهَذَا لِي ، فَهَلا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لا ؟ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لا يَأْتِي بِشَيْءٍ إِلا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَيْ إِبْطَيْهِ أَلا هَلْ بَلَّغْتُ ثَلاثًا.رواه مسلم برقم 3413.

Dari Abu Humaid as-Sa’idi ra., bahwa Rasulullah saw. telah mempekerjakan seorang laki-laki dari Bani Asad bernama Ibnu Luthbiyah untuk mengumpulkan zakat (dari Bani Sulaim). Ketika ia menyetorkan zakat yang dipungutnya, ia berkata kepada Rasulullah saw., “Zakat ini kuserahkan kepada Anda dan ini hadiah orang kepadaku.” Abu Humaid berkata, “Rasulullah saw. lalu berdiri di atas mimbar, kemudian beliau memuji dan menyanjung Allah, serta bersabda, ‘Bagaimana bisa ada seorang petugas zakat yang sudah aku tugaskan memungut zakat, lalu ia berkata, ‘Zakat ini kuberikan kepada Anda, dan ini hadiah dari orang untukku.’ Mengapa ia tidak duduk-duduk saja di rumah ibunya atau bapaknya menunggu orang mengantarkan hadiah kepadanya? Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangannya, tidak ada seorang pun di antara kalian yang mengambil harta secara khianat, melainkan kelak ia akan memikul harta itu di atas lehernya pada hari kiamat, jika harta itu berupa unta, unta itu akan menguak, atau jika sapi maka sapi itu akan melenguh, atau jika kambing maka kambing itu akan mengembik.’ Kemudian Rasulullah saw. mengangkat kedua tangannya sehingga kami dapat melihat warna putih pada kedua ketiaknya, kemudian Rasulullah saw. bersabda, ’Ya Allah, telah aku sampaikan.’ Beliau mengatakan itu tiga kali.” (HR Muslim, no. 3413).

Imam Nawawi memberi syarah (penjelasan) hadis tersebut dengan berkata,
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ بيانُ أنَّ هَدَايَا الْعُمَّالِ حَرَامٌ وَغُلُولٌ ؛ لِأَنَّه خَانَ فِي وِلَايَتِهِ وَأَمَانَتِه ، وَلِهَذَا ذَكَرَ فِي الْحَدِيثِ فِي عُقُوبَتِهِ وحَمْلِهِ مَا أُهْدِيَ إلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، شرح مسلم للنووي ج 12 ص 219.

“Dalam hadis ini terdapat penjelasan bahwa hadiah yang diterima oleh karyawan (pekerja) adalah haram dan khianat (ghulul), karena ia telah berkhianat dalam tugasnya dan amanatnya. Oleh karena itulah, disebutkan dalam hadis ini hukumannya, yaitu memikul harta yang dihadiahkan kepadanya itu di lehernya pada hari kiamat.” (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 12/219).

Kedua, hadis dari dari Abu Humaid As-Saidi ra.,
عن أبي حميد الساعدي أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُوْلٌ . مسند الإمام أحمد ج 5 ص 424 برقم 23090 وصحَّحه الألباني في ارواء الغليل 2622

Dari Abu Humaid as-Sa’idi ra., bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, ”Hadiah-hadiah yang diterima oleh para karyawan, adalah harta khianat (ghulūl).” (HR Ahmad, dalam Al-Musnad, 5/424, nomor 23090, dinilai sahih oleh Syekh Nashiruddin al-Albani, dalam kitab Irwa`ul Ghalil, no. 2622).

Ketiga, hadis dari Buraidah ra.,
عن بُرَيدَةَ رَضِيَ اللهُ عنه، عنِ النبيِّ صلَّى الله عليه وسلَّم أنَّه قال: مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلىَ عَمَلٍ فَرَزقْنَاهُ رِزْقًا؛ فَمَا أَخَذَهُ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُوْلٌ. رواه أبو داود برقم 2943 وابن خزيمة ج 4 ص 70 برقم 2369، والحاكم ج 1 ص 563 ، والبيهقي ج 6 ص 355 برقم 13401.وقال الشوكاني في نيل الأوطار ج 4 ص 232: رجال إسناده ثقات، وصحَّحه الألباني في صحيح سنن أبي داود برقم 2943.

Dari Buraidah ra., bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Barang siapa yang telah kami berikan pekerjaan kepadanya, lalu kami sudah memberikan gaji kepadanya, maka apa saja yang ia ambil sesudah gaji itu, maka itu adalah harta khianat (ghulūl).” (HR Abu Dawud, no 2943; Ibnu Khuzaimah, 4/70; Al-Hakim, 1/563, Al-Baihaqi, 6/355; hadis ini sahih menurut Imam Syaukani dan Syekh Nashiruddin al-Albani).

Keempat, hadis dari ‘Adiy bin ‘Amirah al-Kindi ra.,
عن عَديِّ بنِ عَمِيرةَ الكِنديِّ، قال: سمعتُ رسولَ الله صلَّى الله عليه وسلَّم يقول« مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ » ، قَالَ: « فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنْ الْأَنْصَارِ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ، قَالَ: ((وَمَا لَكَ؟)) ، قَالَ: سَمِعْتُكَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا، قَالَ: وَأَنَا أَقُولُهُ الْآنَ، مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَلْيَجِئْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ فَمَا أُوتِيَ مِنْهُ أَخَذَ وَمَا نُهِيَ عَنْهُ انْتَهَى» رواه البخاري ومسلم

Dari ‘Adiy bin ‘Amirah al-Kindi ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu ia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah harta khianat (ghulūl) yang akan ia bawa pada hari kiamat.” (‘Adiy) berkata.”Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi saw. seolah-olah aku melihatnya, lalu ia berkata, ”Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan.” Nabi saw. bertanya, ”Ada apa gerangan?” Ia menjawab, ”Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di atas).” Nabi saw. pun berkata, ”Aku katakan sekarang, (bahwa) barang siapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah ia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya [dari kami], ia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang [oleh kami], maka tidak boleh [ia mengambilnya].” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadis-hadis di atas menunjukkan haramnya seorang karyawan (al-ajīr/ al-’āmil) yang sudah digaji oleh pihak pemberi kerja (al-musta`jir) untuk menerima hadiah (al-hadiyyah) atau tip (al-ikrāmiyāt) dari pihak rekanan (pihak lain yang bukan pihak pemberi kerja). (Taqiyuddin an-Nabhani, Al-Shakhṣiyyah al-Islāmiyyah, 2/337).

Dikecualikan dari hukum asal haramnya karyawan yang sudah digaji oleh pemberi kerja, yakni boleh hukumnya karyawan menerima hadiah dari pihak lain di luar pihak pemberi kerja dalam 2 (dua) kondisi sebagai berikut:
Pertama, jika hadiah itu berasal dari pihak yang sudah terbiasa memberi hadiah kepada karyawan itu, misalnya keluarganya atau sahabatnya.

Kedua, jika pihak pemberi kerja (al-musta`jir) memberi izin kepada karyawan untuk menerima hadiah itu.

Perkecualian pertama:
Boleh hukumnya karyawan menerima hadiah, jika hadiah itu berasal dari pihak yang sudah terbiasa memberi hadiah kepada karyawan itu, misalnya keluarganya atau sahabatnya. Imam Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan,

إلَّا أَنْ الْهَدِيَّةَ لِهَؤُلَاءِ تَكُوْنُ حَرَاماً إذَا لَمْ يَكُنْ مِنْ عَادَةِ الْمُهْدِي أَنْ يُهْدِيَ لَهُم ، أمَّا إنْ كَانَ مِنْ عَادَتِهِ أَنْ يُهْدِيَ لَهُمْ سَوَاءٌ أَكَانُوا يَتَوَلَّوْنَ قَضَاءَ مَصَالِحَ أَمْ لَا ، فَإِنَّهُ تَجُوْزُ الْهَدِيَّةُ لَهُمْ وَلَا شَيْءَ فِيهَا ، لِأَنَّ الرَّسُوْلَ ﷺ يَقُولُ فِي الْحَدِيْثِ : فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أبِيكَ وَأُمِّكَ ، حتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إنْ كُنْتَ صَادِقًا . وَمَفْهُومُهُ أَنَّ الْهَدِيَّةَ الَّتِيْ تُهْدَى لَهُ وَهُوَ جَالِسٌ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ دُونَ أَنْ يَكُونَ عاملاً جَائِزَةٌ.
“Namun, hadiah kepada mereka ini (karyawan/pekerja) hukumnya haram, jika bukan merupakan kebiasaan pemberi hadiah untuk memberi hadiah kepada karyawan itu. Adapun jika pemberi hadiah sudah terbiasa sebelumnya memberi hadiah kepada karyawan itu, sama saja apakah pemberi hadiah itu berwenang mengurus urusan publik atau tidak, boleh hukumnya karyawan itu menerima hadiah, karena Rasulullah saw. bersabda, ‘Jadi mengapa Anda tidak duduk saja di rumah ayah dan ibu Anda sampai Anda menerima hadiah Anda, jika Anda jujur?’ Mafhūm mukhālafah (pengertian sebaliknya) dari hadis ini, jika hadiah yang diberikan kepada karyawan itu datang saat ia sedang duduk di rumah ayah dan ibunya tanpa ia menjadi pekerja, maka hukumnya boleh.” (Taqiyuddin an-Nabhani, Al-Shakhṣiyyah al-Islāmiyyah, 2/337).

Perkecualian kedua:
Boleh hukumnya karyawan (pekerja) menerima hadiah, jika pihak pemberi kerja (al-musta`jir) sudah mengetahui dan memberi izin kepada karyawan untuk menerima hadiah tersebut. Imam Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan,

وَلَيْسَ مِنَ السَّمْسَرَةِ مَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ الْأُجَرَاءِ ، وَهُوَ أَنْ يُرْسِلَ التَّاجِرُ رَسُوْلاً عَنْهُ لِيَشْتَرِيَ لَهُ بِضَاعَةً مِنْ آخَرَ ، فَيُعْطِيْهِ الْآخَرُ مَالاً مُقَابِلَ شِرَائِهِ مِنْ عِنْدِهِ فَلَا يَحْسِبَهُ مِنْ الثَّمَنِ بَلْ يَأْخُذُهَا لَهُ بِاعْتِبَارِه سَمْسَىرَةً مِنَ التَّاجِرِ ، وَهُوَ مَا يُسَمَّى عِنْدَهُم الْقَامِسِيُّوْنَ . فَهَذَا لَا يُعْتَبَرُ سَمْسَرَةً ، لِأَنَّ الشَّخْصَ وَكِيْلٌ عَنِ التَّاجِرِ الَّذِيْ يَشْتَرِيْ لَهُ ، فَمَا يَنْقُصُ مِنَ الثَّمَنِ هُوَ لِلْمُشْتَرِي ، وَلَيْس لِلرَّسُوْلِ . وَلِذَلِكَ يَحْرُمُ عَلَيْهِ أَخْذُهُ ، بَلْ هُوَ لِلْمُرْسِلِ الَّذِيْ أَرْسَلَهُ إلَّا أَنْ يُسَامِحَ بِهِ الْمُرْسِلُ فَيَجُوْزُ

“Tidak termasuk samsarah (perantara jual beli), apa yang dilakukan oleh sebagian karyawan (pekerja), yaitu seorang pedagang mengirim seorang utusan untuk membeli suatu barang dari orang lain untuknya, kemudian orang lain ini memberi harta kepada utusan tersebut sebagai imbalan karena ia telah membeli barang kepadanya, maka orang lain itu memberikan potongan harga kepadanya, lalu karyawan mengambil potongan harga tadi hakikatnya adalah wakil dari pihak pedagang untuk membeli barang atas namanya (pihak yang mengutus). Jadi, potongan harga tadi sebenarnya adalah haknya pihak yang mengutus, bukan haknya utusan. Haram hukumnya utusan tadi mengambil potongan harga itu, dan potongan harga itu sebenarnya adalah hak pihak yang mengutus, kecuali pihak yang mengutus membolehkan potongan harga itu diambil oleh utusan.” (Taqiyuddin an-Nabhani, Al-Niẓām al-Iqtiṣādi fi al-Islām, hlm. 70). Wallahualam. [MNews/Rgl]

Selasa, 14 November 2023

hukum zakat rumah

Fikih] Rumah Tempat Tinggal dan Kendaraan Pribadi, Apakah Zakatnya Harus Dibayar?
9 November 20233 min read
Oleh: K.H. M. Shiddiq al-Jawi (Pakar Fikih Muamalah dan Kontemporer)

Muslimah News, FIKIH — Tanya: Assalamu’alaikum wr. wb.. Afwan Pak Ustaz, ana ingin bertanya tentang zakat rumah tempat tinggal dan kendaraan pribadi, apakah harus dibayar zakatnya? Atas jawaban Pak Ustaz saya ucapkan jazakallah khairan. (Ibrahim Muhayang, Balikpapan).

Jawab:

Wa’alaikumus-salam wr. wb.. Jika rumah dan kendaraan pribadi itu hanya dipakai sendiri, bukan untuk diperdagangkan, tidak ada kewajiban zakat untuk rumah dan kendaraan pribadi tersebut.

Dalilnya sabda Rasulullah saw.,

لَيْسَ عَلَى المُسْلِمِ فِي فَرَسِهِ وَغُلاَمِهِ صَدَقَةٌ

“Tidak ada kewajiban zakat atas seorang muslim pada kudanya dan budaknya.” (HR Bukhari, no. 1463, Muslim, no. 982).

Imam Nawawi menjelaskan hadis tersebut dengan berkata,

هَذَا الْحَدِيثِ أَصْلٌ فِي أَنَّ أَمْوَالَ الْقُنْيَةِ لَا زَكَاةَ فِيْهَا ، وَأَنَّهُ لَا زَكَاةَ فِي الْخَيْلِ وَالرَّقِيْقِ إذَا لَمْ تَكُنْ لِلتِّجَارَةِ ، وَبِهَذَا قَالَ الْعُلَمَاءُ كَافَّةً مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ

“Hadis ini adalah dalil bahwa harta-harta yang dipakai untuk keperluan sendiri (Arab: al-qun-yah), tidak ada kewajiban zakatnya. Hadis ini juga dalil bahwa tidak ada kewajiban zakat untuk kuda dan budak selama tidak diperdagangkan. Inilah pendapat para ulama seluruhnya, baik ulama salaf maupun khalaf…” (Imam Nawawi, Syarah Shahīh Muslim, Juz VII, hlm. 55).

Dengan demikian, jelaslah bahwa rumah dan kendaraan yang dimiliki tidak terkena kewajiban zakat perdagangan, selama rumah dan kendaraan pribadi tersebut dipakai untuk keperluan pribadi dan tidak diperdagangkan. Adapun jika rumah dan kendaraan pribadi tersebut diperdagangkan, akan terkena zakat perdagangan (zakāt ‘urūdh at-tijārah) jika memenuhi syarat-syaratnya. (http://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/411).

Misalnya, awalnya seseorang mempunyai rumah untuk dipakai sendiri. Namun, pada suatu saat, dia berniat mau menjual rumahnya tersebut. Sejak dia berniat menjual, berarti rumah tersebut akan terkena zakat perdagangan (zakāt ‘urūdh at-tijārah) jika sudah memenuhi 2 (dua) kriteria sebagai berikut:

Pertama, nilai barang dagangan sudah mencapai nisab zakat perdagangan atau lebih. Nisab zakat perdagangan secara umum adalah nisab perak (bukan nisab emas) sesuai prinsip aqallu nishabaini (mengikuti nisab paling sedikit di antara nisab emas dan perak), yaitu 200 dirham atau kira-kira Rp14,5 juta.

Kedua, barang dagangan sudah memenuhi kriteria haul, yaitu sudah berlalu dalam jangka waktu 1 tahun menurut kalender hijriah (bukan menurut kalender Masehi), sejak tanggal diniatkan untuk dijual. Jika sudah memenuhi 2 (dua) kriteria tersebut, zakatnya adalah 2,5% dari harga jual (‘Abdul Qadīm Zallūm, Al-Amwāl fī Daulah Al-Khilāfah, hlm. 163—164).

Misalnya, seseorang mempunyai rumah untuk dipakai sendiri sejak tahun 2015. Pada suatu saat, misalkan tahun 2023, tepatnya hari Ahad tanggal 1 Rabiulawal tahun 1445 H, dia berniat menjual rumah tersebut yang nilainya saat itu Rp900 juta. Sejak tanggal tersebut, rumah itu akan terkena zakat perdagangan (zakāt ‘urūdh at-tijārah) jika sudah memenuhi 2 (dua) kriteria yang sudah disebutkan. Rumah tersebut laku misalnya pada tanggal 1 Rabiulawal tahun 1446 H (sudah berlalu selama 1 tahun hijriah sejak tanggal diniatkan untuk dijual) dengan harga jual sebesar Rp1 miliar. Apakah orang tersebut wajib membayar zakat perdagangan (zakāt ‘urūudh at-tijārah)? Jika sudah wajib, berapa besarnya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu ditinjau 2 (dua) kriteria zakat perdagangan, yaitu nisab dan haul.

Kriteria pertama, ditinjau dari segi nisab, rumah tersebut yang nilainya Rp900 juta jelas sudah melampaui nisab untuk barang dagangan, yaitu 200 dirham, atau kira-kira Rp14,5 juta.

Kriteria kedua, ditinjau dari segi haul, barang dagangan itu sudah memenuhi kriteria haul, yaitu sudah berlalu dalam jangka waktu 1 tahun hijriah sejak tanggal diniatkan untuk dijual. Ini karena orang tersebut mulai berniat menjual rumahnya tanggal 1 Rabiulawal tahun 1445 H dan kemudian rumah itu laku satu tahun setelahnya, yaitu 1 Rabiulawal tahun 1446 H.

Dikarenakan sudah memenuhi dua kriteria zakat perdagangan, berarti muslim tersebut sudah wajib hukumnya mengeluarkan zakat perdagangan. Adapun besarnya zakat yang wajib dikeluarkan adalah = 2,5% dikalikan harga jual (Rp1 miliar) (bukan dikalikan harga beli atau harga di awal haul, yaitu Rp900 juta), yaitu = 2,5% x Rp1 miliar = Rp25 juta.

Akan tetapi, jika rumah itu misalnya sudah terjual pada bulan ke-6 (belum mencapai haul, yaitu satu tahun hijriah) sejak tanggal diniatkan dijual, berarti belum ada kewajiban zakat perdagangan, karena belum memenuhi kriteria kedua, yaitu kriteria haul (berlalu satu tahun hijriah) pada barang dagangan, sejak tanggal diniatkan dijual. Sebaliknya, jika rumah itu belum laku juga hingga pada bulan ke-15 (sudah lebih dari satu tahun hijriah), rumah itu sudah terkena kewajiban zakat, walaupun belum laku terjual. Wallahualam. [MNews/Rgl]