Selasa, 26 Desember 2023

Hukum menghadiri natal

Mengikuti Misa di Gereja dengan Alasan Akademis Ilmiah, Bolehkah?

Oleh: Ustaz M. Shiddiq al-Jawi

#GuruMuslimahInspiratif -- FIKIH — Tanya:

Ustaz, bolehkah mahasiswa muslim mengikuti ibadah misa Natal di gereja dengan alasan akademis ilmiah?

Jawab:
Haram hukumnya seorang muslim mengikuti atau menghadiri ibadah misa Natal di gereja walaupun untuk alasan akademis ilmiah. Alasan akademis ilmiah ini meskipun kelihatannya baik, tetapi sesungguhnya tetap tidak dapat menghalalkan sesuatu yang haram. Karena sesuatu yang haram dalam Islam itu hukumnya tetap haram walaupun dilakukan dengan niat untuk melakukan kebaikan (As-Sayyid bin Hamudah, An Nafa`is fi Ahkam al-Kana`is, hlm. 183; Yusuf al-Qaradhawi, Al-Halal wa Al-Haram fi Al-Islam, hlm. 33).

Mengenai keharamannya, As-Sayyid bin Hamudah dalam kitabnya An-Nafa`is fi Ahkam Al-Kana`is mengatakan,

اتفق الفقهاء على تحريم دخول المسلم معابد الكفار وقت أعيادهم ومناسباتهم الدينية

”Para ahli fikih telah sepakat mengenai haramnya seorang muslim untuk memasuki tempat-tempat ibadah kaum kafir pada saat hari-hari raya mereka dan pada saat momentum-momentum keagamaan mereka.” (ittafaqa al fuqoha ‘ala tahriim dukhul al muslim ma’aabida al kuffar waqta a’yadihim wa munasabatihim al diiniyyah). (As-Sayyid bin Hamudah, An-Nafa`is fi Ahkam al- Kana’is, hlm. 183).

Dalil keharamannya adalah firman Allah Swt.,

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ

”Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain.” (QS Al-An’aam [6] : 68).

Ayat ini telah mengharamkan seorang muslim untuk ikut serta pada suatu majelis yang dia mempersaksikan kebatilan (musyahadah al bathil) dan mendengarkan kebatilan (istima’ al bathil) di dalamnya. Maka dari itu, haram hukumnya seorang muslim ikut serta dalam ibadah misa Natal di gereja, karena dalam ibadah di gereja itu dapat dipastikan seorang muslim akan menyaksikan dan mendengar hal-hal yang batil dalam pandangan akidah Islam, seperti ketuhanan Yesus, doktrin Trinitas, dan sebagainya (As-Sayyid bin Hamudah, An-Nafa`is fi Ahkam al-Kana’is, hlm. 183).

Dalil lainnya adalah firman Allah Swt.,

وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ

”Dan [ciri-ciri hamba Allah adalah] tidak menghadiri/mempersaksikan kedustaan/kepalsuan.” (walladziina laa yasyhaduuna az zuur).(QS Al-Furqan [25] : 72).

Imam Ibnul Qayyim meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas, Adh Dhahhak, dan lain-lain, bahwa yang dimaksud az zuur (kedustaan/kepalsuan) dalam ayat ini adalah hari raya orang-orang musyrik (‘idul musyrikiin). Maka berdasarkan ayat itu, Imam Ibnul Qayyim mengharamkan seorang muslim untuk turut serta merayakan (mumaala`ah), menghadiri (hudhuur), atau memberi bantuan (musa`adah) pada hari-hari raya kaum kafir. (Imam Ibnul Qayyim, Ahkam Ahlidz Dzimmah, 2/156).

Berdasarkan dua dalil atas, dan dalil-dalil lain yang semisalnya, haram hukumnya seorang muslim mengikuti atau menghadiri ibadah misa Natal di gereja. Di sini perlu ditegaskan supaya tidak ada kerancuan, bahwa sungguh tidak ada khilafiah di kalangan fukaha dalam masalah ini, yaitu haramnya seorang muslim untuk memasuki tempat-tempat ibadah kaum kafir pada saat hari-hari raya mereka dan pada saat momentum-momentum keagamaan mereka. Semua fukaha sepakat mengharamkan.

Yang ada khilafiah adalah hukum masuknya seorang muslim ke dalam gereja di luar konteks hari raya atau momentum keagamaan Kristiani, misalnya untuk duduk-duduk, istirahat, mengamati bangunannya, dan sebagainya (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 38/155; Imam Al-Qarafi, Al-Dzakhiirah, 12/35; Imam Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 13/54; Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Al-Fatawa Al-Kubra, 2/485; Imam Ibnul Qayyim, Ahkam Ahlidz Dzimmah, 2/722).

 Adapun mengapa alasan akademis ilmiah dalam hal ini tidak dapat diterima, karena dalam Islam terdapat kaidah-kaidah syariat yang tegas mengenai halal-haram Di antaranya kaidah:

النية الحسنة لا تبرر الحرام

“An-niyyat al-hasanah laa tubarrir al-haram (niat yang baik tidak dapat membenarkan yang haram).”

Demikian juga kaidah,

الغاية لا تبرر الواسطة

“Al ghaayah laa tubarrir al waasithah” (tujuan tidak dapat membenarkan segala macam cara). (Yusuf Al Qaradhawi, Al Halal wa Al Haram fi Al Islam, hlm. 33; Taqiyuddin an-Nabhani, Muqadimah ad-Dustur, 2/181).

Dengan demikian, jelaslah bahwa alasan akademis ilmiah tidak dapat diterima sebagai justifikasi untuk membenarkan aktivitas mahasiswa muslim mengikuti ibadah misa Natal di gereja. Wallahuam. 

Sumber: muslimahnews.net

•••••
Raih amal saleh dengan menyebarluaskan postingan ini. Ikuti kami di :

Facebook :https://www.facebook.com/GuruMuslimahInspiratif/
Telegram : t.me/GuruMuslimahInspiratif
Instagram : https://www.instagram.com/gurumuslimahinspiratif

Senin, 11 Desember 2023

Hukum menjual barang alkohol

Fikih] Haram Menjual Barang Haram

Oleh: Syekh ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

Muslimah News, FIKIH — Soal:

Ada tawaran pekerjaan (duta komoditas) milik salah satu perusahaan yang menjual produk kecantikan dan parfum. Sebagian jenisnya mengandung alkohol yang kadarnya berbeda-beda. Ada kolonyet yang mengandung nisbah tinggi etilalkohol (etanol). Ada produk-produk yang mengandung proporsi etilalkohol, metilalkohol, isopropilalkohol semisal parfum dan kosmetik.

Pertanyaannya: Bolehkah bekerja sebagai duta produk di situ? Bolehkah bekerja di dalam perusahaan tersebut bukan pada bidang produk, misalnya pekerjaan administrasi?

Jawab:

Pertama: Hukum bekerja sebagai duta produk di perusahaan untuk menjual sebagian barang yang haram (parfum dan kosmetik yang di dalamnya ada etilalkohol dsb.). Kami telah membahas perkara ini di buku kami dan kami jelaskan bahwa itu haram. Di dalam buku Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz 2 bab “Kullu Mâ Hurima ‘alâ al-‘Ibâd Fa Bay’uhu Harâm[un] (Semua yang Diharamkan atas Hamba, maka Menjualnya Adalah Haram)” dijelaskan:

Di situ ada sesuatu yang Allah haramkan untuk dimakan seperti daging bangkai, sesuatu yang Allah haramkan untuk diminum seperti khamar, sesuatu yang Allah haramkan diambil (digunakan) seperti berhala, sesuatu yang Allah haramkan untuk dimiliki seperti patung, dan sesuatu yang Allah haramkan untuk dibuat seperti gambar. Semua ini dinyatakan oleh nas-nas syar’i berupa ayat atau hadis tentang pengharamannya. Apa yang Allah haramkan bagi hamba berupa sesuatu yang pengharamannya dinyatakan oleh nas syar’i, baik haram dimakan, diminum, atau yang lainnya, maka menjual sesuatu ini yang telah Allah haramkan atas hamba itu adalah haram karena keharaman harganya. Jabir ra. pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda,

إِنَّ اللهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِير وَالْأَصْنَامِ. فَقِيلَ: يَا رَسُولَ الله، أَرَأَيْت شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بها السُّفُنُ، وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ، وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ؟ فَقَال: لَا، هُوَ حَرَامٌ. ثُم قَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم عِنْدَ ذَلِكَ : قَاتَلَ الله الْيَهُودَ، إِنَّ الله لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوه ثُمَّ بَعُوه فَأَكَلُوا ثَمَنَه

“Sungguh Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual khamar, bangkai, babi, dan berhala. Lalu dikatakan, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pandangan Anda dengan lemak bangkai, sebab itu bisa digunakan untuk mengecat perahu, mengurapi kulit, dan orang menggunakan itu untuk penerangan?” Beliau bersabda, “Tidak. Itu adalah haram.” Kemudian Rasulullah saw. ketika itu bersabda, “Semoga Allah membinasakan Yahudi. Sungguh Allah, ketika mengharamkan lemak hewan, mereka lelehkan kemudian mereka jual dan mereka makan harganya.” (HR Bukhari).

Jamalûhu adalah adzâbuhu (melelehkannya). Ibnu Abbas ra. juga bertutur bahwa Nabi saw. pernah bersabda,

قَاتَلَ الله الْيَهُودَ ثَلَاثًا، إِنَّ الله حَرَّمَ عَلَيْهِمُ الشُّحُومَ فَبَاعُوهَا وَأَكَلُوا أَثْمَانها، وَإِنَّ الله إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ [رواه البخاري]

“Semoga Allah membinasakan Yahudi.” Beliau mengatakan ini tiga kali. “Sungguh Allah telah mengharamkan atas mereka lemak lalu mereka jual dan mereka makan harganya. Sungguh Allah jika telah mengharamkan atas kaum memakan sesuatu maka Allah pun mengharamkan atas mereka harganya.” (HR Bukhari).

Oleh karena itu, bekerja di bidang ini adalah haram.

Kedua: Adapun pekerjaan administratif di perusahaan yang menjual sebagian barang yang haram maka dilihat sebagai berikut:

– Jika pekerjaan administratif itu berhubungan langsung dengan penjualan barang haram, seperti Anda bekerja dalam menyiapkan permintaan-permintaan yang terkait dengan penjualan barang-barang yang haram atau semacam itu, maka pekerjaan administratif ini adalah haram. Hal itu karena terkait langsung dengan pekerjaan yang haram, yaitu penjualan barang yang haram. Sebaliknya, jika pekerjaan administratif itu tidak memiliki hubungan langsung dengan penjualan barang haram (jadi tidak termasuk dalam pekerjaan administratif menyiapkan permintaan-permintaan untuk penjualan barang yang haram atau semacam itu), maka pekerjaan administratif ini tidak haram meskipun di perusahaan itu ada aktivitas menjual barang yang haram. Hal itu karena Anda dalam keadaan ini tidak melakukan pekerjaan yang haram.

Meski demikian, kehati-hatian seseorang untuk agamanya bukan hanya menjauh dari yang haram, tetapi hingga dari sebagian kemubahan karena khawatir adanya yang haram yang dekat darinya. Para sahabat Rasul saw. dahulu menjauhi banyak pintu-pintu mubah karena khawatir mendekat pada yang haram. Rasulullah saw. bersabda,

لَا يَبْلُغُ العَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لاَ بَأْسَ بِهِ حَذَرا لِمَا بِهِ البَأْسُ [أخرجه الترمذي]

“Seseorang tidak mencapai derajat takwa sampai dia meninggalkan apa yang tidak ada masalah dengannya karena khawatir terhadap apa yang ada masalah dengannya.” (HR Tirmidzi).

Imam at-Tirmidzi juga telah mengeluarkan hadis ini dan ia berkata, “Hadis ini hasan sahih,” yakni dari jalur Hasan bin Ali ra. yang berkata, “Aku menghafal hadis dari Rasulullah saw. yang bersabda,

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ

Tinggalkan apa yang meragukanmu menuju pada apa yang tidak meragukanmu.'” (HR Tirmidzi).

Oleh karena itu, yang lebih utama dan lebih selamat untuk agama adalah menjauh dari bekerja di perusahaan semacam ini dan mencari pekerjaan yang di dalamnya ada rezeki yang baik. Allah Swt. pasti menjadikan jalan keluar untuk orang yang bertakwa kepada-Nya,

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا ٢ وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمۡرِهِۦۚ قَدۡ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَيۡءٖ قَدۡرٗا ٣

“Siapa saja yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menyediakan bagi dirinya jalan keluar (solusi) dan memberi dia rezeki dari arah yang tiada dia sangka-sangka. Siapa saja yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi (keperluan)-nya. Sungguh Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”(QS Ath-Thalaq [65]: 2-3).

Wallahualam wa ahkam

Selasa, 28 November 2023

hukum mendapat tip

Berikut ini penjelasan tentang hukum fikih ketika seorang karyawan yang sudah mendapatkan gaji, diberi hadiah oleh penerima manfaat atas jasanya. #Fikih
Hukum Hadiah bagi Karyawan yang Sudah Mendapat Gaji
https://muslimahnews.net/2023/05/25/20407/
Penulis: K.H. M. Shiddiq al-Jawi
Muslimah News, FIKIH — Tanya:
Ustaz, misalkan ada karyawan sebuah lembaga filantropi yang sudah mendapat gaji, melakukan distribusi Al-Qur’an ke lokasi distribusi. Setelah Al-Qur’an diterima oleh penerima manfaat (pesantren, majelis taklim, masjid, dll.), penerima manfaat memberikan hadiah berupa makanan/minuman/kue/madu/hasil pertanian kepada karyawan tersebut. Apakah yang diterima karyawan tersebut halal atau haram? (Hamba Allah, Jakarta).

Jawab:
Hukum asalnya haram karyawan/pekerja tersebut menerima hadiah tersebut, baik hadiah yang berupa barang maupun yang berupa fasilitas. Dalil keharamannya adalah beberapa hadis Nabi saw. yang mengharamkan karyawan (al-ajīr/al-’āmil) yang sudah digaji oleh pihak pemberi kerja (al-musta`jir) untuk menerima hadiah (al-hadiyyah) atau tip (al-ikrāmiyāt) dari pihak rekanan (bukan dari pihak pemberi kerja).

Pertama, hadis dari Abu Humaid As-Sa’idi ra.,
عن أبي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رضي الله عنه قَالَ : اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلا مِنْ بَنِي أَسْدٍ يُقَالُ لَهُ ابن اللُّتْبِيَّة عَلَى صَدَقَةٍ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ : هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي ، فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ : ( مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ فَيَأْتِي يَقُولُ : هَذَا لَكَ وَهَذَا لِي ، فَهَلا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لا ؟ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لا يَأْتِي بِشَيْءٍ إِلا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَيْ إِبْطَيْهِ أَلا هَلْ بَلَّغْتُ ثَلاثًا.رواه مسلم برقم 3413.

Dari Abu Humaid as-Sa’idi ra., bahwa Rasulullah saw. telah mempekerjakan seorang laki-laki dari Bani Asad bernama Ibnu Luthbiyah untuk mengumpulkan zakat (dari Bani Sulaim). Ketika ia menyetorkan zakat yang dipungutnya, ia berkata kepada Rasulullah saw., “Zakat ini kuserahkan kepada Anda dan ini hadiah orang kepadaku.” Abu Humaid berkata, “Rasulullah saw. lalu berdiri di atas mimbar, kemudian beliau memuji dan menyanjung Allah, serta bersabda, ‘Bagaimana bisa ada seorang petugas zakat yang sudah aku tugaskan memungut zakat, lalu ia berkata, ‘Zakat ini kuberikan kepada Anda, dan ini hadiah dari orang untukku.’ Mengapa ia tidak duduk-duduk saja di rumah ibunya atau bapaknya menunggu orang mengantarkan hadiah kepadanya? Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangannya, tidak ada seorang pun di antara kalian yang mengambil harta secara khianat, melainkan kelak ia akan memikul harta itu di atas lehernya pada hari kiamat, jika harta itu berupa unta, unta itu akan menguak, atau jika sapi maka sapi itu akan melenguh, atau jika kambing maka kambing itu akan mengembik.’ Kemudian Rasulullah saw. mengangkat kedua tangannya sehingga kami dapat melihat warna putih pada kedua ketiaknya, kemudian Rasulullah saw. bersabda, ’Ya Allah, telah aku sampaikan.’ Beliau mengatakan itu tiga kali.” (HR Muslim, no. 3413).

Imam Nawawi memberi syarah (penjelasan) hadis tersebut dengan berkata,
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ بيانُ أنَّ هَدَايَا الْعُمَّالِ حَرَامٌ وَغُلُولٌ ؛ لِأَنَّه خَانَ فِي وِلَايَتِهِ وَأَمَانَتِه ، وَلِهَذَا ذَكَرَ فِي الْحَدِيثِ فِي عُقُوبَتِهِ وحَمْلِهِ مَا أُهْدِيَ إلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، شرح مسلم للنووي ج 12 ص 219.

“Dalam hadis ini terdapat penjelasan bahwa hadiah yang diterima oleh karyawan (pekerja) adalah haram dan khianat (ghulul), karena ia telah berkhianat dalam tugasnya dan amanatnya. Oleh karena itulah, disebutkan dalam hadis ini hukumannya, yaitu memikul harta yang dihadiahkan kepadanya itu di lehernya pada hari kiamat.” (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 12/219).

Kedua, hadis dari dari Abu Humaid As-Saidi ra.,
عن أبي حميد الساعدي أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُوْلٌ . مسند الإمام أحمد ج 5 ص 424 برقم 23090 وصحَّحه الألباني في ارواء الغليل 2622

Dari Abu Humaid as-Sa’idi ra., bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, ”Hadiah-hadiah yang diterima oleh para karyawan, adalah harta khianat (ghulūl).” (HR Ahmad, dalam Al-Musnad, 5/424, nomor 23090, dinilai sahih oleh Syekh Nashiruddin al-Albani, dalam kitab Irwa`ul Ghalil, no. 2622).

Ketiga, hadis dari Buraidah ra.,
عن بُرَيدَةَ رَضِيَ اللهُ عنه، عنِ النبيِّ صلَّى الله عليه وسلَّم أنَّه قال: مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلىَ عَمَلٍ فَرَزقْنَاهُ رِزْقًا؛ فَمَا أَخَذَهُ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُوْلٌ. رواه أبو داود برقم 2943 وابن خزيمة ج 4 ص 70 برقم 2369، والحاكم ج 1 ص 563 ، والبيهقي ج 6 ص 355 برقم 13401.وقال الشوكاني في نيل الأوطار ج 4 ص 232: رجال إسناده ثقات، وصحَّحه الألباني في صحيح سنن أبي داود برقم 2943.

Dari Buraidah ra., bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Barang siapa yang telah kami berikan pekerjaan kepadanya, lalu kami sudah memberikan gaji kepadanya, maka apa saja yang ia ambil sesudah gaji itu, maka itu adalah harta khianat (ghulūl).” (HR Abu Dawud, no 2943; Ibnu Khuzaimah, 4/70; Al-Hakim, 1/563, Al-Baihaqi, 6/355; hadis ini sahih menurut Imam Syaukani dan Syekh Nashiruddin al-Albani).

Keempat, hadis dari ‘Adiy bin ‘Amirah al-Kindi ra.,
عن عَديِّ بنِ عَمِيرةَ الكِنديِّ، قال: سمعتُ رسولَ الله صلَّى الله عليه وسلَّم يقول« مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ » ، قَالَ: « فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنْ الْأَنْصَارِ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ، قَالَ: ((وَمَا لَكَ؟)) ، قَالَ: سَمِعْتُكَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا، قَالَ: وَأَنَا أَقُولُهُ الْآنَ، مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَلْيَجِئْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ فَمَا أُوتِيَ مِنْهُ أَخَذَ وَمَا نُهِيَ عَنْهُ انْتَهَى» رواه البخاري ومسلم

Dari ‘Adiy bin ‘Amirah al-Kindi ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu ia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah harta khianat (ghulūl) yang akan ia bawa pada hari kiamat.” (‘Adiy) berkata.”Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi saw. seolah-olah aku melihatnya, lalu ia berkata, ”Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan.” Nabi saw. bertanya, ”Ada apa gerangan?” Ia menjawab, ”Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di atas).” Nabi saw. pun berkata, ”Aku katakan sekarang, (bahwa) barang siapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah ia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya [dari kami], ia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang [oleh kami], maka tidak boleh [ia mengambilnya].” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadis-hadis di atas menunjukkan haramnya seorang karyawan (al-ajīr/ al-’āmil) yang sudah digaji oleh pihak pemberi kerja (al-musta`jir) untuk menerima hadiah (al-hadiyyah) atau tip (al-ikrāmiyāt) dari pihak rekanan (pihak lain yang bukan pihak pemberi kerja). (Taqiyuddin an-Nabhani, Al-Shakhṣiyyah al-Islāmiyyah, 2/337).

Dikecualikan dari hukum asal haramnya karyawan yang sudah digaji oleh pemberi kerja, yakni boleh hukumnya karyawan menerima hadiah dari pihak lain di luar pihak pemberi kerja dalam 2 (dua) kondisi sebagai berikut:
Pertama, jika hadiah itu berasal dari pihak yang sudah terbiasa memberi hadiah kepada karyawan itu, misalnya keluarganya atau sahabatnya.

Kedua, jika pihak pemberi kerja (al-musta`jir) memberi izin kepada karyawan untuk menerima hadiah itu.

Perkecualian pertama:
Boleh hukumnya karyawan menerima hadiah, jika hadiah itu berasal dari pihak yang sudah terbiasa memberi hadiah kepada karyawan itu, misalnya keluarganya atau sahabatnya. Imam Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan,

إلَّا أَنْ الْهَدِيَّةَ لِهَؤُلَاءِ تَكُوْنُ حَرَاماً إذَا لَمْ يَكُنْ مِنْ عَادَةِ الْمُهْدِي أَنْ يُهْدِيَ لَهُم ، أمَّا إنْ كَانَ مِنْ عَادَتِهِ أَنْ يُهْدِيَ لَهُمْ سَوَاءٌ أَكَانُوا يَتَوَلَّوْنَ قَضَاءَ مَصَالِحَ أَمْ لَا ، فَإِنَّهُ تَجُوْزُ الْهَدِيَّةُ لَهُمْ وَلَا شَيْءَ فِيهَا ، لِأَنَّ الرَّسُوْلَ ﷺ يَقُولُ فِي الْحَدِيْثِ : فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أبِيكَ وَأُمِّكَ ، حتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إنْ كُنْتَ صَادِقًا . وَمَفْهُومُهُ أَنَّ الْهَدِيَّةَ الَّتِيْ تُهْدَى لَهُ وَهُوَ جَالِسٌ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ دُونَ أَنْ يَكُونَ عاملاً جَائِزَةٌ.
“Namun, hadiah kepada mereka ini (karyawan/pekerja) hukumnya haram, jika bukan merupakan kebiasaan pemberi hadiah untuk memberi hadiah kepada karyawan itu. Adapun jika pemberi hadiah sudah terbiasa sebelumnya memberi hadiah kepada karyawan itu, sama saja apakah pemberi hadiah itu berwenang mengurus urusan publik atau tidak, boleh hukumnya karyawan itu menerima hadiah, karena Rasulullah saw. bersabda, ‘Jadi mengapa Anda tidak duduk saja di rumah ayah dan ibu Anda sampai Anda menerima hadiah Anda, jika Anda jujur?’ Mafhūm mukhālafah (pengertian sebaliknya) dari hadis ini, jika hadiah yang diberikan kepada karyawan itu datang saat ia sedang duduk di rumah ayah dan ibunya tanpa ia menjadi pekerja, maka hukumnya boleh.” (Taqiyuddin an-Nabhani, Al-Shakhṣiyyah al-Islāmiyyah, 2/337).

Perkecualian kedua:
Boleh hukumnya karyawan (pekerja) menerima hadiah, jika pihak pemberi kerja (al-musta`jir) sudah mengetahui dan memberi izin kepada karyawan untuk menerima hadiah tersebut. Imam Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan,

وَلَيْسَ مِنَ السَّمْسَرَةِ مَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ الْأُجَرَاءِ ، وَهُوَ أَنْ يُرْسِلَ التَّاجِرُ رَسُوْلاً عَنْهُ لِيَشْتَرِيَ لَهُ بِضَاعَةً مِنْ آخَرَ ، فَيُعْطِيْهِ الْآخَرُ مَالاً مُقَابِلَ شِرَائِهِ مِنْ عِنْدِهِ فَلَا يَحْسِبَهُ مِنْ الثَّمَنِ بَلْ يَأْخُذُهَا لَهُ بِاعْتِبَارِه سَمْسَىرَةً مِنَ التَّاجِرِ ، وَهُوَ مَا يُسَمَّى عِنْدَهُم الْقَامِسِيُّوْنَ . فَهَذَا لَا يُعْتَبَرُ سَمْسَرَةً ، لِأَنَّ الشَّخْصَ وَكِيْلٌ عَنِ التَّاجِرِ الَّذِيْ يَشْتَرِيْ لَهُ ، فَمَا يَنْقُصُ مِنَ الثَّمَنِ هُوَ لِلْمُشْتَرِي ، وَلَيْس لِلرَّسُوْلِ . وَلِذَلِكَ يَحْرُمُ عَلَيْهِ أَخْذُهُ ، بَلْ هُوَ لِلْمُرْسِلِ الَّذِيْ أَرْسَلَهُ إلَّا أَنْ يُسَامِحَ بِهِ الْمُرْسِلُ فَيَجُوْزُ

“Tidak termasuk samsarah (perantara jual beli), apa yang dilakukan oleh sebagian karyawan (pekerja), yaitu seorang pedagang mengirim seorang utusan untuk membeli suatu barang dari orang lain untuknya, kemudian orang lain ini memberi harta kepada utusan tersebut sebagai imbalan karena ia telah membeli barang kepadanya, maka orang lain itu memberikan potongan harga kepadanya, lalu karyawan mengambil potongan harga tadi hakikatnya adalah wakil dari pihak pedagang untuk membeli barang atas namanya (pihak yang mengutus). Jadi, potongan harga tadi sebenarnya adalah haknya pihak yang mengutus, bukan haknya utusan. Haram hukumnya utusan tadi mengambil potongan harga itu, dan potongan harga itu sebenarnya adalah hak pihak yang mengutus, kecuali pihak yang mengutus membolehkan potongan harga itu diambil oleh utusan.” (Taqiyuddin an-Nabhani, Al-Niẓām al-Iqtiṣādi fi al-Islām, hlm. 70). Wallahualam. [MNews/Rgl]

Selasa, 14 November 2023

hukum zakat rumah

Fikih] Rumah Tempat Tinggal dan Kendaraan Pribadi, Apakah Zakatnya Harus Dibayar?
9 November 20233 min read
Oleh: K.H. M. Shiddiq al-Jawi (Pakar Fikih Muamalah dan Kontemporer)

Muslimah News, FIKIH — Tanya: Assalamu’alaikum wr. wb.. Afwan Pak Ustaz, ana ingin bertanya tentang zakat rumah tempat tinggal dan kendaraan pribadi, apakah harus dibayar zakatnya? Atas jawaban Pak Ustaz saya ucapkan jazakallah khairan. (Ibrahim Muhayang, Balikpapan).

Jawab:

Wa’alaikumus-salam wr. wb.. Jika rumah dan kendaraan pribadi itu hanya dipakai sendiri, bukan untuk diperdagangkan, tidak ada kewajiban zakat untuk rumah dan kendaraan pribadi tersebut.

Dalilnya sabda Rasulullah saw.,

لَيْسَ عَلَى المُسْلِمِ فِي فَرَسِهِ وَغُلاَمِهِ صَدَقَةٌ

“Tidak ada kewajiban zakat atas seorang muslim pada kudanya dan budaknya.” (HR Bukhari, no. 1463, Muslim, no. 982).

Imam Nawawi menjelaskan hadis tersebut dengan berkata,

هَذَا الْحَدِيثِ أَصْلٌ فِي أَنَّ أَمْوَالَ الْقُنْيَةِ لَا زَكَاةَ فِيْهَا ، وَأَنَّهُ لَا زَكَاةَ فِي الْخَيْلِ وَالرَّقِيْقِ إذَا لَمْ تَكُنْ لِلتِّجَارَةِ ، وَبِهَذَا قَالَ الْعُلَمَاءُ كَافَّةً مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ

“Hadis ini adalah dalil bahwa harta-harta yang dipakai untuk keperluan sendiri (Arab: al-qun-yah), tidak ada kewajiban zakatnya. Hadis ini juga dalil bahwa tidak ada kewajiban zakat untuk kuda dan budak selama tidak diperdagangkan. Inilah pendapat para ulama seluruhnya, baik ulama salaf maupun khalaf…” (Imam Nawawi, Syarah Shahīh Muslim, Juz VII, hlm. 55).

Dengan demikian, jelaslah bahwa rumah dan kendaraan yang dimiliki tidak terkena kewajiban zakat perdagangan, selama rumah dan kendaraan pribadi tersebut dipakai untuk keperluan pribadi dan tidak diperdagangkan. Adapun jika rumah dan kendaraan pribadi tersebut diperdagangkan, akan terkena zakat perdagangan (zakāt ‘urūdh at-tijārah) jika memenuhi syarat-syaratnya. (http://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/411).

Misalnya, awalnya seseorang mempunyai rumah untuk dipakai sendiri. Namun, pada suatu saat, dia berniat mau menjual rumahnya tersebut. Sejak dia berniat menjual, berarti rumah tersebut akan terkena zakat perdagangan (zakāt ‘urūdh at-tijārah) jika sudah memenuhi 2 (dua) kriteria sebagai berikut:

Pertama, nilai barang dagangan sudah mencapai nisab zakat perdagangan atau lebih. Nisab zakat perdagangan secara umum adalah nisab perak (bukan nisab emas) sesuai prinsip aqallu nishabaini (mengikuti nisab paling sedikit di antara nisab emas dan perak), yaitu 200 dirham atau kira-kira Rp14,5 juta.

Kedua, barang dagangan sudah memenuhi kriteria haul, yaitu sudah berlalu dalam jangka waktu 1 tahun menurut kalender hijriah (bukan menurut kalender Masehi), sejak tanggal diniatkan untuk dijual. Jika sudah memenuhi 2 (dua) kriteria tersebut, zakatnya adalah 2,5% dari harga jual (‘Abdul Qadīm Zallūm, Al-Amwāl fī Daulah Al-Khilāfah, hlm. 163—164).

Misalnya, seseorang mempunyai rumah untuk dipakai sendiri sejak tahun 2015. Pada suatu saat, misalkan tahun 2023, tepatnya hari Ahad tanggal 1 Rabiulawal tahun 1445 H, dia berniat menjual rumah tersebut yang nilainya saat itu Rp900 juta. Sejak tanggal tersebut, rumah itu akan terkena zakat perdagangan (zakāt ‘urūdh at-tijārah) jika sudah memenuhi 2 (dua) kriteria yang sudah disebutkan. Rumah tersebut laku misalnya pada tanggal 1 Rabiulawal tahun 1446 H (sudah berlalu selama 1 tahun hijriah sejak tanggal diniatkan untuk dijual) dengan harga jual sebesar Rp1 miliar. Apakah orang tersebut wajib membayar zakat perdagangan (zakāt ‘urūudh at-tijārah)? Jika sudah wajib, berapa besarnya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu ditinjau 2 (dua) kriteria zakat perdagangan, yaitu nisab dan haul.

Kriteria pertama, ditinjau dari segi nisab, rumah tersebut yang nilainya Rp900 juta jelas sudah melampaui nisab untuk barang dagangan, yaitu 200 dirham, atau kira-kira Rp14,5 juta.

Kriteria kedua, ditinjau dari segi haul, barang dagangan itu sudah memenuhi kriteria haul, yaitu sudah berlalu dalam jangka waktu 1 tahun hijriah sejak tanggal diniatkan untuk dijual. Ini karena orang tersebut mulai berniat menjual rumahnya tanggal 1 Rabiulawal tahun 1445 H dan kemudian rumah itu laku satu tahun setelahnya, yaitu 1 Rabiulawal tahun 1446 H.

Dikarenakan sudah memenuhi dua kriteria zakat perdagangan, berarti muslim tersebut sudah wajib hukumnya mengeluarkan zakat perdagangan. Adapun besarnya zakat yang wajib dikeluarkan adalah = 2,5% dikalikan harga jual (Rp1 miliar) (bukan dikalikan harga beli atau harga di awal haul, yaitu Rp900 juta), yaitu = 2,5% x Rp1 miliar = Rp25 juta.

Akan tetapi, jika rumah itu misalnya sudah terjual pada bulan ke-6 (belum mencapai haul, yaitu satu tahun hijriah) sejak tanggal diniatkan dijual, berarti belum ada kewajiban zakat perdagangan, karena belum memenuhi kriteria kedua, yaitu kriteria haul (berlalu satu tahun hijriah) pada barang dagangan, sejak tanggal diniatkan dijual. Sebaliknya, jika rumah itu belum laku juga hingga pada bulan ke-15 (sudah lebih dari satu tahun hijriah), rumah itu sudah terkena kewajiban zakat, walaupun belum laku terjual. Wallahualam. [MNews/Rgl]

Selasa, 03 Oktober 2023

Hukum membeli barang sitaan

#Fiqih

/ Hukum Membeli Barang Sitaan Bank /

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Tanya :

Ustadz, apa hukumnya membeli barang sitaan bank? (M. Hatta Syahrir, Makassar)

Jawab :

Haram hukumnya membeli barang sitaan bank, yaitu agunan utang dari debitur yang gagal bayar (default), dengan 3 (tiga) alasan berikut ini :

Pertama, karena bank tidak berhak menyita agunan utang milik debitur yang gagal bayar. Dalam Islam, jika debitur mengalami gagal bayar, maka yang dilakukan bukanlah bank menyita agunan utang, melainkan debitur menjual agunan itu untuk melunasi utang, baik debitur itu kemudian menjual agunan itu kepada kreditur, ataupun menjualnya kepada pihak lain selain kreditur.

Jadi, penyitaan agunan utang oleh bank itu tidak sah menurut hukum Islam, karena agunan utang itu sebenarnya masih hak miliknya pihak debitur, walaupun debitur itu mengalami gagal bayar. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW :

لَا يَغْلَقُ الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِي رَهَنَهُ ، لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ

“Tidaklah suatu barang gadai (agunan utang) menjadi hilang bagi pemiliknya bila ia tidak menebusnya pada waktunya. Setiap kenaikan nilainya menjadi miliknya dan segala kerugian menjadi tanggungannya.” )HR. Ad-Daraquthni, 3/33; Al-Hakim, 2/51; dari Sa’id bin Al-Musayyab).

Hadits tersebut menjelaskan bahwa ketika pihak debitur gagal bayar, atau dengan kata lain, ketika debitur tidak mampu menebus barang yang digadaikannya, maka barang gadai (agunan utang) itu tidaklah otomatis menjadi hak miliknya pihak kreditur, tetapi masih tetap menjadi hak miliknya debitur. Inilah hukum Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, yang telah menghapuskan tradisi muamalah Jahiliyyah yang menetapkan kalau debitur gagal bayar, maka barang gadai otomatis menjadi miliknya kreditur. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 2/339).

Kedua, karena barang itu sebenarnya bukan milik bank, melainkan masih hak milik debitur yang gagal bayar tersebut. Oleh karenanya, jika bank menyita agunan utang tersebut, lalu bank menjual agunan itu melalui suatu pelelangan, berarti bank telah menjual barang yang bukan miliknya. Padahal Islam telah tegas melarang untuk menjual apa-apa yang bukan milik penjual, sesuai sabda Rasulullah SAW yang bermakna umum berikut ini :

لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

"Janganlah kamu menjual apa-apa yang tidak ada di sisimu.” (Arab : lā tabi’ mā laysa ‘indaka) (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Salah satu pengertian dari “apa-apa yang tidak ada di sisimu” (مَا لَيْسَ عِنْدَكَ) adalah “apa-apa yang bukan milikmu,” ( مَا لَيْسَ فِيْ مِلْكِكَ), misalnya barang itu milik tetanggamu, atau milik temanmu, atau barang itu milik debiturmu yang gagal bayar, dsb. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, 2/390).

Ketiga, karena agunan utang (rahn) di bank ini merupakan muamalah cabang, yang lahir dari muamalah pokok, yaitu utang piutang yang bersifat ribawi. Maka dari itu, muamalah cabang berupa agunan utang di bank ini hukumnya haram, karena muamalah pokoknya sudah haram. Kaidah fiqih menegaskan :

إِذَا سَقَطَ الْأَصْلُ سَقَطَ الْفَرْعُ

“Jika masalah pokok telah gugur, maka gugur pula masalah cabangnya.” (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, 1/271; Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 5/58).

Kesimpulannya, berdasarkan tiga alasan di atas, membeli barang sitaan bank haram hukumnya dalam Syariah Islam. Wallāhu a'lam.

Sumber : fissilmi-kaffah[dot]com 

Follow @puanriaubersyariah 
Follow @puanriaubersyariah 
Follow @puanriaubersyariah

hukum suami memukul istri

Hukum Suami Memukul Istri dalam Islam

(Oleh: K.H. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si., M.Si.)

Tanya:
Ustaz, mohon dijelaskan hukum syara’ seputar suami memukul istri. (Abdullah, bumi Allah).

Jawab:
Tak ada perbedaan pendapat di kalangan seluruh fukaha (ahli fikih), bahwa boleh (ja’iz) hukumnya suami memukul istrinya jika terdapat padanya tanda-tanda nusyuz (ketidaktaatan) dari istri kepada suami.Contoh ketidaktaatan istri, misalnya keluar rumah tanpa ijin suami, tak mau melayani suami padahal tak punya uzur (misal haid atau sakit), atau tak amanah menjaga harta suami, dan sebagainya.

Semua fukaha sepakat suami boleh memukul istri dalam Islam, tanpa khilafiyah (perbedaan pendapat)(Lihat : Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, 4/487; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/59; Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 10/15; Imam Al Kasani, Badai’us Shanai’, 3/613; Imam Nawawi, Al Majmu’, 16/445; Ibnu Qudamah, Al Mughni, 35/15; Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, 5/261).

Dalil Syar’i

Dalil kebolehannya adalah firman Allah SWT,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS An Nisaa` [4] : 34)

Tiga Tahap Mendidik Istri
Ayat ini menunjukkan suami berhak mendidik istrinya yang menampakkan gejala nusyuz dalam 3 (tiga) tahapan secara tertib sebagai berikut:

Pertama, menasehati istri dengan lembut, agar kembali taat kepada suami, sebab menaati suami adalah wajib atas istri (lihat QS Al Baqarah [2] : 228).

Kedua, memisahkan diri dari istri di tempat tidurnya, yakni tak menggauli dan tak tidur bersama istri, namun tak boleh mendiamkan istri. Langkah kedua ini ditempuh jika tahap pertama tak berhasil.

Ketiga, memukul istri. Langkah ini dilakukan jika tahap kedua tak berhasil (Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 5/51; M. Ahmad Abdul Ghani, Al ‘Adalah fi An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 67).

Namun, meski Islam membolehkan suami memukul istrinya, Islam menetapkan pukulan itu bukan pukulan yang keras, melainkan pukulan yang ringan, yang disebut Nabi Saw. sebagai pukulan yang tidak meninggalkan bekas (dharban ghaira mubarrih).

Kriteria Pukulan Syar’i
Imam Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan ayat tersebut dengan berkata, ”Pukulan di sini wajib berupa pukulan ringan (dharban khafifan), yaitu pukulan yang tak menimbulkan bekas (dharban ghaira mubarrih).

Ini sebagaimana penafsiran Rasulullah Saw. terhadap ayat tersebut ketika pada Haji Wada’ beliau berkhotbah, “Jika mereka (istri-istri) melakukan perbuatan itu (nusyuz), maka pukullah mereka dengan pukulan yang tak menimbulkan bekas (dharban ghaira mubarrih).” (HR Muslim, dari Jabir bin Abdullah RA). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm.153)

Para ulama banyak menguraikan bagaimana ukuran pukulan ringan tersebut. Pukulan itu tak boleh menimbulkan luka, tak boleh sampai mematahkan tulang atau sampai merusak/mengubah daging tubuh (misal sampai memar/tersayat). (Ibnu Hazm, Al Muhalla, 5/261).

Pukulan itu bukan pukulan yang menyakitkan, juga harus dilakukan pada anggota tubuh yang aman, misal bahu, bukan pada anggota tubuh yang rawan atau membahayakan, misalnya perut.

Jika menggunakan alat pun tak boleh alat yang besar seperti cambuk/tongkat, tapi cukup dengan siwak (semacam sikat gigi) atau yang semisalnya. (Imam Nawawi Al Bantani Al Jawi, Syarah Uqudul Lujain, hlm. 5; Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 5/55-56, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/329). Islam juga menjelaskan haram hukumnya suami memukul/menampar wajah istrinya.

Keharaman menampar istri, sesuai dengan larangan dalam hadis Mu’awiyah Al Qusyairi ra, ”Bahwa Nabi Saw. pernah ditanya seorang laki-laki, ’Apa hak seorang istri atas suaminya?’ Nabi Saw. menjawab, ’Kamu beri dia makan jika kamu makan, kamu beri dia pakaian jika kamu berpakaian, jangan kamu pukul wajahnya, jangan kamu jelek-jelekkan dia, jangan kamu menjauhkan diri darinya kecuali masih di dalam rumah.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah). (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/310).

Suami Terbaik Tak Memukul
Bahkan meski memukul istri itu boleh, namun yang lebih utama adalah memaafkan, yaitu tak memukul istri.  Imam Syafi’i meriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda,

لن يدرب خيلركم

”Orang-orang terbaik di antara kamu, tak akan pernah memukul istrinya.” (Imam Syafi’i, Al Umm, 5/1871). 

Wallahu a’lam. 

( K.H. M. Shiddiq Al Jawi )

ketentuan memiliki asisten rumah tangga

Ketentuan jika Memiliki Pembantu


Oleh: Ustaz Yuana Ryan Tresna (Mudir Ma’had Darul Hadits Khadimus Sunnah Bandung)

MuslimahNews.com, FIKIH – Memiliki pembantu, baik pembantu laki-laki maupun perempuan adalah boleh. Hukum terkait dengan pembantu di rumah sebenarnya adalah turunan dari bahasan nafkah. Suami wajib memberikan nafkah kepada keluarganya, termasuk menyediakan pembantu untuk meringankan pekerjaan rumah istrinya sesuai kemampuan.

Kaidahnya:

يتعاون الزوجان في القيام بأعمال البيت تعاوناً تاماً، وعلى الزوج أن يقوم بجميع الأعمال التي يقام بها خارج البيت، وعلى الزوجة أن تقوم بجميع الأعمال التي يقام بها داخل البيت حسب استطاعتها. وعليه أن يحضر لها خداماً بالقدر الذي يكفي لقضاء الحاجات التي لا تستطيع القيام بها.

Adapun hukum lainnya yang melingkupi perkara ini adalah hukum terkait hukum menjaga pandangan, menutup aurat, khalwat, ikhtilath, dan ijarah.

Pelajaran dari Kisah Nabi Yusuf ‘alaihis salam
Kitab “Adab al-Islam fi Nizham al-Usrah” karya Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki Bab “Pembantu Laki-laki di Rumah-rumah” menarik untuk disimak. Kitab ini adalah salah satu muqarrar di Ma’had Khadimus Sunnah Bandung Program Khusus Ummahat. Mulai Angkatan ke-2, kitab ini termasuk yang harus selesai dikaji.

Beliau menegaskan termasuk perkara yang terlarang, fitnah, dan bahaya yang besar jika mempekerjakan pembantu laki-laki dewasa di rumah, ketika di rumahnya hanya ada istrinya.

Beliau mengambil pelajaran dari kisah Nabi Yusuf ‘alaihis salam yang mendapat godaan dari seorang perempuan bangsawan. Kisah-kisah Nabi dan Rasul terdahulu, mengandung banyak pelajaran (ibrah) berharga. Beliau lebih menyoroti pembantu laki-laki, karena lazimnya istri di rumah dan suami keluar rumah mencari nafkah dan menjalankan aktivitas publik.

Fakta hari ini lebih beragam lagi. Ada beberapa keluarga yang istri bekerja di luar rumah, sementara suami lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Jika fakta ini beliau indra, tentu beliau membuat judul terlarangnya pembantu perempuan dewasa yang banyak berinteraksi dengan suami di rumah.

Berikut adalah ketentuan terkait dengan pembantu rumah:
Jika suami bekerja di luar rumah dan istri tinggal di rumah, maka terlarang mempekerjakan pembantu laki-laki dewasa. Karena akan menimbulkan bahaya dalam pergaulan.
Jika istri bekerja di luar rumah dan suami lebih banyak tinggal di rumah, maka terlarang mempekerjakan pembantu perempuan dewasa. Karena akan menimbulkan bahaya dalam pergaulan.
Jika poin 1 dan 2 sudah diperhatikan, ada ketentuan lain yang penting yaitu terkait dengan tidak boleh ber-khalwat dengan pembantunya. Yakni majikan perempuan dengan pembantu laki-laki atau majikan laki-laki dengan pembantu perempuan.
Para pembantu harus menutup aurat dengan sempurna saat berinteraksi dengan majikannya.
Majikan harus menjaga pandangan terhadap pembantunya.
Semoga Allah karuniakan kebaikan kepada seluruh penghuni rumah kita.

Kamis, 15 Juni 2023

hukum qurban


[Fikih] Hukum Fikih Seputar Kurban
8 Juni 202310 min read
Penulis: K.H. Hafidz Abdurrahman

Muslimah News — Kurban (qurban) disebut “udh-hiyyah”. Dalam fikih, “udh-hiyyah” adalah hewan ternak yang disembelih pada hari nahr dengan niat untuk mengerjakan kesunhal yang sunah. “Udhhiyyah” hukumnya sunah, sebagaimana sabda Nabi saw.,

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ

“Jika kalian melihat hilal Zulhijah, dan salah seorang di antara kalian ingin menyembelih, hendaknya ia tidak memotong rambut dan kukunya.” [HR Muslim][1]

Sabda Nabi saw. menyatakan, “Wa arada ahadukum an yudhahhiya [salah seorang di antara kalian ingin menyembelih],” mempunyai konotasi sunah, bukan wajib.

Pengurban
Kurban tidak ditetapkan, kecuali terhadap orang yang memenuhi syarat-syarat berikut.

Islam. Kurban merupakan ibadah dan ibadah tidak diberlakukan, kecuali terhadap kaum muslim, sedangkan tidak bagi nonmuslim.
Mukim. Kurban hanya berlaku untuk orang mukim, bukan musafir.
Kaya. Kurban hanya berlaku bagi orang yang mempunyai nafkah untuk hari raya dan dana untuk kurban, serta telah menyelesaikan kebutuhan dasarnya, seperti sandang, papan, dan pangan. Bisa ditambahkan seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan.
Tidak harus balig dan berakal. Kurban boleh dilakukan oleh wali anak-anak kecil dan orang gila. Ini karena kurban merupakan nafkah yang diberikan secara makruf yang disyariatkan untuk harta.
Niat berkurban. Niat bisa membedakan antara sembelihan yang merupakan tradisi dan kurban yang merupakan ibadah.
Kurban orang yang berutang. Membayar utang harus didahulukan daripada berkurban, meski orang yang berutang tersebut tidak ditagih untuk membayar utangnya.
Kurban boleh diperuntukkan bagi orang yang sudah meninggal dan insyaallah bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal tersebut.
Menyembelih dengan tangan sendiri. Bagi orang yang berkurban, lebih baik menyembelih kurban dengan tangannya sendiri atau menyaksikan sembelihannya. Meski boleh juga digantikan oleh orang lain.
Hewan Kurban
Disyaratkan hewan yang dikurbankan harus sebagai berikut.

Hewan ternak. Hewan ternak (al-an’am) tersebut adalah unta (al-ibil), sapi (al-baqar), kerbau (al-jamus), kambing (al-ghanam), dan biri-biri (al-ma’iz).
Umur. Disyaratkan untuk unta, sapi, dan kerbau harus tsaniyya. Untuk unta harus lima tahun. Untuk sapi dan kerbau harus dua tahun. Kambing (biri-biri/ma’iz) harus satu tahun. Kambing domba [dha’n] disyaratkan harus jad’u. Usia jad’u adalah enam bulan.
Jumlah kurban. Satu domba atau biri-biri boleh untuk satu orang atau satu keluarga, misalnya seorang pria dan anak-anaknya. Sedangkan satu unta atau sapi untuk tujuh orang.
Selamat dari cacat yang berat. Kurban adalah persembahan untuk Allah Swt. sehingga harus layak dipersembahkan. Oleh karena itu, syarat kurban harus selamat dari cacat yang berat. Cacat berat itu antara lain buta, pincang, telinga, tangan dan kaki terpotong, sakit, dan kurus sekali. Ini berdasarkan riwayat Al-Barra’ bin ‘Azib yang berkata bahwa Rasulullah saw. berdiri di antara kami, lalu beliau saw. bersabda,
أَرْبَعٌ لاَ تَجُوْزُ فِي الأَضَاحِيْ: اَلْعَوْرَاءُ اَلْبَيِّنُ عَوْرُهَا، وَاْلمَرِيْضَةُ اَلْبَيِّنُ مَرَضُهَا، وَاْلعَرْجَاءُ اَلْبَيِّنُ ظَلْعُهَا، وَالْكَسِيْرَةُ الَّتِيْ لاَ تَنْقِي

“Ada empat cacat yang tidak dibolehkan pada hewan kurban, yaitu (1) buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya, (2) sakit dan tampak jelas sakitnya, (3) pincang dan tampak jelas pincangnya, (4) sangat kurus sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa’i).

Kurban juga harus dipilih dari hewan yang paling disukai. Ini karena apa yang paling disukai oleh seseorang, jika digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, itu lebih baik daripada yang lain. Meski keduanya nilainya sama. 

Siapa saja yang membeli hewan kurban yang baik dan layak, lalu terbukti mempunyai cacat setelah dibeli, boleh diganti dengan yang lain, yang baik, juga boleh tetap dengan menyembelih yang cacat.

Persiapan Penyembelihan
Waktu penyembelihan. Penyembelihan hewan kurban dimulai setelah salat Iduladha, dari 10 Zulhijah hingga matahari tenggelam pada 13 Zulhijah.
Tempat penyembelihan. Apa saja yang disembelih pada hari-hari nahr, di tanah halal, selain tanah haram Makkah, disebut kurban (udh-hiyyah). Sedangkan apa yang disembelih pada hari-hari nahr, di tanah haram Makkah, disebut hadyu.
Penggantian kurban. Jika membeli kambing dan diniatkan sebagai kurban, hewan kurban boleh diganti yang lain dengan syarat berikut. Pertama, jika hewan kurban tersebut cacat, boleh diganti dengan yang lain. Kedua, jika ingin mengganti, diganti dengan yang lain yang lebih baik, tanpa cacat. Ketiga, tidak boleh diganti dengan dirham (uang). Jika itu dilakukan, statusnya menjadi sedekah biasa, bukan kurban. Menyembelih kurban lebih baik daripada menyedekahkan harga (dana)-nya karena mengalirkan darah pada Hari Nahr adalah ibadah.
Memanfaatkan daging kurban. Disunahkan untuk daging kurban, sepertiga untuk disedekahkan, sepertiga untuk dimakan, dan sepertiga untuk dihadiahkan. Daging kurban yang dimakan boleh disimpan pada saat-saat lapang. Akan tetapi ketika pada saat sulit, terjadi kemiskinan dan putus asa, makruh untuk disimpan.
Tata Cara Menyembelih
Batasan menyembelih. Menyembelih (dzabh) adalah memotong tenggorokan, dua urat leher (wadijain), yaitu dua urat yang mengalirkan darah ke otak.
Dampak sembelihan pada hewan. Hewan bisa dibagi menjadi dua, yakni hewan yang dagingnya bisa dimakan dan hewan yang dagingnya tidak bisa dimakan.
Hewan yang bisa dimakan dagingnya. Hewan yang bisa dimakan dagingnya bisa dibagi menjadi dua, yakni hewan yang mempunyai darah dan mengalir; serta hewan yang tidak mempunyai darah yang mengalir.
Hewan yang mempunyai darah yang mengalir. Hewan jenis ini bisa dibagi lagi, yakni hanya hidup di air, hidup di darat, serta hidup di dua alam (darat dan air) atau amfibi.
Hewan yang hidup di air. Hewan yang hanya bisa hidup di dalam air, seperti ikan, boleh dimakan tanpa disembelih. Ini berdasarkan sabda Nabi saw., “Itu adalah suci airnya dan halal bangkainya.” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i).[3]
Hewan yang hidup di darat. Jika hewan tersebut hidup di darat; atau hidup di air, tetapi keluar dari air, seperti anjing laut; maka tidak halal dimakan, kecuali dengan disembelih dan dengan penyembelihan yang syar’i.
Hewan yang tidak mempunyai darah. Mengenai hewan yang tidak mempunyai darah, seperti belalang, boleh dimakan sekalipun tidak disembelih. Ini karena alasan kerusakannya ada pada darah. Oleh karena itu, kalau hewan tersebut tidak mempunyai darah, hewan tersebut tidak mempunyai alasan kerusakan.
Hewan yang tidak boleh dimakan. Hewan jenis ini ada dua, yakni suci ketika hidup dan najis ketika hidup. Adapun hewan yang suci selama hidupnya adalah semua hewan, kecuali babi dan anjing. Oleh karena itu, hewan yang suci tersebut (tetapi tidak boleh dimakan), jika disembelih, daging dan kulitnya suci, tetapi dagingnya tetap haram, tidak halal dimakan. Jika mati tanpa disembelih, ia najis karena tidak disembelih karena penyembelihan ini menjadi alasan kerusakannya. Namun, jika hewan tersebut najis ketika hidup, ia tetap najis, baik disembelih maupun tidak.
Penyembelih. Orang yang menyembelih hewan sembelihan ini disyaratkan harus berakal, mumayiz, muslim ataupun ahlulkitab (Yahudi/Nasrani).[4] Oleh karena itu, sembelihan orang gila tidaklah halal. Begitu juga sembelihan anak kecil yang belum mumayiz. Juga sembelihan orang Majusi atau musyrik yang lainnya. Ini karena Rasulullah saw. telah meneken perjanjian dengan Majusi Hajar,
صَالَحَ مَجُوْسَ هَجَرَ عَلَى أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُمُ الْجِزْيَةَ، غَيْرَ مُسْتَحِلِّ مُنَاكَحَةِ نِسَائِهِمْ، وَلاَ أَكْلَ ذَبَائِحِهِمْ

“Mengambil jizyah dari mereka, perempuan mereka tidak halal dinikahi, dan sembelihan mereka tidak halal dimakan.” (HR Abu Yusuf].[5]

Juga tidak halal sembelihan orang yang kekufurannya lebih kuat daripada Majusi, seperti orang musyrik (Hindu, Buddha, Konghucu, dan sebagainya), orang murtad dari Islam, meski ia murtad ke Yahudi atau Nasrani. Juga orang ateis yang tidak mengimani salah satu agama. Juga orang yang diklaim muslim, tetapi sektenya divonis kafir, seperti Nushariyyah atau ‘Alawiyyah dari kalangan Syiah, juga Ahmadiyah.

Hewan yang Disembelih
Syarat hewan yang disembelih, meski halal dimakan, adalah hewan sebagai berikut.

(a) Tidak dinyatakan haram untuk dimakan oleh syarak, seperti babi, anjing, atau hewan yang memiliki taring, atau burung yang memiliki cakar.

(b) Hidup dengan kehidupan yang stabil ketika disembelih. Kehidupan yang stabil bagi hewan adalah kehidupan yang memungkinkannya untuk melakukan gerakan. Adapun kehidupan yang tidak stabil adalah kehidupan saat disembelih. Kehidupan yang kehilangan dari gerakan bebas hewan tersebut.

(c) Jika hewan yang disembelih itu bunting, kemudian dari perutnya keluar janin, maka janinnya boleh dimakan tanpa disembelih. Ini berdasarkan sabda Nabi saw., “Sembelihan untuk janin mengikuti sembelihan induknya.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).[6]

Hewan yang disembelih itu bukan hewan buruan Tanah Haram. Ini karena hewan buruan yang ditangkap di Tanah Haram tidak boleh disembelih dan tidak boleh dimakan.

Alat Sembelihan
Alat yang digunakan untuk menyembelih adalah alat yang bisa memotong. Makruh menyembelih dengan menggunakan gigi, kuku, dan alat-alat sejenis lainnya, padahal ada alat yang bisa digunakan untuk memotong. 

Sebagaimana sabda Nabi saw. “Apa yang bisa mengalirkan darah, dan ketika disembelih disebut nama Allah, maka makanlah, tetapi bukan gigi dan kuku.” (HR Bukhari).[7]

Membaca “Basmalah” Saat Menyembelih
Hukum membaca “basmalah”. Menyebut asma Allah Swt., dan tujuan menyembelih semata untuk Allah hukumnya adalah wajib. Oleh karena itu, sembelihan tidak boleh dimakan jika ditujukan kepada yang lain selain Allah Swt. Allah Swt. berfirman, “Maka, makanlah apa yang ketika disembelih disebut nama Allah, jika kalian benar-benar mengimani ayat-ayat-Nya.” (QS Al-An’am: 118).
Jika saat menyembelih lupa membaca “basmalah”, tetapi sembelihan tersebut memang disembelih karena Allah, sembelihan tersebut tetap boleh dimakan, baik penyembelihnya muslim, maupun ahlulkitab (Yahudi atau Nasrani).
Jika saat menyembelih, penyembelihnya diam, hukum sembelihannya tetap halal dimakan, baik penyembelihnya muslim, maupun ahlulkitab. Ini karena ada zhan [dugaan] terhadap kaum muslim bahwa ia tidak menyembelih, kecuali semata karena Allah. Sementara itu, bagi ahlulkitab, membaca “basmalah” tidak wajib dalam ajaran agamanya karena sembelihannya halal dimakan. Mereka biasanya memang tidak menyebut asma Allah ketika menyembelih. Meski begitu, Allah tetap menghalalkan kita memakan sembelihannya. Ini berdasarkan firman Allah Swt., “Makanan orang-orang ahlulkitab itu halal bagi kalian.” [QS Al-Maidah: 5].
Jika dalam penyembelihan tersebut bukan nama Allah yang disebut, tetapi yang lain, sembelihan tersebut haram dimakan, sekalipun yang menyembelih adalah muslim ataupun ahlulkitab
Waktu membaca “basmalah” adalah saat menyembelih atau tidak lama sebelum menyembelih. Jika membaca “basmalah”-nya belakangan atau antara penyembelihan dan membaca “basmalah” tersebut dipisah dengan waktu yang lama, misalnya, setelah membaca “basmalah” kemudian tidur, lalu bangun, setelah itu baru menyembelih hewan sembelihannya, hal ini tidak termasuk membaca “basmalah”.
Bacaan “basmalah” dibaca oleh penyembelihnya. Tidak sah jika yang membaca “basmalah” adalah orang lain, sedangkan penyembelihnya tidak membaca. Atau bacaan “basmalah”-nya direkam, kemudian rekaman tersebut diputar sehingga bisa diulang-ulang ketika penyembelih tersebut menyembelih hewan sembelihan, ini pun tidak bisa dihukumi membaca “basmalah”. Ini karena yang membaca bukan penyembelihnya, melainkan rekaman.
Tata Cara Menyembelih
Proses penyembelihan tersebut berbeda-beda mengikuti kondisi hewan yang disembelih. Ini karena hewan tersebut adakalanya bisa disembelih secara syar’i dan adakalanya tidak.

Hewan yang bisa disembelih. Hewan ini bisa berupa unta atau yang lain. Jika yang disembelih tersebut adalah unta, kaki depan dan belakangnya sebelah kiri diikat, kemudian pangkal lehernya disembelih dalam keadaan sambil berdiri menghadap kiblat. Akan tetapi, jika hewan tersebut bukan unta, ditidurkan miring dengan lambung sebelah kiri di bawah, kemudian disembelih menghadap kiblat.
Bagian yang harus dipotong. Dalam menyembelih hewan sembelihan, ada empat urat yang harus putus saat penyembelihan, yakni tenggorokan (hulqum), dua urat leher (wadijain), dan kerongkongan (mari’). Jika tiga dari empat urat ini terputus, maka sah. Namun, ketika hewan tersebut disembelih dari tengkuk hingga tulang lehernya terputus, lalu mati, tetapi empat uratnya justru belum terpotong, sembelihan seperti ini tidak boleh dimakan. Akan tetapi, ketika tulang lehernya terputus, seketika juga diikuti dengan terputusnya empat urat tadi, ia halal dimakan. oleh karena itu, makruh hukumnya menyembelih dari tengkuk karena menyiksa hewan sembelihan.
Waktu dan Tempat Penyembelihan
Dalam penyembelihan, disunahkan untuk sesegera mungkin. Ini sebagaimana sabda Nabi saw., “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat ihsan [sempurna dalam menunaikan kebaikan] dalam segala hal. Jika kalian membunuh [hewan buruan], maka berbuatlah baik terhadap buruanmu. Jika kalian membunuh, maka berbuat baiklah terhadap sembelihanmu. Hendaknya salah seorang di antara kalian mengasah [menajamkan] mata pisaunya, dan tidak menyakiti sembelihannya.” (HR Muslim).[8]

Juga disunahkan untuk menguliti saat sudah tidak bernyawa. Namun, hewan yang sudah disembelih tidak boleh segera dikuliti, kecuali setelah ruhnya benar-benar sudah lepas dari jasadnya. Oleh karena itu, disunahkan menguliti setelah ruhnya lepas, begitu juga ketika akan memotong-motong bagian tubuh lainnya.

Hewan yang Tidak Bisa Disembelih
Mengenai hewan yang tidak bisa disembelih, bukan karena haram disembelih, tetapi karena buas atau liar. Misalnya, kerbau atau sapi liar yang susah dijinakkan sehingga tidak bisa disembelih sebagaimana kriteria penyembelihan yang telah dijelaskan di atas, baik karena tidak mungkin disembelih atau mungkin karena terperosok di dalam sumur, dan sejenisnya. Hewan seperti ini diperlakukan seperti hewan buruan. 

Oleh karena itu, sebagaimana status hewan buruan (shaid), boleh dibunuh dengan mengalirkan darah dari badannya, dari posisi mana pun. Tidak harus dari leher atau empat urat yang biasa disembelih. 

Telah diriwayatkan dari Abu al-Asyra’ dari ayahnya, berkata, “Aku bertanya, ‘Ya Rasulullah, bukankah penyembelihan itu di tenggorokan dan leher?’ Baginda saw. menjawab, ‘Kalau kamu menikamnya di pahanya [hingga mati], maka [tikaman] itu pun cukup bagimu.’” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i). [9]

Khatimah
Ini ketentuan hukum fikih tentang kurban. Bagi yang ingin mendalaminya, termasuk perincian perbedaan di kalangan ulama di dalamnya, hendaknya merujuk kitab-kitab muktabar. Ini karena yang ditulis di sini hanyalah ringkasan secara umum dari pandangan mereka. Wallahualam bissawab. [MNews/Rgl]

Referensi
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Jie, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 2000 M/1421 H, Juz I.

Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 1996 M/1426 H.

Muslim, Shahih Muslim, Dar al-Fikr, Beirut, tt. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Dar al-Fikr, Beirut, tt. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Dar al-Fikr, Beirut, tt. An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’I, Dar al-Fikr, Beirut, tt. Abu Yusuf, al-Kharaj, Dar al-Fikr, Beirut, tt.

[1] Lihat, Muslim, Sahih Muslim, al-Adhahi, Bab Nahyi Man Dakhala ‘alaihi Dzi al-Hijjah; Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Jie, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 2000 M/1421 H, Juz I/221.

[2] Lihat, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud; Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, al-Adhahi, Bab “Ma Yukrahu min ad-Dhahaya”; An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, al-Adhahi, Bab “al-Arja’”.

[3] Lihat, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Bab ‘al-Wudhu’ bi Ma’ al-Bahr”; Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Fi at-Thaharah Bab “Ma’ al-Bahr Innahu Thahurun’, An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, Bab “al-Wudhu’ bi Ma’ al-Bahr’

[4] Mumayyiz adalah isim fa’il dari Mayyaza-Yumayyizu, yaitu anak yang mempunyai kemampuan untuk memilih dan memilah berbagai hal. Mumayyiz juga bisa didefinisikan sebagai anak yang telah mampu memahami seruan [khithab], memberikan jawaban, bisa memilah antara yang manfaat dan mudarat. Tidak ada batasan umur baku, tetapi bisa berbeda, antara orang satu dengan yang lain. Lihat, Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 1996 M/1426 H, hal. 429-430. [5] Lihat, Abu Yusuf, al-Kharaj, hal. 129. [6] Lihat, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, fi al-Adhahi Bab “Dzakatu al-Janin;” at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, fi al-Ath’imah, Bab Dzakatu al-Janin.

[7] Lihat, Abu Yusuf, al-Kharaj, hal. 129.

[8] Lihat, Muslim, Shahih Muslim, Bab “al-Amr Bi Ihsan ad-Dzabh wa al-Qatl”

[9] Lihat, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, fi Adhahi Bab “Dzabitu al-Mutaraddiyah”; at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Bab “Adz-Dzakatu fi al-Halaq wa al-Labbah”; an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, fi al-Mutaraddiyatu fi al-Bi’r al-Lati la yushalu ila Halqiha.


Jumat, 09 Juni 2023

hukum qurban online

Hukum Qurban Online

#GuruMuslimahInspiratif ---  Tanya: Ustadz, bolehkah kita berkurban secara online? Jadi kita transfer ke satu pihak secara online, yang menawarkan jasa pembelian, penyembelihan, dan pendistribusian hewan kurban kita di daerah lain.

Jawab:

Dari pertanyaan di atas, ada 2 (dua) persoalan;

Pertama, mentransfer uang kepada satu pihak secara online untuk membeli, menyembelihkan, dan mendistribusikan hewan kurban.

Kedua, menyembelih hewan kurban di tempat lain yang bukan tempat tinggal pekurban (mudhahhi).

Hukum untuk persoalan pertama, boleh secara syariah seseorang mewakilkan urusan pembelian, penyembelihan, dan pendistribusian hewan kurban kepada pihak lain, dengan akad wakalah, yaitu akad mewakilkan suatu urusan kepada pihak lain, baik tanpa upah maupun dengan upah (ujrah) tertentu kepada pihak wakil (wakalah bil ujrah).

Bolehnya wakalah dalam penyembelihan kurban, dalilnya hadits dari Jabir bin Abdillah RA, bahwa Rasulullah SAW telah menyembelih 63 hewan kurban [milik beliau] dengan tangan beliau sendiri, kemudian memberikan kepada Ali lalu Ali menyembelih hewan kurban sisanya.” (HR Muslim, no 1218).

Mengenai wakalah dengan upah, Syekh Wahbah Az Zuhaili berkata,”Sah hukumnya akad wakalah baik tanpa upah maupun dengan upah.” (tashihhu al wakaalah bi ajrin wa bighairi ajrin). (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, 5/691).

Hanya saja ada 2 (dua) syarat agar tidak terjadi pelanggaran syariah pada akad wakalah tsb;

Pertama, penyelenggara kurban online haruslah pihak yang amanah (dapat dipercaya), supaya tidak terjadi penipuan atau penggelapan. Misalnya uang yang sudah ditransfer ternyata malah dilarikan secara tidak bertanggung jawab.

Kedua, penyelenggara kurban online harus memahami hukum-hukum syara’ seputar kurban, supaya tidak terjadi penyimpangan syariah. Misalnya, membeli hewan yang tidak memenuhi syarat, membagikan sembelihan kurban secara tidak syar’i (haram), misalnya menjual kulit kurban, atau menukar kulit kurban dengan daging, dan sebagainya.

Adapun hukum kedua, yakni menyembelih hewan kurban di tempat lain yang bukan tempat tinggal pekurban sendiri, hukumnya boleh dan tidak ada larangan (maani’) secara syariah.

Inilah pendapat yang kami anggap raajih (lebih kuat). Imam Al Mawardi dalam kitabnya Al Hawi Al Kabir (15/75) menyatakan,”Tidak dilarang mengeluarkan daging kurban dari tempat tinggalnya pekurban.” (laa yumna’ min ikhraaj luhuum al dhahaayaa min balad al mudhahhi). (Husamuddin ‘Ifanah, Al Mufashshal fii Ahkaam Al Udhhiyyah, hlm. 157-158; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, 4/282).

Hanya saja, penyembelihan di tempat lain tersebut adalah khilaaful aula, yaitu tindakan menyalahi keutamaan. Karena yang lebih afdhol (utama) adalah menyembelih kurban di tempat tinggal pekurban sendiri. Kecuali ada hajat (kebutuhan) yang syar’i, misalnya penduduk di tempat lain itu adalah kaum yang lebih miskin, atau lebih membutuhkan daging kurban dibanding di tempat pekurban sendiri, misalnya di tempat itu terjadi bencana alam, kekeringan, atau perang, atau wabah penyakit.

Penyembelihan di tempat lain disebut khilaaful aula, karena pekurban akan kehilangan berbagai keutamaan kurban, di antaranya :

(1) kesunnahan untuk menyembelih sendiri hewan kurbannya (HR Bukhari, no 5558; Muslim no 1966);

(2) kesunnahan untuk memakan hewan kurbannya sendiri (HR Muslim, no 1973); dan

(3) kesunnahan untuk mempersaksikan penyembelihan hewan kurbannya. (HR Al Hakim, no 7524). Wallahu a’lam.

Sumber : https://assalim.id/fiqih-muamalah/hukum-qurban-online/

https://www.facebook.com/396439064279541/posts/pfbid02GU79aLt7iE1ETPKoSA1kd4wQE99vh9cRRVH3xUaTSCD2NEQuvwM4PJzRRASDsuZPl/?mibextid=Nif5oz

•••••

Raih amal saleh dengan menyebarluaskan postingan ini. Ikuti kami di :

Facebook :https://www.facebook.com/GuruMuslimahInspiratif/
Telegram : t.me/GuruMuslimahInspiratif
Instagram : https://www.instagram.com/gurumuslimahinspiratif