Selasa, 29 Mei 2018

Lailatul qodar

Buletin Teman Surga 016. Raih Lailatul Qadr Yuk.

Wah, ngga kerasa Ramadhan sudah masuk 10 hari kedua nih. Bagaimana shaum (puasa) kalian semua? Ada yang masih selalu sibuk mau buka bareng di mana? Ada yang masih selalu bingung mau buka pakai apa? Atau mungkin ada yang sudah merasakan nikmatnya bulan Ramadhan dan merasa keimanannya bertambah? Bagaimanapun kondisi kalian saat ini, semoga lancar dan berkah selalu ya shaumnya. Nah, memasuki 10 Ramadhan terakhir, kita akan lebih sering denger istilah Lailatul Qadr. Udah pada tau apa belum hayo? Yuk kita kenal lebih jauh apa itu Lailatul Qadr

Kenalan Sama Lailatul Qadr

Katanya, benih cinta itu akan muncul karena kenal, karena sayang, karena sering bertemu. Eak eak eak. Nah, itu pulalah yang harus kita lakukan kepada yang namanya Lailatul Qadr. Bisa jadi belum cinta dan belum ngeh istimewanya, karena ngga kenal. Apakah dia, dan apa istimewanya dia. Hem, yuk kenalan.

Lailatul Qadr jika diartikan bermakna malam kemuliaan, salah satu malam di bulan Ramadan yang digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Gambaran tersebut tertuang dalam kitab suci Al-Quran surat Al-Qadr ayat 1-5. Pada hapal kan? Yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah mengirimkan yang demikian di Malam Kemuliaan. Dan tahukah kamu apa Malam Kemuliaan itu? Malam Kemuliaan itu lebih baik dibanding seribu bulan; ketika para malaikat beserta Sang Ruh (malaikat Jibril) turun melalui izin Tuhan mereka untuk tugas masing-masing, kesejahteraan di dalamnya sampai terbit fajar.”

Bisa jadi selama ini kita udah hafal surat itu luar kepala tapinya ngga ngeh kalo ada sesuatu yang spesial yang dikabarkan oleh Allah swt via surat cinta di atas. Nah, itulah ruginya klo kita ngapalin aja tanpa tau apa maknanya. Maka semoga kita ngga jadi perpustakaan berjalan yang sekedar tau tapi ngga paham. Yang sekedar hafal tapi tidak mengetahui maknanya. Makanya kita ngaji yuk biar makin tau.

Mau tau keistimewaan Lailatul Qadr yang lain?

“Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad SAW bersabda: ‘ .. Barang siapa menghayati malam Lailatul Qadr dengan mengerjakan sembahyang (dan berbagai jenis ibadah yang lain), sedang ia beriman dan mengharapkan rahmat Allah Taala, niscaya ia diampunkan dosa-dosanya yang telah lalu,” demikian hadist riwayat Bukhari. Behhh… pada mupeng ngga tuh?


Bro n sist, Rasulullaah SAW sangat memotivasi kita untuk bisa meraih keistimewaan di malam Lailatul Qadr itu. Mau tau kapan waktunya? Mau tau aja apa mau tau banget? Sayangnya, penulis juga ngga tau kapan hehe. Tapi, Rasul SAW udah ngasi kode kok kapan kira-kira malam spesial itu tiba.

When That Special Night Will Come?

Jadi kapan sih malam spesial itu tiba? Ternyata, Lailatul Qadr itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi SAW, “Carilah lailatul Qadr pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari). Ada juga nih yang berpendapat sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari bahwa lailatul Qadr itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun. Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala.

Nah, tapi jangan sampai meminimalis ibadah kita. Malam genap dan malam ganjil, kejar aja terus selama kita bisa. Karena Lailatul Qadr ada di antara 10 hari terakhir. Kan Allah SWT yang paling berhak memutuskan kapan hari itu tiba hehe. Wah seru nih ya Allah sampai merahasiakan kapan Lailatul Qadr itu turunnya. Emang kenapa sih sampai dirahasiain? Pastilah ada hikmahnya.  Bisa jadi  salah satunya agar terbedakan antara orang yang sungguh-sungguh untuk mencari malam tersebut dengan orang yang malas. Karena orang yang benar-benar ingin mendapatkan sesuatu tentu akan bersungguh-sungguh dalam mencarinya. Hal ini juga sebagai rahmat Allah agar hamba memperbanyak amalan pada hari-hari tersebut, dengan demikian mereka akan semakin bertambah dekat dengan-Nya dan akan memperoleh pahala yang amat banyak.

What Should We Do?

Lalu apa aja nih yang harus kita lakukan biar bisa menang rebutan Lailatul Qadr itu? Yang pasti, kita harus banyak persiapan, seperti ilmu dan fisik. Mau ujian nasional aja persiapan kita mati-matian. Apalagi yang kemarin mau SBMPTN. Waduh, untuk mengejar kampus impian, ikut bimbel nya dari kapan tau, abis itu ikutan privat juga, abis itu ikutan try out kesana sini, sampai ikut bedah kampus sana sini. Belum lagi yang mau ikutan seleksi mandiri nanti yang ngga hanya nyiapin otak buat tes nya, tapi kocek yang cukup buanyak karena biaya masuk ke kampus impian lumayan buat muter otak para orangtua yang penghasilannya ngga begitu amazing tapi punya semangat luar biasa untuk sekolahin anak-anaknya. Hiks hiks. Kenapa ya mau sekolah aja muahalnya minta ampun mohon maaf lahir batin. Eh, kok jadi bahas itu? Anggap aja iklan yak hehe. Nah, kita dapet beberapa tips nih supaya kita bisa raih keistimewaan itu.

Pertama, Beribadah Sepanjang Malam. Yang dimaksud adalah rentang dari maghrib sampai subuh itu jangan sampai dilewatkan untuk beribadah, dimulai dari yang wajib sampai sunah seperti shalat maghrib, isya, tarawih, dan subuh, membaca alqur’an, mengikuti kajian, dan lain-lain.

Kedua, Beribadah dengan Ikhlas dengan meningkatkan kualitas. Maka itu, semua ibadah harus dikerjakan dengan tekun, dengan tulus dan ikhlas. Makin banyak ibadah makin baik, makin baik pula yang betul-betul khusyu, ikhlas dan berpasrah kepada Allah. Ngga boleh juga perhitungan sama Allah nanti, misalnya sambil doa, Ya Allah, aku udah banyak lho ibadahnya, aku yang dapet ya, pokoknya aku harus dapet. Waduh ngeri banget ngancem Allah segala hehe

Ketiga, Tetap Tekun Hingga Akhir Ramadhan. Ketekunan akan berbuah pahala, keikhlasan akan berbuah ridho dan ampunan. Namun apapun kita memang tidak boleh bermalas-malasan semakin mendekati akhir Ramadhan, justu harus semakin ditingkatkan. Karena 10 malam terakhir ini merupakan cobaan paling berat, karena ada kejemuan dan mulai banyaknya aktivitas lain yang menggoda. Misal, sibuk beli baju baru, sibuk mikirin libur lebaran kemana, atau mikirin dapet THR berapa hihihi.

Keempat, Melakukan I’tikaf. Terutama buat kamu para laki-laki, beritikaflah. Jangan sibuk main petasan apalagi ngegalau ngga jelas melulu. Sebagaimana hadits yang disampaikan Aisyah, ia berkata: Sesungguhnya Nabi melakukan i’tikaf pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan Beliau,

Kelima, Memperbanyak Doa.  Ibnu Katsir berkata: “Dan sangat dianjurkan (disunnahkan) memperbanyak doa pada setiap waktu, terlebih lagi di bulan Ramadhan, dan terutama pada sepuluh malam terakhir, di malam-malam ganjilnya”.

Tanda-tanda Malam Lailatul Qadr

Nabi Muhammad SAW telah memberikan bocoran beberapa ciri malam Lailatul Qadr yang tertuang dalam hadist-hadistnya. Antara lain:

Pertama, Udara dan angin sekitar terasa tenang. Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lailatul Qadr adalah malam yang penuh kelembutan, cerah, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar lemah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi.  Haytsami mengatakan periwayatnya adalah tsiqoh /terpercaya)

Kedua, Malaikat menurunkan ketenangan sehingga manusia merasakan ketenangan tersebut dan merasakan kelezatan dalam beribadah, yang tidak didapatkan pada hari-hari yang lain.

Ketiga, Matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tidak ada sinar. Dari Abi bin Ka’ab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Shubuh hari dari malam lailatul Qadr matahari terbit tanpa sinar, seolah-olah mirip bejana hingga matahari itu naik.” (HR. Muslim). Demikian pula hadits Ubadah bin Ash Shamit, ia berkata:  “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Lailatul Qadr (terjadi) pada sepuluh malam terakhir. Barangsiapa yang menghidupkan malam-malam itu karena berharap keutamaannya, maka sesungguhnya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang lalu dan yang akan datang. Dan malam itu adalah pada malam ganjil, kedua puluh sembilan, dua puluh tujuh, dua puluh lima, dua puluh tiga atau malam terakhir di bulan Ramadhan,” dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya tanda Lailatul Qadr adalah malam cerah, terang, seolah-olah ada bulan, malam yang tenang dan tentram, tidak dingin dan tidak pula panas. Pada malam itu tidak dihalalkan dilemparnya bintang, sampai pagi harinya. Dan sesungguhnya, tanda Lailatul Qadr adalah, matahari di pagi harinya terbit dengan indah, tidak bersinar kuat, seperti bulan purnama, dan tidak pula dihalalkan bagi setan untuk keluar bersama matahari pagi itu”.

Kitakah Orangnya?

Akhirnya muncul pertanyaan, kalian pada mupeng alias pengen banget ngga sih setelah tau keistimewaan Lailatul Qadr? Atau malah mikir, nanti aja deh pas udah tua aja ngejarnya. Haduh, yang punya pikiran gitu, semoga panjang umur deh ya hehe. Kamu, yang masih muda, justru mumpung masih muda, ayok kejar lailatul qadr. Bisa jadi, dia yang akan menjadi pemberat timbangan kebaikan kita di hari akhir kelak.

Tapi yang paling penting, taqwanya jangan pas ngejer Lailatul Qadr aja ya. Setelahnya harus selalu bertaqwa kepadaNya, kapanpun dan di manapun kita berada. Jangan sampe tutup auratnya di bulan Ramadhan aja, atau pacarannya cuti selama Ramadhan aja hehehe. Yuk kita selalu berdoa dan meminta kepadaNya, memohon taufiqNya agar kita diberi kemudahan dalam ketaatan kepadaNya, diberi kesempatan untuk dapat menuai pahala dariNya dengan berpuasa dan qiyamul lail dan melakukan ibadah-ibadah lainnya di bulan Ramadhan ini, sehingga kita keluar dari bulan yang penuh berkah ini dengan penuh keimanan, takut, berharap dan cinta hanya kepadaNya semata. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa membimbing dan memberikan kita kekuatan untuk istiqamah di atas jalanNya yang lurus, jalan orang-orang yang diridhai dan diberikan kenikmatan olehNya sampai kita bertemu denganNya nanti.  Aamiin ya Rabb. Good Luck []

Hukum zakat piutang

*HUKUM MENZAKATI PIUTANG*

*Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi*

*Tanya :*
_Ustadz, mau tanya seputar zakat. Utang-utang orang lain kepada kita, yang belum sanggup mereka kembalikan, atau mereka memang tidak mau mengembalikan, apakah termasuk ke dalam harta yang wajib kita zakati?_  (Lita Mucharom, Jakarta).

*Jawab :*

Piutang dapat didefinisikan sebagai sejumlah harta yang dapat ditagih oleh pihak kreditor (pemberi pinjaman) dari pihak debitor (penerima pinjaman). Misalkan, si A sebagai kreditor memberi pinjaman sebesar Rp 50 juta kepada si B sebagai debitor. Maka di sini dikatakan si B mempunyai “utang” kepada si A sebesar Rp 50 juta, dan sebaliknya si A dikatakan mempunyai “piutang” kepada si B sebesar Rp 50 juta.

Para ulama telah berbeda pendapat dalam masalah zakat utang/piutang tersebut dalam banyak pendapat _(qaul)_ mengenai apakah piutang yang masih ada di tangan orang lain itu wajib dizakati atau tidak. Kami cukupkan menyebutkan pendapat yang menurut kami paling kuat _(rajih)_ saja. (Abdul Qadim Zallum, _Al Amwal fi Daulah Al Khilafah,_ hlm. 165-166; Abdullah Manshur Al Ghufaili, _Nawazil Al Zakah,_ hlm. 202-212; Abdullah Nashih ‘Ulwan, _Ahkam Az Zakah ‘Ala Dhau` Al Madzahib Al Arba’ah,_ hlm. 50; _Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah,_ Juz 23, hlm. 20-23).

Jika seseorang mempunyai piutang pada orang lain (debitor), maka hukum menzakati piutang itu bagi kreditor bergantung pada kondisi debitornya sbb;

*Pertama,* jika piutang itu berada di tangan orang kaya (mampu) yang tidak suka menunda-nunda mengembalikan utangnya _(ghaniy ghairu mumaathil)_ dan dapat ditagih sewaktu-waktu oleh pihak kreditor, maka piutang itu wajib dizakati oleh kreditor meskipun piutang itu masih berada di tangan pihak debitor dan belum diterima oleh pihak kreditor, asalkan utang tersebut telah memenuhi dua kriteria; (1) nilai utangnya sudah mencapai _nishab;_ dan (2) utang tersebut sudah mengendap selama satu tahun hijriyah _(haul)._ _(Abdul Qadim Zallum, _Al Amwal fi Daulah Al Khilafah,_ hlm. 165; Abdullah Manshur Al Ghufaili, _Nawazil Al Zakah,_ hlm. 206).

Pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Abu ‘Ubaid dalam kitabnya _Al Amwal_ (Juz 1, hlm. 531). Imam Abu ‘Ubaid mengatakan bahwa pendapat itu telah dipilih oleh sebagian shahabat Nabi SAW, yaitu ‘Umar bin Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, Ibnu ‘Umar, Jabir bin Abdillah, dan juga oleh sebagian tabi’in, yaitu Al Hasan Al Bashri, Ibrahim An Nakha`i, Jabir bin Zaid, dan Maimun bin Mahran. (Abdullah Manshur Al Ghufaili, _Nawazil Al Zakah,_ hlm. 206).

Imam Abu ‘Ubaid meriwayatkan dalam _Al Amwal_ bahwa ‘Umar bin Khaththab berkata,”Jika zakat telah tiba haulnya, maka hitunglah piutangmu, dan juga harta yang ada padamu, gabungkan semua harta itu, lalu keluarkanlah zakatnya.” Ibnu ‘Umar berkata,”Setiap piutang yang menjadi hakmu dan kamu berharap dapat mengambilnya, maka wajib atasmu menzakatinya setiap kali piutang itu mengendap satu tahun (haul).” (Abdul Qadim Zallum, _Al Amwal fi Daulah Al Khilafah,_ hlm. 165).

*Kedua,* jika piutang itu berada di tangan di tangan orang kaya (mampu) yang enggan mengembalikan utangnya _(ghaniy mumaathil),_ atau orang yang sedang dalam kesulitan keuangan _(mu’sir)_ seperti orang yang pailit dll, atau orang yang mengingkari adanya tanggungan utang pada dirinya _(jaahid),_ maka piutang itu tidak wajib dizakati oleh kreditor hingga piutang itu benar-benar kembali di tangan kreditor.

Jika pihak kreditor sudah benar-benar memegang _(al qabdhu)_ terhadap piutang itu, barulah pihak kreditor wajib menzakatinya untuk melunasi akumulasi utang zakat pada tahun-tahun yang sudah berlalu. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Abu ‘Ubaid dalam _Al Amwal_  (juz 1, hlm. 531) yang didasarkan pada pendapat sebagian shahabat, yaitu Ali bin Abi Thalib dan Ibnu ‘Abbas RA. (Abdul Qadim Zallum, _Al Amwal fi Daulah Al Khilafah,_ hlm. 166; Abdullah Manshur Al Ghufaili, _Nawazil Al Zakah,_ hlm. 207). _Wallahu a’lam._

*Yogyakarta, 29 Mei 2018*

*Muhammad Shiddiq Al Jawi*

Senin, 21 Mei 2018

Sujud syukur atas musibah

*SUJUD SYUKUR ATAS MUSIBAH, BOLEHKAH?*

*Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi*

*Tanya :*
_Ustadz, boleh nggak kita sujud syukur ketika mendapat musibah? Misalnya gugatan kita di pengadilan dinyatakan kalah oleh hakim, padahal posisi kita secara syariah adalah benar, yaitu kita dinyatakan bersalah hanya karena menjalankan kewajiban dakwah?_ (Faisal Abbas, Jakarta)

*Jawab :*

Pada dasarnya sujud syukur itu disunnahkan ketika seseorang mendapatkan nikmat atau ketika terhindar dari _niqmah_ (musibah). Mendapatkan nikmat, misalnya lulus ujian sarjana, mempunyai anak, mempunyai rumah baru, dan sebagainya. Terhindar dari _niqmah_ (musibah) misalnya terhindar dari kecelakaan maut, sembuh dari sakit yang berat, lepas dari utang dan riba yang mencekik, dan sebagainya.

Namun demikian, boleh hukumnya sujud syukur dilakukan ketika seseorang mendapat musibah atau cobaan _(ibtilaa`),_ karena beberapa alasan sebagai berikut :

*Pertama,* sujud syukur atas musibah itu menunjukkan sikap bersyukur dan ridha terhadap qadha` Allah atas musibah yang terjadi. Padahal sikap ridha atas musibah secara syariah hukumnya adalah sunnah (mustahab), sebagaimana pendapat Imam Ibnu Taimiyah :

الرضا بالمصائب كالفقر والمرض والذل مستحب في أحد قولي العلماء وليس بواجب ، وقد قيل : إنه واجب ، والصحيح أن الواجب هو الصبر
“Ridha terhadap musibah seperti kemiskinan, sakit, atau kehinaan, adalah sunnah (mustahab) menurut salah satu dari dua pendapat ulama, bukan wajib. Ada yang mengatakan bahwa ridha atas musibah itu hukumnya wajib. Pendapat yang benar, yang wajib itu adalah bersabar (atas musibah).“  (Ibnu Taimiyyah, _Majmu’ al Fatawa,_ Juz X, hlm. 682).

Jika ridha atas musibah itu hukumnya sunnah (mustahab), maka bersyukur atas musibah hukumnya juga sunnah (mustahab), bahkan lebih tinggi level (maqaam-nya) daripada ridha atas musibah. Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin :

والشكر على المصيبة مستحب لأنه فوق الرضا لأن الشكر رضا وزيادة

“Bersyukur atas musibah itu sunnah (mustahab), karena dia mempunyai kedudukan di atas sikap ridha atas musibah, karena sikap bersyukur itu menunjukkan keridhaan (atas musibah) dan masih ada tambahannya.” (Syeikh Ibnu ‘Utsaimin, _Syarhul Mumti’,_ Juz V hlm. 395-396).

Ibnul Qayyim Al Jauziyah mengatakan bahwa terdapat empat _maqam_ (kedudukan) bagi muslim yang ditimpa musibah, yaitu;
(1) *maqamul ‘ajzi* (maqam kelemahan), yaitu maqam untuk muslim yang hanya berkeluh kesah ketika mendapat musibah;
(2) *maqamush shabri* (maqam kesabaran), yaitu maqam untuk muslim yang bersabar ketika mendapat musibah;
(3) *maqamur ridha* (maqam keridhoan), yaitu maqam untuk muslim yang merasa ridho terhadap qadha` Allah atas musibah yang menimpanya;
(4) *maqamusy syukri* (maqam syukur), yaitu maqam untuk muslim yang bersyukur atas musibah yang terjadi. Ibnul Qayyim menjelaskan :

مقام الشكر، وهو أعلى من مقام الرضى ، فانه يشهد البلية نعمة ، فيشكر المبتلي عليها.

“Maqam al syukur, adalah maqam (kedudukan) yang lebih tinggi daripada maqam sabar, karena orang yang ditimpa musibah mempersaksikan musibah sebagai kenikmatan, lalu dia bersyukur atas kenikmatan itu.” (Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, _'Uddat Al Shabirin wa Dzakhirah Al Syakirin,_ hlm. 120).

Sufyan Ats Tsauri (w. 161 H) pernah berkata :

لَيْسَ بِفَقِيهٍ مَنْ لَمْ يَعُدَّ الْبَلاءَ نِعْمَةً، وَالرَّخَاءَ مُصِيبَةً

“Bukanlah orang yang faqiih, siapa saja yang tidak menganggap musibah sebagai nikmat dan siapa saja yang tidak menganggap kelapangan sebagai musibah.” (Ibnu Abi Dunya, _Al Syukr,_ hlm. 30). 

*Kedua,* sujud syukur atas musibah itu dilakukan karena di balik musibah atau cobaan yang terjadi itu terdapat hikmah yang luar biasa, yaitu dihapuskannya dosa-dosa dari orang yang ditimpa musibah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

ما يصيب المسلم من نصب ولا وصب، ولا هم ولا حزن، ولا أذى ولا غم، حتى الشوكة يشاكها إلا كفر الله بها من خطاياه رواه مسلم   
“Tidaklah seorang muslim ditimpa suatu kepayahan, kelelahan, keresahan, kesedihan, gangguan, atau kesulitan, bahkan duri yang mengenainya, kecuali dengan musibah itu Allah akan menghapuskan dosa-dosanya.” (HR Muslim, no 2572).

*Ketiga,* sujud syukur atas musibah itu dilakukan karena menjadi pertanda bahwa Allah mencintai orang-orang yang mendapat musibah atau cobaan. Sabda Rasulullah SAW :

إذا أحب الله قوما ابتلاهم فمن رضي فله الرضى ، ومن سخط فله السخط

“Jika Allah mencintai suatu kaum maka Allah akan menimpakan cobaan bagi mereka. Maka barangsiapa yang ridha (terhadap cobaan itu) maka baginya keridhoan (dari Allah) dan barangsiapa yang marah (atas cobaan itu) maka baginya kemarahan (dari Allah).” (HR Tirmidzi, no 2396).

*Keempat,* sujud syukur atas musibah itu dilakukan karena di balik musibah yanag terjadi, khususnya musibah berupa kezaliman yang dilakukan pihak lain, akan menghasilkan nikmat yang besar di Hari Kiamat kelak, yaitu korban kezaliman akan mendapat transferan pahala yang melimpah ruah dari pelaku kezaliman, atau dosa-dosa korban kezaliman akan ditransfer kepada pihak pelaku kezaliman jika pahala pelaku kezaliman sudah habis. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW :  

قال النبيُّ صل الله عليه وسلم لأصحابه: أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ؟ قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ الْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ. قَالَ: لَيْسَ ذَلِكَ الْمُفْلِسُ، وَلَكِنَّ الْمُفْلِسَ مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالَ الْجِبَالِ، وَيَأْتِي وَقَدْ ظَلَمَ هَذَا، وَلَطَمَ هَذَا، وَأَخَذَ مِنْ عِرْضِ هَذَا، فَيَأْخُذُ هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ بَقِيَ عَلَيْهِ شَيْءٌ أَخَذَ مِنْ سَيِّئَاتِهِمْ فَرُدَّ عَلَيْهِ ثُمَّ صُكَّ لَهُ صَكٌّ إِلَى النَّارِ

Rasulullah SAW bersabda kepada para shahabatnya,”Tahukah kamu siapakah orang yang bangkrut itu?” Mereka menjawab,”Wahai Rasulullah, orang yang bangkrut di tengah-tengah kami adalah siapa saja yang tidak lagi mempunyai dirham dan harta benda.” Rasulullah SAW bersabda,”Yang demikiran itu bukanlah orang yang bangkrut (yang sebenarnya), tetapi orang yang bangkrut (yang sebenarnya) adalah orang yang datang pada Hari Kiamat dengan membawa pahala-pahala kebaikan sebesar gunung-gunung. Dia datang dalam keadaan demikian, padahal (dulu di dunia) dia telah berbuat kezaliman kepada di Fulan, telah memukul di Fulan, telah menjatuhkan kehormatannya si Fulan. Maka kemudian akan diambil untuk si Fulan ini pahala-pahala kebaikan dari pelaku kezaliman, dan untuk si Fulan itu akan diambil pula pahala kebaikan-kebaikannya yang lain. Dan jika ada suatu (urusan yang belum selesai), maka akan diambil dosa-dosa dari korban kezaliman lalu dipindahkan kepada pelaku kezaliman, kemudian pelaku kezaliman itu dimasukkan ke dalam neraka.”  (HR Muslim no 2581, Tirmidzi no 3418).

Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka sujud syukur atas terjadinya musibah adalah boleh dan tidak mengapa, termasuk musibah berupa kezaliman yang ditimpakan pihak lain kepada kita. Bahkan sujud syukur itu menunjukkan _maqam syukur bil qadha`_ (kedudukan bersyukur atas qadha` Allah) yang lebih tinggi levelnya daripada kedudukan bersabar dan ridha atas musibah, _insyaAllah walhamdulillah._

_Wallahu a’lam._

*Jakarta, 8 Mei 2018*

*Muhammad Shiddiq Al Jawi*

Kedudukan hakim dalam Islam

/ Kedudukan Hakim dalam Islam /

#MuslimahNewsID -- Hakim dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat penting. Hakim atau dalam khazanah Islam sering disebut qadhi adalah seseorang yang bertanggung jawab dalam menjelaskan hukum Allah SWT kepada umat Islam. Proses menjelaskan hukum-hukum Allah ini sendiri disebut dengan qadha'.

Ulama mengategorikan hukum qadha' adalah fardhu kifayah. Harus ada yang memberikan penjelasan tentang syariat Islam kepada manusia. Beban ini diberikan kepada penguasa atau khalifah. Dalam sebuah wilayah tertentu, khalifah boleh mewakilkan kewajiban ini kepada hakim. Jadi, dalam Islam, sejatinya hakim adalah wakil resmi khalifah di sebuah wilayah utamanya dalam penerapan hukum Islam.

Aturan ini dimaknai dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Tidak halal bagi tiga orang yang tinggal di suatu wilayah dari belahan bumi, melainkan mereka harus mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin mereka." (HR Ahmad).

Seorang hakim sebagai wakil Allah SWT dan khalifah memiliki tugas yang sangat berat. Jika ia memutuskan sebuah perkara dengan hukum yang menyelisihi keadilan dan nilai-nilai syara, tempatnya adalah di neraka.

Hakim sendiri menurut sebuah hadis terbagi dalam tiga kelompok. Dua kelompok akan dimasukkan ke dalam neraka dan hanya satu kelompok yang selamat hingga ke surga. Kelompok hakim yang masuk surga adalah mereka yang mengetahui kebenaran dan memutuskan hukuman berdasarkan kebenaran tersebut.

Sementara, hakim yang paham bagaimana yang baik dan benar namun memutuskan perkara dengan menyimpang maka ia adalah golongan penghuni surga. Golongan ketiga adalah hakim yang bodoh dan memutus perkara dengan kebodohannya. Pembagian ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi.

Dalam konsep hukum Islam, sejatinya jabatan qadhi bukanlah jabatan yang diperuntukkan bagi mereka yang meminta. Jabatan ini diberikan kepada orang yang memiliki kualifikasi. Karena begitu berat konsekuensi dari seorang hakim, ia harus siap menanggung semua beban itu.

Hakim tak layak diisi oleh orang yang ambisius mengejar jabatan. Orang yang mengejar kedudukan cenderung mengabaikan hak orang lain, tidak amanah, dan berpeluang besar menjadi khianat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Demi Allah, sesungguhnya kami tidak akan menguasakan tugas ini (hakim) kepada orang yang memintanya atau orang yang berambisi menjabatnya." (HR Bukhari Muslim).

Syekh Abu Bakar Jabir al-Jaza memberikan beberapa syarat bagi mereka yang berhak diangkat menjadi hakim. Seorang hakim dalam hukum Islam mestilah Muslim, berakal, baligh, merdeka, memahami Alquran dan sunah, mengetahui dengan apa ia memutus perkara, dapat mendengar, melihat, dan berbicara.

Syekh Abu Bakar juga mewanti-wanti kepada siapa pun yang menjabat sebagai hakim agar menjauhi hal-hal berikut. Pertama, tidak memutus sebuah perkara dalam keadaan emosi, lapar, sakit, atau malas. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Seorang hakim tidak boleh memutus perkara di antara dua orang yang berperkara dalam keadaan marah." (HR Bukhari Muslim).

Seorang hakim juga tak boleh memutus perkara tanpa adanya saksi, tidak boleh memutus perkara yang ada kaitan dengan dirinya seperti perkara anaknya, bapaknya, atau istrinya. Tidak boleh menerima suap dalam menetapkan hukuman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Laknat Allah terhadap penyuap dan penerimanya dalam menetapkan hukuman." (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi).

Ia juga tidak boleh menerima hadiah dari seseorang yang tidak pernah memberinya hadiah sebelum diangkat menjadi hakim. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Barang siapa yang kami angkat untuk mengerjakan suatu pekerjaan, kemudian kami memberinya rezeki (gaji), maka sesuatu yang didapatkannya setelah itu adalah pengkhianatan." (HR Abu Daud dan Hakim).

Sumber: http://www.muslimahnews.com/2018/05/06/kedudukan-hakim-dalam-islam/

Makna jihad

JIHAD BUKAN TERORISME, TERORISME BUKAN JIHAD

Oleh: Arief B. Iskandar
(Khadim Majelis an-Nahdhah & Roudhotul Quran)

Mendefinisikan Kembali Jihad

*Jihad Secara Bahasa.

Secara bahasa, jihad berasal dari kata juhd (jerih payah), yang bermakna thaqah (kemampuan) dan matsaqah (kesukaran). Dari kata juhd juga dibentuk kata mujahadah. Karena itu, secara bahasa jihad/mujahadah bermakna:

1. Mengerahkan kemampuan dan tenaga yang ada, baik dengan perkataan maupun perbuatan (Fayruz Abadi, Kamus Al-Muhith, kata ja-ha-da.)

2. Mengerahkan seluruh kemampuan untuk memperoleh tujuan (An-Naysaburi, Tafsir an-Naysaburi, XI/126).

Di dalam al-Quran jihad dalam makna bahasa ini terdapat, antara lain, dalam ayat-ayat berikut:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا

Orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. (QS al-Ankabut [29]: 69).

فَلاَ تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا

Berjihadlah terhadap mereka dengan al-Quran, dengan jihad yang besar. (QS al-Furqan [25]: 52).

Rasulullah saw. juga bersabda:

«أَفْضَلُ اْلجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»

Jihad yang paling utama adalah ucapan yang haq di hadapan penguasa yang lalim. (HR at-Tirmidzi).

«الْحَجُّ جِهَادُ كُلِّ ضَعِيفٍ»

Ibadah haji merupakan jihad bagi mereka yang lemah. (HR Ibn Majah dan Ahmad).

Aisyah ra. pernah bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, apakah ada jihad bagi para wanita?” Beliau bersabda:

«نَعَمْ, عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيهِ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ»

Ya, yaitu jihad yang tidak ada perang di dalamnya, yakni ibadah haji dan umrah. (HR Ibn Majah).

Rasul saw. juga pernah bersabda:

«الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ»

Yang bernama mujahid adalah mereka yang memerangi dirinya. (HR at-Tirmidzi).

Nash-nash di atas dan yang semisal, di dalamnya terdapat kata jihad dalam pengertian bahasa (lughawi).

Makna bahasa yang terdapat di dalamnya adalah mujahadah (perang) terhadap hawa nafsu, setan, dan kefasikan; keberanian menegur keras para penguasa dengan cara menyeru dan melarang  mereka; serta kesungguhan dalam mengerahkan segenap kemampuan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban atau dalam menjaga taklif-taklif (beban) syariah.

*Jihad: Makna Syar‘i.

Adapun dalam pengertian syar‘i (syariah), para ulama dan ahli fikih (fuqaha) mendefinisikan jihad sebagai:

1. Upaya mengerahkan segenap kemampuan dalam berperang di jalan Allah secara langsung, atau membantu perang dengan harta, dengan (memberikan) pendapat/pandangan, dengan banyaknya orang maupun harta benda, ataupun yang semisalnya.

2. Upaya mengerahkan segenap jerih payah dalam memerangi kaum kafir.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara syar‘i, jihad dimaknai dengan al-qital (perang), yakni perang dalam rangka meninggikan kalimat Allah. Bahkan itulah yang disebut dengan jihad yang sebenarnya. (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, II/153).

Jihad (Perang) dalam Nash yang Sharih (Tegas) dan Ghayr Sharih (Samar)

1. Jihad dalam nash sharih (tegas).

Di dalam nash al-Quran maupun as-Sunnah jihad sering ditunjukkan secara tegas (sharih), dengan langsung menggunakan kata al-qital (perang). Allah SWT, antara lain, berfirman:

قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلآخِرِ

Perangilah orang-orang yang tidak mengimani Allah dan Hari Akhir. (QS at-Taubah [9]: 29).

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ ِللهِ

Perangilah mereka supaya jangan ada fitnah (kekufuran) dan agar agama itu semata-mata hanya milik Allah. (QS al-Anfal [8]: 39).

Rasul saw. juga pernah bersabda:

«مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ»

Siapa saja yang berperang dengan tujuan menjadikan kalimat Allah menjadi yang paling tinggi, maka ia berada di jalan Allah. (HR al-Bukhari).

«أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ»

Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan La Ilaha illa AlLah Muhammad Rasulullah (Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah). (HR al-Bukhari dan Muslim).

2. Jihad (perang) dalam nash ghayr sharih (samar).

Jihad dalam makna al-qital (perang) ini juga sering ditunjukkan dalam makna yang samar (ghayr sharih), yang lebih banyak ditunjukkan oleh adanya indikasi (qarinah) yang menunjukkan pada makna al-qital (perang) dimaksud. Allah SWT, antara lain, berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللهِ

Orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah. (QS al-Baqarah [2]: 218).

إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللهِ.... 

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah…. (QS al-Anfal [8]: 72).

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahanam. Itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya. (QS at-Taubah [9]: 73).

Meskipun nash-nash di atas dan yang serupa dengannya dalam bentuk yang samar, semua nash tersebut memiliki qarinah (indikasi) yang menunjukkan pada makna jihad secara syar‘i, yakni al-qital (perang). Frasa dalam ayat-ayat di atas seperti fi sabilillah (di jalan Allah), jahada wa hajara (berjihad dan berhijrah), waghluzh 'alayhim (bersikap keraslah terhadap mereka [orang-orang kafir]), bi amwalihim wa anfusihim (dengan harta-harta dan jiwa-jiwa mereka), semua itu merupakan indikasi (qarinah) yang menunjukkan bahwa kata jihad di dalam ayat-ayat tersebut adalah jihad secara syar‘i, yakni memerangi kaum kafir.

Demikian pula halnya dengan sabda-sabda Rasulullah saw. Rasul saw., misalnya, bersabda:

«وَاْلجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِىَ اللهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَتِى الدَّجَّالَ»

Jihad itu tetap berlangsung sejak aku diutus oleh Allah hingga umatku yang terakhir membunuh dajjal. (HR Ibn Manshur al-Khurasani, Kitâb as-Sunan, II/176).

«الْجِهَادُ مَاضٍ مَعَ الْبَرِّ وَالْفَاجِرِ»

Jihad itu tetap berlangsung baik bersama (pemimpin) yang salih maupun yang fajir. (HR al-Bukhari).

Dalam hadis di atas, frasa hingga umatku yang terakhir membunuh dajjal, misalnya, merupakan qarinah bahwa yang dimaksud dengan jihad di sini adalah makna syar‘i, yakni memerangi orang-orang kafir. Begitu juga frasa baik bersama (pemimpin) yang salih maupun yang fajir; merupakan qarinah bahwa jihad dalam hadis di atas bermakna perang, seperti pada nash sebelumnya.

Di dalam al-Quran, jihad dalam pengertian perang ini terdiri dari 24 kata. (Lihat Muhammad Husain Haikal, Al-Jihad wa al-Qital. I/12).

Kewajiban jihad (perang) ini telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam al-Quran di dalam banyak ayatnya. (Lihat, misalnya: QS an-Nisa' 4]: 95); QS at-Taubah [9]: 41; 86, 87, 88; QS ash-Shaf [61]: 4).

Bahkan jihad (perang) di jalan Allah merupakan amalan utama dan agung yang pelakunya akan meraih surga dan kenikmatan yang abadi di akhirat. (Lihat, misalnya: QS an-Nisa’ [4]: 95; QS an-Nisa’ [4]: 95; QS at-Taubah [9]: 111; QS al-Anfal [8]: 74; QS al-Maidah [5]: 35; QS al-Hujurat [49]: 15; QS as-Shaff [61]: 11-12.

Sebaliknya, Allah telah mencela dan mengancam orang-orang yang enggan berjihad (berperang) di jalan Allah (Lihat, misalnya: QS at-Taubah [9]: 38-39; QS al-Anfal [8]: 15-16; QS at-Taubah [9]: 24).

*Jihad Defensif dan Jihad Ofensif

Dengan menganalisis nash-nash al-Quran maupun as-Sunnah, jihad dalam pengertian perang (al-qital) terdiri dari dua macam: (1) Jihad defensif (difa‘i); (2) Jihad ofensif (hujumi).

Pertama: jihad defensif (jihad difa'i), yakni perang untuk mempertahankan/membela diri. Jihad ini dilakukan manakala kaum Muslim atau negeri mereka diserang oleh orang-orang atau negara kafir. Contohnya adalah dalam kasus Afganistan dan Irak yang diserang dan diduduki AS sampai sekarang, juga dalam kasus Palestina yang dijajah Israel. Dalam kondisi seperti ini, Allah SWT telah mewajibkan kaum Muslim untuk membalas tindakan penyerang dan mengusirnya dari tanah kaum Muslim. (Lihat, antara lain: QS al-Baqarah 190).

Jihad defensif ini juga dilakukan manakala ada sekelompok komunitas Muslim yang diperangi oleh orang-orang atau negara kafir. Kaum Muslim wajib menolong mereka. Sebab, kaum Muslim itu bersaudara, laksana satu tubuh. Karena itu, serangan atas sebagian kaum Muslim pada hakikatnya merupakan serangan terhadap seluruh kaum Muslim di seluruh dunia. Karena itu pula, upaya membela kaum Muslim di Afganistan, Irak, atau Palestina, misalnya, merupakan kewajiban kaum Muslim di seluruh dunia. (Lihat, antara lain: QS al-Anfal [8]: 72).

Kedua: Jihad ofensif (jihad hujumi), yakni memulai perang. Jihad ini dilakukan manakala dakwah Islam yang dilakukan oleh Daulah Islam (Khilafah) dihadang oleh penguasa kafir dengan kekuatan fisik mereka. Dakwah adalah seruan pemikiran, non-fisik. Manakala dihalangi secara fisik, wajib kaum Muslim berjihad untuk melindungi dakwah dan menghilangkan halangan-halangan fisik yang ada di hadapannya. Inilah pula yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para Sahabat setelah mereka berhasil mendirikan Daulah Islam di Madinah. Mereka tidak pernah berhenti berjihad (berperang) secara aktif--memulai menyerang--dalam rangka menghilangkan halangan-halangan fisik demi tersebarluaskannya dakwah Islam dan demi tegaknya kalimat-kalimat Allah. Dengan jihad ofensif itulah Islam tersebar ke seluruh dunia dan wilayah kekuasaan Islam pun semakin meluas, menguasai berbagai belahan dunia. Ini adalah fakta sejarah yang tidak bisa dibantah. Bahkan jihad (perang) merupakan metode Islam dalam penyebaran dakwah Islam oleh negara (Daulah Islam) meski ini  merupakan langkah terakhir. Allah SWT berfirman:

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ ِللهِ

Perangilah mereka supaya jangan ada fitnah (kekufuran) dan agar agama itu semata-mata hanya milik Allah. (QS al-Anfal [8]: 39).

Rasulullah saw. juga bersabda:

«أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ»

Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Karena itu, keliru jika ada sebagian kalangan yang menyatakan bahwa jihad di dalam Islam adalah semata-mata perang defensif (untuk mempertahankan/membela diri), bukan perang ofensif (memulai peperangan). Pendapat tersebut keliru karena beberapa sebab berikut:

Pertama: dalil tentang jihad, seperti apa yang telah diuraikan, merupakan dalil yang berbentuk umum dan mutlak, mencakup perang defensif maupun perang ofensif, yakni memulai perang terhadap musuh. Oleh karena itu, pengkhususan dan pembatasannya hanya sebatas perang defensif membutuhkan nash yang men-takhsish-nya/mengkhususkannya ataupun membatasinya. Dalam hal ini, tidak ada nash yang mengkhususkan ataupun membatasinya, baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah.

Kedua: di samping nash-nash yang telah dipaparkan sebelumnya, yang menunjukkan jihad sebagai perang ofensif, terdapat juga nash-nash berikut yang menunjukkan makna yang sama, terutama ayat-ayat yang ada dalam surat at-Taubah. Sebab, surat ini termasuk surat-surat al-Quran yang terakhir turun berkaitan dengan tema jihad sehingga tidak ada tempat lagi bagi suara-suara yang mengatakan perihal takhshish (pengkhususan), taqyid (pembatasan) ataupun naskh (penghapusan)-nya. Contohnya dapat ditemukan dalam QS at-Taubah [9]: 29; QS at-Taubah [9]: 73; QS at-Taubah [9]: 123.

Ayat-ayat ini datang dengan seruan perang dalam bentuk yang umum dan mutlak. Artinya, ia mencakup perang defensif maupun perang ofensif. Karena ayat-ayat ini turun paling akhir, jelas ia tidak bisa di-takhshish, di-taqyid, ataupun di-naskh oleh ayat-ayat mengenai jihad defensif—sebagaimana yang disebutkan di atas—yang turun lebih awal. (Lihat: Muhammad As-Suwayki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hlm. 200).

Dengan penjelasan di atas, jelaslah bahwa jihad dalam Islam tidak sekadar bersifat defensif, tetapi juga ofensif. Bahkan dengan jihad ofensiflah Islam dapat tersebar luas ke seluruh dunia; mulai dari jazirah Arab, Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Tengah, hingga bahkan ke Eropa; dari mulai perbatasan Cina di Timur hingga Andalusia di Barat; serta dari Laut Arab di Selatan hingga Kaukasus di Utara. Tanpa jihad ofensif, Islam mungkin tak akan berkembang secara oesat ke seluruh dunia.

Terorisme Bukan Jihad

Dari penjelasan mengenai adab berjihad di atas, jelas sekali bahwa tindakan terorisme (seperti melakukan berbagai peledakan bom ataupun bom bunuh diri bukan dalam wilayah perang, seperti di Indonesia) bukanlah termasuk jihad fi sabilillah.

Alasannya: (1) Tindakan tersebut dilakukan bukan dalam wilayah perang; (2) Tindakan tersebut nyata-nyata telah mengorbankan banyak orang yang seharusnya tidak boleh dibunuh. Tindakan ini haram dan termasuk dosa besar (QS al-Isra' [17]: 33; QS. an-Nisa’ [4]: 93; QS an-Nisa' [4]: 29). (3). Tindakan terorisme saat ini telah menimbulkan fitnah besar bagi umat Islam. Seolah-olah Islam--sebagaimana tudingan Adw Armando--terkait denganmu terorisme. Na'udzu bilLah!

WalLahu a‘lam bi ash-shawab. []

Catatan  kaki:

-Fairuz Abadi, Kamus Al-Muhith, kata ja-ha-da. Lihat juga: an-Nawawi, Al-Majmu‘ fi Syarh al-Madzhab; Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari; Asy-Syaukani, Nayl al-Awthar; Ash-Shan‘ani, Subul as-Salam.

-Ar-Razi, Mafatih al-Ghayb.

-Ibn Abidin, Radd al-Mukhtar, III/336

-Lihat: Ibn Hajar al-Ashqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari; Asy-Syaukani, Nayl al-Awthar; As-Zarqani, Syarh az-Zarqani.

*ISLAM MELINDUNGI AHLU DZIMMAH*


===================================

*ISLAM MELINDUNGI AHLU DZIMMAH*
Oleh: Ustadzah Dedeh Wahidah Achmad

Ketika syariat Islam ditegakkan di suatu negara, penduduknya bukan hanya muslim melainkan juga nonMuslim. NonMuslim yang menjadi rakyat suatu negara yang menerapkan syariat Islam disebut oleh para fuqaha sebagai kafir dzimmi. Semua penduduk tidak ada yang memiliki hak istimewa, semua diperlakukan sama tanpa memandang ras, agama, warna kulit, dll.

Terdapat beberapa hukum syariat Islam terkait kafir dzimmi, di antaranya adalah:

1. Muslim dan nonMuslim harus diperlakukan adil

وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ [النساء/58]

“Dan apabila kamu menerapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil” (TQS. An-Nisa[4]:58)

وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ [المائدة/42]

Dan jika kamu memutuskan perkara mereka (ahlul kitab), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil (TQS. Al-Maidah[5]:43).

2. Tidak boleh diganggu, difitnah, atau dipaksa terkait agama mereka. Mereka dibiarkan untuk menganut akidah dan ibadah menurut keyakinannya.

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ [البقرة/256]

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat (TQS. Al-Baqarah[2]:256)

Dari Urwah bin Zubair, dia berkata, Rasulullah SAW menulis surat kepada penduduk Yaman:

إِنَّهُ مَنْ كَانَ عَلَى يَهُوْدِيَتِهِ اَوْ نَصْرَانِيَتشهِ فَاِنَّهُ لَا يُفْتَنُ عَنْهَا, وَ عَلَيْهِ الْجِزْيَةُ
Sesungguhnya siapa saja yang tetap sebagai Yahudi atau Nasrani maka tidak boleh difitnah, dia wajib mengeluarkan jizyah (Diriwayatkan dari Abu Ubaid). 

Makna ‘la yuftanu’ adalah ‘la yukrahu ‘ala tarkiha bal yutraku ‘alaiha’, yakni tidak dipaksa untuk meninggalkannya (agamanya) namun dibiarkan tetap di dalamnya.  

3. Tidak diwajibkan membayar zakat, namun diwajibkan membayar jizyah. Itu pun hanya diambil dari laki-laki yang sudah baligh sesuai dengan kemampuannya. Bila ia tidak mampu dan faqir maka tidak dipungut jizyah bahkan harus dinafkahi oleh baitul mal (kas negara). 

حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ [التوبة/29]

“… sampai mereka membaya jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk” (TQS. At-Tawbah[9]:29)

Kata ‘an yadin dalam ayat itu bermakna ‘an qudratin (sesuai kemampuan).

Pada masa kekhilafahan Umar bin Khathab terjadi ijma’ sahabat bahwa jizyah diambil hanya dari laki-laki yang baligh, tidak dari perempuan dan anak-anak. 

4. Sanksi hukum diterapkan dengan sama baik kepada Muslim maupun nonMuslim.

Rasulullah pernah menerapkan sanksi bunuh pada seorang Yahudi yang membunuh seorang wanita.  Begitu pula, beliau SAW pernah menerapkan sanksi hukum bunuh pada seorang laki-laki yang membunuh seorang Yahudi. 

5. Islam mewasiatkan agar bermuamalah dengan kafir dzimmiy dengan muamalah yang baik, seperti berteman, menolong, bahkan kaum Muslim wajib menjaganya, menjaga harta dan kehormatannya.  Bahkan, negara menjamin sandang, pangan, dan papannya sebagaimana jaminan yang diberikan kepada kaum Muslim. Pelayanan masyarakat pun diberikan sama baik pada Muslim maupun nonMuslim.  Rasulullah bersabda:

فُكُّوْا الْعَانِي يَعْنِي الأَسِيْرَ وَأَطْعِمُوْا الْجَائِعَ وَعُوْدُوا الْمَرِيْضَ

“Bebaskanlah tawanan, berilah makanan orang yang lapar, dan tengoklah orang yang sakit” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad). 

6. Boleh muamalah antara kaum Muslim dengan kafir dzimmiy baik berupa jual beli, sewa-menyewa, upah-mengupah, kerjasama bisnis, jaminan dan sebagainya tanpa ada beda dengan kaum Muslim.

Dulu Rasulullah SAW mempekerjakan penduduk Khaibar yang beragama Yahudi. Beliau juga membeli makanan dari orang Yahudi di Madinah, dan pernah menggadaikan baju besinya. Pernah juga beliau mengutus seseorang untuk menghutang dua baju pada seorang Yahudi.  Semua ini menunjukkan bolehnya bermuamalah dengan kafir dzimmiy. Hanya saja semua aturan yang diterapkan tentu harus sesuai dengan aturan Islam.

Ringkasnya, kafir dzimmiy merupakan warga negara sebagaimana warga negara lainnya. Mereka memiliki hak pelayanan, hak pemeliharaan, hak jaminan kehidupan, hak diperlakukan dengan baik, hak berteman dan diperlakukan lembut, bahkan mereka berhak untuk turut berperang bersama dengan kaum Muslim melawan musuh, namun hal ini tidak wajib bagi mereka. Mereka dipandang sama kedudukannya dalam hukum, pengadilan, pelayanan masyarakat, penerapan muamalat dan sanksi sebagaimana kedudukan kaum Muslim, tanpa ada keistimewaan dan pembedaan. Misalnya, bila sekolah gratis maka gratis bagi semua, kesehatan gratis bagi semua, dsb. Wajib adil pada mereka sebagaimana wajib adil pada kaum Muslim.[]

_Dari berbagai sumber_

Dalil orang yang menyembah manusia

Buletin Kaffah_041_2 Ramadhan 1439 H – 18 Mei 2018

PUASA DAN TAKWA

Alhamdulillah, sepantasnya kita bersyukur karena kita sudah berada pada bulan suci Ramadhan 1439 H. Tentu kita berharap puasa Ramadhan kali ini benar-benar bisa mewujudkan ketakwaan hakiki sebagaimana yang Allah SWT kehendaki:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana puasa itu pernah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 183).

Tentu Allah SWT tidak pernah menyelisihi janji dan firman-Nya. Jika umat ini mengerjakan ibadah puasa dengan benar (sesuai tuntunan al-Quran dan as-Sunnah) dan ikhlas semata-mata mengharap ridha Allah SWT, niscaya takwa sebagai hikmah puasa itu akan dapat terwujud dalam dirinya.

Apa yang disebut dengan takwa? Imam ath-Thabari, saat menafsirkan ayat di atas, antara lain mengutip Al-Hasan yang  menyatakan, “Orang-orang bertakwa adalah mereka yang takut terhadap perkara apa saja yang telah Allah haramkan atas diri mereka dan melaksanakan perkara apa saja yang telah Allah titahkan atas diri mereka.” (Lihat: Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan li Ta’wil al-Qur’an, I/232-233).

Dengan demikian, jika memang takwa adalah buah dari puasa Ramadhan yang dilakukan oleh setiap Mukmin, idealnya usai Ramadhan, setiap Mukmin senantiasa takut terhadap murka Allah SWT. Lalu ia berupaya menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Ia berupaya menjauhi kesyirikan. Ia senantiasa menjalankan ketaatan. Ia takut untuk melakukan perkara-perkara yang haram. Ia senantiasa berupaya menjalankan semua kewajiban yang telah Allah SWT bebankan kepada dirinya.

Menjalankan semua perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya tentu dengan mengamalkan seluruh syariah-Nya baik terkait aqidah dan ubudiah; makanan, minuman, pakaian dan akhlak; muamalah (ekonomi, politik, pendidikan, pemerintahan, sosial, budaya, dll); maupun ‘uqubat (sanksi hukum) seperti hudud, jinayat, ta’zir maupun mukhalafat. Bukan takwa namanya jika seseorang biasa melakukan shalat, melaksanakan puasa Ramadhan atau bahkan menunaikan ibadah haji ke Baitullah; sementara ia biasa memakan riba, melakukan suap dan korupsi, mengabaikan urusan masyarakat, menzalimi rakyat dan menolak penerapan syariah secara kaffah.

Berkaitan dengan takwa pula, saat menafsirkan al-Quran surat al-Baqarah ayat 1-5, Syaikh Ali ash-Shabuni mengutip pernyataan Ibnu ‘Abbas ra. yang menyatakan, “Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang takut berbuat syirik (menyekutukan Allah SWT) sembari menjalankan ketaatan kepada Allah SWT.” (Lihat: Ali ash-Shabuni, Shafwah at-Tafasir, I/26).

Takut berbuat syirik maknanya adalah takut menyekutukan Allah SWT dengan makhluk-Nya baik dalam konteks aqidah maupun ibadah, termasuk tidak meyakini sekaligus menjalankan hukum apapun selain hukum-Nya, karena hal itu pun bisa dianggap sebagai bentuk kesyirikan. Pasalnya, Allah SWT telah berfirman:

اِتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ...
Orang-orang Yahudi dan Nasrani telah menjadikan para pendeta dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah... (TQS at-Taubah [9]: 31).

Terkait ayat ini, ada sebuah peristiwa menarik. Diriwayatkan bahwa saat Baginda Rasulullah saw. membaca ayat ini, kebetulan datanglah Adi bin Hatim kepada beliau dengan maksud hendak masuk Islam. Saat Adi bin Hatim—yang ketika itu masih beragama Nasrani—mendengar ayat tersebut, ia kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, kami (orang-orang Nasrani, pen.) tidak pernah menyembah para pendeta kami.” Akan tetapi, Baginda Nabi saw. membantah pernyataan Adi bin Hatim sembari bertanya dengan pertanyaan retoris, “Bukankah  para pendeta kalian biasa menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan mengharamkan apa yang telah Allah halalkan, lalu kalian pun menaatinya?” Jawab Adi bin Hatim, “Benar, wahai Rasulullah.” Beliau lalu tegas menyatakan, “Itulah bentuk penyembahan kalian terhadap para pendeta kalian.” (Imam al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, IV/39)

Saat ini posisi para pendeta dan para rahib itu telah digantikan oleh para penguasa maupun wakil rakyat dalam sistem demokrasi. Pasalnya, merekalah saat ini yang biasa membuat hukum. Faktanya, banyak hukum yang mereka buat menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan mengharamkan apa yang telah Allah halalkan. Mereka, misalnya, menghalalkan riba dan zina—meski dengan dalih lokalisasi—yang nyata-nyata telah Allah SWT haramkam. Sebaliknya, mereka mengharamkan syariah dan khilafah diterapkan di negeri ini karena dituding bertentangan dengan Pancasila. Padahal jelas, syariah dan khilafah adalah perkara halal bahkan wajib karena memang telah diperintahkan secara tegas oleh Allah SWT di dalam al-Quran maupun as-Sunnah.

Tentu, sebagai wujud dari ketakwaan kita, kita dilarang menaati apapun produk hukum buatan manusia yang nyata-nyata bertentangan dengan syariah-Nya. Di sinilah pentingnya kita senantiasa hanya menaati Allah SWT dan Rasul-Nya dengan hanya mengamalkan dan menerapkan syariah-Nya. Itulah esensi ketakwaan kita, yang sejatinya kita petik sebagai buah dari puasa Ramadhan kita.

Harusnya Kita Bertakwa

Bagi sebagian orang, puasa Ramadhan kali ini bukanlah yang pertama. Bisa jadi Ramadhan kali ini bagi mereka adalah puasa yang ke sekian puluh kalinya. Pertanyaannya: Apakah puluhan kali puasa Ramadhan yang dijalani benar-benar telah mewujudkan takwa? Ternyata tidak semuanya. Faktanya, yang terjadi kadang sebaliknya.

Pertama: Setelah Ramadhan, banyak Muslim—yang sebelumnya berusaha ber-taqarrub kepada Allah SWT selama Ramadhan—justru kembali jauh dari Allah SWT. Mereka kembali melakukan ragam kemaksiatan kepada-Nya. Banyak wanita Muslimah, misalnya, yang kembali memamerkan aurat mereka, padahal saat Ramadhan mereka tutup rapat-rapat. Banyak masjid kembali sepi, padahal saat Ramadhan ramai dikunjungi. Acara-acara di televisi kembali menampilkan acara-acara berbau pornografi/pornoaksi, padahal selama Ramadhan menyiarkan acara-acara religi. Banyak tempat-tempat maksiat dibuka kembali, padahal selama Ramadhan ditutup. Penguasa dan banyak pejabat kembali melakukan korupsi dan mengkhianati rakyat, padahal selama Ramadhan mungkin mereka berusaha berhenti dari perbuatan-perbuatan tercela tersebut. Orang-orang semacam ini tentu puasanya sia-sia. Inilah yang diisyaratkan oleh Baginda Nabi saw.:

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ
Betapa banyak orang berpuasa tidak mendapatkan apapun selain rasa laparnya saja (HR Ahmad).

Kedua: Setelah Ramadhan, sekularisme tetap mendominasi kehidupan kaum Muslim. Setelah Ramadhan, tak ada dorongan dari kebanyakan kaum Muslim, khususnya para penguasanya, untuk bersegera menegakkan syariah Allah SWT secara formal dalam segala aspek kehidupan melalui institusi negara. Padahal Allah SWT tegas telah berfirman:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ...
Hukumilah mereka dengan hukum yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka... (TQS al-Maidah [5]: 49).

Perlu Pemimpin Bertakwa

Di tengah sistem kehidupan yang tidak menerapkan syariah Islam secara kaffah saat ini, kaum Muslim tentu membutuhkan pemimpin yang bertakwa. Pemimpin yang bertakwalah yang akan menerapkan syariah Islam secara kaffah sebagai wujud ketaatan total kepada Allah SWT.

Karena itu pemimpin bertakwa tidak akan mungkin mengkriminalisasi Islam dan kaum Muslim. Pemimpin bertakwa juga tidak akan menghalang-halangi apalagi memusuhi orang-orang yang memperjuangkan penerapan syariah dan penegakan khilafah yang merupakan taj al-furudh (mahkota kewajiban) dalam Islam.

Pemimpin semacam ini adalah pemimpin yang benar-benar bisa mewujudkan hikmah puasa dalam dirinya, yakni takwa. Di antara kesempurnaan puasa pemimpin yang bertakwa adalah menjaga puasanya dari perkataan dusta (qawl az-zur) karena kedustaan hanya akan membuat puasa mereka sia-sia. Nabi saw. bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Siapa saja yang tidak meninggalkan perkataan dan perilaku dusta maka Allah tidak membutuhkan upayanya dalam meninggalkan makan dan minumnya (HR al-Bukhari).

Bagaimana bukan perkataan dusta bila sebelum berkuasa berjanji tidak akan menyusahkan masyarakat, semisal tidak akan menaikkan tarif BBM dan listrik, tidak akan menambah utang keluar negeri, dll; kemudian tanpa malu melanggar semua janjinya itu. Bukankah ini perkataan dusta?

Oleh karena itu ketakwaan bukanlah sebatas jargon atau tontonan yang penuh pencitraan, melainkan amal nyata yang bersumber dari keimanan kepada Allah SWT.

Teladan Ketakwaan

Pada masa lalu ketakwaan benar-benar melekat pada diri para pemimpin umat, yakni para khalifah. Ketakwaan mereka mengantarkan umat pada keberkahan dan kesejahteraan. Karena takwa, Khalifah Umar bin Khathtab ra., misalnya, pernah menangis karena takut kepada Allah SWT saat mendengar kabar ada seorang ibu mempercepat masa menyapih bayi agar bisa segera mendapatkan insentif dari negara demi memenuhi kebutuhan anaknya itu. Pasalnya, pada waktu itu Khalifah Umar membuat kebijakan hanya memberikan insentif untuk anak kecil yang telah disapih. Khalifah Umar, sambil menangis menyesali keputusannya, berkata, “Celakalah Umar! Berapa banyak bayi yang telah dibunuh oleh Umar!” Kemudian ia pun mencabut kebijakannya yang keliru tersebut. Begitulah karakter pemimpin yang bertakwa.

Dalam sistem perintahan sekular saat ini, adakah pemimpin seperti Khalifah Umar ra.?! []

Hikmah:

Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali mati melainkan dalam keadaan beragama Islam (TQS Ali Imran [3]: 102).

Tata cara jamaah

📝 Shaf Sholat Berjamaah
💎 Soal Jawab FIQH 🍃

ttg masbuk sholat, yang tidak merapatkan shaff sholat...
terus... bolong tengah shaf, lalu saya masuk aja... gmn ya ustadz?

❄ Jawaban :

Apa yang anda perbuat sudah betul, dan bahkan itulah yang diperintahkan. Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, bahwa Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam bersabda :

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الَّذِينَ يَصِلُونَ الصُّفُوفَ

"Sesungguhnya Allah dan para malaikat bershalawat kepada orang-orang yang menyambungkan shaf." (HR. Ibnu Majah No. 995, Ahmad No. 23481, Ibnu Hibban No. 2163)

Rasulullaah shallallaahu 'alayhi wasallam juga bersabda,

مَنْ وَصَلَ صَفًّا ، وَصَلَهُ اللّٰه، وَ مَنْ قَطَعَ صَفًّا، قَطَعَهُ اللّٰه.

"Barangsiapa yang menyambung shaf, maka Allaah akan menyambung hidupnya(dengan kebaikan), dan barangsiapa yang memutus shaf, maka Allaah akan memutus nya(dari kebaikan)". (HR. Abu Dawud No. 666, An Nasa-i No. 819)

Dari Abu Umamah, Rasul shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda,

وَسَدُّوا الخلل، فإن الشيطان يدخل فيما بينكم، بمنزلة الحذف.

".. isilah shaf yang kosong, karena sesungguhnya syetan masuk diantara shaf kalian, walau renggangnya seukuran anak kecil". (HR. Ahmad[5/262], At-Thabrani)

Seandainya ada seseorang melihat celah kosong atau shaf tidak lurus pada shalat jamaah yang ia hadiri, maka ia wajib untuk memerintahkan agar shaf rapat dan lurus.
Ibarah dari Imam Nawawi :

ويستحب لكل واحد من الحاضرين أن يأمر بذلك من رأى منه خللا في تسوية الصف فإنّه من الأمر بالمعروف

"Dan dianjurkan bagi setiap orang yang menghadiri (shalat berjamaah), untuk memerintahkan hal tersebut(rapat dan lurus shaf) -siapa saja yang melihat kecacatan dari sisi kerapatan dan lurusnya shaf-, karena hal tersebut bagian dari amar ma'ruf." (Al Majmu' Syarh Al Muhadzdzab, 4/226)

Diawal sholat akan didirikan, semestinya Imam lah yang merapatkan dan meluruskan shaf barisan jama'ah.

Berkata Imam Ibn Daqiq Al 'Ied :

"Dalil dalil tentang meluruskan shaf ini menjadi petunjuk bahwa hal itu merupakan tugas Imam. Bahkan sebagian Ulama Salaf(saat menjadi Imam) sampai mewakilkan seseorang dalam jamaah, untuk mengecek rapat dan lurusnya barisan jamaah sholat". (Syarh 'Umdatul Ahkam, 1/245).Wallaahu a'lam.

💎Dibawah ini adalah Posisi Sholat Berjama'ah

⚫️= imam ikhwan/laki
🔘= imam akhwat/wanita
⚪= makmum ikhwan
🔴= makmum akhwat
▫/🔺= makmum anak

*BERDUA*         ⚫⚪
(Hadist Ibnu Abbas, HR. Bukhari)

                         ⚫

                         🔴
(Hadist Anas, HR. Bukhari Muslim)

                         🔘🔴
(Hadist Ibnu Abbas, HR. Bukhari)

*BERTIGA*           ⚫
                      ⚪⚪
(Hadist Jabir, HR. Ahmad)

                         ⚫⚪

                            🔴
(HR. Ibnu Abbas & HR. Anas bin Malik)

                    🔴🔘🔴
(Hadist Aisyah, HR. Baihaqi; Hakim; Daruquthni; Ibnu Abi Syaibah)

*RAMAI*                ⚫
               ⚪⚪⚪⚪⚪
                     ⚪⚪⚪

                     🔴🔴🔴
(HR. Abu Hurairah; Muslim)

          🔴🔴🔴🔘🔴🔴🔴
          🔴🔴🔴🔴🔴🔴🔴
(Hadist Aisyah radhiyallaahu 'anha dan Ummu Salamah; HR. Ibnu Abbas)

                            ⚫
                ⚪⚪⚪⚪⚪
          ▫⚪▫⚪▫⚪▫

          🔺🔴🔺🔴🔺🔴🔺

atau                    ⚫
                ⚪⚪⚪⚪⚪
                ▫▫⚪⚪⚪

                🔺🔺🔴🔴🔴
(HR. Muslim 122/399/400/432; Abu Dawud 674; Nasa'i 806; At Tirmidzi 228; Ibnu Majah 803)

atau                    ⚫
                      ⚪⚪⚪
                      ▫▫▫

                      🔴🔴🔴
                      🔺🔺🔺
(Hadist Abu Malik Al-Asyari, HR. Ahmad)

✍🏻 Muhammad Rivaldy Abdullah
🌸🍃 Sebar Ilmu, Raup Pahala Besar..

Instagram : www.instagram.com/ngaji_fiqh

Facebook : www.facebook.com/MuhammadRivaldyAbdullah

Telegram : Ngaji FIQH
https://telegram.me/ngajifiqh

Rabu, 16 Mei 2018

Hukum puasa ibu hamil

#RamadhanBulanPerjuangan

/ Hukum Puasa Bagi Wanita yang Hamil, Menyusui, dan Melahirkan /

Oleh: Muhammad Shiddiq Al Jawi

#MuslimahNewsID -- Tanya: Ustadz, bagaimana hukum puasa Ramadhan bagi perempuan yang sedang hamil, menyusui, atau melahirkan?

/ Jawab: /
Perempuan yang melahirkan dan darah nifasnya masih mengalir, tak boleh berpuasa Ramadhan, karena di antara syarat sah puasa adalah suci dari nifas. Jika darah nifas sudah berhenti mengalir, dan masih dalam bulan Ramadhan, dia wajib kembali berpuasa Ramadhan. Jika berhentinya darah nifas sebelum waktu Shubuh lalu dia baru mandi setelah masuknya waktu Shubuh, puasanya sah. Inilah pendapat jumhur ulama, kecuali pendapat sebagian ulama seperti Imam Auza’i, juga salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Maliki, yang mensyaratkan mandi sebelum masuk waktu Shubuh. Namun yang rajih (kuat) pendapat jumhur ulama. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/616; Mahmud Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 45).

Perempuan yang tak puasa Ramadhan karena nifas, wajib mengganti dengan mengqadha`, bukan dengan membayar fidyah. Tak ada perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini. Imam Ibnu Qudamah berkata,”Telah sepakat ulama bahwa perempuan yang haid dan nifas tidak halal berpuasa Ramadhan…namun mereka wajib mengqadha` puasa yang ditinggalkannya.” (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 5/30).

Dalilnya hadits dari ‘A`isyah radhiyallahu 'anhu yang berkata,”Dahulu kami mengalaminya [haid], maka kami diperintah untuk mengqadha` puasa tapi tak diperintah untuk mengqadha` shalat.” (HR Muslim no 763). Hadits ini menunjukkan perempuan yang haid wajib mengqadha` puasanya, demikian pula perempuan yang nifas, karena nifas semakna dengan haid berdasarkan ijma’ ulama. (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 5/30; Muhammad Abdurrahman Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah, hlm. 66; Yusuf Qaradhawi, Fiqh As Shiyam, hlm. 39; Ali Raghib, Ahkam As Shalah, hlm. 119).

Adapun perempuan hamil dan menyusui, tak ada khilafiyah di antara ulama keduanya boleh tak berpuasa Ramadhan. Sabda Nabi ﷺ,”Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta'ala telah menanggalkan bagi musafir setengah [kewajiban] shalatnya dan juga [kewajiban] puasanya, dan bagi perempuan hamil dan menyusui, [kewajiban] puasanya.” (HR Ibnu Majah, Nasa`i, Tirmidzi). (Mahmud Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 53).

Namun ulama berbeda pendapat mengenai syarat perempuan hamil dan menyusui boleh tak berpuasa Ramadhan. Apakah disyaratkan mereka khawatir akan dirinya, janinnya, dan bayi yang disusuinya; ataukah hanya karena hamil dan menyusui? Sebagian ulama berpendapat, jika perempuan yang hamil dan menyusui khawatir akan dirinya, atau anaknya (janin/bayi yang disusui), dia boleh tak berpuasa. Ini pendapat rajih dalam madzhab Syafi’i dan pendapat Imam Ahmad. Namun sebagian ulama berpendapat, perempuan yang hamil dan menyusui secara mutlak boleh tak berpuasa, baik ada kekhawatiran atau tidak, baik khawatir akan dirinya atau anaknya. Ini pendapat Syaikh Ali Raghib. (Muhammad Abdurrahman Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah, hlm.66; Ali Raghib, Ahkam As Shalah, hlm. 121).

Yang rajih menurut kami pendapat bahwa jika perempuan hamil khawatir akan dirinya, dan perempuan menyusui khawatir akan bayi yang disusuinya, boleh mereka tak berpuasa. Jika kekhawatiran itu tak ada, tidak boleh tak berpuasa. Dalilnya dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi ﷺ memberi rukhsah kepada perempuan hamil yang khawatir akan dirinya dan perempuan menyusui yang khawatir akan anaknya untuk tak berpuasa. (HR Ibnu Majah no 1668; Mahmud Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 53).

Apakah perempuan hamil dan menyusui wajib mengqadha` puasanya? Sebagian ulama, seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, membolehkan mengganti puasa dengan fidyah, tidak mewajibkan qadha`. Namun yang rajih adalah pendapat mayoritas ulama yang mewajibkan qadha`. Sebab pendapat Ibnu Abbas itu diragukan, mengingat dalam Mushannaf Abdur Razaq (no 7564) Ibnu Abbas justru berpendapat sebaliknya, yaitu wajib mengqadha` dan tak boleh membayar fidyah. Wallahu a’lam.

——————————

Sabtu, 12 Mei 2018

Hukum musik dan nyanyian

MUSLIM BERSATU

abu kholid.com

Sukarno Nursalim 

Lihat profil lengkapku

Minggu, 22 Februari 2015

HUKUM MUSIK DAN NYANYIAN DALAM ISLAM


HUKUM MENYANYI DAN MUSIK
DALAM FIQIH ISLAM

Oleh : Muhammad Shiddiq Al-Jawi

1. Pendahuluan

Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan, kalau kita melihat ulah generasi muda Islam saat ini yang cenderung liar dalam bermain musik atau bernyanyi. Mungkin mereka berkiblat kepada penyanyi atau kelompok musik terkenal yang umumnya memang bermental bejat dan bobrok serta tidak berpegang dengan nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga, mereka cukup sulit atau jarang mendapatkan teladan permainan musik dan nyanyian yang Islami di tengah suasana hedonistik yang mendominasi kehidupan saat ini. Walhasil, generasi muda Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik atau penyanyi sekuler yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset, VCD, dan berbagai media lainnya.

Tak dapat diingkari, kondisi memprihatinkan tersebut tercipta karena sistem kehidupan kita telah menganut paham sekulerisme yang sangat bertentangan dengan Islam. Muhammad Quthb mengatakan sekulerisme adalah iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad diin, artinya, mengatur kehidupan dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau dalam bahasa yang lebih tajam, sekulerisme menurut Taqiyuddin An-Nabhani adalah memisahkan agama dari segala urusan kehidupan (fashl ad-din ‘an al-hayah) (An-Nabhani, 2001:25). Dengan demikian, sekulerisme sebenarnya tidak sekedar terwujud dalam pemisahan agama dari dunia politik, tetapi juga nampak dalam pemisahan agama dari urusan seni budaya, termasuk seni musik dan seni vokal (nyanyian).

Kondisi ini harus segera diakhiri dengan jalan mendobrak dan merobohkan sistem kehidupan sekuler yang ada, lalu di atas reruntuhannya kita bangun sistem kehidupan Islam, yaitu sebuah sistem kehidupan yang berasaskan semata pada Aqidah Islamiyah sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW dan para shahabatnya. Inilah solusi fundamental dan radikal terhadap kondisi kehidupan yang sangat rusak dan buruk sekarang ini, sebagai akibat penerapan paham sekulerisme yang kufur. Namun demikian, di tengah perjuangan kita mewujudkan kembali masyarakat Islami tersebut, bukan berarti kita saat ini tidak berbuat apa-apa dan hanya berpangku tangan menunggu perubahan. Tidak demikian. Kita tetap wajib melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat kita jangkau dan dapat kita lakukan, seperti halnya bermain musik dan bernyanyi sesuai ketentuan Islam dalam ruang lingkup kampus kita atau lingkungan kita.

Tulisan ini bertujuan menjelaskan secara ringkas hukum musik dan menyanyi dalam pandangan fiqih Islam. Diharapkan, norma-norma Islami yang disampaikan dalam makalah ini tidak hanya menjadi bahan perdebatan akademis atau menjadi wacana semata, tetapi juga menjadi acuan dasar untuk merumuskan bagaimana bermusik dan bernyanyi dalam perspektif Islam. Selain itu, tentu saja perumusan tersebut diharapkan akan bermuara pada pengamalan konkret di lapangan, berupa perilaku Islami yang nyata dalam aktivitas bermain musik atau melantunkan lagu. Minimal di kampus atau lingkungan kita.

2. Definisi Seni

Karena bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita akan meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai proses pendahuluan untuk memahami fakta (fahmul waqi’) yang menjadi objek penerapan hukum. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama) (Al-Baghdadi, 1991 : 13).

Adapun seni musik (instrumental art) adalah seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni instrumentalia, seperti telah dijelaskan di muka, adalah seni yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dll) atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya. (Al-Baghdadi, 1991 : 13-14). Inilah sekilas penjelasan fakta seni musik dan seni vokal yang menjadi topik pembahasan.

3.Tinjauan Fiqih Islam

Dalam pembahasan hukum musik dan menyanyi ini, penulis melakukan pemilahan hukum berdasarkan variasi dan kompleksitas fakta yang ada dalam aktivitas bermusik dan menyanyi. Menurut penulis, terlalu sederhana jika hukumnya hanya digolongkan menjadi dua, yaitu hukum memainkan musik dan hukum menyanyi. Sebab fakta yang ada, lebih beranekaragam dari dua aktivitas tersebut. Maka dari itu, paling tidak, ada 4 (empat) hukum fiqih yang berkaitan dengan aktivitas bermain musik dan menyanyi, yaitu :
Pertama, hukum melantunkan nyanyian (ghina`). 
Kedua, hukum mendengarkan nyanyian (sama’ al-ghina`).
Ketiga, hukum memainkan alat musik.
Keempat, hukum mendengarkan musik.

Di samping pembahasan ini, akan disajikan juga tinjauan fiqih Islam berupa kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum, agar aktivitas bermain musik dan bernyanyi tidak tercampur dengan kemaksiatan atau keharaman.

Ada baiknya penulis sampaikan, bahwa hukum menyanyi dan bermain musik bukan hukum yang disepakati oleh para fuqaha, melainkan hukum yang termasuk dalam masalah khilafiyah. Jadi para ulama mempunyai pendapat berbeda-beda dalam masalah ini (Al-Jaziri, 1999 : 41-42; Asy-Syuwaiki, t.t. : 96; Al-Baghdadi, 1991 : 21-25; Omar, 1984 : 3). Karena itu, boleh jadi pendirian penulis dalam tulisan ini akan berbeda dengan pendapat sebagian fuqaha atau ulama lainnya. Pendapat-pendapat Islami seputar musik dan menyanyi yang berbeda dengan pendapat penulis, tetap penulis hormati.

3.1. Hukum Melantunkan Nyanyian (Al-Ghina`/At-Taghanni)

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (al-ghina`/at-taghanni). Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan. Masing-masing mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil masing-masing, seperti diuraikan oleh Al-Ustadz Muhammad Al-Marzuq Bin Abdul Mu’min Al-Fallaty mengemukakan dalam kitabnya Saiful Qathi’i lin-Niza’ bab “Fi Bayani Tahrimi Al-Ghina` wa Tahrim Istima’ Lahu” (Musik.www.ashifnet.tripod.com), juga oleh Ustadz Abdurrahman Al-Baghdadi dalam bukunya Seni dalam Pandangan Islam (1991 : 27-38), dan Muhammad Asy-Syuwaiki dalam Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas (t.t. : 97-101) :

A. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian :

a. Berdasarkan firman Allah dalam QS. Luqman : 6, artinya ”Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.”

Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya Al-Hasan, Al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud. 
Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah QS An-Najm : 59-61, dan QS Al-Isra` : 64 (Al-Jazairi, 1992 : 20-22).

b. Hadits Abu Malik Al-Asy’ari RA bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma`azif).”

c. Hadits Aisyah RA Rasulullah SAW bersabda: ”Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas.

d. Hadits dari Ibnu Mas’ud RA, Rasulullah SAW bersabda: ”Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.”

e. Hadits dari Abu Umamah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.”

f. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf RA bahwa Rasulullah SAW bersabda; “Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus syaithan).”

B. Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian :

a. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Maidah: 87; artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.”

b. Hadits dari Nafi’ RA, katanya: “Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar RA. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu ?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah SAW.”

c. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra ber-kata; “Nabi SAW mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata; “Di antara kita ada Nabi SAW yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi SAW bersabda : “Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.”

d. Dari Aisyah RA; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah SAW bersabda; “Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.”

e. Dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata; “Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah SAW)”

C. Pandangan Penulis

Dengan menelaah dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan nampak adanya kontradiksi (ta’arudh) satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu melihat kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama untuk menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang nampak bertentangan itu.

Imam Asy-Syafi mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi SAW ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu (Asy-Syaukani, t.t. : 275).

Karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat adalah melakukan kompromi (jama’) di antara keduanya, bukan menolak salah satunya. Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada melakukan tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan menolak yang lainnya. Dalam hal ini Syaikh Muhammad Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul fiqih :

Al-‘amal bi ad-dalilaini --walaw min wajhin-- awlaa min ihmali ahadihima

“Mengamalkan dua dalil –walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada meninggalkan salah satunya.” (Abdullah, 1995 : 390) 

Prinsip yang demikian itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan (tak diamalkan). Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan :

Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal laa al-ihmal

“Pada dasarnya dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan.” (An-Nabhani, 1994 : 239)

Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut : bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian (takhsis), yaitu bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’, seperti pada hari raya. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada batasan atau kriterianya) (Al-Baghdadi, 1991 : 63-64; Asy-Syuwaiki, t.t. : 102-103).

Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan. Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yaa`), misalnya disertai khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekulerisme, liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya. Nyanyian halal didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya (Al-Baghdadi, 1991 : 64-65; Syuwaiki, t.t. : 103). 

3.2. Hukum Mendengarkan Nyanyian

a. Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama’ Al-Ghina`)

Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina`) dengan mendengar lagu (sama’ al-ghina`). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-`aal (perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara’ (at-taqayyud bi al-hukm asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-‘aal jibiliyah, yang hukum asalnya mubah. Af-‘aal jibiliyyah adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki, menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada af-‘aal jibiliyyah ini hukum asalnya adalah mubah, kecuali adfa dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan :

Al-ashlu fi al-af’aal al-jibiliyah al-ibahah

“Hukum asal perbuatan-perbuatan jibiliyyah, adalah mubah.” (Asy Syuwaiki, t.t. : 96).

Maka dari itu, melihat –sebagai perbuatan jibiliyyah—hukum asalnya adalah boleh (ibahah). Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon, batu, kerikil, mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan dalil khusus untuk membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh menurut syara’. Hanya saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan melihat sesuatu, misalnya melihat aurat wanita, maka pada saat itu melihat hukumnya haram.

Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah, sehingga hukum asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja boleh, apakah suara gemericik air, suara halilintar, suara binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja di sini ada sedikit catatan. Jika suara yang terdengar berisi suatu aktivitas maksiat, maka meskipun mendengarnya mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak boleh mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang mengatakan,”Saya akan membunuh si Fulan !” Membunuh memang haram. Tapi perbuatan kita mendengar perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak haram. Hanya saja kita berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang tersebut dan kita diharamkan mendiamkannya.

Demikian pula hukum mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi SAW bersabda :

“Siapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya (kekuatan fisik). Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu adalah selemah-lemah iman. “ (HR. Imam Muslim, An-Nasa`i, Abu Dawud, dan Ibnu Majah ).

b. Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ Al-Ghina`)

Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (sama` al-ghina`). Ada hukum lain, yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif (istima’ li al-ghina`). Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara mendengar (as-sama’) dengan mendengar-interaktif (istima’). Mendengar nyanyian (sama’ al-ghina`) adalah sekedar mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan istima’ li al-ghina`, adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa interaksi dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum, berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi (Asy-Syuwaiki, t.t. : 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (sama’ al-ghina) adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian (istima’ al-ghina`) bukan perbuatan jibiliyyah.

Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian tersebut.

Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima’ al-ghina`) dan nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada ikhthilat) karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah haram (Asy-Syuwaiki, t.t. : 104). Allah SWT berfirman (artinya) :

“Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan yang lainnya.” (QS An-Nisaa` : 140)

“…Maka janganlah kamu duduk bersama kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi peringatan.” (QS Al-An’aam : 68). 

3.3. Hukum Memainkan Alat Musik

Bagaimanakah hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan sebagainya ? Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff atau al-ghirbal, atau rebana. Sabda Nabi SAW :

“Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” (HR. Ibnu Majah) (Al-Jazairi, 1992 : 52; Omar, 1983 : 24)

Adapun selain alat musik ad-duff/al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat Syaikh Nashiruddin Al-Albani. Menurut Syaikh Nashiruddin Al-Albani hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya, seluruhnya dha’if. Memang ada beberapa ahli hadits yang memandang shahih, seperti Ibnu Shalah dalam Muqaddimah ‘Ulumul Hadits, Imam An-Nawawi dalam Al-Irsyad, Ibnu Katsir dalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Ibnu Hajar dalam Taghliqul Ta’liq, As-Sakhawy dalam Fathul Mugits, Ash-Shan’ani dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul Afkar juga Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayim dan masih banyak lagi. Akan tetapi Al-Albani dalam kitabnya Dha’if Al-Adab Al-Mufrad setuju dengan pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla bahwa hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah Munqathi’.

Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, Juz VI, hal. 59 mengatakan :

“Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.” (Al-Baghdadi, 1991 : 57)

Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.

3.4. Hukum Mendengarkan Musik

a. Mendengarkan Musik Secara Langsung (Live)

Pada dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan vokal) secara langsung, seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan semisalnya, hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian secara interaktif. Patokannya adalah tergantung ada tidaknya unsur kemaksiatan atau kemungkaran dalam pelaksanaannya.

Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram.

Jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah. (Al-Baghdadi, 1991 : 74).

b. Mendengarkan Musik di Radio, TV, dan Semisalnya

Menurut Al-Baghdadi (1991 : 74-76) dan Asy-Syuwaiki (t.t. : 107-108) hukum mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan semisalnya, tidak sama dengan hukum mendengarkan musik secara langsung sepereti show di panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah), bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut.

Kemubahannya didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-yaa`) –dalam hal ini TV, kaset, VCD, dan semisalnya-- yaitu mubah. Kaidah syar’iyah mengenai hukum asal pemanfaatan benda menyebutkan :

Al-ashlu fi al-asy-yaa` al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrim

“Hukum asal benda-benda, adalah boleh, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya.” (Al-Baghdadi, 1991 : 76)

Namun demikian, meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram, bila diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya kewajiban. Kaidah syar’iyah menetapkan :

Al-wasilah ila al-haram haram

“Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga.” (An-Nabhani, 1963 : 86)

4. Pedoman Umum Nyanyian dan Musik Islami

Setelah menerangkan berbagai hukum di atas, penulis ingin membuat suatu pedoman umum tentang nyanyian dan musik yang Islami, dalam bentuk yang lebih rinci dan operasional. Pedoman ini disusun atas di prinsip dasar, bahwa nyanyian dan musik Islami wajib bersih dari segala unsur kemaksiatan atau kemungkaran, seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4 (empat) komponen pokok yang harus diislamisasikan, hingga tersuguh sebuah nyanyian atau alunan musik yang indah (Islami) :

1. Musisi/Penyanyi.
2. Instrumen (alat musik).
3. Sya’ir dalam bait lagu. 
4. Waktu dan Tempat.

Berikut sekilas uraiannya :

1). Musisi/Penyanyi

a) Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (khayr/ma’ruf) dan menghapus kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak jihad fi sabilillah, mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi, menentang pergaulan bebas, menentang pacaran, menentang kezaliman penguasa sekuler. 

b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru orang kafir dalam masalah yang bersangkutpaut dengan sifat khas kekufurannya) baik dalam penampilan maupun dalam berpakaian. Misalnya, mengenakan kalung salib, berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan sejenisnya.

c) Tidak menyalahi ketentuan syara’, seperti wanita tampil menampakkan aurat, berpakaian ketat dan transparan, bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang laki-laki memakai pakaian dan/atau asesoris wanita, atau sebaliknya, yang wanita memakai pakaian dan/atau asesoris pria. Ini semua haram.

2). Instrumen/Alat Musik

Dengan memperhatikan instrumen atau alat musik yang digunakan para shahabat, maka di antara yang mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah :

a) Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu bentuknya seperti genderang untuk membangkitkan semangat. 

b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi instrumen yang biasa dijadikan sarana upacara non muslim.

Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung maksud si pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

3). Sya’ir

Berisi : 
a) Amar ma’ruf (menuntut keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya) dan nahi munkar (menghujat kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan sebagainya)
b) Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya. 
c) Berisi ‘ibrah dan menggugah kesadaran manusia. 
d) Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama. 
e) Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.

Tidak berisi :
a) Amar munkar (mengajak pacaran, dsb) dan nahi ma’ruf (mencela jilbab,dsb).
c) Mencela Allah, Rasul-Nya, Al-Qur`an.
d) Berisi “bius” yang menghilangkan kesadaran manusia sebagai hamba Allah.
e) Ungkapan yang tercela menurut syara’ (porno, tak tahu malu, dsb).
f) Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.

4). Waktu dan Tempat

a) Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu sururin) seperti pesta pernikahan, hari raya, kedatangan saudara, mendapatkan rizki, dan sebagainya. 
b) Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang wajib). 
c) Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun tempat). 
d) Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat (campur baur).

5. Penutup

Demikianlah kiranya apa yang dapat penulis sampaikan mengenai hukum menyanyi dan bermusik dalam pandangan Islam. Tentu saja tulisan ini terlalu sederhana jika dikatakan sempurna. Maka dari itu, dialog dan kritik konstruktif sangat diperlukan guna penyempurnaan dan koreksi.

Penulis sadari bahwa permasalahan yang dibahas ini adalah permasalahan khilafiyah. Mungkin sebagian pembaca ada yang berbeda pandangan dalam menentukan status hukum menyanyi dan musik ini, dan perbedaan itu sangat penulis hormati.

Semua ini mudah-mudahan dapat menjadi kontribusi –walau pun cuma secuil—dalam upaya melepaskan diri dari masyarakat sekuler yang bobrok, yang menjadi pendahuluan untuk membangun peradaban dan masyarakat Islam yang kita idam-idamkan bersama, yaitu masyarakat Islam di bawah naungan Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullahi. Amin. [ ]

Wallahu A’lam Bis-Shawab.

By Sukarno Nursalim di Februari 22, 2015 Reaksi:  

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Sukarno Nursalim

Membaca adalah sumber informasi ,dan mata sebagai timbanya

Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda

Langganan: Posting Komentar (Atom)

MANTRA SIHIR POLITIK

HUKUM JABAT TANGAN

BOLEHKAH BERJABAT TANGAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN   SELAIN MAHRAM Diskusi dan kajian tentang berbagai masalah fiqhiyah seringkali ...

Dhoror dan hakekatnya

APAKAH  HAKEKAT DHOROR SEBENARNYA?  Apa yang dimaksud dengan dhoror itu? Menurut ulama ushul yang banyak membuat berbagai kaidah-kai...

KEISTIMEWAAN MANUSIA PADA AKALNYA

Keistimewaan manusia Manusia, makhluk ciptaan Allah yang satu ini mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan makhluk2 ciptaan-Nya yang ...

Cari Blog Ini

postingku

Selamat Datang di Curhat Islam KaffahDO'A KELUARGA SAKINAHKebangkitan Islam Babak KeduaBerandaKenakalan Remaja

Mengenai Saya

Sukarno Nursalim 

Membaca adalah sumber informasi ,dan mata sebagai timbanyaLihat profil lengkapku

Blog Archive

►  2018 (10)►  2017 (56)►  2016 (2)▼  2015 (8)►  11/22 - 11/29 (1)►  03/08 - 03/15 (1)►  03/01 - 03/08 (1)▼  02/22 - 03/01 (5)MEA, Masyarakat Ekonomi AmbrukHUKUM ISBALANCAMAN WANITA MEMBUKA AUROTHUKUM JABAT TANGANHUKUM MUSIK DAN NYANYIAN DALAM ISLAM►  2014 (19)

Label

aksi 287 (1)

Laporkan Penyalahgunaan

Pages - Menu

BerandaKebangkitan Islam Babak KeduaKenakalan RemajaApakah Jokowi kholifahDO'A KELUARGA SAKINAHSelamat Datang di Curhat Islam Kaffah

DAPATKAN SEGERA BUKU-BUKU BERKUALITAS

# Menghadapi Fitnah Dan Huru-Hara Akhir Zaman,

# eSKaBOL,Salah kaprah, Bener ora lumrah 

# Risalah Sholat Jamak-Qoshor Dan Masalah Lain Untuk Para Musyafir,

# Perhatian Istimewa Islam Untuk Para Wanita, 

# Agar Tidak Gegabah Menuduh Bid’ah, 

# Hidayah Bukan Hadiah,

# Pintu sorga Otomatis,

# Petunjuk lengkap menjadi ahli pemulasaraan jenazah,

# Khutbah jum’at ideologis satu tahun ( 48 jilid)

Total Tayangan Halaman

 7192

Tautan

pemuda musliminsuara islammedia umatkonsultasi islamarrahmahSERVICE DAN JUAL BELI COMPUTER

Rencent Post

Lencana Facebook

Abukholid Firdausi | Buat Lencana Anda

postingku

BerandaDO'A KELUARGA SAKINAHKebangkitan Islam Babak KeduaApakah Jokowi kholifahKenakalan RemajaSelamat Datang di Curhat Islam Kaffah

Popular Posts

Dhoror dan hakekatnya

APAKAH  HAKEKAT DHOROR SEBENARNYA?  Apa yang dimaksud dengan dhoror itu? Menurut ulama ushul yang banyak membuat berbagai kaidah-kai...

HUKUM JABAT TANGAN

BOLEHKAH BERJABAT TANGAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN   SELAIN MAHRAM Diskusi dan kajian tentang berbagai masalah fiqhiyah seringkali ...

HUKUM MUSIK DAN NYANYIAN DALAM ISLAM

HUKUM MENYANYI DAN MUSIK DALAM FIQIH ISLAM Oleh : Muhammad Shiddiq Al-Jawi 1. Pendahuluan Keprihatinan yang dalam akan kita ra...

IDEOLOGI/AQIDAH

  TENTANG  ‘AQIDAH Para Sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in tidak pernah menggunakan istilah aqidah ketika membahas masalah2 keima...

KEISTIMEWAAN MANUSIA PADA AKALNYA

Keistimewaan manusia Manusia, makhluk ciptaan Allah yang satu ini mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan makhluk2 ciptaan-Nya yang ...

NASEHAT PERKAWINAN

7 Mutiara Menuju Kebahagiaan Rumah Tangga(Nasehat Perkawinan) ومن أياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكونوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة ...

Mantan Biarawati Bongkar Kebohongan GEREJA - Hj. Irene Handono

Wiranto Bohong Rekayasa dulu & kini kasihan rakyat

Postingan Populer

Dhoror dan hakekatnya

APAKAH  HAKEKAT DHOROR SEBENARNYA?  Apa yang dimaksud dengan dhoror itu? Menurut ulama ushul yang banyak membuat berbagai kaidah-kai...

HUKUM JABAT TANGAN

BOLEHKAH BERJABAT TANGAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN   SELAIN MAHRAM Diskusi dan kajian tentang berbagai masalah fiqhiyah seringkali ...

HUKUM MUSIK DAN NYANYIAN DALAM ISLAM

HUKUM MENYANYI DAN MUSIK DALAM FIQIH ISLAM Oleh : Muhammad Shiddiq Al-Jawi 1. Pendahuluan Keprihatinan yang dalam akan kita ra...

IDEOLOGI/AQIDAH

  TENTANG  ‘AQIDAH Para Sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in tidak pernah menggunakan istilah aqidah ketika membahas masalah2 keima...

KEISTIMEWAAN MANUSIA PADA AKALNYA

Keistimewaan manusia Manusia, makhluk ciptaan Allah yang satu ini mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan makhluk2 ciptaan-Nya yang ...

NASEHAT PERKAWINAN

7 Mutiara Menuju Kebahagiaan Rumah Tangga(Nasehat Perkawinan) ومن أياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكونوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة ...

Mantan Biarawati Bongkar Kebohongan GEREJA - Hj. Irene Handono

Wiranto Bohong Rekayasa dulu & kini kasihan rakyat

Labels

aksi 287 (1)

Blogroll

BTemplates.com

Labels

aksi 287 (1)

Blog Archive

►  2018 (10)►  2017 (56)►  2016 (2)▼  2015 (8)►  11/22 - 11/29(1)►  03/08 - 03/15(1)►  03/01 - 03/08(1)▼  02/22 - 03/01(5)MEA, Masyarakat Ekonomi AmbrukHUKUM ISBALANCAMAN WANITA MEMBUKA AUROTHUKUM JABAT TANGANHUKUM MUSIK DAN NYANYIAN DALAM ISLAM►  2014 (19)

Muslim Bersatu

SALAH KAPRAH

MENYIKAPI SALAH KAPRAH YANG HANYA BERUPA MITOS BELAKA

Islam merupakan Agama yang dibangun di atas pondasi aqidah dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Siapa saja yang mengaku beragama Islam, maka haram baginya membangun keyakinan dari adat, dongeng, mimpi atau segala sesuatu yang tidak ditetapkan Alloh dan Rosul-Nya.
Segala perkara aqidah yang bersumber dari Al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan wahyu Alloh yang harus diimani setiap muslim. Meskipun banyak perkara aqidah yang yang tidak masuk akal, namun jika hal tersebut datang dari Alloh dan Rosul-Nya maka tidaklah disebut dengan khurafat.
Khurafat adalah kepercayaan batil (mitos) yang tidak ada sumbernya di dalam Al-Qur’an maupun as-Sunnah. Khurafat bisa berupa ajaran-ajaran leluhur, adat istiadat, cerita rekaan, pantangan dan larangan, pemujaan, kekuatan gaib benda pusaka (dinamisme), roh benda mati (animisme), ramalan-ramalan dan segala keyakinan sesuatu yang bertentangan dengan Islam.
Nama atau istilah lain dari khurafat adalah tathoyur atau tahayyul. Dalam bahasa Indonesia sering diungkapkan dengan kata “mitos”. Semua perkara khurafat hukumnya haram di dalam Islam. Bahkan termasuk bagian dari perkara kesyirikan. Nabi bersabda:
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ. متفق عليه. وزاد مسلم (وَلاَ نَوْءَ وَلاَ غُولَ )
“Tidak ada ‘Adwa, Thiyaroh, Hamah, dan Shofar”. (HR. Bukhori dan Muslim). Sedangkan dalam riwayat Muslim menambahkan lafazh “Tidak ada Nau’ serta tidak ada Ghul”.
Adwa’ adalah keyakinan Arab jahiliyah bahwa penjangkitan atau penularan penyakit dengan sendirinya tanpa kehendak dan takdir Alloh
Thiyaroh adalah merasa bernasib sial atau meramal nasib buruk (menganggap firasat jelek) karena melihat sesuatu seperti melihat burung, mendengar suara binatang, melihat bintang, pecahnya barang perabotan, adat nenek moyang, mitos hantu dan mistis. Melihat garis tangan, menghubungkan angka, tanggal lahir dan lain-lain sebagainya.
Hamah adalah jenis burung yang keluar pada malam hari seperti burung hantu dan lainnya. Orang-orang jahiliyyah merasa bernasib sial jika melihat burung Hamah; apabila burung tersebut hinggap di atas rumah salah seorang di antara mereka, mereka merasa bahwa burung itu membawa berita kematian dirinya atau salah satu dari anggota keluarganya.
Shofar adalah bulan kedua dalam tahun Hijriyyah, orang-orang jahiliyyah beranggapan bahwa bulan ini membawa nasib sial atau tidak menguntungkan, dan termasuk di dalamnya ada hari, atau tanggal yang tidak baik.
Nau’ adalah terbit atau teggelamnya suatu bintang. Orang-orang jahiliyyah menisbahkan (menjadikan sebab) akan turunnya hujan kepada bintang ini dan bintang itu.
Ghul adalah hantu jenis jin atau setan. Dulu orang Arab beranggapan bahwa ghul menampakkan diri kepada manusia di padang pasir dan dapat berubah-ubah bentuk. Mereka yakin bahwa ghul dapat meyesatkan mereka dalam perjalanan lalu membinasakan mereka.
Tiyaroh (Khufafat dan mitos syirik) merupakan perkara kesyirikan ditinjau dari beberapa segi:
Di dalam tiyaroh terdapat kesyirikan terhadap rububiyah Alloh karena orang yang mengamalkannya menganggap mengetahui perkara yang ghaib. Padahal perkara gaib hanya Alloh yang tahu. Selain hal tersebut, pelaku tiyaroh menyandarkan kebaikan dan manfaat bukan kepada Alloh namun kepada sesuatu yang ia lihat, dengar, atau baca.
Di dalam tiyaroh terdapat kesyirikan terhadap uluhiyah Alloh . karena pelaku tiyaroh bertawakal bukan kepada Alloh . mereka menyandarkan hatinya kepada makhluk yang tidak mampu member manfaaat dan madharat.
Tiyaroh menyebabkan seseorang takut kepada selain Alloh serta membuka pintu was-was setan. Hati seorang yang melakukan tiyaroh selalu dipenuhi rasa takut dan was-was yang sebenarnya hanyalah tipu daya setan.
Di dalam tiyaroh seseorang bersandar kepada sebab yang tidak syar’i.
1001 mitos syirik tersebar di masyarakat kita. Meskipun zaman ini diklaim sebagai era atau zaman modern, namun kepercayaan tersebut bukan pudar, bahkan bertambah subur.
Berikut ini contoh-contoh mitos yang telah menjadi kesyirikan dan tersebar di tengah masyarakat kita :
A. Mitos (Khurofat) Tentang Roh
Banyak khurafat berkaitan dengan roh. Di antaranya:
1. Mitos animisme.
Animisme berasal dari bahasa latin, yaitu anima yang berarti ‘roh’. Kepercayaan animisme adalah kepercayaan kepada makhluk halus dan roh. Paham animisme mempercayai bahwa setiap benda di bumi ini (seperti laut, gunung, hutan, gua, atau tempat-tempat tertentu), mempunyai roh yang mesti dihormati agar roh tersebut tidak mengganggu manusia, dan sebaliknya membantu mereka dalam kehidupan ini.
Banyak kepercayaan animisme yang berkembang di masyarakat. Seperti, kepercayaan masyarakat Nias yang meyakini bahwa tikus yang sering keluar masuk rumah adalah jelmaan dari roh wanita yang meninggal dalam keadaan melahirkan. Atau, keyakinan bahwa roh orang yang sudah meninggal bisa masuk ke dalam jasad binatang lain, seperti babi hutan dan harimau. Biasanya, roh tersebut akan membalas dendam terhadap orang yang pernah menyakitinya ketika hidup. Kepercayaan semacam ini hampir sama dengan keyakinan reinkarnasi.
2. Mitos dinamisme
Dinamisme adalah kepercayaan terhadap
benda-benda di sekitar manusia yang diyakini memiliki kekuatan ghaib. Dalam kepercayaan dinamisme benda yang memiliki kekuatan ghaib ada tiga yaitu: benda-benda keramat, binatang-binatang keramat dan orang-orang keramat. Dinamisme disebut juga dengan nama preanimisme, yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda atau makhluk mempunyai daya dan kekuatan. Maksudnya kesaktian dan kekuatan yang berada dalam zat suatu benda diyakini mampu memberikan manfaat atau marabahaya. Dinamisme lahir dari rasa kebergantungan manusia terhadap daya dan kekuatan lain yang berada di luar dirinya. Seperti api dan matahari memiliki daya panas maka api atau matahari itulah yang berhak untuk ia sembah karena memberi pertolongan kepada mereka.
Di dalam Islam, kepercayaan animisme dan dinamisme tersebut bagian dari kesyirikan. Alloh lah pencipta dan penguasa alam semesta dan seisinya. Selain Alloh adalah makhluk yang lemah dan tidak bisa memberi manfaat dan madharat sedikitpun.
3. Reinkarnasi
Reinkarnasi adalah kepercayaan yang dianut dalam agama Hindu. Reinkarnasi disebut dengan Punarbawa yang berasal dari bahasa Sangsekerta. Punar artinya kembali, Bawa artinya lahir. Jadi Punarbawa adalah suatu kepercayaan tentang kelahiran yang berulang ulang atau suatu proses kelahiran yang biasa disebut dengan penitisan, atau samsara.
Dalam agama Budah dikenal dengan istilah tumimbal lahir (rebirt). Dalam kepercayaan mereka makhluk yang mati langsung tumimbal lahir dan tidak ada jeda penantian. Dalam keyakinan kejawen sering disebut dengan penitisan.
Jika seseorang baik selama hidupnya, biasanya ia akan ber-reinkarnasi dalam wujud merpati atu hewan yang dianggap baik lainnya. Namun, jika dikenal dengan perangainya yang buruk, maka ia akan kembali hidup dalam wujud seekor ular, anjing atau babi.
Di dalam Islam, tidak ada akidah reinkarnasi. Roh orang-orang beriman akan menempati surga dan kekal di dalamnya. Dan orang-orang kafir akan menempati neraka dan kekal di dalamnya.
4. Roh gentayangan.
Banyak keyakinan tersebar di masyarakat bahwa roh yang telah meninggal bergentayangan di sekitar rumahnya selama sebulan setelah kematiannya. Atau roh tersebut akan mengunjungi keluarganya lagi setelah 40 hari dan akan bergentayangan selama setahun di sekitar makamnya. Bahkan roh tersebut bisa menjelma di alam nyata dengan bentuk seperti orang yang meninggal.
Semua itu adalah mitos belaka. Di dalam Islam roh yang telah meninggal tidak akan kembali lagi ke dunia karena ia memasuki alam baru yaitu alam barzakh atau alam kubur.
B. Mitos (Khurofat) Tentang Hari Dan Bulan Keramat
1. Malam Jumat kliwon dan Selasa Kliwon
Malam Jumat kliwon (kliwon adalah salah satu nama penanggalan Jawa) diyakini masyarakat sebagai malam yang angker dan mistis. Media masa bahkan dunia film horor di Indonesia banyak menjadikan malam Jumat kliwon sebagai malam puncak mistis. Beragam ritual sihir, santet, tenung dan bongkar mayat dilakukan di malam Jumat kliwon. Bahkan acara puncak puasa 40 hari dalam budaya kejawen di akhiri pada malam Jumat kliwon.
Dalam tradisi masyarakat Eropa, mitos Friday the 13th sudah menjadi hal yang tidak asing lagi. Friday the 13th berarti hari Jumat tanggal 13 di bulan apapun merupakan hari yang membawa kesialan.
Adapun selasa kliwon di dalam budaya Jawa dan Bali dinamakan hari Anggoro kasih. Yaitu hari yang istimewa menurut mereka. Dan biasanya ritual-ritual mistik dan kejawen tidak lepas dari dua hari tersebut.
Adapun di dalam Islam tidak ada hari keramat. Hari Jumat adalah hari yang mulia dan penuh berkah. Bahkan ia adalah hari raya pekanan umat Islam. Tidak ada di dalam Islam hari sial meskipun Jumat kliwon di tanggal 13.
2. Bulan Suro (Muharram)
Bulam Suro diyakini orang kejawen sebagai hari sial dan petaka. Mereka begitu takut dan antipati menyelenggarakan hajat di bulan Suro, khususnya resepsi pernikahan. Mereka meyakini bahwa siapa saja yang menikah di bulan Suro, maka rumah tangganya bakal hancur dan berantakan. Karena di bulan tersebut para Demit (setan jahat) mencari mangsa untuk tumbal.
Oleh karena itu, di bulan bulan Suro banyak orang yang melakukan upacara mistik seperti siraman malam 1 Suro (ritual mandi dengan tujuh kembang setaman), sesajen dan bakar kemenyan di kuburan, jamasan pusaka (ritual memandikan benda pusaka seperti keris), larung sesaji, upacara ruwatan dan nyadran untuk menolak mara bahaya pada bulan tersebut.
Bukan hanya di Indonesia, di Iran orang-orang Syiah juga mengeramatkan bulan Muharam dengan dalih mencintai Al-Husain. Mulai dari tanggal 1 Muharram sampai 9 Muharram diadakan pawai besar-besaran di jalan-jalan menuju ke Al-Husainiyah (tempat peribadatan orang Syiah). Peserta pawai hanya mengenakan sarung atau celana saja sedang badanya terbuka. Selama pawai mereka memukul-mukul dada dan punggungnya dengan rantai besi yang ujungnya benda tajam sehingga luka dan berdarah. Suasana ini membuat yang hadir merasa sedih, bahkan tidak sedikit yang menangis histeris. Cara ini jelas sekali jauh dari ajaran sahabat al Husain . Orang-orang Syiah bukan hanya menyimpang dari ajaran al Husain , namun telah keluar dari Islam. Karena banyak mengkufuri pondasi-pondasi utama dalam Islam.

C. Mitos (Khurofat) Seputar Hewan.
Banyak hewan yang dikeramatkan manusia sehingga menjadi kepercayaan mungkar yang turun temurun dari generasi ke generasi seperti:
1. Kebo Bule (Kiai Slamet)-Solo.
Kebo Bule adalah kerbau yang berkulit albino. Kebo bule ini konon hadiah dari bupati Ponorogo (Jatim) untuk Sri Susuhunan Pakubuwono II di Kartasura Hadiningrat (tempat keraton solo sebelum pindah ke Surakarta saat ini). Ketika mencari lokasi keraton baru, Sri Susuhunan Pakubuwono II mempercayakan kepada kerbau tersebut untuk mencari tempat keraton baru. Karena kerbau tersebut digunakan untuk mengawal pusaka Kiai Slamet, maka nama tersebut dinobatkan untuk si kerbau. Bahkan ada yang mengklaim kerbau tersebut adalah keturunan Kiai Slamet.
Pada malam 1 Suro pukul 00.00 WIB setiap tahunnya, upacara kirab (jalan bareng) untuk mengarak kerbau ini di gelar di keraton Solo. Siapa saja yang disentuh atau menyentuh kerbau ini, akan mendapat keberkahan. Bahkan kotoran kerbau saat kirab dijadikan rebutan ratusan orang karena diyakini penuh berkah.
2. Bulus (kura-kura) Jimbung-Klaten
Bulus atau kura-kura Jimbung adalah sepasang kura-kura yang dikeramatkan oleh banyak masyarakat Klaten. Bulus tersebut hidup di sebuah sendang (semacam rawa) di daerah Jimbung, Kalikotes, Klaten.
Sepasang kura-kura tersebut diberi nama Kyai Poleng dan Nyai Poleng yang diklaim jelmaan dari Abdi Dewi Mahdi yang telah menjadi bulus dan hingga kini masih mendiami sendang tersebut. Adapun sendang ini dibuat oleh Pangeran Jimbung. Menurut legenda yang tidak jelas sumbernya, banyak orang yang telah berhasil mencari kekayaan dengan jalan pintas meminta bantuan Kepada Kyai Poleng dan Nyai Poleng. Namun dampaknya, kelak jika berhasil kaya, badan orang tersebut akan menjadi seperti bulus Jimbung.
Jika ada orang hendak mencari kekayaan dengan jalan pintas dengan cara itu, maka harus berjalan ke arah timur tepatnya di perbukitan pegunungan kapur, dari jalan ke arah waduk Jombor. Di sana terdapat rumah tua yang berdiri kokoh di atas perbukitan kapur. Orang tersebut harus berani berpuasa dan tidur di rumah tua itu. Penduduk sekitar menyebutnya sebagai rumah Demit (setan ganas). Di bulan Syawal, terutama setelah sekitar satu pekan setelah Idul Fitri, tempat tersebut diserbu banyak pengunjung.
3. Ayam Cemani
Ayam Cemani merupakan ayam lokal asli Indonesia. Warna seluruh badannya hitam legam mulai dari cengger, paruh, bola mata, lidah, rongga mulut, bulu, kaki, dan cakar. Cemani sendiri berasal dari bahasa jawa yang artinya hitam legam.
Ayam ini diyakini membawa kedamaian, menambah rezeki, memudahkan jodoh, melariskan dagangan, hingga mampu membawa kesuksesan negosiasi baik saat perang maupun konflik. Atas dasar itulah, cemani menjadi buruan orang-orang berkantong tebal.
Harganya mulai seokor mulai dari 8 sampai 35 juta rupiah. Hal tersebut karena ayam Cemani digunakan sebagai tumbal ritual mistik seperti: ritual penggalian harta karun, sesajen khodam pengobatan, ruwat bangunan pabrik, gedung, mall, plaza, hotel, ruko, toko, kantor, rumah, ruwat penglaris dagangan di kantin, toko, kios, pasar, ritual ruwat pembangunan proyek-proyek besar seperti: pembangunan jembatan, bendungan, terowongan, explorasi pertambangan, pembangunan jalan tol, terminal, bandara, pelabuhan serta proyek-proyek besar lainnya yang berhubungan dengan alam. Selain itu, ayam Cemani biasa juga digunakan untuk ritual sedekah bumi, laut, gunung atau kawah, ruwat memandikan benda pusaka, sulit jodoh, pemikat lawan jenis bagi seseorang. Bahkan sebagai syarat kesempurnaan ilmu kekebalan.
4. Burung hantu
Burung hantu juga merupakan hewan yang dijadikan mitos banyak orang. Kicau burung hantu di malam hari dipercayai banyak orang sebagai pertanda kematian. Kepercayan ini bukan hanya di Indonesia, di India dan Yunani juga tersebar khurafat burung hantu ini. Di Romawi, konon burung hantu adalah jelmaan dari tukang sihir yang mencari darah para bayi untuk dihisap.
Mitos lain tentang burung hantu yaitu keyakinan bahwa membunuh burung hantu akan mengakibatkan kematian bagi si pembunuh burung hantu dengan waku yang relatif cepat.
5. Kucing hitam.
Khurafat tentang kucing hitam sangat banyak sekali tersebar. Di Jerman ada khurafat apabila ada seekor kucing hitam yang lompat ke atas tempat tidur seseorang yang sedang sakit, maka kematian akan datang pada orang tersebut. Di Finlandia, masyarakat di sana percaya bahwa kucing hitam adalah makhluk yang membawa jiwa manusia ke alam baka. Di India, kucing hitam dipercaya bahwa jiwa yang bereinkarnasi dapat dibebaskan dengan cara melempar kucing hitam ke dalam api.
Di Indonesia tidak hanya kucing hitam saja. Jika seseorang di dalam perjalanan ia menabrak seekor kucing hingga mati
diyakini banyak orang akan ada peristiwa yang menimpa penabrak dalam berlalu lintas. Akan tetapi bila kucing tersebut dikuburkan oleh penabrak maka kita akan selamat.
Di dalam Islam tidak ada hewan yang dikeramatkan. Hanya saja ada beberapa hewan yang diperintahkan untuk tidak dibunuh tanpa ada sebab seperti: semut, lebah, burung Hud-hud, burung Shurad (salah satu jenis burung, di antara cirinya terdapat garis hitam mengelilingi kepalanya) dan katak. Ada juga hewan yang diperintahkan untuk di bunuh seperti: tikus, kalajengking, rajawali, gagak, dan anjing yang suka menggigit. Semua hal tersebut memang terdapat dalil dan kemaslahatan di dalamnya.
6. Khurafat lain seputar hewan.
Selain hewan-hewan yang dikeramatkan banyak juga khurafat berkaitan tentang hewan. Seperti: kejatuhan cicak terutama tepat di ubun-ubun kepala seseorang, maka diyakini kebanyakan masyarakat jawa sebagai tanda datangnya musibah yang akan menimpa seorang tersebut. Sebagai penangkalnya mereka memburu cicak tersebut dan merobek mulutnya.
Jika hendak bepergian dan bertemu dengan ular melintasi jalanan di depannya, maka dianggap akan ada musibah yang akan menimpanya. Suara burung gagak yang berada di sekitar rumah diyakini akan adanya kematian di dalam anggota keluarga. Kicau burung Prenjak di depan rumah, diyakini bahwa pemilik rumah akan kedatangan tamu. Jika di dalam rumah dihuni tokek yang bunyinya ganjil, maka ia mendoakan keberkahan kepada penghuni rumah, maka jangan dibunuh. Dan lain-lain.
Di dalam Islam tidak menetapkan perilaku hewan kecuali terdapat dalilnya seperti ketika mendengar kokok ayam kita dianjurkan untuk berdoa karena ia sedang melihat malaikat. Ketika mendengar ringkikan keledai, maka kita diajurkan untuk berlindung kepada Alloh karena ia melihat setan. Semua itu memang ada dalilnya dari nabi .
D. Mitos (Khurofat) Seputar Angka-Angka
1. Mitos Angka 13 dan angka 4
Angka 13 dianggap banyak orang sebagai angka sial. Oleh karena itu, banyak sekali maskapai penerbangan, hotel, rumah sakit atau gedung-gedung bertingkat tidak ada tempat duduk atau lantai ke-13. Dalam mitos Eropa kuno, angka 13 adalah angka kesialan. Bahkan di Barat, angka 13 dijadikan maskot film horor terkenal yaitu “Friday The 13th”.
Mereka sangat takut bepergian di hari ke-13, lebih lagi jika bertepatan dengan Jumat. Orang yang takut terhadap angka 13 disebut triskaidekaphobia. Tokoh-tokoh barat seperti: mantan presiden AS Franklin D Roosevelt ternyata tidak pernah bepergian pada tanggal 13. Ia juga menghindari hal-hal yang berbau 13 seperti menjamu tamu yang jumlahnya 13 orang, menaiki gedung di lantai 13, dan lain sebagainya.
Napoleon, Stephen King, dan presiden Herbert Hoover mereka percaya kalau angka 13 merupakan angka yang membawa sial bagi mereka.
Jika kita cermati, di Indonesia pun mulai disemarakkan mitos angka 13 dengan munculnya film horor “Lantai 13”. Selain itu, sekarang mulai banyak gedung-gedung tinggi yang tidak mempunyai lantai 13, tidak ada kamar nomor 13 dan tempat duduk nomor 13.
Angka 4 ternyata juga dianggap angka sial karena merupakan hasil penjumlahan dari dua angka tersebut, 1+ 3 = 4. Gedung-gedung yang memiliki lantai 4 kemudian akan menggantinya dengan 3A. Semua itu karena mitos yang berasal dari setan.
2. Angka 666
Khurafat angka 666 sangat berkembang di dunia mistik. Angka 666 dalam angka Romawi adalah DCLXVI. Dalam arti kata lain, angka 666 tersebut telah dapat merepresentasikan seluruh angka yang terdapat dalam angka Rumawi (D = 500, C = 100, L = 50, X = 10, V = 5, I = 1). Angka 666 dalam bahasa Latin bisa diartikan sebagai DIC LVX = “dicit lux” – suara cahaya. Setan dalam bahasa Latin sering diberi nama sebagai Lucifer (Lux Ferre) atau si pembawa cahaya. Dalam istilah Astrologi disebut juga sebagai Bintang Fajar atau Venus atau planet ke-enam terbesar dalam tata surya kita.
Semua yang buruk dan jahat konon mempunyai kaitannya dengan angka 666 seperti roulet, apabila semua angka di meja roulet dijumlahkan akan berjumlah 666. Berzina itu dosa besar maka dari itu angka 666 dalam bahasa Yunani merepresentasikan XES (sex terbalik) atau Χ Ξ Σ (Chi Xi Sigma) sebab dalam bahasa Yunani maupun Ibrani abjad mereka itu juga identik dengan angka. Begitu juga dengan nama dari Kaiser Nero dalam bahasa Ibrani ini bisa ditulis dengan angka 666 (Neron Kesar). Racun yang mematikan adalah racun 666 adalah racun Hexachloride yang diambil dari formula kimia C6H6Cl6.
Hal inilah yang menyebabkan angka 666 selalu diidentikkan dengan Satanisme atau hal-hal yang berbau pemujaan setan sehingga dikeramatkan. Asal muasal khurafat tersebut adalah dari aliran sihir kabbalah mesir yang kemudian diadopsi oleh gerakan zionisme.
E. Mitos (Khurofat) Tentang Tempat-Tempat Keramat
1. Kuburan
Banyak sekali kuburan yang dikeramatkan oleh masyarakat Indonesia seperti:
a. Makam Ratu Galuh Mangkualam di tengah Kebun Raya Bogor. Banyak warga yang berziarah ke makam ini dengan tujuan ngalap berkah dari kuburan tersebut. Mereka meyakini dengan ziarah ke tempat keramat tersebut akan menambah keberkahan.
b. Makam Roro Mendut dan Pronocitro di Sleman, Jogjakarta. Makam ini banyak diyakini mendatangkan keberkahan. Para pengalab berkah harus melakukan tiga ritual. Ritual pertama harus membawa sesajen berupa rokok karena Roro Mendut dulu seorang pedagang rokok yang sukses. Selain rokok juga kembang setaman, dan kemenyan untuk dinyalakan di depan pusara Roro Mendut. Setelah itu, baru berdoa sesuai dengan permintaan masing-masing. Ritual kedua adalah mengelilingi makam searah jarum jam sebanyak sekali. Ritual ketiga adalah berhubungan lawan jenis baik suami istri atau bukan sebagai simbol penyatuan jiwa sebagaimana dulu ketika Roro Mendut dan Pronocitro bercinta.
c. Makam Imogiri. Adalah makam raja-raja Mataram Islam termasuk juga makam raja-raja di keraton Surakarta dan Jogjakarta. Letaknya di Imogiri, Bantul, DIY. Para pengunjung makam ini diharuskan memakai pakaian adat Jawa. Di komplek makam tersebut terdapat 4 gentong yang diyakini airnya penuh keberkahan bagi siapa saja yang meminum darinya. Bahkan digunakan sebagai sarana mencari kesembuhan bagi para pengunjung.
Masih terlalu banyak makam-makam keramat di Indonesia yang tidak disebutkan. Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki makam yang dikeramatkan berdasarkan cerita mitos dan khurafat masing-masing.
2. Candi
Candi juga merupakan tempat keramat yang banyak dikunjungi masyarakat. Bukan hanya umat Hindu saja, banyak orang yang mengaku beragama Islam pun sering menziarahi candi-candi untuk ngalap berkah. Banyak sekali candi-candi yang dikermatkan. Di wilayah DIY dan sekitarnya saja paling tidak ada sepuluh candi seperti Borobudur, Prambanan, Candi Muara Takus, candi Wukir, candi Kalasan, Candi Gedongsongo, Candi Mendut, Candi Sewu, Candi Pawon, Candi Sari, Candi Ngawen. Adapun di Jawa Timur juga tak kalah banyaknya seperti: Candi Kidal, Candi Jago, Candi Singasari, Candi Penataran, Candi Sawentar, Candi Sumberjati, Candi Tegawagi, dan lain-lain. Setiap candi mempunyai mitos dan khurafat masing-masing.
3. Gunung, Goa dan Pantai
Gunung yang penuh cerita mitosnya seperti gunung Merapi (Magelang-Jateng) dengan mitos istana jin dan dan pasar jinnya, Gunung Kemukus (Sragen-Jateng) dengan mitos berhubungan seks sebanyak tujuh kali dengan pasangan yang sama di tempat terbuka jika ingin kaya dengan jalan pintas.
Adapun Goa seperti Goa Jepang di Bandung, Goa Gong di Pacitan Jatim, Goa Jatijajar di Kebumen, Goa Ngerong di Tuban Jatim semuanya juga punya mitos tersendiri.
Sedangkan pantai yang penuh mitosnya seperti pantai Parangtritis, Yogyakarta, Pantai Pangandaran, Ciamis. Pantai Ujung Genteng, Sukabumi, pantai Karang Bolong, Banten. Mitos Nyi Roro Kidul sering disematkan pada pantai-pantai tersebut.
F. Mitos (Khurofat) Seputar Adat Dan Upacara Adat
1. Kualat ketika melanggar adat.
Banyak mitos tersebar di masyarakat Jawa bahwa siapa saja yang tidak menaati tradisi nenek moyang maka dia akan kualat. Kualat artinya akan mendapat petaka atau kutukan karena meninggalkan adat istiadat nenek moyang. Banyak sekali adat di masyarakat Jawa seperti ruwatan, sesajen, larung, dan lain-lain. Mereka meyakini betul bahwa ketika adat tersebut dihilangkan, maka akan terjadi petaka pada masyarakat tersebut. Semua ini tidak lain adalah tipuan setan belaka.
2. Adat ketika Kehamilan.
Ketika seorang wanita sedang hamil maka tradisi masyarakat Jawa dan Sunda banyak sekali upacara adat yang dilakukan. Seperti: upacara tiga bulanan atau empat bulanan, Upacara mitoni (tingkeban) atau tujuh bulanan. Upacara mitoni di dalam tradisi jawa sangat sakral sekali karena ibu hamil harus dimandikan dengan tujuh kembang setaman dan dilakukan oleh tujuh sesepuh. Ritual memakai baju 7 kali, ritual memecah telur ayam kampung dan lain-lain. Selain itu, di masa kehamilan tujuh bulan ke atas banyak sekali mitos yang menjadi pantangan bagi ibu hamil seperti larangan membawa gunting, larangan keluar malam hari, memakan dua pisang yang bergabung jadi satu, sang suami dilarang membunuh hewan dan lain-lain.
Dalam tradisi Sunda, ada juga upacara Reuneuh Mundingeun yang dilaksanakan apabila perempuan yang mengandung lebih dari sembilan bulan. Semua upacara tersebut diyakini akan mendatangkan keberkahan bagi bayi maupun keluarga. Tentu mitos ini sama sekali tidak ada dasarnya di dalam agama Islam.
3. Adat Ketika kelahiran Bayi
Ketika bayi terlahir di dunia upacara adat untuk mencari keberkahan banyak juga dilakukan di masyarakat Jawa atau sunda pada umumnya. Adapun di Sunda seperti upacara memelihara Tembuni atau penguburan ari-ari, Upacara Nenjrag Bumi yaitu upacara memukulkan alu ke bumi sebanyak tujuh kali di dekat bayi, Puput Puseur yaitu setelah bayi terlepas dari tali pusatnya. Upacara Nurunkeun ialah upacara pertama kali bayi dibawa ke halaman rumah, Upacara cukuran dimaksudkan untuk membersihkan atau menyucikan rambut bayi dari segala macam najis.
Adapun di Jawa seperti upacara Brokohan, yaitu ketika bayi lahir dan menguburkan ari-ari, Upacara sepasaran yaitu ketika bayi berumur 5 hari, upacara selapanan yaitu ketika bayi berumur 35 hari. Upacara adat Mudhun siti yaitu ketika bayi berumur 7 bulan dengan memasak aneka nasi, membuat tangga terbuat dari tebu dan kurungan ayam dari bambu. Semua adat tersebut diyakini akan mendatangkan keberkahan.
4. Adat Ketika Pernikahan
Adat pernihkahan juga seringkali tidak lepas dari nilai-nilai khurafat seperti adat kejawen ketika menikah. Misalnya: menginjak telur, saling melempar gantal (daun sirih yang diikat dengan benang putih) dan aneka sesajen yang di taruh di setiap pojokan desa, pinggiran sumur bahkan di atas rumah ketika pernikahan. Semuanya penuh dengan nuansa mistik yang sampai saat ini masih bercokol kuat dalam tradisi masyarakat Jawa.
5. Adat ketika kematian
Adat saat terjadi kematian juga dipenuhi dengan khurafat dan mistik. Bukan hanya di Jawa, di Bali, Batak, dan Toraja upacara kematian penuh dengan nuansa adat yang mengandung khurafat. setelah kematian mayit masih banyak ritual yang harus diselenggarakan, bukan malah mengingat kematian.
6. Adat untuk Persembahan kepada dewa-dewi.
Adat persembahan juga tidak juga tidak terlepas dari nuansa khurafat. Seperti: upacara “Methik” atau “guwakan” bagi para petani kejawen sebelum memanen padi. Ritual ini diperuntukkan untuk Dewi Sri yang yang diklaim memberikan keberkahan pangan bagi para petani. Sekaligus bentuk permohonan agar hasil pertaniannya tidak diganggu hama. Sedekah bumi juga marak diselenggarakan sebuah desa dalam rangka menghormati dewa dan dewi.
G. Khurafat Seputar Pohon dan Tanaman
Dalam dunia kejawen dan mistik, banyak sekali pohon dan tanaman yang dipercaya mempunyai nilai magis. Seperti pohon pinang merah diyakini akan memberikan kelancaran rezeki dan menangkal santet atau teluh tatkala di tanam di depan rumah. Menanam bunga matahari atau bunga sedap malam, mempunyai nilai supranatural untuk keharmonisan keluarga. Menanam pohon kelor dan bunga kenanga, mampu menetralisir dan menangkis guna-guna. Menanam pohon talas besar bisa membuat pencuri dan tuyul malas. Menanam anggur di depan rumah, menjadikan rezeki seret. Menanam bunga kamboja dan beringin di depan rumah, akan mengundang roh-roh jahat. Bunga kamboja yang berjumlah ganjil akan mendatangkan rezeki lancar. Menanam bambu buta (bambu tidak berongga) mampu menakut-nakuti jenis makhluk gaib tertentu. Menanam cabe di depan rumah, akan menyebabkan penghuni rumah sering bertengkar. Semua mitos tersebut hanyalah kebatilan yang diada-adakan.
H. Mitos (Khurofat) Seputar Benda Langit
1. Khurafat Seputar bintang.
a. Akan dikabulkan permintaannya (make a wish) saat melihat bintang jatuh.
Banyak tersebar di masyarakat bukan hanya di Indonesia saja bahkan di dunia tentang dikabulkannya permohonan ketika melihat bintang jatuh. Mitos ini datang dari Yunani dan kitab-kitab primbon yang merupakan sumber kesyirikan dan kekufuran.
b. Khurofat tentang rasi-rasi bintang.
Rasi Bintang banyak menjadi khurafat dengan ramalan-ramalan batil dari tukang ramal. Ramalan rasi bintang tersebut sangat laris di berbagai belahan dunia. Sagitarius, Scorpio, Pisces, Leo dan lain-lain. Mereka meramal jodoh, rezeki, kebaikan dan keburukan dari rasi bintang tersebut. Hal ini jelas merupakan kesyirikan yang besar.
c. Khurafat tentang bulan, matahari dan pelangi.
Ketika terjadinya gerhana matahari dan bulan, banyak sekali khurafat yang muncul di masyarakat. Orang kejawen bilang ketika gerhana matahari maka matahari tersebut sedang ditelan Bathara Kala. Oleh karena itu, mereka akan memukul lesung dengan keyakinan agar matahari dimuntahkan kembali.
Orang Bali mempunyai ramalan khusus tentang gerhana matahari dan bulan. Gerhana bulan pada hari minggu maka anak-anak (bayi) kesusahan, penyakit menyebar. Hari Senin: Banyak pencuri, padi dimakan hama menyebabkan susah. Hari Selasa: Berduka cita, banyak orang sakit, pencuri amat banyak. Hari Rabu: Banyak ternak sakit, pemerintah kesusahan. Hari Kamis: Banyak orang sakit, pemerintah tak beruntung. Hari Jumat: Pemerintah akan hancur, hama penyakit membiak. Hari Sabtu: Banyak pencuri, garam susah dicari Sebaliknya di saat bulan purnama juga muncul mitos, barang siapa yang mandi sinarnya akan memunculkan kharisma. Bahkan mengajukan permintaan ketika melihat bulan purnama
Adapun tentang pelangi tak sedikit juga mitos tentangnya. Di dalam kitab primbon disebutkan, jika seseorang melihat pelangi di angkasa, bermakna ada bidadari dari surga yang sedang mandi. Di Jerman, jika Sebuah pelangi tidak muncul selama empat puluh tahun menandakan akhir dunia. Di Jepang, pelangi adalah sebuah jembatan mengambang Surga. Di Yunani, pelangi adalah jalan antara langit dan Bumi.
I. Mitos (Khurofat) Seputar Benda-Benda Pusaka
Banyak sekali benda-benda yang dikeramat di negeri ini. Hampir masing-masing daerah memiliki benda pusaka yang menjadi ciri khas daerah tersebut. Ada keris, cincin, sabuk, gelang, kalung, aneka peninggalan keraton dan lain-lain. Tidak lain dan tidak bukan benda-benda yang dianggap keramat tersebut telah diisi dengan sihir sehingga dijadikan media setan untuk menyesatkan manusia.
J. Membentengi Umat Dari Salah Kaprahnya Mitos
Kaum Muslimin yang dirahmati Alloh , berhati-hatilah dengan perkara mitos yang berbau kesyirikan tersebut. Nabi bersabda:
« الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ». ثَلاَثًا « وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ »
“Tiyaroh adalah syirik, tiyaroh adalah syirik, tiyaroh adalah syirik. Tiada seorangpun dari kita kecuali pernah dihinggapi rasa tersebut, hanya saja Alloh menghilangkannya dengan ketawakalan.” (HR. Abu Dawud)
Berikut ini beberapa cara membentengi diri dari mitos.
Bertawakkal hanya kepada Alloh semata. Meyakini dengan sepenuh hati bahwa segala kebaikan dan keburukan hanya datang dari Alloh bukan makhluk-Nya.
Terus beramal tanpa sedikitpun terpengaruh dan menoleh kepada mitos.
Memperbanyak doa-doa yang diajarkan nabi ketika terserang virus tersebut. Adapun doa-doa yang diajarkan nabi berkaitan dengan hal iniadalah:
اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ
“Ya Alloh, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari-Mu dan tidak ada tiyarah (penyandaran keburukan) kecuali dari-Mu. Dan tidak ada ilah/sesembahan selain-Mu.” (HR. Ahmad)
اللَّهُمَّ لَا يَأْتِيْ بِالْحَسَنَاتِ إِلَّا أَنْتَ وَلَا يَدْفَعُ السَّيِّئَاتِ إِلَّا أَنْتَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِالله
Ya Alloh, tidak ada yang mendatangkan kebaikan kecuali Engkau. Dan tidak mempu menolak keburukan kecuali juga Engkau. Dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan-Mu.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi)
Mengimani takdir Alloh dengan benar. Tidak ada kebaikan dan keburukan yang menimpa seseorang kecuali hal tersebut karena takdir Alloh dan bukan karena tiyaroh.
Oleh karena itu, bentengi umat kita dengan akidah yang benar. Boleh jadi seseorang terjebak dalam keyakinan syirik tersebut tanpa ia menyadarinya. Belajar agama Islam dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dari sumber yang benar merupakan benteng ampuh untuk menyelamatkan kita dari bahaya khurofat dan tathoyur.

Tema PT Keren Sekali. Diberdayakan oleh Blogger.