Rabu, 02 Mei 2018

Hukum talak ketika hamil

/ Jawab Soal Seputar Talak Ketika Istri Hamil /

#MuslimahNewsID -- Pisahnya suami dengan istri dan terputusnya jalinan pernikahan di antara mereka di dalam istilah fiqh Islam disebut furqoh(berpisah).

Furqoh sendiri -dalam fiqh Islam- ada lima jenis :

(1). Talak, dan ini sepenuhnya berada di tangan suami.

(2). Khul'u, dan ini berdasarkan tindakan istri

(3). Fasakh, dan ini berdasarkan keputusan Qadha(Peradilan).

(4). Infisakh, karena adanya Aqad Nikah yang bermasalah.

Dan, (5). Meninggalnya salah seorang pasangan dari suami istri tersebut.

Talak atas Perempuan hamil yang kehamilannya nampak disebut sebagai Talak yang bukan Sunni, dan bukan Bid'i. Ini adalah pendapat madzhab Syafi'I. (Al Bujairomiy, Hasyiyah Al Bujairomiy 'ala Al Khatib, 3/505)

Semua ini akan diterangkan dipemaparan kemudian, in sya Allaah.

Mengenai hukum talak atas perempuan hamil, jumhur(Mayoritas) ulama mengatakan bahwa menceraikan isteri pada saat hamil adalah boleh, bahkan Imam Ahmad menyebutnya cerai yang sejalan dengan sunnah. Hal ini berdasarkan hadits shahih berikut:

ثُمَّ لِيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا أَوْ حَامِلًا

“Kemudian, ceraikanlah dia pada waktu suci atau hamil.” (HR. Muslim No. 1471)

Imam An Nawawi memberikan komentar:

فِيهِ دَلَالَة لِجَوَازِ طَلَاق الْحَامِل الَّتِي تَبَيَّنَ حَمْلهَا وَهُوَ مَذْهَب الشَّافِعِيّ ، قَالَ اِبْن الْمُنْذِر وَبِهِ قَالَ أَكْثَر الْعُلَمَاء مِنْهُمْ طَاوُس وَالْحَسَن وَابْن سِيرِينَ وَرَبِيعَة وَحَمَّاد بْن أَبِي سُلَيْمَان وَمَالِك وَأَحْمَد وَإِسْحَاق وَأَبُو ثَوْر وَأَبُو عُبَيْد ، قَالَ اِبْن الْمُنْذِر : وَبِهِ أَقُول . وَبِهِ قَالَ بَعْض الْمَالِكِيَّة

“Di dalamnya terdapat dalil bagi bolehnya mencerai wanita yang jelas kehamilannya, itulah madzhab Asy Syafi’i. berkata Ibnul Mundzir: “Dengan ini pula pendapat mayoritas ulama, di antara mereka adalah Thawus, Al Hasan, Ibnu Sirin, Rabi’ah, Hammad bin Abi Sulaiman, Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Abu ‘Ubaid.” Berkata Ibnu Mundzir: “Aku juga berpendapat demikian.” Dan dengan ini juga pendapat sebagian Malikiyah.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 10/65)

Namun, sebagian Malikiyah lainnya mengharamkannya, dan Ibnul Mundzir meriwayatkan bahwa Al Hasan (Al Bashri) memakruhkan. Demikian keterangan lanjutan dari Imam An Nawawi, dalam kitabnya tersebut. Namun pendapat yang membolehkan adalah lebih sesuai dengan nash syariat. Wallaahu a'lam.
——————————

Tidak ada komentar:

Posting Komentar